Sabtu, 30 Juni 2007

Keutamaan Dzikir Akhir Zaman

Laa ilaaha illallaah Muhmmadur Rosuulullaah, fii kulli lamhatiw wanafasin ‘adada maa wasi’ahuu ‘ilmullaah.

Dalam kandungan dzikir ini terdapat 3 kategori dzikir:
(Pertama) dzikir kepada Allah, yakni Laa ilaaha illallaah.
(Kedua) dzikir kepada Ilmu Allah, yakni Muhammadur Rosuulullaah. Mengapa dikatakan demikian? Karena melalui Nabi Muhammad Saw, Allah menurunkan Ilmu-Nya.
(Ketiga) dzikir kepada ciptaan-Nya, yakni fii kulli lamhatiw wanafasin ‘adada maa wasi’ahuu ‘ilmullaah.
Adanya dzikir tambahan setelah Laa ilaaha illallaah menunjukkan pengagungan / perhormatan terhadap keberadaan selain Allah. Yaitu mengakui adanya Utusan Allah, dan mengakui Allah menebarkan hukum lain yang tidak tertulis berupa alam semesta beserta kejadian-kejadian yang ada di dalamnya setiap saat.
Al ‘Arif billah Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. pernah mengungkapkan bahwa di antara keutamaan dzikir ini adalah bagi siapa yang melanggengkannya akan meraih pahala se-eling nafas makhluk. Maksudnya ia akan mendapatkan pahala seluruh makhluk Allah yang berdzikir.
Selain itu orang yang berdzikir dengan kalimat tersebut akan mengejar maqam (kedudukan) yang dicapai oleh para sahabat Rasulullah Saw.
Dikisahkan ada seorang jama’ah Tarekat yang melanggengkan award ini, saat ini ia telah dipanggil Allah SWT (wafat). Beliau tidak luput melazimkan dzikir ini sebanyak 10.000 setiap hari karena demikianlah yang ia terima dari orang tuanya, dan orang tuanya tersebut menerima dari Gurunya di Jabal Abu Qubais.
Singkat cerita, pada saat meninggalnya terjadilah suatu keanehan. Jenazahnya berada dalam suatu bilik bambu yang belum ada penerangan listrik saat itu. Anaknya meninggalkan bilik tersebut beberapa saat ayahnya telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Malam itu saat ia mondar mandir di dalam rumah ia mendengar suara gemericik air. Setelah ia selidiki ternyata suara tersebut berasal dari dalam bilik tempat jenazah sedang dibaringkan. Dengan hati penasaran ia mencoba mengintip apa yang terjadi di dalam bilik itu.
Subhanallah, ia hampir menjerit. Ia menyaksikan sendiri ayahnya sedang berdiri memandikan orang yang sedang berbaring yang tiada lain adalah ayahnya sendiri. Lebih jelasnya bahwa ayahnya tersebut memandikan jenazahnya sendiri. Wallaahu A’lam.
Cerita ini disampaikan oleh cucunya (sambil mengenang kisah kakeknya yang telah tiada). Dan saat ini kakeknya dikenal di daerah Sulawesi Selatan (entah apa nama desa atau kotanya) sebagai salah seorang Wali Allah, maqamnya banyak diziarahi orang.
Uraian ini menunjukkan bahwa benar apa yang difirmankan Allah:
Walaa taquuluu lmay yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat, bal ahyaa-uw walaakil laa tasy’uruun.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (Q.S. Al-Baqarah: 154)
Demikianlah juga apa yang terjadi pada Syekh Ahmad bin Idris Al-Fasi, yang mendapatkan bimbingan dari Rasulullah Saw, sehingga beliau diberi karunia yang teramat besar dari Beliau Saw. Di antaranya adalah dzikir akhir zaman ini.
Apabila seorang umat seperti yang dikisahkan cerita di atas saja dapat terlihat hidup sesudah matinya, apalagi Rasulullah Saw. Beliau tetap hidup, membimbing umatnya lewat khalifah beliau di setiap masa.
Lamhatin (kedipan) bukan hanya mata, namun lamhatin di sini merupakan gerakan terkecil dari makhluk seperti kepakan sayap burung atau serangga.
[1]
Dan nafasin bukan hanya pengertian nafas, akan tetapi jiwa. Juga bukan hanya makhluk hidup, makhluk (benda) mati dapat mengekspresikan dzikir (lihat kisah pelepah kurma di zaman Rasulullah Saw).
Banyaknya bilangan yang meliputi suatu dzikir ada yang diperlihatkan (dibukakan) dan ada yang tidak. Yang tidak mampu manusia menjangkaunya terangkum pada khazanah luasnya Ilmu Allah Jalla Jalaaluh (wasi’ahu ‘ilmullah).
Wallaahu A’lam wa ‘Ilmuhuu Atam.
[1] Belalang mengepakkan sayapnya 12 hingga 15 kali per detik, dan agar dapat terbang serangga-serangga lebih kecil harus mengepakkan sayapnya lebih cepat lagi. Lebah madu, tawon dan lalat mengepakkan sayap 200 hingga 400 kali per detik, dan pada ganjur dan sejumlah serangga merugikan yang berukuran hanya 1 milimeter (0.03 inci), kecepatan ini meningkat ke angka mengejutkan 1000 kali per detik! Sayap-sayap yang mengepak terlalu cepat untuk dapat dilihat mata manusia telah diciptakan dengan rancangan khusus agar dapat melakukan kerja yang terus-menerus semacam ini. (Sumber: Harun Yahya)

Jumat, 29 Juni 2007

Ciri-ciri Sulthan Awliya

Bermula yang menjadi ciri-ciri yang disifatkan atas keberadaannya seorang Sulthan Awliya atau pemimpin zamannya itu beberapa perkara.
Secara Zhahir:
1. Ummy (kebodohan), yang mewarisi karakter Kenabian dan Kerasulan, sebagaimana yang dijalani Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Kebodohan inilah yang menuntunnya kepada kepatuhan & kebijaksanaan dalam menjalani Makrifat kepada Allah Ta’ala.
2. Selalu pada pendirian sikap yang teguh. Yang dimaksudkan adalah perkara-perkara yang menjadi Hak Allah & RasulNya atas hukum-hukum yang telah ditetapkan. Yang menjadikannya sifat keyakinan dan iman, bukan sifat keraguan.
3. Mengikuti aturan-aturan Allah, yakni tidak meremehkan perkara-perkara yang dapat menjauhkan dirinya kepada Allah.
4. Mengikuti aturan-aturan Rasulullah, yakni perkara Sunnahnya, yang hal itu setara dengan nilai perintah.
Secara Batin:
1. Ridha hatinya, memiliki sifat keikhlasan dalam penempuhan Makrifatnya, apapun yang belum diperoleh ataupun halangan yang timbul, tiada menggoyahkan penerimaan hatinya atas takdir yang telah ditakarkan kepadanya.
2. Gemar mencari Ridha Allah, yakni menyenangi perkara-perkara yang mensucikan hati, yang menjauhinya dari kekotoran-kekotoran (hijab) dirinya kepada Allah atau sesama makhluk.
3. Gemar menyayangi, berusaha mengembangkan sifat Rahmatan lil ‘Alamin, sebagaimana Rasulullah SAW.
4. Gemar Riyadhah, mencari kepuasan batin dengan menunjukkan perihal kebenaran yang didatangkan dari Allah dan RasulNya.
Beberapa faktor penunjang yang menjadikan seseorang diangkat menjadi Sulthan Awliya, yaitu:
1. Nasab Rasulullah, merupakan bekal titisan darah yang menjadi bakat Ilahiyyah.
2. Mempunyai keturunan atas takdirNya, tetapi bukan kehendak Mursyid. Dan tiada seorang Mursyid berkehendak agar anaknya jadi seorang Mursyid. Darah kandung itulah yang dapat mendekatkan dan menguatkan batinnya dalam bermakrifat.
3. Diberi kelebihan Sabar, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwasanya kesabaran itu bertingkat-tingkat sesuai martabatnya.
4. Tahan akan ujian. Sudah menjadi ketetapan atas yang demikian itu. Dengan bekal inilah dapat menguatkan dirinya menghadapi berbagai tantangan akan misi yang diembannya sebagai waratsatul Anbiya’.
Perangainya halus dan bijaksana, mengikuti sifat/perangai kepemimpinan Rasulullah SAW.
************

Kisah Para Wali Abdal

Dikisahkan bahwa di suatu zaman pada masa dahulu ada seorang nelayan tua yang kehidupannya hanya menangkap ikan sambil bertasbih. Pekerjaannya itu dilakukan sehari-hari dengan istiqamah. Tiba-tiba ia di datangi oleh 39 orang berpakaian gamis dan jubah dengan menggunakan surban. Seorang pemimpin dari mereka langsung berkata kepada nelayan tua itu: “Kami dari para Wali Abdal ingin mencari (anggota) sahabat yang baru. Jumlah kami sebelumnya adalah 40 orang, tetapi setelah salah seorang di antara kami meninggal maka jumlah kami sekarang 39 orang. Maukah anda ikut dengan kami dan diangkat menjadi seorang Wali Allah?” Betapa tercengangnya nelayan itu dan langsung menyetujuinya. Namun sebelum itu ia menanyakan: “Katanya seorang Wali itu bisa berjalan di atas air, apakah saya bisa melakukannya setelah menjadi seorang Wali?” Maka jawab pemimpin Wali Abdal itu: “Oh tentu, Insya Allah. Silahkan buktikan”. Setelah itu nelayan tua itu membuktikan kebenaran ucapan Wali tersebut. Dan ternyata benar, kakinya tidak tenggelam ke dasar laut. Dengan serta merta ia berujar dengan gembiranya: “Baiklah, aku mau ikut bersama kalian”. Pemimpin Wali itu berkata: “Kalau kamu ingin ikut dengan kami, ada satu syarat yang harus kamu penuhi. Jika tidak, kami tidak mengakuimu lagi sebagai anggota dari kami. Yaitu, jangan engkau membantah (berkomentar) atas apapun yang akan terjadi. Apakah kamu sanggup?” Karena merasa ringan akan syarat tersebut maka nelayan tua itu menyetujuinya. Lalu ikutlah ia bersama para Wali Abdal tersebut, yang sekarang telah genap berjumlah 40 orang.
Belum lama dari peristiwa tersebut, 40 Wali tadi berdzikir bersama di atas sebuah kapal dan melakukan ibadah ritual lainnya. Pemimpin Abdal, setelah acara selesai berkata: “Kini tibalah waktunya kita makan bersama”. Seketika itu datanglah sebuah hidangan dari langit yang berisi ikan yang amat besar”. Melihat kejadian itu terkagum-kagum nelayan tua itu, dikarenakan baru menyaksikan hal itu seumur hidupnya. Baru saja ikan itu dihidangkan, Pak tua itu langsung mencicipi ikan tadi. Kontan dari mulutnya mengatakan: “Wah, ikannya memang besar, tapi lebih lezat lagi kalau dikasih garam”. Pada saat itulah para Wali tadi menghadapkan wajahnya kepada Pak tua, dan berkatalah pemimpin Abdal: “Wahai Pak tua, tak pantas rasanya seorang Wali mengucapkan perkataan itu, padahal rizqi yang datang di hadapan kita ini Allah yang memberi dan kita tinggal menerima. Anda mencela rizqi dariNya berarti anda mencelaNya. Maka sudah kukatakan sebelumnya bahwa syarat mengikuti kami adalah jangan membantah (mengomentari) apa-apa yang akan terjadi. Dengan sangat menyesal kami tidak dapat menerimamu di hadapan kami”. Setelah itu Pak Tua menjadi nelayan kembali.


Diurai kembali dari penuturan Sy. Akbar Muh. Dahlan di dalam majelisnya.

Benih-Benih Hidayah Kewalian

Apabila Allah melimpahkan maqam Kewalian atas seorang hamba, maka turunlah Hidayah atas dirinya yang dhaif lagi faqir yang merupakan benih-benih Kewalian yang tertanam sejak awal langkah perjalanan (musafir)nya kepada Allah Ta’ala.
Adapun hidayah, yaitu langkah-langkah daripada seorang Awliya itu didapatkannya akan Dia Yang Kuasa lagi Berkehendak atas hamba yang dhaif atas dirinya itu, yakni dengan sifat-sifat yang daripadanya itu berupa:
a) Keberadaannya seorang hamba terhadap Allah Yang Tunggal lagi Mulia atas segala sesuatunya.
b) Keberadaannya seorang hamba terhadap dirinya sendiri yang dhaif lagi fakir atas dirinya itu.
c) Keberadaannya seorang hamba yang dhaif terhadap semua makhluk yang diciptakan Allah Yang Kuasa atas segala kuasa atas makhlukNya.
d) Keberadaannya seorang hamba terhadap dunia yang penuh dengan kehinaan atas dirinya itu.



· Maka terdapatlah tujuh perkara tingkah laku seorang Wali kepada Allah Ta’ala:
1. Senantiasa memberi hakNya kepadaNya.
2. Manjaga batas hukum-hukumNya.
3. Bersyukur atas karuniaNya.
4. Patuh kepada titahNya.
5. Sabar dalam menghadapi cobaan-cobaanNya.
6. Senantiasa memuliakan kesucianNya.
7. Senantiasa rindu atasNya.
· Dan tujuh perkara tingkah laku Awliya terhadap dirinya sendiri:
1. Merasa takut akan Allah Ta’ala.
2. Mau bersedia berjuang.
3. Kuat menahan kesulitan.
4. Memiliki disiplin beribadah.
5. Selalu mencari kebenaran dan keikhlasan.
6. Menjauhkan diri dari apa-apa yang dicintainya terhadap selera nafsunya.
7. Faqr, yakni merasakan dirinya tidak memiliki apa-apa di dunia.
· Dan tujuh perkara tingkah laku Awliya terhadap dunia dan seluruh makhlukNya:
1. Merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki.
2. Lebih suka atas apa yang diperoleh daripada yang tidak.
3. Menghindar dari pencarian yang sukar ditangkap.
4. Membenci segala hal yang berlebihan.
5. Zuhud, yakni lebih suka menahan godaan nafsu.
6. Mengenal kejahatan-kejahatan dari dunia ini dan,
7. Meniadakan pengaruhnya.
Dan apabila seorang shufi itu telah mencukupi pengetahuan-pengetahuan di atas tersebut, maka meningkatlah kepada tingkat mujahadah serta suluk. Dan memperbanyak i’tikaf, dan daripadanya itu berhusnuzzhan kepada Allah Ta’ala dan terhadap Mursyid pada zamannya serta tak terlupakan atas dhaifnya.

Para Shufi & Para Fuqaha'

Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid[1] Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah[2] Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.
[3]
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.
[4]

************

Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:

Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah
[5], aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

************

Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.

************

Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya. Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar[6], engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memaami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.

************

[1] Margaret Smith mengatakan: ‘Junaid berasal dari keturunan Persia, akan tetapi dilahirkan dan dibesarkandi Baghdad. Dia menjadi tokoh terkemuka di antara para Guru thariqat Sufi, walaupun ia hanya mengajar sejumlah kecil muridnya yang hanya sejumlah sepuluh orang saja’. (Reading from the Mistic of Islam: 34)
[2] Perkumpulan, majelis.
[3] Pendapat ini sesuai dengan pendapat Sufi berikutnya, Syaikh Musthafa al Bakri: “Sesungguhnya jalan yang paling dekat kepada Allah adalah dengan dzikir, karena sesungguhnya Ahli Dzikir itu adalah Ahlullah dan yang diistimewakannya, mereka duduk bersamaNya dan dipercayai atas Rahasia-rahasiaNya, sehingga melampaui martabat orang-orang terdahulu (salaf)”.(lihat Siyarus Salikin III: 189)
[4] Siyarus Salikin III: 99
[5] Nama panggilan Imam asy Syafi’i.
[6] Nama panggilan asy Syibli.

Shalawat Ummiyyah

إِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَـتَه يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ
يَآ أَيـُّهَا الَّذيْنَ أمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
************
Shighat Sholawat Ummiyah
اللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Yaa Allah sampaikanlah shalawat atas pemimpin kami, Muhammad SAW, seorang Nabi yang Ummiy, dan atas keluarga dan para sahabatnya.

Syekh Muhammad Nafis bin Idris al Banjari mengatakan bahwa gurunya Al ‘Alim ‘Allamah al Fadhil al Kamil Mukammal al ‘Arif Billah Maulana as Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari sewaktu beliau di Masjidil Haram tahun 1201 H. berkata: “Tidak tersembunyi jalan yang sampai kepada Allah itu, mengikuti Syekh-syekh saja, seperti dugaan sebagian orang yang bertasawuf selain jalan Syekh ada juga bisa sampai tapi menurut biasanya ialah mengikuti jalan Syekh. Allah menyampaikan hambaNya barang siapa yang dikehendakiNya. Sebagian yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala itu ialah membaca sholawat atas Nabi Muhammad SAW. Barang siapa mengekali membaca sholawat ini:
اللهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ النَّبِيِّ الأُمِّيّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Sebanyak sepuluh ribu kali setiap malam, selama 2 (dua) tahun maka dia akan sampai kepada Allah. Tetapi jangan sampai diniatkan untuk sampai kepada Allah, karena seseorang tidak akan sampai kepada Allah kalau di dalam hatinya ada lintasan demikian”.
Diambil dari Buku: Perkembangan ilmu Tashawuf & tokoh-tokohnya di Nusantara, Hawash Abdullah, hal.118-119, Al Ikhlas Surabaya.

Rabu, 27 Juni 2007

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (iv)

DIJAGA GURU BESAR[1]

Cerita ini mengisahkan seorang dukun bayi yang menuturkan kabar yang mengagetkan seorang murid. Wanita tukang urut bayi yang berasal dari Kemayoran itu rupa-rupanya mempunyai ‘indera keenam’ sehingga dapat menganalisa gangguan non fisik yang terjadi pada setiap pasien bayinya. Sang dukun belum atau tidak pernah tahu apa itu Al-Idrisiyyah atau siapa itu Syekh al-Akbar.
Mungkin karena sayang kepada cucunya inilah seorang kakek (murid Al-Idrisiyyah) mencari seorang dukun bayi tersebut yang dapat menentramkan cucunya yang sering menangis. Pada saat Bu dukun melihat bayi itu, serta merta ia berkata,’Anak kamu ini (kata dukun kepada ibunya) sedang dijaga oleh seorang Guru Besar!!’
‘Guru Besar?! Apa maksudnya dan siapa Guru Besar itu?’ jawab sang ibu bayi keheranan. ‘Itu lho, yang saat ini sedang berkuasa atas segala alam jagat raya ini!’ jelas sang dukun. ‘Ia mempunyai amalan / cara dzikir yang berbeda dari yang lain, juga sholawat yang lain daripada yang lain. Saya lupa bacaannya!?’
Lalu sang ibu bayi membawa buku Hadiqatur Riyahin (kumpulan awrad jama’ah Al-Idrisiyyah) yang suka dibaca ayahnya.
‘Bacaannya ini bukan?’ Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rosuulullaah Fii Kulli lamhatiw wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah!’
‘Yaa, Benar. Itu dia bacaannya!’ jawab Bu Dukun bayi dengan mantap. ‘Tolong, segera bawa anakmu ini kepadanya, agar ia tidak ‘dijamah’ (diganggu) oleh yang lain (maksudnya makhlus halus yang mengganggu). Karena anak bayimu ini seperti sangkar emas yang banyak menarik perhatian / keinginan makhluk gaib untuk memasukinya.
Mendengar ucapan tukang urut bayi itu, dibawalah anaknya kepada Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra., Sulthan Awliya pada zaman ini, yang ciri-cirinya telah disebutkan oleh sang Dukun bayi. Akhirnya sang ibu bayi pun ikut tertarik untuk minta dijadikan sebagai murid Beliau.
Sedangkan dukun wanita tersebut begitu diajak bertemu dengan Syekh al-Akbar ia enggan. Dia merasa sungkan (malu) berhadapan dengan Beliau, dikarenakan kewibawaan yang ia rasakan di alam ruhani.
[1] Kamis, 1 Februari 2007

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (iii)

MARI KITA SAMBUT KEDATANGAN RASULULLAH!


Begitu besar getaran keinginan Syekh al-Akbar, Guru kami untuk menengok salah seorang murid baru yang kebetulan adalah seorang Dosen, yakni Bapak Buya Shiddiq Umary. Ia baru beberapa bulan menjadi murid Idrsiyyah ketika Syekh al-Akbar hendak berangkat keliling Sumatera untuk berdakwah bersama beberapa jama’ah.
Salah satu dorongan Beliau datang ke menemui Syekh al-Akbar dan ingin dibai’at adalah ingin mengambil lisesnsi atau izin mengamalkan beberapa amalan yang selama ini telah lama diamalkan oleh jama’ah pengajiannya. Bahkan beberapa amalan yang biasa diamalkan istiqamah, ada dalam Tarekat ini (Al-Idrisiyyah).
2 minggu sebelum berangkat ke Sumatera Syekh al-Akbar menyuruh berkali-kali pengurus Yayasan agar menghubunginya, karena barangkali (karena Pak Dosen itu adalah orang Palembang) rombongan dapat mampir ke kampong halamannya di Palembang – konon kata beliau kakaknya adalah merupakan Imam besar Masjid Agung Palembang.
Setelah pengurus mencoba menghubunginya berkali-kali ternyata belum berhasil. Dan akhirnya setelah kembali dari Sumatera, sebulan kemudian keinginan Syekh al-Akbar baru terlaksana.
Sesampainya di kediaman Bapak Fahmi, asisten beliau, di Pamulang Ciputat rombongan Syekh al-Akbar ditunggu oleh beberapa orang jama’ahnya. Murid yang dikenal dipanggil Buya ini rupanya mempunyai majelis pengajian rutin setiap hari Jum’at ba’da Ashar, sehingga kedatangan rombongan ke tempat Bapak Fahmi terlihat seperti kebetulan atau berbarengan waktunya dengan selesainya acara pengajian.
Setelah acara demi acara berlangsung Buya menyampaikan pengalaman yang tidak disangka-sangka oleh kami semua. Pengalaman seorang murid Idrisiyyah yang sangat berkesan dan mungkin tidak akan terlupakan hingga akhir hayat. Kisah pengalaman menjadi murid Tarekat Idrisiyyah itu akhirnya dianjurkan oleh Syekh al-Akbar untuk disampaikan kepada jama’ahnya pada waktu itu.
Penuturan Buya adalah sebagai sebagaimana yang dituturkan kepada kami,
Suatu malam sehari sebelum datangnya bulan suci Ramadhan 1427 H. saya bermimpi. Kejadiannya persis sekitar jam 01.30 tengah malam. Saya dalam mimpi itu terlihat bersama jama’ah Tarekat Idrisiyyah di sutau tempat yang tidak saya ketahui di mana. Saya berkata kepada jama’ah, ‘Mari kita sambut kedatangan Rasulullah Saw!’ Kami berdiri menunggu kedatangan Beliau. Hingga beberapa saat tidak kunjung datang. Tiba-tiba datanglah Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. memasuki ruangan. Pada saat kedatangan beliau diiringi suara dzkir, ‘Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rosuulullaah Fii Kulli Lamhatiw wa Nafasin ‘Adada maa Wasi’ahuu ’Ilmullaah!’
Suaranya semakin keras. Akhirnya saya terbangun, namun suara tersebut masih tetap terdengar. Dan saya mencari kedatangan suara tersebut, ternyata berasal dari hati saya. Saya dekatkan telinga saya ke dada saya. Situasi tersebut berlangsung lebih kurang selama 1 (satu) jam. Dan pukul 02.30 dini hari saya terbangun. Segera saya mengambil wudhu dan melaksanakan shalat tahajjud.
(KH. M. Shidiq Umary, MM.MA, sedang mempersiapkan gelar doktor dalam bidang Manajemen Pendidikan Islam).
Beliau menyatakan bahwa tidak meninggalkan apa yang diwajibkan berupa award-awrad sejak beliau terima dari Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra.

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (ii)

SYEKH ABDUL QADIR JAELANI MERALAT
Beberapa saat setelah tulisan sebelumnya (“Saya Malu Kepada Syekh al-Akbar”) ditulis, tiba-tiba pada saat dzikir si murid didatangi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, dan mengatakan, ‘Bukan begitu maksudnya. Jika bumi dan langit jaraknya masih dapat terukur (ketahuan). Yang betul adalah jarak (maqam) aku (kata Syekh Abdul Qadir Jaelani) dengan Syekh al-Akbar Muhammd Daud Dahlan adalah tak terhingga dan hanya Allah saja yang dapat mengukur’. Si murid tertegun betapa telitinya, dan begitu Sidiq sifat seorang Awliya Allah itu.

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (i)

SAYA MALU KEPADA SYEKH AL-AKBAR
Suatu ketika seorang Tokoh Negara melakukan kunjungan ke sebuah tempat yang terpencil, yang jauh dari wilayah perkotaan. Tentu saja dalam kunjungan itu segera direspon oleh berbagai pejabat daerah setingkat di bawahnya hingga tokoh masyarakat terkecil seperti Ketua RT. Salah seorang warga di lingkungan RT tersebut diminta untuk memandu acara pertemuan penting itu.
Di awal pembicaraannya ia berkata, ‘……. Yang kami hormati dan Allah muliakan, Bapak Ketua RT sekian RW sekian ……’. Selesai acara ia dimarahi oleh Pak RT-nya, karena namanya tidak pantas untuk disebutkan di tengah-tengah para pejabat penting yang jauh kedudukannya dibanding dirinya, seorang Pak RT.
Setelah diselidiki ternyata ia hanya mengenal Bapak RT di wilayahnya, dan ia tidak mengetahui dengan siapakah ia berhadapan.
Cerita tersebut merupakan gambaran analog dari sebuah kisah yang terjadi pada bulan Desember 2006 yang lalu ketika salah seorang jama’ah Al-Idrisiyyah mengadakan acara do’a bersama menjelang keberangkatannya ke tanah suci tahun ini. Pada kesempatan itu banyak tokoh Alim Ulama diundang oleh Shahibul Hajat, begitu pula para relasi atau kerabat juga hadir.
Di awal acara sebagaimana biasa dilakukan pembacaan tawassul. Pembacaan tawassul ini dipimpin oleh salah seorang tokoh Ulama dari Tarekat Qadiriyyah. Tentu, sebagai pengamal atau penganut Tarekatnya, ia menyebut-nyebut nama Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam tawassulnya. Demikian panjang ia membaca silsilah Ulama-ulama Qadiriyyah.
Pada saat itulah salah seorang murid Tarekat Idrisiyyah melihat sosok Syekh Abdul Qadir al-Jaelani berada persis di sebelah Murabbi Ruhina Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. Ia memperkenalkan dirinya, ‘Aku Syekh Abdul Qadir al-Jaelani!’ Kalau saja ia tidak memperkenalkan dirinya, tentu si murid tidak mengetahui bahwa ia adalah Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Iapun ragu untuk berbicara sebab ia merasa bahwa beliau (Syekh Abdul Qadir al-Jaelani) itu hanya bisa berbahasa Arab yang ia tidak mengerti.
“Tolong sampaikan pesanku kepada Syekh al-Akbar…!’ Ujar beliau. Kontan saja si murid berkata, ‘Mengapa tidak Syekh saja yang menyampaikan langsung kepadanya? Bukankah Anda berada di sebelahnya?’ Pendiri Tarekat Qadiriyyah itu berkata, ‘Aku tidak mampu, aku tidak bisa! Meskipun aku terlihat dekat (yakni duduk bersebelahan) dengan beliau (Syekh al-Akbar), tapi antara aku dan Beliau ada dinding pembatas. Aku dengan Beliau berbeda alam dan maqam. Maqam beliau saat ini denganku seperti tanah dan langit, aku tidak mampu menjangkaunya. Aku sudah berbeda masa dengan beliau, dan hanya melalui engkaulah (muridnya) aku berwasilah untuk menyampaikan pesanku ini!’
‘Oh, begitu, kalau begitu apa yang hendak Tuan Syekh sampaikan?’ Tanya si murid sambil manggut-manggut. Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dengan ekspresi merendah dan menunduk berkata, ‘Aku malu disebut-sebut namanya di hadapan Sulthan Awliya di masa ini, aku malu kepada Syekh al-Akbar namaku masih diagung-agungkan oleh pengikut-pengikutku. Namaku sudah tidak pantas untuk disebut, bahkan sepatutnya Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan-lah yang pantas untuk disebut-sebut umat pada masa ini. Aku memohon ampun dan ridha dari beliau!’
Pada saat Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan berada di atas mimbar, ucapan awal sebelum beliau memberikan Taushiyah adalah, ‘……..Wabihaqqi Sulthan Awliya (Dengan Haq [kebenaran] Pemimpin para Awliya) Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, Wabihaqqi Sulthan Awliya fii haadzaz zamaan (Dan dengan Haq [kebenaran] Pemimpin para Awliya pada zaman ini), Syekh al-Akbar Syekh Muhammad Daud Dahlan, Assalaamu’alaikum Warohmatullaahi wabarokaatuh!’
Setelah mendengar kalimat itu terdengar ucapan dari Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, ‘Alhamdulillah beliau sudah mengampuniku, atas berbagai hal yang tak patut disandarkan kepadaku oleh orang-orang yang mengagung-agungkan namaku pada masa ini’.
Si murid baru menyadari percakapan kalbu yang berlangsung seketika, tanpa penerjemahan bahasa atau penafsiran apapun. Dan hal itu diceritakan kepada Gurunya sebagai amanat atau pesan dari Pioner Tarekat Qadiriyyah tersebut.

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (Muqadimah)

KARAMAH
&
TANDA-TANDA KEKHALIFAHAN

SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.


Dikeluarkan untuk kalangan sendiri & yang mau mengimaninya

Bismillaahir rohmaanir rohiim, wash-Sholaatu wassalaamu ‘alaa Rosuulillaah wa’alaa aalihii waman tabi’ahu wawaalaah. Walaa hawla walaa quwwata illaa billaah, fii kulli lamhatiw wanafasin ‘adada fii ‘ilmillaah.
Ammaa Ba’du:
Inilah dari sekian berita yang ingin saya sampaikan kepada rekan-rekan Sufi dan umat Islam di manapun berada mengenai keberadaan Sulthan Awliya fii Akhiriz Zaman, Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra.

(Berlanjut)

Rasulullah Saw sebagai pedoman Salikin

Rasulullah Saw sebagai pedoman Salikin, orang-orang yang meniti jalan menuju kepada Allah Ta’ala.

Meniti Sejarah Awal

Junjungan alam Muhammad SAW adalah berbangsa Arab dari suku Quraisy. Silsilah beliau sampai kepada Nabiyallah Ibrahim As, yakni Muhammad bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihrin bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan bin Isma’il bin Ibrahim As. Dari ibunda beliau: Aminah binti Athab bin Abdi Manaf. Diriwayatkan warna kulit beliau putih kemerahan-merahan. Beliau penutup para Nabi dan Rasul. Maka siapa yang mengakui adanya Nabi sesudahnya ia menjadi kafir. Beliau dilahirkan di Makkah di daerah yang dinamakan Sugul Lail sebelum fajar hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal. Pada malam itu adalah lebih utama daripada malam Lailatul Qadar, do’a dikabulkan pada saat dilahirkannya Rasulullah pada malam itu.

Dalam kitab as Sab’iyyatu fil Mawa’izhil Bariyyat (السبعيات في مواعظ البريات) karangan Syaikh Abu Nashr Muhammad al Hamdany Rahimahullahu’anhu, dikisahkan bahwa pada malam dilahirkannya Baginda Rasulullah SAW terdapat 7 keajaiban (mukjizat):
  1. Ibunda Rasulullah tiada merasakan kepayahan daripada kandungannya tidak sebagaimana halnya wanita-wanita pada umumnya.
  2. Dan tiada pula merasakan sakit ketika melahirkan beliau.
  3. Setelah Rasulullah dipisah dari ibu beliau setelah lahirnya, maka beliau bersujud seraya berucap: Ummati, Ummati.
  4. Rasulullah lahir dalam keadaan sudah dikhitan.
  5. Syetan-syetan dilarang naik ke langit, ketika beliau dilahirkan. Padahal sebelumnya syetan-syetan itu dapat naik turun sekehendaknya untuk menguping percakapan para malaikat. Ketika mereka dilarang naik ke langit itu, maka mereka berkumpul kepada iblis ‘alaihi la’natullah, lalu mereka berkata: “Dulu kami bisa naik ke langit, tetapi hari kami dilarang naik.” Iblis berkata: Menyebarlah kalian di muka bumi dari Barat sampai ke Timur. Perhatikan dengan seksama apa sebenarnya yang telah terjadi! Mereka lalu menyebar. Akhirnya setelah mengelilingi Timur dan Barat sampailah mereka ke kota Makkah. Di sana tampak oleh mereka Nabi kita sedang dikelilingi para malaikat dan memancarkan cahaya dari dirinya hingga mencuat ke langit. Sedang malaikat-malaikat itu saling memberi ucapan selamat satu dengan lainnya. Kemudian kembalilah syetan-syetan itu menghadap kepada iblis sambil menceritakan semua yang telah mereka saksikan itu. Maka iblis pun berteriak dengan suara yang sangat keras, seraya berkata: “Anak celakalah kita! Telah muncul ayatul alam dan rahmat bagi bani Adam, karena itulah kalian telah dicegah untuk ke langit tempat pandangannya dan pandangan. Allah berfirman: “Dan Kami telah hiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.” Ka’bul Akhbar Ra berkata: “Saya telah melihat dalam Taurat bahwa Allah Ta’ala telah mengkhabarkan kepada Musa As tentang saat keluarnya Rasulullah Muhammad SAW, ia berkata: “Sesungguhnya bintang pada tempatnya itu dan apabila ia bergerak dari tempatnya itulah yang menandakan Rasulullah keluar.” Ketika Rasulullah SAW, bintang itu pun bergerak dan pindah dari tempat asalnya. Maka orang-orang Yahudi itu semuanya mengetahui bahwa Rasul yang diberitakan Allah itu telah keluar ke dunia, namun mereka rahasiakan disebabkan kedengkian mereka juga. Dan Allah telah mengkhabarkan kepada kaum Isa As di dalam kitab Injil, bahwasannya apabila pohon kurma kering mengeluarkan daun-daunnya, maka itu menandakan keluarnya Rasulullah ke dunia. Ketika Rasulullah SAW lahir, pohon kurma yang kering dan layu menjadi segar, berdaun, dan berbuah. Melihat hal itu, orang-orang Nasrani itupun mengetahuilah bahwasannya Rasulullah yang telah dijanjikan Allah di dalam Kitab Injil itu telah lahir ke dunia. Tetapi hal itu mereka rahasiakan, disebabkan kedengkian mereka jua. Di dalam Zabur pun Allah mengkhabarkan bahwa, apabila mata air yang telah mereka kenal itu mengeluarkan air maka tandanya Rasul yang dijanjikan kepada mereka itu telah muncul ke bumi. Tepat ketika Rasulullah dilahirkan, mata air itu mengeluarkan air yang berlimpah. Mereka pun mengetahui akan hal itu, namun karena kedengkian mereka, berita itu mereka rahasiakan pula.
  6. Halimatus Sa’diyah, ibu susu Rasulullah SAW, sebelum ia menyusukan Rasulullah, salah satu susunya tidak mengeluarkan susu. Akan tetapi ketika ia meletakkan susunya itu ke mulut Rasulullah seketika itu juga keluarlah air susunya dengan deras.
  7. Ketika Rasulullah dilahirkan, terdengarlah suara tanpa rupa dari sudut-sudut Ka’bah:
Dari sudut pertama:
وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
“Telah datang kebenaran (al Islam) dan hancurlah kebatilan (kekufuran). Sesungguhnya kebatilan itu tiada kembali lagi.”
Dari sudut kedua:
لَقَدْ جَآءََكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَـيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَـيْكُمْ بِالْـمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لآ إِلهَ إِلَّا هُوَ عَلَيـْهِ تَوََكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِـيْمِ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang mukmin”.
قَدْأنَزَلْنَاكُمْ نُوْرًا مِّنَ اللهِ وَِكِـتَابٌ مُّبِيْنٌ
Dari sudut ketiga: “Telah datang kepadamu cahaya (Nabi) dari Allah dan Kitab (al Quran) yang menerangkan.”
Dari sudut keempat:
يَآ أيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنََاكَ بِالْـحَقِّ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّدَاعِيًا إِلىَ اللهِ بِإِذْنِه وَسِرَاجًا مُّنِيْرًا
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa khabar gembira serta pembawa peringatan, untuk menyeru kepada Agama Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.”

Dan diriwayatkan bahwasanya Abdul Muthalib berkata: Tatkala aku sedang berada di Ka’bah yang banyak berhalanya, tiba-tiba berhala itu berjatuhan dari tempatnya dan sujud Lillahi Ta’ala dan aku dengar suara dari dinding Ka’bah mengatakan: “Telah lahir Nabi pilihan yang akan membinasakan orang-orang kafir dan akan mensucikan aku dari berhala-berhala ini dan akan memerintahkan kepada penyembahan Raja Yang Mengetahui. Wallahu a’lam

Rasulullah diangkat menjadi Rasul dalam usia 40 tahun, sebagai pedoman utama kesempurnaan bagi umat beliau. Beliau berdakwah di Makkah selama 13 tahun dan di Madinah 10 tahun. Wafat di Madinah, di kamar ‘Aisyah dalam usia 63 tahun.

Putri-putri Nabi SAW ada 4 orang: 1. Zainab 2. Ruqayyah 3. Ummu Kalsum 4. Fatimah. Dan putera beliau ada 3 orang:1. Qasim 2. Abdallah 3. Ibrahim, yang kesemuanya dari Ummi Khadijah, kecuali Ibrahim dari Ummu Maria Qibthiyyah. Paman dari pihak ibu 3 orang dan bibi dari pihak ibu 2 orang. Tiga orang paman dari pihak ibu adalah: 1. Aswad 2. Umar 3. Abdu Yaqus. Dan 2 orang bibi dari pihak ibu adalah 1. Furaisah 2. Fahtah dan semuanya meninggal sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul.

Isteri-isteri Nabi yang dikenal sebagai Ummul Mukminin adalah 1. Khadijah binti Khuwailid 2. ‘Aisyah binti Abu Bakar 3. Hafsah binti ‘Umar 4. Ummu Salmah 5. Ummu Habibah binti Abu Sofyan 6. Saudah binti Zan’ah 7. Zainab binti Jakhas 8. Zainab binti Huzaimah 9. Maimunah binti Haris 10. Juwariyyah binti Haris 11. Shafiyyah binti Hay.

Paman dari pihak ayah ada 12 orang: 1. Haris 2. Abu Thalib 3. Zubair 4. Hamzah 5. Abu Lahab 6. Murqawam 8. Atiran 9. Abbas 10. Kisam 11. Abdul Ka’bah 12. Hajlun. Bibi dari pihak ayah ada 6 orang: 1. Atikah 2. Umayah 3. Bardha 4. Burrah 5. Shafiyah 6. Arwa.

Para Khalifah Rasulullah yang Rasyidin ada 4, yakni: 1. Sayyidina Abu Bakar yang memerintah selama 2 tahun, 3 bulan, 10 hari 2. Sayyidina Umar bin Khatthab selama 10 tahun 6 bulan 8 hari 3. Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan selama 11 tahun, 11 bulan, 9 hari dan 4. Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib selama 4 tahun, 6 bulan, 7 hari. Kesemuanya adalah diberitakan akan masuk syurga, termasuk: Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, Said bin Zaid, Abu Ubadah Amir bin Jarah, maka jumlahnya 10 orang.

Yang ikut perang Badar sejumlah 37 orang. Yang ikut dalam perang Uhud 1000 orang, yang ikut dalam Baitur Ridhwan 1400 orang (1500 orang dalam suatu riwayat). Perjanjian Baitur Ridhwan seperti yang diterangkan dalam firmanNya: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia (berbai’at) di bawah pohon.” Bai’at inilah yang kemudian mengilhami daripada ijazah, talqin, dan lainnya, yang dipergunakan oleh para Syaikh Thariqah kepada murid sebagai ikatan ruhaniah, janji setia melaksanakan perintah Allah dan Rasul serta wasilah-wasilahnya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Ketahuilah olehmu Rasul dan para Nabi diutus kepada umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan. Dan pengakuannya sebagai rasul (utusan) dibuktikan dengan adanya berbagai mukjizat sebagaimana Sulthan Awliya pada zamannya dan wali-wali lainnya dibuktikan dengan adanya karamah baik semasa hidup atau setelah wafatnya. Maka daripada mukjizat Rasulullah itu adalah banyak, diantaranya:
  1. Kisah masuk Islamnya para sahabat, diantaranya Sayyidina Abu Bakar Ra. Dan kisah masuk Islamnya Abbas Ra. Rasulullah bersabda kepadanya ketika ditawan para sahabatnya: “Tebuslah dirimu, karena engkau adalah orang yang memiliki harta.” ‘Abbas tidak mengaku punya harta. Dan bersabdalah Rasulullah SAW: “Kemanakah harta yang engkau simpan di rumah Ummu Fadhal? Bukankah tidak ada orang lain yang memilikinya selain engkau berdua. Dan engkau telah berjanji kalau dalam perniagaan mendapat laba, untuk Fadhal sekian dan untuk Abdullah sekian daripada harta itu.” Sesudah mendengar itu Abbas berkata: “Demi yang mengutusmu dengan kebenara, tidak ada yang tahu akan masalah itu kecuali aku. Sesungguhnya engkau ini benar-benar Rasul utusan Allah. Kemudian Abbas menyatakan keIslamannya.
  2. Bulan menjadi dua keping di atas kota Makkah, satu keping di atas Jabal Abu Qubais dan satu keping lagi di sebelah gunung dan seluruh penduduk bumi melihatnya. Mengenai masalah ini Allah menceritakan dalam firmanNya: “Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan.”
  3. Terpancarnya air dari ujung jari tangan Beliau yang mulia, seperti dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Zabir yang menceritakan bahwa ketika itu banyak orang yang merasa dahaga pada hari Hubaidiyah yang dihadapan Rasulullah ada sebuah timba air yang terbuat dari kulit yang disediakan untuk berwudhu. Seorang laki-laki datang menghampirinya sambil berteriak dan menangis seperti anak kecil. Rasulullah bertanya kenapa orang itu menangis dan berteriak. Para sahabat menjawab tidak ada lagi air untuk berwudhu dan untuk diminum melainkan yang ada pada ujung tanganmu. Rasulullah memasukkan tangannya kedalam timba, keluarlah air dari ujung jari Rasulullah dan kamipun meminumnya dan berwudhu. Orang bertanya berapa jumlah yang kamu ketika itu? Jawabnya kalau jumlah kami 100.000 pada waktu itu niscaya air itu cukup tetapi jumlah kami pada waktu itu hanya 1000 orang.
  4. Pohon kayu berbicara dan memenuhi ajakan Rasulullah seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah dalam perjalanan bertemu dengan seorang Badui dan Rasulullah mengajaknya masuk Islam. Badui itu berkata: siapa yang akan menjadi saksi terhadap kebenaran yang engkau katakan? Rasulullah menjawab: “Pohon ini yang akan menjadi saksi. Rasulullah memanggil pohon itu dan pohon itu tercabut dan berada dihadapan Rasulullah dan berucap: kemudian kembali ke tempat semula.
  5. Punggung korma yang kebiasaanya tempat bersandar dalam khutbah, rindu kepada Nabi SAW, karena Nabi berkhutbah di atas mimbar yang sudah disediakan. Orang banyak mendengar suara tangis punggung kurma itu dan punggung kurma itu terus menangis sehingga Rasulullah turun dari atas mimbar membujuknya seperti seorang ibu membujuk anaknya sampai punggung kurma itu berdiam. Demikianlah dikisahkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sekian sahabat.
  6. Batu kecil (kerikil) mengucap tasbih dan benda-benda keras berbicara. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, katanya: “Kami bersama Rasulullah berjalan di luar kota Makkah, ketika kami bertemu pohon kayu dan bukit, selalu berkata:
  7. Seekor unta mengadu kepada Nabi SAW karena tuannya memakai tenaganya terus menerus dan unta itu sudah tua, lalu tuannya ingin menyembelihnya. Maka unta itu mengadukan halnya kepada Nabi SAW agar tidak disembelih.
  8. Kambing bakar yang dihidangkan oleh orang Yahudi di Khaibar berbicara bahwa dagingnya beracun agar tidak dimakan Nabi dan Nabi SAW mendengar dan tidak memakannya.
  9. Nabi SAW bertemu dengan anak yang baru berusia beberapa hari ketika melaksanakan Hujjatul Wada’ berkata Beliau SAW: “Aku ini siapa ?” Bayi tersebut menjawab: Rasulullah. Kemudian Nabi bersabda: “Engkau benar, semoga Allah memberi nama anak itu dengan Mubarak al Yamamah.
  10. Sebagian mukjizat Nabi SAW yaitu menyapu dengan tangan beliau betis daripada Abu Rafi’i yang patah sehingga pulih kembali seperti tidak pernah patah. Sebagaimana lagi mendoakan Anas Ra panjang umur, banyak harta dan banyak anak dan doa Rasulullah itu memang dikabulkan Allah dan kehidupan Anas seperti yang didoakan tadi. Dan sebagian lagi Rasulullah mengambil segenggam pasir yang kemudian melemparkannya ke arah musuh sehingga pasir itu masuk ke dalam mata musuh dalam pertemuan Hunain. Sebagaimana lagi laba-laba membuat sarang di pintu gua Tsur di Jabal Nur ketika Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar bersembunyi di dalamnya.

Dan masih banyak lagi mukjizat Nabi SAW yang tidak dapat dibilang banyaknya, seperti yang diriwayatkan oleh al Baihaqi, Abu Nu’aim, dan Thabrani juga Ahmad. Dan sebagai mukjizat yang terbesar adalah al Quran yang abadi hingga akhir zaman, baik manusia maupun jin tiada dapat menandinginya, keindahan sastranya, sekalipun hanya satu surah al Kautsar dan surah al Ikhlash, Allah berfirman:

وَإنْ كُـنْتمْ فِيْ رَيْبٍ مِّـمَّا نَزَّلْنَا عَلى عَبْدِنَا فَأتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثلِه وَادْعُوْا شُهَدَآءََكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُــنْتمْ صَادِقِيْنَ.

“Dan jika kamu ragu tentang al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW), buatlah satu surah saja yang semisal al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pastilah tidak akan mampu membuatnya, maka takutlah engkau akan api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang ingkar (kafir).” (Al Baqarah: 23-24)

Menurut sebagian ulama: Semua kitab yang diturunkan Allah maknanya terhimpun di dalam al Quran dan makna al Quran terhimpun dalam surah al Fatihah dan makna Fatihah terhimpun dalam kalimah Bismillahirrahmanirrahim dan makna Bismillahir rahmanirrahim terhimpun dalam huruf Ba. Seperti dikatakan: بِيْ كَانَ مَا كَانَ وَبِيْ يَكُوْنُ مَا َيكُوْنُ “Denganku ada barang yang telah ada dan denganku ada barang yang akan ada.” Dan lagi dikatakan bahwa daripada Ba itu terhimpun di dalam titiknya. Itulah tintanya daripada lautan ilmu Allah Yang Esa".

Dan ketahuilah olehmu bahwasanya perbuatan yang menyalahi kebiasaan ( خوارق للعادة ) ada 8 macam:

  1. Mukjizat, ialah perbuatan yang menyalahi kebiasaan yang terbit daripada hamba yang diangkat menjadi Rasul.
  2. Irhas, ialah perbuatan yang menyalahi kebiasaan sebelum diangkat menjadi Rasul.
  3. Keramat, ialah bagi para wali Allah.
  4. Ma’unah, ialah bagi mukmin biasa tapi shalih, misalnya dilepaskan dari kesengsaraan. Maknanya adalah pertolongan bagi seorang hamba tertentu agar taat dan kuat ibadah kepada Allah.
  5. Sihir, yang lahir bagi orang-orang yang mempelajarinya.
  6. Istidraj, ialah perbuatan yang menyalahi kebiasaan daripada orang kafir atau muslim yang fasik dikarenakan tipu dayaNya, sehingga dianggap perbuatan baik baginya, padahal perbuatan itu membawanya ke neraka.
  7. Sauzah, yaitu perbuatan daripada seseorang yang bermain-main dengan membalik mata, yang merupakan sebagian dari ilmu sihir.
  8. Ihanah, yaitu lahir dari orang yang dusta, seperti Musailamatul Kadzdzab. Dikisahkan suatu hari ia mendengar bahwa Rasulullah mengembalikan mata Qatadah yang hampir-hampir copot karena anak panah. Rasulullah mengembalikannya ke tempat semula dan disapunya dengan tangan dan akhirnya kembali seperti biasa. Musailamah juga mengembalikan mata salah seorang temannya yang buta sebelah matanya, sesudah disapunya dengan tangan ternyata matanya sebelah buta juga karena menghinakannya. Dan 4 macam yang terakhir ini termasuk yang tercela.

Al-Asrar fil Awliya

Inilah bab yang pertama yang membahas tentang awal seorang hamba dalam menapaki jalan kewalian.

Pendahuluan
Seorang wali apabila ia berjalan atas keridhaannya kepada Allah Ta’ala maka ia harus menancapkan rasa keikhlasan yang tak terhingga atas dirinya yang dhaif, serta tak luput pula bahwa ia atasnya keharusan kaffah, yakni sempurna akan kesyari’atannya. Dan di antaranya pintu yang mesti dicapai adalah berjalan atas thariqah menuju Mardhatillah kepadaNya. Ia selalu bermusafir atas dirinya yang dhaif lagi fakir. Juga selalu bertaqarrub disertai banyak tafakkur, selalu merenungi dosa-dosa atas kedhaifan hamba tersebut, dosa-dosa yang lahir, batin, serta hati. Berpegang pada zuhud atas dirinya dan hubbul akhirah, yakni lebih cinta akan akhirat.
Apabila seorang hamba menapaki syari’at menuju thariqah, sebagai jalan menuju kepada Allah, maka dianjurkan baginya mencari Guru Mursyid atas maqam-maqamnya itu, yang akan mendapatkan kesulitan serta ketidakberdayaan atas diri seorang calon wali itu. Dan apabila hamba itu mendapati Mursyid-nya, maka terjadilah suatu cobaan serta duri-duri untuk mencapai kemakrifatan. Kemudian ia selalu menjadikannya sebagai Wasilah atas calon wali tersebut, yang dikatakan sebagai seorang Shufi.