Kamis, 22 Mei 2008

Radiasi PLTN vs Radiasi PLTU --> berkaca dari kasus Rokok

Memang di alam semesta ini terdapat sumber2 radioaktivitas natural yang senantiasa memapar tubuh kita sepanjang masa. Di angkasa ada sinar kosmis yang membanjiri kita dengan proton dan neutron energetik yg tetap kedeteksi hingga kedalaman 100 m dari permukaan laut, di Bumi ada radioisotop U-235, U-238, Th-232 dan K-40 yang menjadi penggerak lempeng2 tektonik. Juga radioisotop Radon-222 di permukaan Bumi dan memiliki konsentrasi terbesar hingga ketinggian 1 m dari permukaan tanah. Peradaban manusia menambahkan sumber radiasi natural itu dengan sinar X untuk kesehatan (termasuk dari CT scan), sisa fall-out produk eksperimen detonasi senjata nuklir atmosferik tahun 1945 - 1963 serta radiasi sinar X bremsstrahlung dari tabung sinar katoda (banyak dipake di televisi dan komputer).
Seluruh sumber itu menghasilkan dosis radiasi rata-rata yang diterima manusia sebesar 0,3 person-rem/tahun untuk yang tinggal di AS. Inilah yang dikenal sebagai background radiation.
Nah, PLTN berdaya 1.000 MWe menghasilkan dosis radiasi rata-rata 4,8 person-rem/tahun sementara PLTU berdaya sama menghasilkan dosis rata-rata 490 person-rem/tahun, juga untuk kasus AS. Kedua angka ini secara statistik tentu berbeda dengan level 0,3 person-rem/tahun dari background radiation sehingga sudah bisa diklasifikasikan ke dalam kontaminasi nuklir meski dalam taraf rendah.
Apakah kontaminasi nuklir dalam taraf rendah ini bisa berbahaya?
Tergantung pada sumber radiasinya. Sumber radiasi alfa (yakni yang memancarkan partikel alfa) berpeluang lebih bermasalah jika tertelan ke dalam tubuh dibandingkan sumber radiasi beta maupun gamma. Musababnya meski jarak tempuh sinar alfa di udara (dalam suhu kamar) sangat pendek, demikian pula jika di dalam tubuh, namun daya ionisasinya sangat besar sehingga sepanjang lintasannya bisa terbentuk puluhan ribu pasangan ion positif dan elektron bebas secara serentak, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya radikal bebas.
Peluang ini akan berubah menjadi realita bila kita "memasukkan" sumber radiasi alfa ini secara kontinu ke dalam tubuh sehingga terdapat akumulasi yang suatu saat kemudian melampaui kemampuan tubuh mengekskresikan partikulat ini keluar.
Kondisi seperti ini nampak dengan telanjang pada kasus perokok. Rokok diketahui mengandung radiosiotop Polonium-210 (pemancar sinar alfa berenergi 5 MeV dan umur paruh 139 hari) meski aktivitasnya cukup rendah (3 - 5 mili Becquerel/batang) . Ini sangat kecil dibandingkan dengan ambang batas dosis mematikan Polonium-210 untuk manusia berbobot 80 kg yang sebesar 148 juta Becquerel (4 mili Curie). Namun aktivitas merokok membuat Polonium-210 terhirup dan terdepositkan ke dalam paru2 tanpa bisa diekskresikan secara langsung oleh tubuh mengingat sifatnya sebagai logam berat dan memiliki sifat kimiawi mirip Oksigen sehingga tidak bisa diikat oleh CO2 maupun ion HCO3- (kecuali ada perlakuan khusus dengan meminum pil EDTA misalnya, itupun diragukan apa bisa melakukan Polonium removal di paru2). Jika perokok yang bersangkutan mengkonsumsi rata-rata 2 bungkus rokok/hari selama lima tahun tanpa terputus, akumulasi Polonium-210 nya sudah cukup mampu menghasilkan perubahan abnormal pada alvoeli. Dan jika konsumsi terus berlanjut tanpa terputus, maka dalam masa 10 - 15 tahun sejak awal menjadi perokok, perokok yang bersangkutan sudah sangat berpotensi menderita kanker paru-paru, seperti nampak pada penelitian di Brazil (berdasarkan tembakau setempat). Jika konsumsi dikurangi menjadi 1 bungkus rokok/hari tanpa terputus, maka baru dalam 25 - 30 tahun kemudian potensi menderita kanker paru-paru mulai muncul.
Kondisi sejenis juga dapat dijumpai pada kasus paparan gas Radon-222, pemancar sinar alfa berenergi 5 MeV dan jauh lebih aktif daripada Polonium-210 karena umur paruhnya hanya 3,5 hari. Gas ini banyak terjebak di deposit batubara dan fosfat (sebagai hasil peluruhan U-238), di zona2 retakan/patahan di permukaan Bumi dan pada daerah2 tertentu yang batuan penyusunnya memiliki konsentrasi Uranium lebih besar dari rata2. Radon ini densitasnya besar sehingga hanya mampu melayang maksimum 1 m dari permukaan tanah. Di AS terdapat korelasi signifikan antara banyaknya kasus kanker paru-paru di Pennsylvania dengan tingginya konsentrasi Radon-222 disini. Melelehnya sebagian reaktor Three Mile Islands-2 di Pennsylvania pada 28 Maret 1979 ternyata justru tidak berdampak signifikan pada kanker paru-paru.
Nah, bagaimana dengan radioisotop dari PLTU ?
Dari data yang sedikit dibocorkan pak Muhammad Subekti, dalam tiap kg abu hasil pembakaran batubara di PLTU terdapat U-235 170 Becquerel, Th-232 87 Becquerel dan Ra-226 105 Becquerel. Semuanya adalah pemancar sinar alfa, dengan aktivitas terkuat pada Radium-226, meskipun tidak sekuat Polonium-210. Dan ketiga radioisotop tersebut juga tergolong logam berat, yang jika terhirup ke dalam paru-paru sulit diekskresikan dibandingkan dengan tertelan ke saluran pencernaan.
Nah, adakah ketiga radioisotop dalam abu terbang batubara ini berpengaruh kepada penurunan kualitas kesehatan masyarakat di sekitar PLTU di Indonesia dalam jangka panjang, terutama dalam peningkatan prevalensi kanker paru-paru? Ini yang belum ada jawabannya. Terlebih kita tahu betapa buruknya sistem data di sini sehingga sangat sulit mencari data penyakit secara spasial dan temporal. Padahal, dari ketiga radioisotop tadi total aktivitasnya mencapai 362 Becquerel, alias setara dengan 0,0098 mili Curie/ton. Dan jika dianggap tidak ada massa radioisotop yang hilang dalam pembakaran, tak ada proses pemekatan dan kita bandingkan aktivitas radiasi batubara Indonesia dengan standar EPA (0,0043 mili Curie/ton batubara), maka batubara kita 2 kali lipat lebih radioaktif.
So, persoalan radiasi dari PLTU bukanlah ilusi, tapi realitas. Dan bagaimana dampaknya itulah yang perlu diteliti lebih lanjut dan diantisipasi oleh yang berwenang, terutama Depkes dan institusi2 litbang kesehatan lainnya. KMNLH dan Ristek juga perlu turun tangan di sini untuk mengatur regulasi, kewajiban penggunaan filter dan zona2 eksklusi sebagaimana yang telah diterapkan dalam PLTN. Jika zona2 eksklusi ini diadakan, so dengan teknologi nuclear waste removal seperti misalnya fitoremediasi yang murah meriah dan efisien itu, maka radioisotop yang masih bisa lolos dari filter bisa 'ditangkap' oleh tanaman2 tertentu di zona eksklusi untuk disimpan didalamnya dan kelak tanaman ini akan diolah sebagai limbah (nuklir) padat. Ini perlu diperhatikan terlebih jika kebijakan percepatan pembangkit 10.000 MWe yang berbasis batubara jadi direalisasikan.

Radioaktivitas Rokok
Kalau merujuk US Department of Health, Division of Radiation Protection 2002, sinar kosmis menghasilkan dosis 26 mrem/tahun. Radioisotop di permukaan Bumi menyumbang 29 mrem/tahun. Gas Radon di atmosfer memberikan kontribusi terbesar, yakni 200 mrem/tahun. Tubuh manusia sendiri memancarkan radiasi (dari Karbon-14 dan Kalium-40) sebesar 40 mrem/tahun. Sinar X kesehatan memberikan 39 mrem/tahun. Aktivitas kedokteran nuklir memberikan 14 mrem/tahun. Instrumen elektronik (TV, komputer) memberikan 11 mrem/tahun. Dan sisa ledakan nuklir (fall out), reaktor nuklir, pesawat terbang dll memberikan 2 mrem/tahun. Sehingga total dosis yang diterima tiap manusia di AS secara rata-rata adalah 361 person mrem/tahun atau 0,3 person rem/tahun (1 rem = 1.000 mrem). Dengan catatan ia tidak merokok.
Dalam PLTN berdaya 1.000 MWe dosis radiasi yang muncul mencapai 4,8 person rem/tahun. Namun pemerintah AS membatasi agar pekerja PLTN dan sektor nuklir lainnya hanya menerima dosis maksimum sebesar 100 person mrem/tahun saja. Sementara dalam PLTU berdaya 1.000 MWe yang menghasilkan radiasi 100 kali lebih besar (yakni 490 person rem/tahun), belum ada kebijakan yang sama.
Dalam kasus rokok, radioisotop Polonium-210 dalam rokok menambahkan dosis ekivalen sebesar 29,1 person rem/tahun untuk manusia perokok. Dalam jaringan epitel paru-parunya didapatkan dosis sebesar 6,6 - 40 person rem/tahun sementara pada bronchiolus-nya sebesar 1,5 person rem/tahun.
So, dengan patokan 100 person mrem/tahun bagi pekerja sektor nuklir, kita mendapatkan pekerja PLTU dan para perokok menerima paparan radiasi berkali-kali lipat lebih besar. So, bisa diduga bahwa lebih banyak orang yang mati akibat radiasi rokok atau PLTU (karena mereka benar2 tidak terlindungi) dibanding pekerja sektor nuklir. Dan kalo kita mau ekstrim lagi, orang2 di kawasan sekitar Semenanjung Muria itu (Kudus - Pati - Jepara), yang banyak pabrik rokok dan konsumennya itu, sebenarnya sudah mengonsumsi radiasi jauh-jauh hari bahkan sebelum PLTN dibangun.
Dan sejauh ini, tak ada tindakan apapun dari rezim apapun yang pernah berkuasa di Indonesia. Mungkin saja Bu Menkes dan pak direktur PLN lebih memilih sikap seperti pejabat Pacific Gas & Electric dalam kasus cemaran ion Cr6+ di Kota Hinkley, yang memunculkan nama Erin Brokovich, dengan mengguman : "asap itu memang beracun, namun tak perlu dibicarakan dengan tetangga..."
salam, Ma'rufin Sudibyo

Selasa, 13 Mei 2008

Cinta melupakan lainnya

Rasulullah Saw bersabda:
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ
Cintamu pada sesuatu akan membuatmu buta dan tuli”. (HR. Abu Daud dari Abu Darda & Ahmad)
Inilah yang membuktikan sifat ke-ummy-an seorang murid, bahkan pada diri seorang Syekh yang Kamil. Kita dapat memahami apabila seorang Syekh yang dipilih Allah itu bukan berdasarkan apa yang ia ketahui. Dan tiada yang mengetahuinya mengapa. Hanya yang dapat kita simak berdasarkan hadits ini, Syekh yang Ummi ditutup dari hal-hal ‘yang lainnya’ karena cintanya kepada Allah.
Rasulullah Saw dengan sifat ke-ummi-an Beliau mengungkapkan, ‘Kalian lebih mengetahui apa-apa yang menjadi perkara duniamu’. Antum A'lamu bi-umuuri dun-yaakum.
Kita mungkin bisa memandang seorang murid itu kelihatan bodoh (menurut jangkauan pengetahuan kita) tapi kita tidak mampu mengukur kedalaman cintanya kepada Syekh-nya, kerinduan hatinya kepada Allah. Bahkan seorang Nabi pun tiada mampu mengukurnya. Sesungguhnya kebodohan di sisi Allah adalah kebodohannya dari sisi Tauhid (tidak mengenal Allah), bukan kebodohan pengetahuan lahir.
Kita tidak bisa meremehkan seseorang berdasarkan keilmuannya, karena kita tidak mampu mengukur kecintaannya kepada Allah. Itulah rahasia Allah yang tidak bisa kita ungkap.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Rhm. menuturkan, ‘Suatu ketika Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah SWT mengembalikan penglihatannya. Dia menangis lagi sampai matanya buta kembali, dan Allah SWT mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian dia menangis sampai buta, lantas Allah SWT mewahyukan, ‘Jika engkau menangis karena syurga, maka Aku pun memperkenankannya. Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadikanmu selamat darinya’. Syu’aib menjawab, ‘Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada-Mu!’ Lalu Allah berfirman padanya, ‘Karena itu Aku menunjuk Nabi-Ku dan Kalim-Ku (Musa) untuk melayanimu selama 10 tahun’.
Inilah kerinduan. Inilah Mahabbah yang tidak bisa dijangkau kedalamannya oleh akal. Yang hanya dapat dibeberkan dengan logika ruhani. Semua indera menjadi buta, hanya rasa cinta yang menuntun.
Saat perintah [dalam Tarekat Idrisiyyah] untuk melaksanakan kegiatan di tengah laut pertama kali (P. Untung Jawa), betapa berat menyesuaikan diri dengan instruksi tersebut bagi murid-murid yang baru bergabung dengan Syekhnya. Mereka mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk diri dan keluarganya agar ikut serta beribadah bersama Syekh-nya tersebut. Tapi cinta menghilangkan penat yang mereka rasakan. ... Akhirnya Safari Dakwah dan Dzikir tersebut menandai hikmah Tragedi Tsunami tidak melanda P. Jawa, tetapi terjadi di Aceh beberapa tahun silam. Inilah bukti lahir yang nyata. Sedangkan bukti ruhani amat subyektif jika diungkapkan.
Begitu pula kita tidak akan mengerti apabila musibah yang akan mengancam P. Jawa ini dapat dicegah dengan kehadiran seorang Awliya yang dipilih-Nya, yang menetap di tempat tersebut. Lalu apakah kita sembrono untuk segera menyimpulkan bahwa upaya penyelamatan nyawa ribuan bahkan jutaan manusia itu, kita katakan sebagai buang-buang uang dan waktu serta tidak menghasilkan apapun. Pada saat manusia-manusia tidak menggubris tindakan Syekh Mursyid ini, penghuni alam ghaib bereaksi menunjukkan simpati. Ternyata mereka lebih teliti terhadap langkah yang dilakukan seorang Pewaris Nabi.
Saat ini kita diperintahkan untuk terlibat dalam Gerakan Moral Massa berupa Karnaval Rahmatan lil Alamin. Seluruh Ruhani para Nabi dan Rasul ingin mendukung perjuangannya. Kegiatannya ditunggu oleh penghuni langit (kalau pun penduduk bumi tidak menghiraukannya). Jika petinggi-petinggi ruhani turun ke bumi, maka ruhani-ruhani kelas bawah pun berpesta menyambutnya. Tidak ada yang sia-sia dari langkah ini, karena semuanya merupakan tuntutan amanah yang Allah berikan kepada Pewarisnya.
Para malaikat akan menaungi dengan sayap-sayapnya rombongan Birokrasi Ilahiyyah ini. Jika kita diinformasikan bahwa para malaikat akan turun ke bumi, lalu menghamparkan mutiara di sepanjang perjalanan Karnaval, maka apakah kita mengernyitkan kening, dan bergumam, ‘Bagaimana mungkin?’
Kita akan menggunakan logika yang sama jika diinformasikan, ‘Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari bau kesturi’. Mana mungkin mulut yang bau dikatakan lebih harum dari kesturi? Inilah bahasa ruhani! Bukan bahasa lahir!
Apapun informasi ruhani seperti Lailatul Qadr, tidak akan mengubah pengalaman inderawi kita. Karena kita tidak melihat dan merasakan gegap gempita penghuni ruhani di langit turun ke bumi menyenandungkan tasbih dan dzikir. Kenyataan ruhani terkubur oleh kenyataan lahiri.
Kenyataan-kenyataan ruhani merupakan wilayah keimanan yang hanya dapat disentuh melalui dzauq (rasa) jiwa. Dan fenomena tersebut merupakan Busyra (kabar gembira) bagi para Awliya dalam kehidupan dunianya, sebagai bukti ketundukannya kepada apa yang diperintahkan.
Apa yang dibijaki oleh seorang Syekh Mursyid yang menjadi penerus Nabi Saw (sekalipun dijumpai kekurangan manusiawinya) merupakan ujian kecintaan murid kepada Gurunya. Kecintaan yang tulus tidak akan melahirkan kekecewaan dan kerugian. Al-Mar’u ma’a man Ahabb. Seseorang akan beserta dengan orang yang ia cintai (Al-Hadits).
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”. (Q.S. Maryam: 25)
Dan saya katakan, “Dan goyanglah pangkal pohon kecintaan Syekh-mu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kecintaan yang manis kepadamu”.
Hanya kerinduan atau kecintaan yang membuahkan tangisan-tangisan. Dan itulah yang tampak pada beberapa majelis di Tarekat Idrisiyyah, karena luapan kegembiraan dan kedahsyatan rindu yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Dan ilmu-ilmu tidak mampu menjangkaunya. Ilmu manusia tidak cukup untuk mengukurnya. Dengan kecintaannya ia menggenggam perintah tanpa bahasa penolakan, atau diam karena ketidakberdayaan.
Seorang ahli hikmah berkata, “Diam adalah bahasa ketabahan”
“Diamnya orang awam adalah dengan mengekang lidahnya untuk tidak berbicara, sementara diamnya orang Arifin dengan mengendalikan hatinya. Sedangkan diamnya para Pencinta (Al-Muhibbin) dengan mengendalikan bersitan-bersitan hati nuraninya”.
“Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga. Mengapa?..... Agar ia mendengar dan mau memperhatikan lebih banyak daripada berbicara”.
Selasa, 7 Rabi’ul Akhir 1429 H/13 Mei 2008.
LqmnA

Prasangka yang meremehkan

Imam Qusyairi Rhm. berkata, ‘Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyah-nya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. datanglah Syaiban ar Ra’yi’.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as-Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf (ummy) seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Hasan al-Bashry masuk sebuah masjid untuk shalat Maghrib. Ternyata imam masjid tersebut adalah orang ’Ajam (non Arab). Al-Bashry tidak mau shalat bermakmum di belakangnya, karena khawatir logat Ajam imam itu tidak fasih. Ketika tidur al-Bashry bermimpi bertemu dengan seseorang yang bertanya, “Kenapa Anda tidak shalat di belakangnya? Sungguh, jika engkau shalat di belakangnya, dosamu yang telah lalu akan diampuni semua”.
Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya yang berjudul Zubdatul Asrar menulis, Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.
Rasulullah Saw yang ma’shum saja pernah bersabda:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ فَأَيُّمَا امْرِئٍ سَبَّبْتُهُ أَوْ لَعْنَتُهُ فَاجْعَلْ ذٰلِكَ كَفَّارَةً لَّهُ
“Yaa Allah, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa marah sebagaimana orang lain marah. Maka jika ada orang yang aku lecehkan atau aku laknat, maka jadikanlah itu sebagai kaffarat (tebusan) dosanya”. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, & Ahmad)
Jika Beliau Saw sebagai teladan umat mengungkapkan kekurangannya dari sisi manusiawinya, apalagi seorang Waratsatul Anbiya’ (pewarisnya). Meskipun begitu kita tidak menampakkan ketidakpercayaan kepada Beliau Saw. Beliau bahkan dianggap sebagai sosok manusia yang utama di antara manusia lainnya. Apakah kita tidak menaruh kepercayaan pula kepada petugasnya yang juga memiliki kekurangan dari sisi manusiawi? Orang yang bersahabat dengan rasa cinta tidak akan menemui kekurangan apalagi bersahabat dengan Kekasih Allah.
Dikisahkan bahwa ada seorang yang bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah berkata, ‘Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku’. Ibrahim menjawab, ‘Aku tidak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata Mahabbah, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan qalbuku. Tanyakan saja selain diriku tentang cacatmu’.
Rasulullah Saw menyatakan: “Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kalian (mau) mendengar dan taat, meskipun budak hitam legam yang memerintahmu (menjadi pemimpinmu)” [H.R. Thabrani].
Ketakwaan diwujudkan dengan ketundukan kepada orang yang memimpin kita, walau (menurut kacamata) kita ia banyak kekurangan. Bahkan Rasulullah Saw mengisyaratkan kriteria pemimpin itu dalam keadaan yang di bawah standar keinginan kita.

Senin, 12 Mei 2008

NIAT MENJADI MURID

Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.....
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal (bergantung) kepada niatnya, dan setiap perkara menurut apa yang ia niatkan.....” HR. Bukhari dan Muslim dari Amar, Muwatha dari Muh. bin Hasan.
Di antara para Ahli Fiqih menyatakan bahwa hadits ini masuk dalam 30 Bab ilmu pengetahuan. Kita tidak mengetahui kedalaman niat seorang Syekh terhadap penerapan suatu kebijakan kepada murid-muridnya. Kecintaan murid kepadanya melupakan mereka untuk bertanya mengapa? Mereka telah mengutamakan menjaga perasaan Syekh dari pada ungkapan-ungkapan yang lahir dari bersitan-bersitan hatinya yang dikhawatirkan bercampur dengan syahwatnya.
Memendam pertanyaan bagi orang yang diberi pengetahuan adalah ujian yang lebih berat dari pada lainnya dalam perkara ini. Para Imamaini (pangkat kewalian setelah Sulthan Awliya) yang ada dalam Tarekat Idrisiyyah sangat teguh penjagaannya berkenaan masalah menjaga perasaan Syekh ini.
Ada sebuah kisah yang yang tidak ada pada literatur tertulis, bahwa Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Mengawali perjalanannya mengembara mencari Syekh Mursyid (dengan pijakan Q.S. Al-Kahfi: 17). Kegigihan pencariannya itu bertahan begitu lama hingga ia ditakdirkan dapat menjumpai Syekh Mursyid yang ia cari, yakni Sidi Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah al-Mukarramah.
Setelah sekian tahun ia bersama dengan Syekh-nya, kecintaannya itu melahirkan ujian-ujian yang cukup berat bagi dirinya. Di antara ujian yang terberat adalah berita-berita ruhaniyah yang sering dialaminya, khususnya perjumpaan dengan Rasulullah Saw. Beliau Saw suatu ketika menginformasikan kepadanya bahwa Khilafah Tarekat yang dipegang oleh Syekh Ahmad Syarif ini akan dilimpahkan kepada Abdul Fattah. Kabar ini (setelah beliau mengalami beberapa kejadian) akhirnya beliau ungkapkan kepada gurunya, Sidi Ahmad Syarif. Asy-Syekh berkata, ‘Apa niatmu pertama kali datang ke sini? Ingin menjadi murid atau ingin menjadi Guru’. ‘Ingin menjadi murid ya Sayyidi!’ jawab Abdul Fattah. ‘Maka, luruskan niatmu itu!’ Gurunya menegaskan.
Dengan jawaban Gurunya tersebut Abdul Fattah tidak kecewa, bahkan apa yang membayanginya itu selalu ia buang jauh-jauh dari angan-angannya (bahasa Sunda-nya dikepret-kepret keun). Abdul Fattah senantiasa bersangka baik bahwa bukanlah perkataan itu menandakan ketidaktahuan Gurunya, melainkan bimbingan kasih sayangnya kepadanya agar perjalanannya bermakrifatullah tidak terjegal di tengah jalan.
Jawaban itu menimbulkan renungan yang mendalam dan mengakhiri kegelisahan Abdul Fattah muda yang ketika itu dipercaya menjadi Wakil Talqin bagi murid-murid baru, bahkan kerap kali menggantikan posisi Gurunya tersebut mengajar. Ia menjadi fokus, dan tiada mempedulikan berita apapun.
Inilah niat. Kita tidak mengetahui niat seseorang, apalagi kekhususan niat seorang Syekh yang dipilih-Nya yang kita andalkan dapat meluruskan niat-niat kita selama ini dalam berguru kepadanya. Yang perlu kita perbuat adalah mengosongkan niat kita dari keinginan lain, yang kita harapkan adalah menjadi murid yang tulus, yang mendapat curahan air petunjuk Allah yang lahir dari lisan dan Ahwal Syekh. Hal tersebut tidak akan diperoleh melainkan mengosongkan ‘wadah’ yang ada pada diri kita agar makanan jiwa yang masuk kepada kita begitu murni dan menyehatkan.
Inilah sejalan dengan apa yang dikatakan Syekh Abu Nashr Sarraj (Thaus al-Fuqara), yang meriwayatkan perkataan seorang Shufi besar, ‘Awal perjalanan (Bidayah) sama seperti akhir perjalanan (Nihayah). Dan begitu pula akhir perjalanan sama seperti permulaan. Maka barang siapa di akhir perjalanannya meninggalkan sesuatu yang ia lakukan (perjuangkan) seperti awal perjalanannya itu, maka sebenarnya ia telah tertipu’.

MENJAGA PERASAAN HATI SYEKH

Allah SWT berfirman:
هل أتبعك على أن تعلمني مما علمت رشداً
“Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”. (Q.S. Al-Kahfi: 66)
Al-Junaid berkata, “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidhir, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru, lantas Al-Khdhir memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa As mulai kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi ketika kontra untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan. Khidhir berkata:
هذا فراق بيني وبينك
Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu!” (Q.S. Al-Kahfi: 78)
Rasulullah Saw bersabda:
مَا أَكْرَمَ شاب شيخاً لسنَّه إلا قبض الله تعالى له من يكرمه عند سنه
Tiadalah orang muda yang menghormati seorang Guru (Syekh) karena usianya, melainkan Allah akan menakdirkan baginya kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah tua”. (HR. Tirmidzi)
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan Syekhnya,berarti ia tidak menetapi tarekatnya. Hubungan antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah. Barang siapa berguru kepada salah satu Syekh, kemudian dalam hatinya ada konflik, maka janji pertalian Guru dan murid telah rusak, dan ia wajib bertobat”.
Salah satu Syekh berkata, “Menyakiti para guru, tidak ada lagi tobatnya”.
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata, “Aku pergi ke Merw pada saat Syekh-ku, Abu Sahl ash-Shu’luky masih hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum’at pagi selalu ada majelis Khatmul Quran. Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang dipimpin oleh Abul ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Ini sebuah majelis Khatmul Quran telah diganti dengan majelis diskusi”. Kemudian suatu hari Syekh berkata kepadaku, “Hai Abu Abdurrahaman, apa yang diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku katakan kepadanya, “Mereka mengatakan, majelis al-Quran al-Karim telah dihilangkan dan diganti dengan majelis diskusi”. Lantas Syekh berkata, “Siapa saja yang berkata kepada Gurunya mengapa? Maka dia tidak akan bahagia selamanya”.
Ucapan yang populer dari al-Junaid, antara lain, “Aku memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sesuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepadanya, ia memberikan aku secarik kertas, sembari berkata, “Inilah kedudukan pemenuhanmu atas kebutuhanku yang begitu cepat”, lalu aku kubaca pada kertas itu, ternyata di sana tertulis:
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
أبكي، وهل يدريك ما يبكيني ...
أبكي جداراً أن تفارقيني وتقطعي حبلي وتهجريني

Aku menangis, dan tahukah engkau mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
bila engkau (Syekh) memisahkan diriku
bila engkau memutuskan ikatan-ikatan hatiku
bila engkau menghindar dariku
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamadzany al-Alawy yang berkata, “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy. Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata kepadaku, “Bangunlah malam ini”. Aku merasa ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Ku keluarakan burung dari dapur dan ku letakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu langsung meraih burung,di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan berkata, “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para Syekh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya”.
Abdullah ar-Razy mendengar abu Utsman Said al-Hiry sedang menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-balkhy, dan memuji-mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah padanya. Namun hatinya tidak berkenan pada Muhammad bin Fadhl. Lalu ia kembali kepada Abu Utsman, dan Abu Utsman bertanya, “Bagaimana, anda sudah menemuinya?” Abdulah menjawab, “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga”.Lantas Abu Utsman berkata, “Karena Anda menganggapnya remeh. Dan tak ada seorang pun yang menganggap rendah seseorang, melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh hormat”. Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari ziarahnya itu.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan mereka, “Ya, Allah, cegahlah kejujuran dari mereka”. Maka setelah itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Aiwardy Rhm. berkata, “Barang siapa Syekhnya ridha, ia tidak akn menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa takzimnya kepada Syekh tersebut hilang. Apabila Syekh telah meninggal dunia, Allah SWT akan menampakkan balasan ridhanya Syekh kepadanya. Namun,barang siapa membuat hati Syekh-nya berubah, maka ia tidak akan menyimpang pada zaman Syekh tersebut hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk menghormati. Apabila Syekh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya”.
[Petikan Kitab Risalah Qusyairiyyah]

Minggu, 04 Mei 2008

Gejala Alam dan Tanda Kiamat

Surat (i)
Terus terang, mengaitkan gejala-gejala alam dengan tanda2 awal kiamat (saya menerjemahkan term "kiamat" yang anda maksud adalah kiamat kubro, akhir dunia,
yang tidak semata akhir Bumi saja) itu sungguh di luar kemampuan saya. Ilmu agama saya cethek, ngajinya cuman Qur'an, buku2 yang dibaca hanya terjemahan. Memang pernah beberapa kali ceramah, tapi itu semata karena 'todongan' orang. Maka dari itu mohon maaf kalo imel ini juga saya forwardkan ke beberapa pihak yang lebih punya kapasitas untuk menjawab, seperti Bpk. H. Abdillah salah satu cendekia Muhammadiyah yang berdomisili di Malang, Bpk. H. AR Sugeng Riyadi, ustadz Pondok modern As-Salam Pabelan Surakarta, dan juga pada Bpk. H. Rovicky Dwi Putrohari, sang ahli ilmu bumi dengan background religius kuat dan berkedudukan di Kuala Lumpur.
Saya pribadi tidak sependapat dengan pendapat adanya gejolak magma yang berjama'ah di perut bumi Indonesia, sebab yang menampakkan peningkatan aktivitas sebenarnya hanya gunung itu-itu saja. Mengutip data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pada
Juli 2006 peningkatan aktivitas (kode status : waspada-awas) hanya terjadi di Merapi, Anak Krakatau, Semeru, Soputan, Lokon, Talang, Ibu, Dukono dan Karangetang. Pada Juli 2007 ini Gunung Gamkonora (Halmahera) dan Batutara (NTT) ditambahkan ke dalam daftar, sementara gunung Ibu dieliminasi (karena sudah turun menjadi aktif normal). Gunung2 yang lain statusnya aktif normal, alias biasa-biasa saja. Jika gunung2 api lain di luar daftar itu menunjukkan peningkatan aktivitas, terutama gunung2 yang lama 'tidur' seperti Sumbing-Sindoro-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah atau kompleks Wilis-Anjasmoro di Jawa Timur, maka barulah bisa dikatakan ada anomali.
Beberapa gunung api dikenal mempunyai periode letusan pendek. Merapi misalnya, ia mempunyai periode letusan 3 - 4 tahun dan tiap kali meletus memakan waktu 0,5 -
1 tahun, dengan tipe letusan efusif (leleran) dimana ia lebih dulu 'membangun' kubah lava untuk kemudian melongsorkannya sedikit demi sedikit sebagai awan panas. Karangetang, Soputan, Lokon dan Talang meletus secara eksplosif (ledakan) namun tipenya letusan
vulkano lemah sehingga kolom debu-nya hanya mencapai ketinggian maksimum 1 km dari puncaknya. Sementara Semeru, dia memang punya sifat letusan yang khas karena selalu berulang secara periodik dalam waktu yang pendek (kalo tidak salah adalah karakter
Strombolian), namun tipe letusannya juga vulkano lemah sehingga tinggi kolom debu yang dihembuskannya pun tidak > 1 km. Semua tipe letusan ini memiliki energi yang kecil.
Anak Krakatau juga demikian. Memang dalam sejarahnya gunung ini punya riwayat letusan2 paroksimal (besar-besaran) yang ultraplinian, hingga sanggup menghembuskan kolom debunya ke ketinggian 30 km.
Letusan paroksimal terakhir (Agustus 1883) membuat tubuh gunung musnah dan menyisakan kaldera berdiameter 7 km dengan energi letusan yang sungguh luar biasa,
mencapai angka 400 megaton TNT atau 20.000 kali lebih kuat dibanding bom Hiroshima. Namun sejak kelahirannya
(1930) hingga sekarang, aktivitas Anak Krakatau adalah tipe vulkano lemah dengan energi yang kecil, sehingga tidak berdampak jauh.
Letusan gunung api juga dipengaruhi oleh kejadian gempa, karena gempa mampu menghasilkan perubahan tekanan (stress change) baik secara statik maupun dinamik dalam dapur magma, dan secara umum diketahui stress change sebesar 10 kPa adalah ambang batas untuk memicu letusan. Pola ini nampak jelas pada Merapi 2006 (yang dipicu gempa Yogya) dan Talang 2005 (yang dipicu rentetan gempa megathrust Sumatra-Andaman, gempa megathrust Simeulue-Nias dan gempa Mentawai).
Memang saat ini ada pendapat sedang terjadi plate reorganisation pasca gempa megathrust Sumatra-Andaman 2004 (26 Des 2004, yang melahirkan tsunami besar itu) dan disusul gempa megathrust Simeulue-Nias 2005 (28 Maret 2005), sehingga gempa2 bermunculan di mana2 di Indonesia dan sebagai dampaknya banyak gunung api terpengaruh.
Namun saya pribadi tidak sepenuhnya sependapat, sebab gempa-gempa megathrust di zona subduksi Sumatra memiliki periode ulang 200-an tahun dan waktu kejadiannya berbeda-beda, tidak serempak. Misalnya saja di area Nias - Mentawai. Megathrust di Nias
terjadi pada 1861 dan 2005 lalu. Sementara di Mentawai megathrustnya terjadi pada 1797 dan 1883. Sulit untuk mengatakan bahwa dari tahun 1797 - 1861 - 1883 (hampir 100 tahun) terjadi plate reorganisation sementara berselang 1 abad lebih kemudian (yakni 2004 dan 2005) juga muncul megathrust di Simeulue serta Nias, yang diselingi oleh gempa 7,7 Mw di Nias (1935) dan kelak sekitar 2030 (rentang waktu probabilitasnya antara 2010 - 2050 dengan interval konfidensi 95 %) gempa megathrust di Mentawai bakal berulang. Polanya nampak bersambung terus menerus bukan? Itu baru di Sumatra saja, belum memperhitungkan skenario2 gempa megathrust yang terjadi di Jawa dan Indonesia timur. Dan plate reorganisation, dalam pendapat saya, mungkin sulit terjadi/teramati pada umur yang sangat singkat (~100 tahun) berdasar skala waktu geologi.
Dalam pendapat saya, yang terjadi justru karena ada terlalu banyak zona subduksi dan patahan geser di Indonesia yang sudah 'matang' karena sudah mengandung cukup banyak energi hasil desakan lempeng dan oleh posisinya yang 'terkunci' (locked, ngancing dlm bhs
Jawanya) pada bidang batuan yang dihadapinya. Pada kondisi seperti ini sebuah usikan kecil (perturbasi) entah dari konjungsi/oposisi Bulan ataupun gempa lain yang berdekatan sudah cukup menjadi pemicu lepasnya energi ini dan muncullah gempa.
Kembali ke letusan gunung, jika dibandingkan, volume erupsi gunung2 di Indonesia dalam (katakanlah) 50 tahun terakhir ini boleh dikata tidak ada apa-apanya dibanding letusan Harrat Rahat di dekat Madinah (Saudi Arabia) pada 26 Juni 1256 dan berlangsung selama 52 hari kemudian. Letusan ini mengeluarkan lava basalt sebanyak 500 juta meter kubik (!) - bandingkan dengan Merapi 2006 yang 'hanya' 8 juta meter kubik – dan mengalir hingga 23 km ke utara dari sumbernya dan nyaris saja menenggelamkan kota suci Madinah dalam
lautan bara karena tinggal berjarak 8 km dari Masjid Nabawi. Bapak-bapak yang sudah menunaikan ibadah haji mungkin sudah pernah menyaksikan sisa letusan ini, yang terhampar dalam bentuk perbukitan tandus memanjang kehitaman di timur Madinah. Kalo tidak salah ada yang mengaitkan ungkapan "munculnya api di tanah Hijaz" sebagai salah satu tanda2 kiamat (dalam sebuah hadits) dengan letusan ini. Meski, sekali lagi, menelaah hal ini sungguh diluar kemampuan saya.
Wassalamu'alaikum...
Juli 2007

Ma'rufin
catatan : gempa megathrust = gempa besar dengan magnitude > 8,5 Mw.

MANUSIA & HARMONI ALAM

KHUTBAH JUM’AT, 4 APRIL 2008
MANUSIA & HARMONI ALAM
Oleh: Salim Bela Pili, MA
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Dalam ayat lainnya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S. Ar-Rum: 41).
Telah bertebaran ... kemungkaran di daratan, lautan maupun udara. Semuanya itu disebabkan oleh faham, karya manusia. Maka diciptakan bagi mereka musibah (liyudziiiqohum.....) agar melalui musibah-musibah itu mereka dapat sebagian pelajaran akibat dari perbuatan mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah (bertobat).
Dalam rangkaian bahasa, ar-Ruju’ artinya at-Taubah. Jadi, ar-Ruju’ sama dengan at-Taubah yang berarti kembali. Kita tentu pernah pergi lalu kembali.
Kembali dari mana? Dari fitrah. Selama ini kita melenceng dari fitrah dengan melakukan banyak kemungkaran, maka ada peluang atau kesempatan kita untuk kembali (taubat).
Ayat tadi, disepakati atau tidak, tentu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Munculnya bencana alam, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk nilai-nilai, kesadaran moral, semuanya itu karena perbuatan manusia itu sendiri. Kalau pun kita tidak terlibat atau tidak termasuk dalam kategori fasad, yakni yang menyebabkan turunnya bencana tersebut, setidaknya kita akan mengalami ujung musibah itu dan bias musibah itu melanda kita jua.
Sekalipun kita tidak melakukan maksiat atau kita terbebas dari maksiat, tapi maksiat itu mengundang bencana bagi kita semua. Ibarat kita berada dalam satu perahu di bumi ini, kemudian ada seorang yang membocori perahu. Tentu, bukan orang yang membocori perahu itu saja yang tenggelam, tapi kita pun ikut tenggelam bersama-sama orang yang membocorkan perahu tersebut.
Imam al-Mawardi ketika menafsirkan ayat ini (Q.S. An-Naml: 48):
{ يُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُونَ } mengungkapkan bahwa 5 perlakuan manusia pada masa dahulu yang berbuat kerusakan di muka bumi,
(Pertama): Mereka merusak dengan keingkaran, dan tidak melakukan kebaikan dengan keimanan,
(Kedua): Mereka merusak dengan kemungkaran, tapi tidak berbuat baik dengan hal yang ma’ruf,
(Ketiga): Mereka merusak dengan kemaksiatan, tapi tidak berbuat baik dengan ketaatan,
(Keempat): Mereka berbuat kerusakan dengan membanyakkan harta, tapi tidak berbuat kebaikan dengan meninggalkan kelakuan tersebut.
(Kelima): Mereka mengejar aurat wanita, tapi tidak menutupinya.
Hadirin Rahimakumullah,
Alam dunia ini dalam bahasa pengetahuan merupakan theofani. Theo berarti Tuhan, Fani itu berarti penampakan atau perwujudan. Theofani artinya penampakan Tuhan (Tajaliyyat Ilahiyyah), penampakan Sifat-sifat dan Af’al (Perbuatan) Allah SWT, bukan Zat-Nya.
Dalam bahasa pengetahuan alam ini disebut Cosmos, artinya tertib, teratur (the order). Pergantian malam siang terjadi dengan keteraturan. Waktu berjalan sesuai peredaran alam.
Dan matahari berjalan poros (tempat peredaran)nya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Perkasa lagi mengetahui.” (Q.S. Yasin: 38)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (posisinya), sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tanduk”. (Q.S. Yasin: 39)
Tidaklah mungkin bagi matahari balapan dengan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya sambil bertasbih (kepada Allah)". (Q.S. Yasin: 40)
Tidak akan terjadi matahari balapan dengan bulan, ....... baik matahari maupun bulan dalam falaknya bertasbih kepada Allah.
Demikianlah alam itu sebagai Tajalliyat, the order. Keteraturan ini dalam bahasa pengetahuan disebut dengan hukum alam. Ada pergantian musim, 2 musim atau musim, semuanya ada waktunya.
Dalam Surat Ar-Rahman ayat 5 disebutkan:
Wasy-syamsu wal qomaru bihusbaan. Baik perjalanan matahari maupun bulan, keduanya ada hitung-hitungannya (hisab). Akan tetapi karena ulah tangan manusia, semuanya menjadi kacau. Pada saat sekarang mestinya sudah datang waktunya musim kemarau, ternyata kita masih mendapatkan tetesan air hujan. Dan pada saat mestinya musim hujan, sumur kita mengalami kekeringan.
Terkadang kita menyatakan, kita sedang diuji oleh Allah SWT. Mengenai pernyataan tersebut marilah kita mencoba instropeksi, apakah kita memang sedang diuji atas hal seperti itu atau tidakkah kita sebenarnya sedang melakukan fitnah (tuduhan) dengan mengatakan bahwa ‘Allah sedang menurunkan musibah’. Padahal ayat di atas menyebutkan bahwa kerusakan itu akibat ulah manusia jua. Rusaknya daratan, lautan, sumber kehidupan, semua adalah jejak perbuatan manusia itu sendiri.
Petani sudah tidak memiliki waktu dan lahan yang baik untuk bercocok tanam. Nelayan tidak memiliki waktu yang tepat untuk melaut. Perahu-perahu di sepanjang pesisir pantai sudah tidak aman lagi dari badai. Apakah yang demikian itu kita katakan bahwa ‘itu merupakan perbuatan Allah?’ ataukah kita mengatakan, ‘Itulah perbuatan kita yang membuat murka Allah!’
Orang yang merusak alam berarti membunuh dirinya sendiri. Orang yang menebang hutan menimbulkan hutan gundul. Longsor yang ditimbulkan akhirnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Sebenarnya orang yang berada di lembah mengetahui bahwa mereka bertheofani, bergantung atau berharmoni dengan alam sekitar. Sehingga pada saat alam atau hutan dirusak mereka telah melakukan bunuh diri secara ekologis.
Dalam teori dosa, disebutkan bahwa yang namanya zhulmun (ظلم) sesungguhnya adalah zhulmun nafsi (ظلم النفس), yakni menganiaya diri sendiri. Allah Yang Suci dari segala perilaku manusia, apabila didurhakai oleh seluruh penduduk bumi, niscaya tidak akan berkurang sedikitpun Keagungan-Nya. Tapi, manusia itu sendirilah yang akan memperoleh buah atau hasil kemungkarannya tersebut.
Jika kita menerima atau mengalami musibah-musibah itu, maksudnya adalah liyudziiqohum ba’dholladzii ‘amiluuu, setidak-tidaknya manusia merasakan sebagian saja akibat perbuatannya. Karena Rahmat Allah yang mencegah tidak turunnya seluruh akibat perbuatan manusia.
Jika Allah menghendaki menurunkan musibah sebagai akibat perbuatan manusia itu secara keseluruhan, niscaya tidaka akan tersisa makhluk yang ada di muka bumi ini, sekalipun seekor hewan melata.
Jadi, kita yang masih tinggal di bumi sekarang ini bukanlah semata-mata karena kita baik, tapi karena Allah membiarkan dan memberikan kita kesempatan untuk merasakan sehingga kita kembali untuk bertobat, kembali kepada fitrahnya.
Proses taubat mesti diiringi dengan langkah perubahan. Misalnya jika kita selama ini kita menebang hutan, hendaknya sekarang ia menanam pohon atau menghijaukan kembali hutan. Jika selama ini ia sembarang membuang sampah di selokan, hendaknya taubatnya diiringi dengan membersihkan selokan tersebut. Karena alam itu tidak mau dikotori atau dirusak. Alam itu bertasbih. Tapi kita tidak tahu mereka sedang bertasbih kepada Allah. Dikatakan:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Penyantun lagi Pengampun”. (Q.S. Al-Isra: 44)
Alam yang bertasbih kepada Allah kita nodai dan kita kotori. Akhirnya alam berbalik memusuhi manusia. Tanah yang ditanam tidak lagi memberikan kesuburan, air yang digali tidak lagi memberi kecukupan, yang tumbuh tidak memberikan rahmah (kasih sayang) tapi memberikan penyakit bagi kita. Semuanya disebabkan ulah tangan manusia.
Marilah kita kembali kepada fitrah. Bertaubat dengan perubahan perilaku, memperbaiki lingkungan yang telah dirusak.
Secara fisik, alam yang dirusak terlihat dari penampilannya yang gundul. Alam mempunyai daya psikologis sebagai hukum spiritual. Kita tidak mengetahui alam bertasbih, sebagaimana kita tidak tahu persis bagaimana tersiksa atau tersinggung-nya alam ketika ia disakiti.
Alam tersedia untuk umat manusia,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. ............”. (Q.S. Al-Jatsiyah: 13) Tapi alam mempunyai sifat yang fitrah. Mereka mempunyai empati (rasa).
Dalam teks-teks hadits disebutkan bahwa harta benda, hewan ternak, semuanya senang kepada yang mikmin/muttaqin. Sedangkan harta benda di tangan orang yang zhalim, ia merasa tidak betah.
Hadirin Rahimakumullah,
Di sini ada hukum harmoni antara manusia dengan alam.
Dalam literatur Sufistik dikisahkan seorang Alim di alam barzakh mempunyai gusi yang selalu berdarah. Setelah diteliti apa yang menyebabkan demikian ternyata sewaktu di dunia ia pernah mengambil sepotong duri untuk membersihkan giginya sehabis makan. Hal yang sekecil itu tetap tercatat sebagai ganjaran seseorang di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
Apa yang menjadi akibat perbuatan kita itu bisa tampak di akhir zaman nanti, atau bahkan dalam waktu dekat ini. Marilah kita kembali, bertaubat kepada Allah. Kita yang sudah mendapatkan petunjuk dan ilmu marilah beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mulailah dari diri kita, kemudian keluarga, kerabat dekat hingga lebih luas lagi jangkauannya.
Wassalam.

Kamis, 01 Mei 2008

SISI LAIN 'AYAT-AYAT CINTA'

Bergemanya film 'Ayat-ayat Cinta' yang menghasilkan ghanimah (keuntungan) luar biasa bagi artis dan pembuat film tersebut. Obsesi sutradara dan insan film negeri ini pun muncul. Mereka ingin segera menciptakan film dengan nada serupa, agar mendapatkan bias rezeki dari kepopuleran film yang naskahnya berasal dari seorang sastrawan Timur Tengah tersebut.
Film yang diekspose juga oleh para pejabat tersebut membuat jembatan menarik terhadap pemahaman ajaran Islam yang selama ini banyak disalahartikan. Dari masalah terorisme, poligami, dan lainnya membuat cakrawala pandang umat Islam lebih terbuka. Seolah ada bahasa yang tidak terurai untuk mewakili pendapat umat tentang berbagai permasalahan yang terjadi.
Anehnya, keberkahan film Islami tersebut tidak membuat insan perfilman mau mengerti bahwa betapa umat merindukan sisi pengungkapan yang jelas tentang ajaran Islam yang dapat membedah berbagai problematika yang senantiasa dihadapi. Artis film ini pun tidak membuatnya menggeliat bangkit untuk mengejar ketertinggalannya memahami ajaran Islam itu sendiri. Akhirnya ia tersandung oleh gemerlapnya tawaran film-film yang tidak bernuansa Islami.
Kenyataannya film itu memang sandiwara. Yang manfaatnya bisa diambil dari berbagai sudut. Bisa manfaat duniawi yang fana, atau manfaat ukhrawi, yakni hijrahnya insan perfilman dari kondisi tidak peduli terhadap agamanya menjadi seseorang yang ghirah (semangat) pengamalan agamanya tinggi. Dan ternyata berat untuk menjalankannya, mengingat artis dan kru perfilman terikat dengan dunianya sendiri. Berkarya untuk dunia, bukan berkarya untuk akhirat.
Jika mereka berkarya untuk hari yang abadi, tentu ruh film 'Ayat-ayat Cinta' membekas pada pribadi mereka. Mereka akan berusaha berpenampilan dan berkepribadian sebagaimana tokoh yang diperankan dalam film tersebut. Penampilan dan kepribadian mereka dalam film tersebut disambut oleh jutaan umat Islam. Apakah kita semua tidak merindukan penampilan dan kepribadian kita yang Islami disambut oleh Allah SWT beserta ruhani-ruhani suci yang tak terhitung jumlahnya?
*************
Begitu sosok wanita bercadar muncul melalui film 'Ayat-ayat Cinta', timbullah pendapat-pendapat berbagai kalangan berkenaan penampilan busana tersebut.
Bahkan ada seorang Ulama ketika ditanyakan apakah kita (seorang wanita) mesti berpakaian seperti itu (bercadar, red), ia malah mengatakan bahwa saat ini yang mesti dilakukan adalah menjilbabkan hati kita terlebih dahulu!
Begitu cerita itu sampai ke telinga saya lewat seorang kawan, langsung saya katakan, 'Kalau begitu, Anda tidak mesti melaksanakan shalat sebelum Anda menshalatkan hati terlebih dahulu!' Anda juga mesti menzakatkan hati dahulu! Anda mesti meng-haji-kan hati dahulu!
Bukankah ibadah itu terbagi dua, ibadah lahir dan batin. Tata berbusana Islami adalah masalah lahiriyyah bukan perkara batin. Ulama tersebut tentu paham masalah ini. Tapi kehadiran kebenaran tentang bertatabusana Islami (lewat film tersebut) rupanya belum siap ia terima, karena berat untuk disampaikan kepada keluarga atau jama'ahnya.