Kamis, 26 Juli 2007

Do'a Memohon Keselamatan Kehamilan

اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدِيْ مَا دَامَ فِيْ بَطْنِيْ وَاشْفِهِ أَنْتَ شَافٍ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَّ يُغَادِرُ سَقَمًا, اَللَّهُمَّ صَوِّرْهُ حَسَنَةً وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًابِكَ وَبِرَسُوْلِكَ, اَللَّهُمَّ اخْرِجْهُ مِنْ بَطْنِيْ وَقْتَ وِلادَتِيْ سَهْلاً وَّتَسْلِيْمًا, اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلًا وَعَاقِلًا حَاذِقًا عَالِمًا عَامِلًا, اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ عُمْرَهُ وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَحَسِّنْ خُلْقَهُ وَافْصَحْ لِسَانَهُ وَأَحْسِنْ صُوْرَتَهُ لِقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَالْقُرْآنِ بِبَرَكَةِ مُحَمَّدٍ ص.م وَاْلأَوْلِيَآءِ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ, وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Alloohummahfazh waladii maa daama fii bathnii, wasyfihii anta syaafin, laa syifaa-a illaa syifaa-uka, syifaa-an laa yughoodiru saqoman. Alloohumma showwirhu hasanatan, watsabbit qolbahuu iimaanam bika wabirosuulika. Alloohummakhrijhu mim bathnii waqta wilaadatii sahlan watasliiman. Alloohummaj’alhu shohiihan kaamilan wa’aaqilan haadziqon ’aaliman ’aamilan. Alloohumma tsabbit ’umrohuu washoh-hih jasadahuu wahassin khulqohuu wafshoh lisaanahuu wa-ahsin shuurotahuu liqiroo-atil qur‘aan, bibarokati Muhammadin Shollalloohu ’alayhi wasallama wal Awliyaa-i wasy-syuhadaa-i wash-shoolihiin, walhamdulilaahi robbil ’aalamiin.
Yaa Allah, peliharalah anakku selama berada dalam kandunganku. Dan sembuhkanlah dia, karena Engkau adalah Zat yang bisa menyembuhkan. Tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit sedikitpun. Yaa Allah, bentuklah dia dalam perutku dalam bentuk yang bagus, dan tetapkanlah hatinya dalam keimanan pada-Mu dan Rasul-Mu. Yaa Allah, keluarkanlah ia dari perutku pada saat kelahiranku dengan mudah dan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, jadikanlah ia anak yang sehat dan sempurna, yang berakal, yang cerdas, yang alim, dan mau mengamalkan ilmunya. Yaa Allah, tetapkanlah umurnya, sehatkanlah tubuhnya, baguskanlah akhlaknya, fasihkanlah lisannya, dan baguskanlah suaranya untuk membaca Hadits dan Qur‘an dengan keberkahan Nabi Muhammad SAW, para Awliya, Syuhada dan orang-orang yang shaleh. Dan segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Jakarta, 20 Agustus 2003




Senin, 23 Juli 2007

Mesti ada wasilahnya!

’Hai Shohib (sahabat), mampir dong ke tempat Ane!’ Panggilan itu terngiang-ngiang di telinga seseorang yang tengah dalam perjalanan. Maka ia pun mampir ke tempat suara tersebut.
Yang memanggilnya adalah Sayid Ahmad bin Alwi al-Haddad (alias Habib Kuncung)[1]. Di makam yang letaknya di Kalibata itu orang itu berdzikir membaca Shalawat ’Azhimiyyah.
Saat ia membaca shalawat tersebut, cahaya besar dan menakjubkan muncul di hadapannya naik ke atas langit, namun ia turun kembali. Ia baca lagi, kemudian cahaya itu naik lalu turun kembali. Kejadian itu berulang-ulang, hingga ia mengingat-ingat apa yang mesti ia lakukan.
Akhirnya ia teringat, setelah ia berwasilah dengan Gurunya Asy-Syekh al-Akbar M. Daud Dahlan Ra. Imamuz Zaman, cahaya awrad itu kemudian mencuat ke atas, dan disambut oleh Gurunya tersebut. Lalu, diantarlah bacaan tersebut hingga ke hadirat Allah ’Azza wa Jalla.
Ia bergumam, ternyata ’mesti berwasilah’ jawabannya.

[1]Habib Kuncung wafat dan dimakamkan di Kali Bata pada umur 93 tahun yaitu pada tanggal 29 Sya’ban 1345 Hijriyah/1926 M.

Bersentuhan dengan alam ruhani

Ada seorang murid Idrisiyyah memiliki pembantu yang dapat berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Mungkin ekses dari ’keahliannya’ ini seperti sering pingsan atau tak sadarkan diri menyebabkan majikannya terdahulu tidak tahan. Namun dengan keberadaannya di tengah keluarga murid Idrisiyyah ini ternyata membawa barokah yang besar.
Hal ini sebagaimana diceritakan kepada saya beberapa minggu lalu (awal Juli 2007). Saat itu memang kebetulan sekali
Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mampir ke rumahnya, karena dekat dengan tempat khutbah Beliau di Masjid Pelita Air Service, Pondok Cabe.
Setelah duduk, Beliau Ra. dipertemukan dengan pembantunya yang sering mendapat masalah dengan mentalnya (karena banyak hal-hal aneh) yang ia lihat di rumah tersebut sejak ia menjadi pembantu beberapa bulan belakangan ini. Kepada Asy-Syekh al-Akbar bahkan si murid menanyakan apakah ia mesti ’dipertahankan’ sebagai pembantu di rumahnya.
Asy-Syekh al-Akbar mengatakan biarlah ia tetap di rumahnya. Karena di tempat lain belum tentu ia akan mendapatkan tempat sebagaimana sekarang ini. Ia perlu diasuh dan dijaga, mudah-mudahan membawa berkah rumah tangganya.
Saat pembantu itu bertemu, ia mencium tangan
Asy-Syekh al-Akbar. Setelah itu ia mencium tangan kepada ’seseorang’ di sebelah Beliau Ra. Dan juga ’satu lagi’ yang berada di sebelahnya. Betapa herannya majikan (si murid) menyaksikan keanehan yang diperlihatkan pembantunya ini. Sang manjikan pun berkata, ’Kamu mencium tangan siapa?’ Si pembantu menjawab, ’Orang yang mengiringi Bapak ini (Asy-Syekh al-Akbar). Kok keduanya tidak diajak bicara?’ Pembantu itu malah balik bertanya.
Asy-Syekh al-Akbar sudah mengerti apa yang terjadi. Namun Beliau sembunyikan untuk ’PR’ buat tuan rumah.
Sepulangnya
Asy-Syekh al-Akbar dari rumahnya, ia menginterogasi pembantunya dalam rangka mencari tahu apa yang dilakukan pembantunya siang tadi. Akhirnya, ingatlah ia kepada sebuah buku wirid Tarekat Idrisiyyah. Ia pun memperlihatkan buku tersebut kepada pembantunya. Dan si pembantu membulak balik halaman buku tersebut. Sesampainya pada halaman terakhir yang memuat foto Guru-guru Tarekat Idrisyyah, akhirnya ia berucap histeris, ’Naah, ini dia yang saya lihat tadi siang!’ sambil menunjukkan telunjuknya kepada foto Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. dan Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra.
Cerita ini menambah haru bagi keluarga si murid, dan merasakan kehadiran pembantu itu membawa hikmah yang besar dalam rumahnya. Saya pun memahami kehadiran keduanya, sebagai rasa senangnya Gurunya tersebut (
Asy-Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra.) yang kebetulan adalah kakeknya. Karena si cucu sudah lama belum kembali ke pangkuan Idrisiyyah, sedangkan kepemimpinan Tarekat ini adalah merupakan generasi yang ketiga di Indonesia.
Tidak hanya itu, si isteri juga menceritakan mimpi yang indah sekali. Suatu ketika ia terganggu kembali dengan penyakit vertigo (kepala) yang sudah lama ia derita. Ia mengalami ketidaksadaran cukup lama yang membuat khawatir suaminya.
Setelah sadar, sang isteri bercerita, bahwa ia telah diajak ’jalan-jalan’ ke alam ruhani oleh
Asy-Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Ia sempat dibawa ke sebuah gedung seperti masjid yang indah sekali. Tidak ada yang cacat dari sikap para dayang-dayang yang menyediakan suguhan makanan dan minuman kepadanya. Semuanya cantik-cantik dan begitu ramah kepadanya. Belum sempat ia menikmati suguhan itu, ia beranjak ke luar ruangan. Di luar gedung itu ada sebuah gerbang. Dan di sanalah ia sudah ditunggu Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. Seketika ia terbangun dari tidurnya.
Saya tertegun, rasa syukur mendengar ini karena ruhani suci memberi aroma wewangian yang harum dan keindahan rasa bagi keluarga ini. Saya berharap ia menjadi semangat menjadi seorang murid, dan semoga langgeng bahtera rumah tangganya di bawah bimbingan Imam Zaman ini.

Minggu, 22 Juli 2007

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (ii)

Melanjutkan cerita terdahulu. Ikhwan saya itu juga berbaik hati untuk menceritakan ’cerita khusus’ lainnya tentang pengalaman ruhani isterinya,
Suatu malam pada saat berzikir istri saya tertidur, dalam mimpinya ia tengah berkumpul dengan beberapa orang / umat yang sedang akan berangkat ke puncak bukit. Di tengah kerumunan tersebut tampak sosok Syekh al-Akbar bersama murid-muridnya. Semua orang berangkat ke puncak bukit tersebut, khusus untuk murid-murid Syekh al-Akbar sebelum berangkat mereka minta izin terlebih dahulu kepada Gurunya termasuk istri saya. Di tengah kerumunan tersebut dia juga melihat ibunya sedang berusaha untuk naik kebukit itu juga. Banyak orang mencoba untuk naik tapi banyak yang tidak sampai bahkan terjatuh kembali. Tetapi ia melihat hampir semua murid Syekh al-Akbar bisa dengan aman dan lancar sampai ke puncak bukit. Di puncak bukit istri saya merasakan suasana yang luar bisa nikmatnya yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata,... Ketika dia berada di puncak, ternyata ia juga melihat ibunya (yang bukan murid) berusaha untuk naik ke bukit tersebut, tetapi hanya sampai di tengah dan tidak sampai-sampai, sambil memanggil istri saya untuk minta pertolongan, tetapi istri saya tidak bisa menolong.
Inilah gambaran perbedaan orang yang telah berada dalam naungan Birokrasi Ilahiyyah di bawah pimpinan Syekh al-Akbar dengan yang tidak. Alangkah ruginya jika kita tidak mau menjemput ’petunjuk’ ini agar nasib kita tidak seperti mereka yang bersusah payah mendaki ’gunung keselamatan’.
Janganlah kita mengharapkan syafaat (pertolongan) di akhirat nanti, harapkanlah di dunia ini agar dimudahkan mendapat pemimpin yang dapat membimbing kita ke jalan yang lurus. Sebab manakah kita sanggup merasakan azab-Nya sekecil apapun bentuknya sebelum diberi pertolongan (syafa’at). Marilah kita harapkan keselamatan. Di dunia dan di akhirat. Selamat di dunia, berarti tidak mendapatkan kelengahan dalam beribadah. Selamat di akhirat berarti masuk syurga tapi tidak ’mampir’ ke neraka terlebih dahulu.
Berkenaan dengan orang-orang yang belum berbai’at dengan Syekh al-Akbar atau menikmati Birokrasi Ilahiyyah ini, Beliau Ra. berpesan agar setiap murid senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka. ’Usahakan, kata Beliau, agar mereka tidak menaruh kebencian dalam hatinya kepada sosok Syekh al-Akbar! Karena orang-orang yang membenci dengan Syekh al-Akbar akan terputus hubungannya di akhirat nanti.’ Beliau Ra. melanjutkan pernyataannya dengan firman Allah: ’Inna syaani-aka huwal abtar’. Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membencimu itu adalah orang-orang yang terputus (hubungannya)’. Orang-orang yang terputus ini merupakan salah satu golongan yang tidak mendapatkan syafa’at Birokrasi Ilahiyyah di akhirat nanti.’ Na’uudzubillaah min dzaalik.

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (i)

Man lam yadzuq lam ya’rif (Barang siapa yang belum (tidak) merasakan maka ia tidak akan mengenal). Begitulah pepatah yang pernah dikemukakan seorang sufi besar masa lalu, Dzun Nun al-Mishri Qs. Inilah yang merupakan dasar mengapa setiap murid harus mengerti kebesaran (keagungan) dan maqam Syekhnya agar ia dapat berkhidmah dengan lapang. Ia harus mendapatkan bukti sebagai dasar keyakinan.
Mungkin cerita berikut ini akan menggugah kita, isteri kita atau anak-anak kita untuk mengenal lebih dekat siapakah Syekh al-Akbar itu dari sisi ruhaniyah, bukan dari sisi jasmani. Karena jika kita melihat sisi Beliau secara jasmaniyah, sama halnya para sahabat melihat Nabi Muhammad Saw dalam pandangan lahir, yang juga makan, minum, tidur, berkeluarga, dan sebagainya.
Seorang murid wanita telah membuktikan hal itu dan baru mengetahuinya, meskipun ia telah sekian tahun lamanya ikut mengaji dengan suaminya. Suaminya bercerita kepada saya,
Setiap waktu saya berdo’a kepada Allah dengan wasilah Syekh al-Akbar, mudah-mudahan isteri dan anak-anak saya dibukakan pintu hatinya agar mereka juga mendapatkan keyakinan seperti saya dalam menyikapi tuntunan dan ajaran-ajarannya selama ini. Dan saya juga ikhtiar (bukan hanya do’a), sedapat mungkin di setiap pengajian rutin hari Ahad yang dihadiri Syekh al-Akbar di Batu Tulis bisa membawa keluarganya semua (anak dan isterinya). Bertahun-tahun hal itu saya lakukan meski isteri saya belum mendapat cahaya keyakinan seteguh apa yang ia rasakan sekarang.
Tapi suatu hari sepertinya Allah mengabulkan permintaan saya. Di suatu saat istri saya sedang berzikir Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatin wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah sambil melihat foto Syekh al-Akbar yang terpampang di suatu dinding rumahnya. Tiba-tiba foto tersebut mengeluarkan cahaya terang berkilau. Tentu saja kejadian ini membuatnya kaget (karena baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh yang begitu nyata ia rasakan).
Dan pada malam harinya ketika tertidur ia bermimpi bertemu dengan sosok manusia berjubah dengan wajah hitam dan mengaku sebagai Syekh al-Akbar. Ia berkata kepada istri saya, ’Jangan ikuti Syekh al-Akbar yang lain, yang lain itu adalah Syekh al-Akbar palsu dan yang benar adalah saya ini!’ Istri saya menjadi bingung, sebab kok Syekh al-Akbar yang mengaku-ngaku itu wajahnya tidak sama dengan Gurunya. Di tengah ketakutannya itu ia berteriak Madad Syekh Akbar! maka secara tiba-tiba sosok berwajah hitam tersebut menghilang.
Kejadian inipun diceritakan kepada saya, dan saya merasa bersyukur kepada Allah. Terasa lapang dada ini mendengarnya.
Saya mendengar ini begitu senang sekaligus menimbulkan rasa iri. Duuh, seandainya isteri saya dan murid Idrisiyyah lainnya yang belum merasakan seperti itu akan mengalami hal serupa. Tentu menambah cahaya dalam rumah tangganya, dan tidak ada konflik dengan kebijakan Syekh al-Akbar melalui Birokrasi Ilahiyyah-Nya.

Kamis, 19 Juli 2007

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 M)

Imam al-Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 M)

Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'iin, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldun, p. 328]

Gelar 'Syaikh al-Akbar'

Kalimat ‘Syaikh al-Akbar’ [1] yang diletakkan di depan nama beliau & Khalifah sesudahnya adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh Rasulullah SAW [2] kepada Sulthan Awliya pilihan pada zamannya, bukan semata-mata ungkapan pujian atas sesuatu kelebihan dari murid-muridnya. Sebab banyak di zaman sekarang menjadi ‘latah’ untuk memberikan penghormatan khusus kepada Guru Mursyid atau Ulama yang dikaguminya, baik yang masih hidup maupun telah wafat. Hal demikian tidak mengapa, asalkan tidak terlalu berlebihan, yakni tidak melebihi daripada kadar (proporsi) yang sebenarnya. Gelar yang utama bagi seorang Syekh adalah yang diberikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Karena martabat yang di atas itu terlebih tinggi daripada martabat yang di bawah. [3]
Pemberian ‘Syaikh al-Akbar’ ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman dunia ini akan dipimpin oleh seorang yang memiliki martabat khusus. Kalimat Syaikh al-Akbar merupakan Dakwah Mursyidah, yang diungkapkan seperti mengajak semua manusia untuk mencari tahu siapakah yang dikatakan sebagai ‘Syaikh al-Akbar’ itu dan siapakah Guru Mursyid sebenarnya (hakiki), yang merupakan pilihan Rasulullah SAW pada setiap zamannya. Sehingga meskipun ia berada di belahan bumi manapun, maka hendaknya ia mencarinya agar senantiasa mendapat petunjuk & tidak tersesat. Hal ini mengingatkan kita pada suatu keterangan hadits. [4]
Istilah ‘Syaikh al-Akbar’ ini dalam sisi pengajaran Tasawuf maksudnya menafikan ‘nama’, ‘ego’, kemegahan diri, dsb. Karena cenderung tidak menyebutkan nama Syekhnya, sehingga tidak ada kesan memiliki. Dalam suatu majelis, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan sering menyebut bahwa semua murid yang hadir ini adalah murid Syekh al-Akbar Abdul Fattah, bukan murid Bapak, Bapak (Sy. Muh. Dahlan) hanyalah menjalankan amanat/tugas. Dan demikian pula Syekh al-Akbar Abdul Fattah-pun mengatakan demikian, bahwa semua muridnya adalah murid Syekh Ahmad Syarif Sanusi, dan seterusnya. [5] Sehingga begitu kalimat itu sampai kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa semua murid adalah hamba Allah. Inilah tuntunan dalam kefaqiran (merasa tidak memiliki) dan ketawadhu’an (merendahkan diri/menjauhi kemegahan diri).
Menyebut kata ‘Syekh al-Akbar’ berarti menyebut semua Guru dalam silsilah Thariqat. Ketika seorang murid meneriakkan ‘Madad/tolong Syaikh al-Akbar!’ maka secara langsung berarti ia memohon pertolongan kepada Allah SWT, sebab dalam sekejap setiap Syekh yang mendengar panggilan muridnya itu akan meneriakkan kalimat tersebut kepada Gurunya masing-masing, hingga yang rantai penyampaiannya sambung menyambung dari Guru pertamanya hingga terakhir.
Syekh al-Akbar, dalam nuansa ketawadhu’an, bukanlah artinya seorang Syekh yang paling agung (terbesar), tetapi maknanya adalah seorang Syekh yang senantiasa merasakan seluruh gerakan nafasnya berada dalam genggaman Allah Yang Besar (Akbar), selanjutnya Syekh tersebut belajar untuk taat & mematuhi segala perintah Allah Yang Besar. Demikian Guru kami mengajarkan.
Keterangan:
[1] Dalam literatur yang penulis temukan, ada dua sosok Ulama Shufi yang disebut sebagai Syaikh al-Akbar oleh kalangan murid atau pengikutnya, yaitu: Muhyiddin Ibnu ’Arabi (seorang Shufi Andalusia, Spanyol), dan Syekh Bahauddin Naqsyabandi (lihat Kitab Tanwirul Qulub). Guru Besar (seperti Rektor) dalam perguruan tinggi Al-Azhar, Kairo Mesir saat ini diistilahkan pula dengan Syekh al-Akbar.
[2] Gelar ‘Syaikh al-Akbar’ diberikan oleh Rasulullah Saw kepada Syekhuna Abdul Fattah lewat seorang murid Idrisiyyah yang mukasyafah, beliau bernama Ajengan Mukhtar dari Awipari, Tasikmalaya. Setelah itu banyaklah pengalaman ruhani yang menyebutkan kedudukan ‘Syaikh al-Akbar’ bagi Sulthan Awliya pada kepemimpinan Tarekat Idrisiyyah di Indonesia selanjutnya.
[3] Artinya gelar seorang Syekh yang diberikan seorang murid kepadanya berbeda dengan gelar yang diberikan Rasulullah. Karena banyak orang menyanjungkan seseorang hanya sebagai ungkapan Mahabbah kepadanya, bukan berdasarkan pengetahuan Ilahiyyah dari Rasulullah SAW. Wallaahu A’lam.
[4] Dalam suatu hadits diceritakan bahwa pemimpin seperti Imam Mahdi itu harus dicari ke manapun meskipun ia harus merangkak di atas salju.
[5] Ungkapan ini juga dikemukakan oleh penerus beliau, Asy-Syekh al-Akbar Muhamad Daud Dahlan.
[Diambil dari Buku 'Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah']

Selasa, 17 Juli 2007

Seandainya saya masih hidup

Pada saat diadakannya wisata dzikir di Cipatujah (Pantai Selatan) beberapa hari yang lalu (14 Juli 2007) ada selintas peristiwa yang menarik untuk diungkap. Ada seorang ibu (murid Idrisiyyah) yang sering mengalami ‘kehadiran’ ruhani. Karena seringnya, ia sudah ‘pengalaman’ tentang tanda-tanda kedatangan seorang makhluk gaib (Rijalul Ghaib).
Saat program acara wisata spiritual Cipatujah ia merasa tidak siap untuk dihadiri oleh ruhani-ruhani suci. Dan akhirnya sebagaimana biasanya ia mendapat sinyal-sinyal kedatangan seorang Awliya Allah yang ingin ’meminjam tubuhnya’. Apa yang ia katakan pada ruhani gaib itu,
’Sekarang saya tidak menerima kedatangan tamu, saya mau berdagang tahu. Yang lain saja!’.... pernyataan itu pun diucapkannya berulang-ulang’. Hingga akhirnya sosok ruhani gaib yang tiada lain adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan itu berhasil ia tepis dan tidak mampu ’mengganggu’ aktivitasnya selama acara tersebut.
Rupa-rupanya kedatangan ruhani Syekh Abdul Muhyi itu ’disambut’ oleh murid Idrisiyyah yang lain. Syekh Abdul Muhyi berhasil ’menundukkan’ raga si murid. Dengan meminjam tubuh si murid, Syekh Abdul Muhyi mengatakan,
’... Seandainya saya masih hidup, saya akan menjadi murid Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra.!’
Pernyataan ini sudah diungkap beberapa puluh tahun yang lalu.
[Lihat Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’]. Hanya saja waktu itu yang menjadi Syekh al-Akbar (sulthan Awliya) adalah Ghautsul A’zham Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.

Ada apa dengan ‘Cipatujah’?

Wisata dzikir di Cipatujah memiliki misteri yang tidak diketahui banyak, termasuk murid Idrisiyyah sekalipun. Mereka (khususnya) pengurus dengan waktu dan persiapan yang sangat terbatas hanya bersikap ‘Sami’na wa Atho’na.
Beberapa hari sebelum acara tersebut Ruhani Syekh al-Akbar memberitahukan kepada salah seorang murid, mengapa diadakan acara tersebut secara mendadak? Syekh al-Akbar mengisyaratkan bahwa akan ada kejadian yang teramat besar di bumi yang saat ini kita pijaki. Sebenarnya P. Jawa ini akan meledak, dan guncangannya akan terdengar dan dirasakan oleh seluruh penjuru dunia!
Namun bumi yang sedang bergolak ini masih memandang keberadaan Sulthan Awliya di atasnya. Kethuilah bahwa gerak turun aliran darah Syekh al-Akbar secara fisik sangat berpengaruh secara significant terhadap fenomena alam saat ini.
Mengapa bumi ini bergejolak? Ooh, Syekh al-Akbar sedang mengekspresikan kekecewaan terhadap umat ini yang tidak mau peduli dengan keberadaan Imam Zaman!! Mereka (umat Islam khususnya) sudah tidak peduli dengan keberadaan Khalifah Rasulnya saat ini. Mereka acuh tak acuh.
Apa nasib umat ini jika informasi keberadaan Khalifah Zaman sudah diinformasikan, sedang mereka mengingkarinya?! Jangan heran bumi ini akan menggeliat dengan hebat. Kejadian alam yang belum pernah terjadi pada masa dahulu akan muncul. Apa gunanya dengan apa yang orang-orang usahakan selama ini tentang dunianya?
Pandangan ruhaniyah ternyata berbeda dengan pandangan mata kita yang sering tertipu dengan kesibukan dunia ini.
Dan, selang beberapa jam Menteri ESDM Bapak Purnomo Yusgiantoro dalam jumpa persnya (setelah menghadap Presiden) menginformasikan bahwa sejumlah gunung-gunung berapi di Indonesia dalam kondisi aktif . Pemerintah segera membuat rencana-rencana penanggulangan bencana alam skala nasional, mengantisipasi dengan kondisi Siaga terhadap gunung-gunung yang tiba-tiba menjadi aktif.
[Ada satu gunung dalam posisi siaga aktif, yaitu G. Soputan (Sulut). Dan 10 gunung lainnya dalam posisi waspada, yaitu: G. Talang (Sumbar), Anak Krakatau (Lampung), G. Merapi (Jateng), G. Semeru dan G. Bromo (Jatim), G. Batubara (NTT), G. Lokon dan G. Karangetang (Sulut), G. Dukono & G. Ibu (Maluku Utara).]
Berita ini merupakan relevansi sinyal ruhaniyah yang didapat oleh seorang murid Idrisiyyah. Hal ini menandakan alam ruhani lebih dahulu mengetahui kondisi-kondisi yang akan terjadi terhadap alam ini.
Setelah acara di Cipatujah (keesokan harinya) pemerintah menginformasikan bahwa beberapa gunung yang disebutkan sebelumnya turun posisinya dari siaga menjadi waspada.
Alhamdulillaaah!
Yaa, Allah Yaa Rahmaan, lindungilah kami pada saat air mata darah sudah tidak lagi berarti! Jangan jadikan kami sebagai orang-orang yang terlambat menggapai karunia hidayah-Mu.
Yaa, Allah Yaa Rahmaan, panjangkanlah usia Beliau, Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan, agar tersisa waktu dan kesempatan bagi kami untuk membenahi diri, dan orang-orang yang belum mendapatkan curahan anugerah hidayah Birokrasi Ilahiyyah.


Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 M

Dalam suratnya al-Maqasid: "Ciri jalan sufi ada 5:
1. menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri
2. mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
3. menghindari ketergantungan kepada orang lain
4. bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
5. selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M)

Imam Ahmad (r): "Ya walladii 'alayka bi-jallassati ha'ula'i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu 'alayna bikathuratil 'ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa 'uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi," --Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi) Imam Ahmad (r) tentang Sufi:"Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)

Imam Syafi'i (150-205 H./767-820 M)

Imam Shafi'i: "Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut
3. mereka membimbingku ke dalam jalan tasauf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]

Imam Malik (94-179 H./716-795 M)

Imam Malik (716-795 M) (r): "man tassawaffa wa lam yatafaqqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran)." (dalam buku 'Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195

Imam Abu Hanifa (700-767 M)

Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 M) (r) berkata, "Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja'far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar".
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn 'Abideen said, "Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma'ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta'i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi." Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu'man, "Jika tidak karena dua tahun, Nu'man (saya) telah celaka." Itulah dua tahun bersama Ja'far as-Sadiq.

Senin, 16 Juli 2007

Susah itu Ada Gunanya

Seorang anak sedang asyik mengamati kupu-kupu yang sedang berusaha keluar dari kepompongnya. Ia melihat betapa susah payahnya kupu-kupu tersebut berjuang untuk melepaskan diri dari kepompongnya. Menit-menit berlalu, kupu-kupu tersebut masih terus berjuang untuk melepaskan dirinya. Lamban sekali kemajuannya untuk keluar dari kepompong itu. Didorong oleh rasa kasihan, anak itu mengambil gunting dan memotong bagian kepompong yang belum terbuka itu. Akhirnya dengan cepat kupu-kupu tersebut keluar dari kepompongnya. Kupu-kupu itu bebas terbang ke mana pun juga. Tetapi, yang terjadi justru mengenaskan. Kupu-kupu tersebut tidak dapat menggerakkan sayapnya untuk terbang. Akhirnya, ia terjatuh dan mati. Mengapa demikian?
Menurut pakar serangga, kepompong itu membelenggu kupu-kupu sedemikian rupa sehingga ia dipaksa untuk bersusah payah menggeliat dan membentuk otot-ototnya. Akibat susah payah tersebut, otot-ototnya terbentuk dan kupu-kupu tersebut siap dan mampu untuk terbang. Setelah lewat segala susah payah itu, kupu-kupu tersebut siap untuk terbang. Membebaskan kupu-kupu dari susah payahnya sama dengan memberinya hukuman mati.
Manusia pilihan Allah diberi kepahitan dan cobaan hidup agar jiwanya akan membentuk pribadi yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan.

Pohon Menyindir

Berdzikir mudawamah (langgeng/ tidak henti) adalah dianjurkan sekali bagi orang-orang ingin mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan Hari Akhirat. Begitulah, Syekh al-Akbar memerintahkan kepada salah seorang muridnya yang sedang dilanda kerindan, ‘Teruslah berdzikir, jangan sampai terhenti!’ Perintah ini ia laksanakan dengan kesungguhan sammpai akhirnya ia lelah, dan terhenti dari berdzikrullah. Tiba-tiba datanglah pohon di dekatnya berkata, ‘Mengapa berhenti? Saya saja tidak henti-henti menyebut-nyebut nama Allah!’ Si murid menjadi malu terhadap pohon tersebut dan segera melanjutkan dzikirnya tanpa menghiraukan rasa lelah yang dideritanya.
Menurut ingatan si murid, pohon tersebut adalah pohon durian dan nangka sirsak. Mengapa pohon ini yang datang kepadanya. Pohon ini menjelaskan bahwa buah-buah ini disenangi oleh Syekh al-Akbar. Dan buah-buahan yang disenangi dan dimakan oleh Beliau akan berdzikir untuk Syekh al-Akbar.
Pada saat ia berdzikir, ia mengalami Fana, lalu dibawalah ruhaninya itu ke langit pertama. Di sana ia diperlihatkan hamparan biru sutera yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Berkatalah ia kepada al ’Arif billah Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, ‘Saya ingin melanjutkan (perjalanan saya) ke langit berikutnya Syekh al-Akbar!’ Dalam hati si murid, di langit pertama saja suasananya saja begitu indah, apalagi langit ke tujuh hingga ’Arasy. Namun Syekh al-Akbar berkata, ‘Belum saatnya kamu ke sana, sekarang sampai di sini saja dulu. Suatu saat kamu akan Bapak antar ke sana’. Akhirnya si murid terdiam.
Lalu ia diperjalankan melihat seluruh permukaan bumi. Ia melihat pemandangan rumah-rumah, gedung-gedung, dan sebagainya hingga ia ditampakkan negara Amerika, Eropa, Indonesia, semuanya begitu kecil. Bumi yang dilihatnya dari langit hanya sebesar mangkuk bakso. Syekh al-Akbar berkata, ‘Begitulah dunia, jika ada orang yang menginginkan dunia, sama saja ia seperti menginginkan semangkuk bakso. Tidak lebih dari itu’.
Di langit bumi itu ia mendengar suara banyak orang berdzikir, entah dari mana suara itu, ia dekati. Setelah ia mendekat ia menyadari bahwa asal gemuruh suara dzikir itu berasal dari kumpulan orang berpakaian serba putih berkumpul bersama melaksanakan dzikir. Menurut si murid, ada salah seorang di antara mereka yang datang kepadanya dan berkata, ‘Kami semua adalah malaikat yang berada di atas bumi (langit pertama, red), sedang menunggu Syekh al-Akbar untuk memimpin dzikir’.
Si murid menjadi kaget. Iapun bertanya, ‘Memang kalian tahu siapa Syekh al-Akbar itu?’ Para malaikat itu menjawab dengan suara meyakinkan, ‘Oooh, kami tahuu siapa Syekh al-Akbar. Seluruh malaikat di sini tahu siapa Syekh al-Akbar itu. Siapa yang tidak tahu beliau di seluruh penjuru langit (pertama) ini. Beliau memang kurang begitu terkenal di bumi namun Beliau (Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan) sangat terkenal di sini’.
Menjadi pahamlah si murid. Dan ia menyaksikan betapa syahdunya mereka (para malaikat berdzikir), berirama dan berdzikir sambil berdiri dengan penuh kekhusyuan. Terlihat asyik dan nikmat, mereka melakukan dzikir. Gerakan dzikirnya begitu teratur dan enak sekali dipandang.
Inilah bukti bahwa berdzikir kepada Allah sambil berdiri itu memang diperintahkan, bukan hanya jama’ah Idrisiyyah saja yang melakukan, akan tetapi para penduduk langit juga melakukan hal seperti itu.
************

Sabtu, 07 Juli 2007

Hubungan Amal Lahir dengan Hati

Kesucian pakaian, kemudian kesucian badan adalah kulit lapis kedua (yang dekat dengan hati). Kesucian hati adalah inti batin yang terdalam. Kesucian hati dari kotornya akhlaq yang tercela adalah kesucian yang terpenting, tetapi pengaruh pancaran hati tidak terlepas dari kesucian lahir. Karena apabila anda menyempurnakan wudhu dan merasakan kebersihan anggota badan lahir anda, maka anda akan merasakan ketentraman dan kejernihan dalam hati anda yang tidak anda rasakan sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya misteri hubungan antara alam Syahadah (alam kasat mata) dengan alam malakut (alam tidak kasat mata). Sesungguhnya anggota badan lahiriyah termasuk alam syahadah, sementara hati termasuk alam malakut secara asal fitrah. Ketika turun ke alam syahadah, ia seperti orang yang asing dari wataknya sendiri.
Adalah sebagaimana mengalirnya pengetahuan hati menuju anggota badan, maka begitu pulalah cahaya akan memantul naik dari kondisi anggota badan menuju hati. Oleh karenanya manusia diperintah shalat, padahal shalat itu sendiri merupakan gerakan anggota tubuh yang termasuk alam syahadah. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai amal yang dilakukan di dunia (bukan akhirat) dan merupakan bagian dari dunia. Beliau-pun pernah bersabda: “Ada tiga hal dari dunia kalian yang menjadi kesukaanku,…. .” (al Hadits)
Bila setelah bersuci dan menyempurnakan wudhu ternyata tidak merasakan sedikitpun kejernihan hati yang kami jelaskan, maka ketahuilah bahwa kotoran yang menimpa hatinya dari keseluruhan syahwat dunia dan kesibukannya telah menyebabkan kepenatan pada kepekaan hati sehingga tidak mampu lagi merasakan sentuhan-sentuhan lembut dan hal-hal yang tersembunyi dan halus.
Oleh karena hanya memahami hal-hal yang bersifat konkrit saja, maka perlulah ia mencurahkan perhatian untuk mempertajam kepekaan hati dan menjernihkannya. Hal itu adalah sangat penting baginya.
(Al-Asrar Fil Awliya)

Kisah ketaatan seorang hamba

Seorang lelaki beribadah kepada Allah selama 70 tahun. Amalnya naik ke langit dalam keadaan bersih. Para malaikat takjub melihatnya. “Yaa Allah, izinkanlah aku menguji lelaki ini,” kata malaikat. “Ujilah dia kalau kau mau,” kata Allah.
Malaikat itu lalu turun, menemuinya. Ia mengucap salam, lelaki itu membalasnya. “Aku adalah malaikat utusan Allah. Allah berkata bahwa meskipun kamu beribadah kepada-Nya seperti ini kamu tetap akan menghuni neraka”.
“Aku menyembah Allah bukan karena takut neraka atau ingin syurga. Akan tetapi aku tahu bahwa ketaatan adalah perbuatan yang Ia cintai, karena itu aku akan selalu taat sampai aku mati. Terserah pada-Nya untuk menempatkan aku di syurga atau neraka. Aku tidak pantas memilih. Aku hanyalah seorang hamba. Aku tidak boleh menentang Qadha dan Qadar. Dan aku tidak punya hak untuk menilai Tuhanku, Pemberi segala kebaikan”.
(Tuhfatul Asyraf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman as Segaf)


Berdialog Langsung Dengan Allah

Adalah Soedjono Oemardani yang pernah bertemu dengan Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra., dan ia langsung menyatakan bahwa ia dapat langsung bercakap-cakap dengan Allah, tanpa perlu melaksanakan shalat.
Mendengar hal itu Syekh al-Akbar mengatakan, ‘Coba buktikan pengakuanmu itu!’ Lalu Pak Soedjono berdiam sejenak menutup mata untuk bermeditasi. Beberapa menit kemudian ia membuka matanya. Belum sempat ia mengutarakan apa yang dialaminya, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. mengatakan, ‘Yang engkau katakan adalah begini-begini dan begini! Dan bisikan yang menjawab bahasa hatimu adalah begini dan begini! (Syekh al-Akbar menguraikan dialog batin yang terjadi pada diri Pak Soedjono)’.
Betapa kagetnya Pak Soedjono, ‘Lho kok Pak Kiyai tahu apa yang batin saya katakan?’ Tanpa menjawab kemudian Syekh al-Akbar memerintahkan, ‘Sekarang, lakukanlah apa yang sebelumnya kamu lakukan (bermeditasi lagi, red)!’
Setelah beberapa lama tak kunjung selesai meditasi Pak Soedjono, hingga akhirnya sambil menggeleng-gelengkan kepala ia membuka pelupuk matanya. Raut mukanya menandakan rasa kecewa, tidak sebagaimana keceriaan yang tampak saat pertama berjumpa. Apa yang terjadi?
Syekh al-Akbar bertanya, ‘Sekarang, apa yang akan kamu ceritakan?’ Pak Soedjono berkata, ‘Saya heran, mengapa saya tidak dapat jawaban dari yang gaib. Padahal saya sudah berusaha semaksimal mungkin!?’
‘Mau tahu apa yang terjadi?’ Tanya Syekh al-Akbar, ‘Sesungguhnya yang menjawab ungkapan hatimu itu adalah jin. Dan jin itu sekarang telah saya usir, sehingga kamu tidak dapat jawaban lagi darinya!’
Pak Soedjono terdiam seribu bahasa, ia tidak menyangka bahwa bahasa kalbunya tidak mujarab lagi untuk dijadikan alasan bahwa ia dapat langsung berbicara dengan Allah.

Belum Saatnya Mati

Seorang murid yang berada di Surabaya menceritakan pengalamannya yang tidak akan pernah terlupa. Ia mengungkapkan beberapa tahun lalu saat melakukan dinas kerja (proyek) di daerah Sulawesi Utara, ia pernah mengalami sakit parah. Selama seminggu ia tidak mampu menggerakkan badannya. Yang terpikirkan olehnya adalah sebentar lagi ia akan meninggalkan dunia yang fana ini.
Pada detik-detik yang sangat kritis ruhnya bergerak meninggalkan tubuhnya. Saat yang begitu lemah itulah ia sempat menyaksikan pergerakan ruh tersebut, sampai ia merasa kaget, ‘Bukankah itu (ruh) adalah saya?!’ Belum sempat ia menela’ah apa yang terjadi tiba-tiba datanglah ruhani Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan. Beliau berkata, ‘ Wahai ruh, kembalilah kepada jasadmu karena belum saatnya engkau meninggalkan tempatmu!’ Kemudian si murid menyaksikan sendiri ruh tersebut masuk kembali ke raganya.
Alhamdulillah, setelah kejadian itu ia kembali sehat. Kejadian yang tidak terlupakan itu mengisyaratkan bahwa dirinya yang sedang kritis ditolong dan diperhatikan oleh Guru Mursyidnya.

Kamis, 05 Juli 2007

Berbuat Baik Menunggu Kabar Gaib?

Ada seorang yang bermimpi dirinya dikejar-kejar oleh seekor ular naga yang ganas. Dalam mimpinya itu, ia lari lintang pukang. Namun malangnya, seberapa kuat pun ia berlari, ular naga yang selalu menyemburkan api dari mulutnya itu tetap saja dapat mengikutinya. Ke manapun ia bersembunyi, selalu saja dapat ditemukan oleh ular naga itu. Dalam kepanikannya, akhirnya ia berjumpa dengan seorang tua renta yang wajahnya bercahaya bak rembulan. Berharap bahwa orang tua ini sakti mandraguna, ia pun lalu meminta bantuan padanya untuk mengusir ular naga itu. Tetapi sang kakek berwajah rembulan ini, ternyata malahan menangis sambil mengatakan bahwa dirinya terlalu lemah untuk menghadapi ular naga yang galak itu. Dengan rasa panik yang amat sangat, ia pun lalu kembali lari tunggang langgang menghindari sang ular naga yang tampak semakin bernafsu untuk melumatkan dirinya. Untunglah pada keadaan yang kritis itu ia segera terbangun.
Meskipun hanya mimpi, tetapi rupanya hal ini memberikan kesan yang mendalam bagi jiwanya. Maka dicarinyalah orang yang terkenal pandai membaca tabir mimpi.
"Ular naga itu adalah penjelmaan amal salehmu, sedangkan orang yang tua renta yang berwajah rembulan itu adalah wujud dari amal salehmu", begitulah tutur sang ahli pembaca tabir mimpi.
Mendengar hal itu, orang ini pun tertegun sambil mengingat-ingat perbuatannya selama ini. "Pantas saja kalau orang tua berwajah rembulan itu tidak bisa menolongku, karena amal salehku selama ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pembangkanganku kepada Tuhan," katanya lirih.
Akhirnya orang itupun bertekad untuk bertobat dengan sungguh, yaitu ia akan selalu mentaati perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
Sebenarnya kisah di atas tidaklah aneh, karena meang setiap orang pernah bermimpi. Tetapi apakah kita harus bermimpi dikejar naga dahulu baru mau bertobat? Apakah kita lupa sudah berapa banyak saudara kita yang meninggal tanpa sempat bermimpi dikejar naga?
(Bahan renugan kalbu, Ir. Permadi Alibasyah, cet. XIII, hal.380)

Peran wasilah di Alam Barzakh

Seorang murid telah didatangi orang tuanya ketika ia berdzikir. Orang tuanya tersebut berkata, ‘Baik-baiklah kamu menitipkan diri di bawah bimbingan Mursyidmu, karena Gurumu (Asy-Syekh Al-Akbar, red) itulah yang telah mengirimkan segala sesuatunya kepadaku. Hal itu disebabkan hanya karena aku mempunyai anak yang menjadi muridnya.’ Selanjutnya diungkapkan, ‘Do’a atau pahala amal shaleh itu tidak akan sampai ke tempat yang dituju, meskipun orang yang melakukan berdo’a atau beramalnya itu dilakukan sambil menangis tidak kenal henti sehabis air mata, atau dengan penuh kekhusyu’an. Do’a itu harus ada wasilah (pengantar)nya agar sampai kepada Allah Zat Yang Tak Terjangkau oleh indera. Syekh al-Akbar Muhammad Daud ini sangat dikenal oleh seluruh penghuni alam Barzakh. Sebab kedatangannya itulah membawa rahmat bagi kami. Orang-orang yang tidak mendapatkan kiriman dari saudaranya yang masih hidup, apabila akan dikumandangkan berita mengenai kedatangan beliau, mereka segera berbaris berdesak-desakkan, hanya ingin mendapatkan hembusan angin jubahnya. Mereka yang berbaris itu semuanya kurus-kurus. Tapi apabila ia menghirup harum terpaan angin dari jubah Syekh al-Akbar, serta merta mereka yang mendapatkan hembusan jubahnya akan segera berubah menjadi gemuk badannya. Bapak sekarang mohon petunjuk kepada Syekh al-Akbar, tolong sampaikan salam kepada beliau! Sebab Bapak meskipun sudah hidup bahagia di sini masih bimbang, sebab perjalanan menuju Padang Mahsyar begitu jauh dan teramat panjang’. Seolah-olah dari yang dikatakan Bapaknya (menurut peunutur), ‘Saya sudah tidak dapat berjuang lagi, harapan saya hanya ada pada anak yang sedang mengikatkan diri kepada Asy-Syekh Al-Akbar. Dan dari itulah ia bisa bahagia dan selamat nantinya di akhirat’.

Bersyahadat Di alam Ruhani

Mimpi seorang murid ini mengejutkan, dan belum pernah terjadi sebelumnya. Suatu ketika dalam mimpinya ia melihat ada seseorang yang dikenalnya datang kepadanya. Orang tersebut adalah orang keturunan (Cina) beragama non muslim yang sudah meninggal. Rumahnya berdekatan dengan Masjid Jami’e Al-Fattah.
Orang itu berkata, ‘Tolong bimbinglah saya bersyahadat, saya ingin menjadi umat Islam!’ Si murid berkata, ‘Ya tunggu, nanti saya akan panggil Guru saya. Madaad Syekh Akbar!’ Maka datanglah Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan dan menanyakan apa keperluannya. Lalu diceritakan oleh si murid mengenai keinginan orang tersebut yang ingin menjadi seorang muslim.
Syekh al-Akbar berkata, ‘Tunggu dulu, saya akan memanggil Rasulullah Saw’. Seketika suasana menjadi hening dan syahdu, sunyi tidak ada angin seperti suasana malam Lailatul Qadr. Setelah lebih kurang selama 10 (sepuluh) menit datanglah Rasulullah Saw seolah-olah turun dari langit. Saat itulah Syekh al-Akbar menyuruh orang tersebut mengikuti apa yang beliau sebutkan, ‘Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa Asy-hadu anna Muhammadar rosuulullaah!’ Syahadat itu dilafazhkan berulang-ulang selama 3 kali.
Selesai pengucapan syahadat yang dihadiri oleh Rasululullah Saw itu, maka Rasulullah pun pamit, dan mengucapkan salam. Sebelum ruhani Beliau Saw naik ia bersuara lantang, ‘Madaad Syekh al-Akbar Muhammad Daud!’ Selanjutnya Beliau naik ke langit dan lenyap dari pandangan.
Yang bermimpi terbangun, dan ia melihat jam menunjukkan pukul 1 tengah malam.
Beberapa hari kemudian ia melaporkan peristiwa itu kepada Gurunya, dan menanyakan mengapa Allah memberikan karunia mimpi yang indah hingga bertemu dengan Rasulullah Saw. Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mengatakan, ‘Karena kedhaifan engkau-lah Allah berikan karunia itu. Agar engkau sebagai murid menjadi kuat keyakinannya terhadap Gurunya’.
Catatan:
Setelah ditelusuri siapa gerangan orang yang dimaksud dalam mimpi ini. Ternyata orang tersebut memang mempunyai sifat yang terpuji selama hidupnya (meskipun ia non-muslim). Ia senantiasa bersangka baik terhadap Syekh al-Akbar (waktu itu Sy. Akbar Muhammad Dahlan) dan murid-muridnya. Pernah terlihat ketika ia membeli sayur mayur ia bersedia mengalah, membiarkan orang-orang mesjid mendahuluinya. Ketika ada jama’ah Idrisiyyah yang ingin berbelanja di warungnya ia memperlihatkan sikap yang ramah sekali. Bahkan sering ia berpartisipasi dalam berbagai kegiatan mesjid seperti Idul Qurban, Maulid, dsb.

Sholawat Fatihiyyah (Shalawat Pembuka)

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ, وَالْهَادِيْ إِلىَ صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ, وَعَلَى ألِهِ وَصَحْبِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.
Yaa Allah sampaikanlah shalawat dan salam serta berkahilah atas pemimpin dan pelindung kami, Muhammad SAW, pembuka perkara-perkara yang tertutup, dan penutup apa-apa yang terdahulu, Penolong Haq (kebenaran) dengan Haq (Kebenaran), Penunjuk kepada jalan Engkau yang lurus. Dan atas keluarga beliau, dengan sebenar-benar nilai dan ukurannya yang penuh dengan Keagungan.

Keutamaan Sholawat Fatihiyyah (Sholawat Pembuka)
Shighat Sholawat Fatihiyyah ini dinisbahkan kepada Sayyidi Muhammad al Bakri Rahimahullah. Disebutkkan bahwasanya barangsiapa membaca sholawat ini sekali dalam hiddupnya, niscaya masuk syurga. Para pemimpin Shufi di Maghrib (Maroko) mengatakan bahwa sholawat tersebut turun atas beliau (Sy. Al Bakri) dalam bentuk tulisan (lembaran) dari Allah. Jika membacanya sekali sebanding dengan pahala 6X (kali) khatam Quran, demikianlah Nabi SAW mengabarkan kepadaku, kata Syaikh Al Bakri.
Di antara kelebihannya adalah membacanya sekali menandingi 10.000 sholawat, ada yang mengatakan 600.000 sholawat. Barang siapa malaziminya selama 10 hari, niscaya diampuni oleh Allah SWT daripada segala dosa. Barang siapa membacanya pada malam Kamis atau Jum’at atau Senin, menyertai / berkumpul ia dengan Nabi SAW. Dan membacanya setelah sholat 4 raka’at. Raka’at awal membaca Al Qadr 3X, raka’at kedua membaca Al Jalzalah 3X, raka’at keetiga membaca Al Kafirun 3X dan pada raka’at keempat membaca Al
Mu’awwidzatain 3X. Membacanya lebih utama menggunakan wangi-wangian.
(Diambil dari Afdholus Sholawat, Sy. Yusuf an Nabhani)


Selasa, 03 Juli 2007

Shalawat Adalah Amal Kebaikan yang Paling Utama

Ahmad ibn al‑Mubarok dalam kitab al‑Ibriz bab XI menuliskan sebuah riwayat yang beliau terima dari gurunya, lautan ma'rifat, junjungan kita Abdul Aziz ad‑Dabbagh. la berkata: "Saya mendengar beliau mengomentari pendapat orang‑orang bahwa shalawat atas Nabi saw dari siapa saja pasti diterima. Maka beliau berkata: shalawat atas Nabi saw adalah amal atau kebajikan yang paling utama. la adalah dzikir atau bacaan para malaikat yang berada di sudut‑sudut surga. Di antara berkah dari shalawat nabi adalah: setiap kali mereka, para malaikat itu, bershalawat, surga menjadi bertambah luas. Mereka tidak pernah lelah membacanya. Demikian pula surga, tidak pernah bosan untuk meluaskan dirinya.

Mereka berjalan, surga mengikuti di belakangnya. Surga tidak pernah diam untuk meluaskan dirinya hingga para malaikat itu berpindah bacaan dzikir, yaitu ke bacaan tasbih. Mereka tidak akan mengganti dzikir tersebut hingga Allah SWT bertajalli kepada para penduduk surga dengan surga. Dan ketika Dia telah bertajalli kepada mereka dan para malaikat telah menyaksikanNya, mereka pun mulai bertasbih. Ketika mereka telah memulainya, surga pun 'diam'; tempat-tempat di dalamnya beserta para penghuninya tidak berubah. Seandainya saja, kalau sejak awal diciptakan mereka langsung membaca tasbih, niscaya surga tidak akan bertambah sedikit pun. Inilah sebagian dari barokah shalawat atas Nabi saw.

Namun demikian, tidak serta merta amal shalawat akan diterima kecuali dari orang yang bersih hatinya. Karena apabila shalawat keluar dari lidah orang yang berhati bersib niscaya ia akan keluar dengan.selamat dari segala macam penyakit amal kebajikan seperti riya, 'ujub dan semacamnya; orang yang memiliki kejernihan hati tidak akan disinggahi penyakit‑penyakit amal tersebut. Inilah inti pemahaman dari beberapa ungkapan yang disebutkan dalam hadis‑hadis senada yang lain, seperti: "Barangsiapa membaca "La ilaha illallah," ia akan masuk surga. " Yaitu, apabila hati orang yang membacanya bersih. Karena dengan keadaan yang demikian ia akan membacanya dengan hati yang ikhlas, semata untuk Allah SWT."

Ibn al‑Mubarok melanjutkan: "Saya bertanya kepada beliau, mengapa surga bisa menjadi bertambah luas dengan bacaan shalawat atas Nabi saw, tidak dengan bacaan tasbih atau, dzikir‑dzkir yang lain?" Beliau inenjawab: "Karena se­sungguhnya surga berasal dari cahaya Nabi saw. Oleh karena­nya ia merindukan beliau saw, sebagaimana seorang anak merindukan ayahnya. Dan apabila ia mendengar nama beliau disebut, maka tergeraklah ia Ialu terbang menghampiri beliau, karena ia ingin mereguk minuman dari beliau. Sedangkan para malaikat yang berada di sudut‑sudut dan di pintu‑pintu surga sibuk dengan menyebut nama beliau. sambil membaca­kan shalawat. Inilah yang membuat surga menjadi rindu dan tergila‑gila kepada beliau.lalu mengejar mereka, para malaikat, kemanapun mereka pergi, sedangkan mereka berada pada setiap sudut‑sudutnya, sudut surga tersebut, maka menjadi luaslah keseluruhan.

Beliau, Abdul Aziz ad‑Dabbagh selanjutnya berkata: “Seandainya tidak karena kehendak Allah untuk menahan hal itu, niscaya surga akan keluar, meluas ke dunia pada saat Nabi saw masih hidup. Pastilah ia akan pergi ke mana saja beliau pergi dan akan ikut bermalam di tempat beliau menginap. Hanya saja Allah SWT mencegahnya keluar mengikuti Nabi saw, agar iman kepada beliau saw dicapai dengan cara ghaib.". Beliau melanjutkan: "Apabila Nabi saw masuk bersama umatnya kedalam surga, maka bersuka‑citalah ia dengan kedatangan mereka, lalu ia meluaskan dirinya untuk mereka. la merasa bangga dan bahagia tiada tara atas peristiwa ini.

Syaikh rahimahullah mengutip sebuah riwayat dari al-Hafidz as‑Sakhawi dari al‑Fakihani, bahwa shalawat Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw adalah bukti salah satu keistimewaan beliau di atas saudara‑saudaranya, para rosul yang lain. Tidak pernah tercantum, baik dalam al‑Qur'an atau dalam kitab‑kitab lainnya yang saya ketahui, menyebutkan adanya shalawat dari Allah SWT atas seorang nabi atau rasul selain Nabi kita saw. Inilah sebuah keistimewaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya di atas para nabi yang lain!'

Selanjutnya Syaikh berkata: Abu Utsman al‑Wa'idz meriwayatkan sebuah pendapat dari Imam Sahal ibn Muhammad Ibn Sulaiman. la berkata: "Penghormatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw dalam firmanNya pada ayat 56, al‑Ahzab, bahwa Allah dan para malaikatNya sama‑sama bershalawat atas Nabi saw, lebih sempurna dan lebih menyeluruh dibandingkan dengan penghormatan ter­hadap nabi Adam as ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya. Karena tidaklah pantas bagi Allah mengikuti para malaikatNya melakukan sujud sebagai penghormatan atas beliau. Sedangkan dalam penghormatan kepada Nabi saw Allah SWT telah mempermaklumkan DzatNya yang Agung dengan bershalawat atas beliau saw yang kemudian diikuti oleh para malaikatNya. Maka penghormatan yang berasal dari Allah SWT lebih tinggi nilainya daripada penghormatan yang hanya semata dari para malaikat, tanpa adanya keikutsertaan Allah SWT."

Al-Hafidz as‑Sakhawi berkata: "Al‑Wahidi meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari al‑Ashmu’i la berkata: Saya telah mendengar al‑Mahdi dari atas mimbar di Basra berkata: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu sebuah perintah yang Dia mulai dari DiriNya sendiri, kemudian diikuti oleh para malaikatNya yang suci, maka Dia berfirman sebagai penghormatan atas nabiNya:
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang‑orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. 33:56).
Dia telah mengistimewakannya di atas para rasul mulia yang lain dan telah mewariskannya pada kamu semua, wahai manusia. Maka bayarlah nikmat‑nikmatNya dengan syukur dan perbanyaklah membaca shalawat kepadanya."

Al-Hafizh as‑Sakhawi selanjutnya menegaskan: "Kesepakatan ulama telah baku, bahwa di dalam ayat ini terkandung sebuah penghormatan kepada Nabi dan penegasan akan ketinggian derajatnya, yang tidak terdapat pada ayat yang lain."

************
Al-Hafizh as‑Sakhawi dengan mengutip perkataan Imam al‑Fakihani berkata: "Puncak pencarian orang‑orang terdahulu dan orang‑orang kemudian adalah satu shalawat dari Allah SWT. Bagaimana tidak andaikan ditanya kepada orang yang cerdas: manakah yang lebih anda senangi, segala amal kebaikan manusia berada dalam buku catatan anda ataukah satu kali shalawat dari Allah untuk anda, niscaya ia tidak akan meinilih kecuali shalawat dari Allah itu. Maka apakah yang ada dalam pikiran anda tentang orang yang mendapatkan shalawat dari Allah dan para malaikatNya secara terus menerus dan berkesinambungan, apabila orang tersebut terus menerus dan menetapi shalawat untuk Nabi saw. Bagaimana mungkin seorang mukmin akan merasa nyaman untuk tidak memperbanyak shalawat kepada Nabi saw atau bahkan melalaikannya." (Afdhalus-Shalawat, Yusuf bin Ismail an-Nabhani)

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki beberapa malaikat yang bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tugas mereka adalah menyampaikan salam kepadaku dari umatku”.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT memiliki seorang malaikat yang diberi pendengaran semua makhluk yang akan menjaga kuburanku setelah aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang membaca shalawat kepadaku dengan setulus hati melainkan malaikat tersebut berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, si Fulan anak si Fulan telah membacakan shalawat untukmu’. Nabi Saw bersabda: Maka Allah Yang Agung lagi Suci bershalawat atas orang itu sepuluh kali setiap satu kali shalawat, dan para malaikat akan bershalawat kepadanya selama ia membacakan shalawat kepadaku”.


(Al-Asrar fil Awliya)