Kamis, 16 April 2009

Menengok Sisi Sejarah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

Saat ini tidak banyak yang mengetahui darimana sesungguhnya Syekh Abdul Muhyi berasal. Tapi banyak yang menyatakan Beliau berasal dari daerah setempat (Pamijahan, Karangnunggal, Tasikmalaya) atau dari Jawa. Padahal menurut seorang murid Al-Idrisiyyah yang pernah didatangi ruhani Beliau, perawakan Beliau tidak seperti orang Jawa. Beliau berambut keriting dan berkulit hitam. Salah satu keturunan Beliau adalah Ajengan Khoyr Afandi (alm., pimp. Ponpes Miftahul Huda, Manonjaya Tasikmalaya), yang kulitnya mengindikasikan hal tersebut. Satu lagi bukti kuat yang saya peroleh adalah ketika saya membaca buku sejarah Banten. Di buku itu tertulis bahwa Syekh Abdul Muhyi berasal dari Saparua (Ambon).
Syekh Abdul Muhyi hidup pada masa kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dan pernah terjadi pertemuan penting saat Syekh Yusuf Makasar (Mufti Banten waktu itu) menyingkir dari Banten hingga pesisir Selatan Jawa Barat. Terakhir sebelum diberitakan bahwa istri dan keluarganya ditangkap oleh Belanda dan ia menyerahkan diri ke Cirebon, Syekh Yusuf sedang berada di daerah Pamijahan bersama Syekh Abdul Muhyi. Di sini (di sela-sela gerilya menghadapi tentara Belanda yang didukung oleh Sultan Haji) Syekh Yusuf sempat memberikan kenang-kenangan sebuah kitab tasawuf kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Ada dua alasan mengapa keduanya begitu akrab. Pertama, satu predikat sebagai Ulama Tarekat. Keduanya pernah menimba ilmu Tarekat hingga ke negeri Aceh, yang waktu itu Ulama yang termasyhur adalah Syekh Nuruddin ar-Raniry dan Syekh Abdur Rauf Sinkly. Kemudian dikenal ajarannya sebagai ajaran Martabat Tujuh. Kedua, mereka adalah orang pendatang di tanah Jawa yang berasal dari wilayah Timur Indonesia.
Saya teringat saat mengunjungi situs Wali Allah yang berpangkat Awtad ini kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Saat itu saya masih senang berjalan ke sana ke mari untuk mencari wawasan dan pengetahuan tentang kondisi umat Islam di berbagai daerah khususnya tempat yang menjadi tempat tinggal atau singgah seorang Wali penyebar Dienul Islam.
Dalam perjalanan menuju gua tempat khalwat beliau, saya masih ingat betul ada tempat di mana ada larangan merokok. Anehnya, larangan itu hanya sejauh sekitar 50 meter saja. Kata orang setempat, kalau ada yang melanggar akan terjadi sesuatu yang kejadian yang tidak menguntungkan baginya. Setelah bertanya-tanya akhirnya dapatlah informasi bahwa sebab musabab adanya larangan merokok di wilayah tertentu itu, karena dahulu saat Syekh Abdul Muhyi dibimbing oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani Qs. secara ruhani, di tempat itu ia merokok. Tiba-tiba perjalanannya menjadi gelap, dan ia menjadi terhijab (terhalang) dari bimbingan ruhani Gurunya tersebut. Dalam istilah Tarekat dikatakan bahwa ia telah terputus ikatan Rabithah dengan Mursyidnya. Sebelumnya ke manapun ia menghadap, selalu muncul bayangan ruhaniyah Gurunya membimbing jalan hidupnya. Akhirnya setelah ia mengintrospeksi diri, ia dapatkan jawabannya. Ya itulah, karena merokok.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa ruhani yang suci tidak suka kepada hal-hal yang buruk. Diistimewakan bagi para pengikut Tarekat yang mengambil tali silsilah kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani Qs ini. Beliau memutuskan hubungan dengan murid yang ia cintai karena masalah ini.
Perkara merokok bisa menjadi hal yang biasa (remeh), dan bisa menjadi hal yang luar biasa bagi orang tertentu yang mengehndaki bimbingan ruhaniyah yang lurus. Dan, anehnya sisi ajaran mengenai pantangan (larangan) ini seolah tak menggema di lubuk hati pengagum Syekh Abdul Qadir Jaelani. Lebih-lebih kuncen atau orang-orang yang mengaku keturunan dari Wali Awtad ini. Bahkan, pada saat itu (mungkin saat ini) banyak yang belum memahami hikmah adanya larangan merokok di situs Pamijahan yang tiap hari dikunjungi oleh ratusan hingga ribuan orang dari pelbagai daerah.
Situs Wali itu hanya dilihat dari segi barokah duniawi semata, tapi tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni kecenderungan kepada akhirat. Orang-orang di sekitar hanya mengambil 'keuntungan' dan menganggap hal itu sebagai barokah. Tapi ajaran larangan merokok sebagai kebersihan lahir batin tidak menjadi tekanan. Orang-orang sekitar tempat ziarah tetap bebas merokok, tak menghiraukan nilai-nilai kesucian ajaran Kewalian Syekh Pamijahan.
Ada sebuah kisah lagi yang saya ingat beberapa puluh tahun yang lalu, pernah terjadi peristiwa 'kunjungan ruhani' Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Qs. pada diri seorang murid. Ketika itu si murid sedang diuji dengan sakitn istrinya yang semakin parah sehingga menyebabkan ajalnya. Saat Syekh al-Akbar akan berbicara melalui lidah seorang murid untuk memberikan petuah-petuah kami sedang berkumpul bersama (berjama'ah). Tiba-tiba salah seorang teman datang, menghampiri kami. Begitu pintu diketuk, kami jawab salamnya. Setelah itu kami menunggu-nunggu wejangan dari Syekh al-Akbar, tapi tidak muncul-muncul.
Selesai pertemuan itu, saya bertanya mengapa Syekh al-Akbar tidak jadi berbicara? Jawab si murid yang akan didatangi ruhani tersebut, 'Sebenarnya Beliau sudah datang dan siap untuk memberikan pencerahan kepada kita, tapi Beliau pergi lagi karena ada orang yang masih belum bersih (masih merokok, red) datang. Akhirnya Beliau menghindar, karena ruhani suci itu tidak bisa menyatu dengan yang kotor (najis)'. Sebab telah dimaklum bahwa rokok itu berasal dari kencing iblis.
Tidak ada hubungan lahir yang bersambung antara Syekh al-Akbar dan Syekh Abdul Muhyi, karena mereka bukan sezaman. Juga tidak ada pertemuan tertentu keduanya untuk mengungkapkan bahwa merokok itu adalah hijab besar jasmaniyah dan ruhaniyah. Tapi, dalam dunia Kewalian baik Syekh al-Akbar mupun Syekh Abdul Qadir Jaelani keduanya bukanlah dua kubu yang berbeda. Tapi satu atap dalam sistem atau tatanan Birokrasi Ilahiyyah. Yang membedakan hanyalah masa. Dan yang menyamakan adalah kesatuan konsep kepemimpinan Ilahiyyah. Dan itu dibuktikan pada sisi sejarah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan mengenai adanya larangan merokok.
Wallaahul Haadi Ilaa Shirotim Mustaqiim.

Jakarta, 17 April 2009