Rabu, 10 Desember 2008

HUKUM BERSURBAN

(Petikan Kitab Ad-Di’amah Fii Ahkaami Sunnatil ‘Imaamah, karya Al-Muhaddits Sayid Muhammad bin Ja’far al-Kattani)

Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang. Dan shalawat dan salam terlimpahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabatnya.
Telah menyebutkan Pengarang kitab Muhadharah al-Awail (mengikuti perkatan Imam Jalaluddin as-Suyuthi) bahwa yang pertama kali melilitkan surban di kepalanya adalah Bapak kita Adam As. Dan Jibril lah yang melilitkan surban di kepalanya sewaktu Nabi Adam baru keluar dari syurga ke dunia. Saat berada di syurga Beliau memakai mahkota.
Sesudah masa Beliau (Adam As) yang mengenakan surban adalah Dzulqarnain. Ia menggunakan mahkota (raja) sebelumnya. Sebabnya mengenakan surban adalah karena ia memiliki 2 tanduk seperti kuku hewan yang bergerak-gerak. Maka Beliau menutupinya. Suatu ketika ia memasuki kamar mandi bersama sekretaris pribadinya. Dan ia meletakkan surban dari kepalanya (sehingga tampak kedua tanduknya). Lalu berkata Dzulqarnain kepada sekretarisnya, ‘Ini adalah sesuatu yang belum pernah tampak kepada siapapun selain kamu! Jika aku mendengar (rahasia ini) dari yang lain maka aku akan membunuhmu!’
Maka keluarlah sekretarisnya itu. Setelah itu ia dibayang-bayangi oleh rahasia yang akan membawanya kepada kematian. Ia pun pergi (untuk mengeluarkan rahasianya itu) ke padang pasir (yang sepi), lalu ia letakkan mulutnya ke tanah, dan mengatakan, ‘Sesungguhnya Raja (Dzulqarnain) memiliki 2 tanduk!’
Maka Allah Ta’ala menumbuhkan dari setiap kalimatnya itu 2 batang bambu. Orang yang melihat (2 batang pohon di tengah padang pasir ini) merasa takjub, dan memotongnya, kemudian dijadikan seruling. Saat seruling itu ditiup maka terdengarlah suara berkumandang, ‘Sesungguhnya Raja (Dzulqarnain) memiliki 2 tanduk!’ Maka tersebarlah berita ini ke seluruh kota. Berkata Dzulqarnain, ‘Ini sudah menjadi kehendak Allah!’ (Kitab Awa-il as-Suyuthi)
Dalam Kitab Nihayah disebutkan bahwa kedudukan ‘Imamah (surban) bagi bangsa Arab laksana mahkota (Tijan) bagi para Raja, karena kebanyakan manusia tidak menutupi kepalanya (dengan kopiah putih dan surban).
Ibnu Syaibah, Abu Daud, Ibnu Mani’, Al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ali Ra., ‘Nabi Saw memakaikan surban di atas kepalaku pada hari Ghadir Khum, dan menguraikan ujungnya ke pundakku’. Dan Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku ditolong sewaktu perang Badar dan Hunain oleh para malaikat yang bersurban’. Beliau juga bersabda, ‘Sesungguhnya pemisah antara Kafir dan Iman adalah surban!’ Dalam riwayat lain ‘pemisah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin’.
Beliau bersabda, ‘Umatku senantiasa dalam keadaan fitrah selama ia mengenakan surban’. (HR. Dailami)
Sabda Nabi Saw: ‘shalat 2 raka’at dengan bersurban lebih utama 70 kali daripada tanpa surban’. (Musnad Firdaus)
Sabda Nabi Saw, ‘Sesungguhnya para malaikat menyampaikan shalawat kepada orang-orang yang mengenakan surban di hari Jum’at’. (HR. Thabrani, Abu Nu’aim) Dalam riwayat lain disebutkan ‘para malaikat memohonkan ampun bagi orang-orang yang mengenakan surban di hari Jum’at’.
Berkata Al-‘Arif Billah Syamsuddin Al-Hanafi mengenai hadits, ‘Bersurbanlah, agar membedakan kalian dengan umat sebelum kalian!’ maknanya, ‘Berbedalah kalian dengan orang sebelum kalian, karena mereka tidak menganakan surban!’
Firman Allah Ta’ala: Ya , jika kalian bersabar dan bertaqwa, dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda (As-Suumatu). (Ali Imran: 125) Para Mufassirin menyebutkan bahwa pengertian As-Suumatu (السومة) dengan dhommah huruf Sin (سُ) adalah Surban.

Senin, 17 November 2008

PETIKAN-PETIKAN UCAPAN SYEKH ABDUL AZIZ AD-DABBAGH RA.

DALAM KITAB ‘UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-‘ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-‘ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM.

Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.

Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.

PETIKAN-PETIKAN UCAPAN SYEKH ABDUL AZIZ AD-DABBAGHRA.

DALAM KITAB ‘UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-‘ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-‘ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM.

Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.

Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.

Kamis, 13 November 2008

LISAN YANG BERDZIKIR

Khutbah, 14 November 2008

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Salah satu kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang tampak di muka bumi ini adalah berbicara. Berbicara menggunakan alat yang bernama lisan. Lisanlah yang menyebabkan seseorang bahagia atau menimbulkan bencana dan malapetaka di mana-mana. Betapa dahsyat pengaruh lisan sehingga ketika seorang Sahabat Ra. tergelincir dalam suatu ucapannya, Rasulullah Saw mengingatkan, ‘Sekiranya ucapanmu itu jatuh ke atas air laut, niscaya laut akan menjadi tawar!’
Lisan, dengan itu banyak manusia tersimpan atau terungkap kebaikan atau kejahatannya. Kalau lisan begitu lihai menyembunyikan kejahatan, sehingga KPK bisa terkecoh, maka di hadapan Allah Al-Hakim All-’Adil ia tidak dibiarkan berbicara. Alyawma nakhtimu ‘alaa afwaahihim, watukallimunaa aydiihim, watasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuun. (Q.S. Yasin: 65) “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Ada orang yang mampu berbicara lancar dan cepat, dan ada yang lambat atau bahkan gagap. Salah satu Nabi yang diuji Allah dalam hal ini adalah Nabi Musa As., sehingga ketika akan menghadapi musuhnya dalam menyampaikan Risalah yang Allah amanatkan kepadanya Beliau berdo’a: Robbisyrohlii shodrii wayassirlii amrii wahlul ’uqdatam millisaanii yafqohuu qowlii. [Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan pada lisanku untuk berbicara agar mereka yang mendengarku memahami ucapanku]. Q.S. Thaha: 27
Kita sering tidak mampu menguraikan kata-kata, padahal kita rajin berbicara yang tak penting, hingga puluhan hingga ratusan gosip kita edarkan setiap hari. Orang yang diberi kemampuan berbicara yang berguna dan makna yang padat (Jawami'ul Kalim) seperti junjungan kita Nabi Muhammad Saw saja pernah berucap: Laa Uhshii tsanaa-an ’alayka kamaa atsnayta ’alaa nafsika [Tiadalah aku sanggup mengucapkan pujian keagungan kepadaMu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu sendiri].
Kalau Nabi Saw merasa tidak mampu berbicara sempurna tentang Kebesaran dan Keagungan Allah SWT, bagaimana dengan lisan kita yang sering kelu mengungkapkan kebenaran? Sebenarnya ada 2 masalah penyebab orang tidak mampu berdzikir atau menyebut Kebesaran Allah. (Pertama) Karena Ketinggian pemahamannya tentang Allah SWT dan (Kedua) karena tidak mengertinya orang itu sehingga tidak mampu menjangkau pentingnya menyebut Nama Allah.
Jika Nabi Musa As kelu (gagap) dalam menyampaikan yang haq, kita pun banyak yang kelu dalam menyampaikan kejujuran. Banyak di antara kita kelu lisannya untuk mengucapkan terima kasih, tertahan lidahnya untuk menyampaikan kata maaf, beku lidahnya untuk menyatakan pengakuan kekurangan dirinya. Lidah kita begitu perkasa mengungkapkan bahwa diri kita adalah sempurna, sehingga mengajak orang-orang mengikuti di bawah bendera kepemimpinannya.
Hadirin Rahimakumullah,
Di zaman sekarang lisan menjadi asset atau modal penting meraih rizki dan kehidupan. Sehingga dengan kata-kata yang akurat dan penuh pesona, seseorang mendapatkan bayaran. Dari seorang guru, penceramah, pembawa acara hingga pengacara (yang sekarang lagi naik daun). Apakah kita tidak yakin jika kita berdzikir (menyebut-nyebut) Allah yang menciptakan kita juga mendapatkan bayaran? Bayarannya adalah nanti di akhirat, sedangkan keberkahannya dapat kita cium di kehidupan ini.
Memang esensi dzikir adalah mengingat dalam pengertian seluruh aspek kehidupan. Dan kita tahu bahwa pengertian Iqra pada permulaan wahyu bukanlah sekedar baca secara lisan. Pada kesempatan ini tidak cukup untuk membahas semuanya. Kita dahulukan maknanya pada level ucapan. Karena ada ucapan suatu dzikir (dalam suatu hadits) yang timbangannya di sisi Allah melebihi 7 lapis langit dan bumi.
Mengapa berdzikir? Sabda Nabi Saw: Matsalul ladzii yadzkkuru robbahuu wamatsalul ladzii laa yadzkuru robbahuu kamatsalil hayyi wal mayyit.
“Perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak mengingatnya adalah seperti perbandingan orang yang hidup dengan yang mati”. (HR. Bukhari & Muslim)
Bagaimana memulai dzikir yang sempurna bagi mubtadi? Adalah mesti ada pemandunya, yakni mengikuti bimbingan seorang Guru. Janganlah kita mengamalkan suatu amalan dzikir tanpa menggunakan pemandu. Bacaan dzikir mesti ada dasar dan asal muasalnya. Berdzikir juga ada adab dan tata caranya sebagaimana kita membaca Al-Quran. Terkadang seorang mubtadi (pemula) mesti mengeraskan suaranya dalam berdzikir agar pendengaran hatinya fokus kepada dzikir yang dilafalkannya. Orang yang keras hatinya, yakni tidak membekas ayat-ayat Allah masuk ke dalam hatinya, pantas melakukan dzikir seperti ini.
Firman Allah SWT: Fa-idza qodhoytum manaasikakum fadzkurullaaha kadzikrikum aabaa-akum aw asyadda dzikroo. [Q.S. Al-Baqarah: 200] Firman Allah tadi membuktikan bahwa kita mesti berdzikir dengan kekuatan yang melebihi kita mengagungkan budaya, mengagungkan nilai-nilai tradisi nenek moyang kita.
Allah menyebutkan istilah dzikron katsiro. Artinya kita mesti banyak-banyak menyebut-Nya. Maka kita tidak heran mengapa kita mesti mengulang-ulang bacaan dzikir itu sebagaimana kita berulang-ulang melaksanakan sholat 5 kali sehari, bekerja setiap hari, dsb. Sedikit kita menyebut-nyebut kebaikan majikan, akan sedikit pula perhatian ia kepada kita. Begitu pula, jika kita sedikit berdzikir kepada Allah, maka sedikit pula rasa dekat kita kepada Allah.
Hadirin Rahimakumullah,
Dzikir pada tahap istiqamah adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para malaikat. Dalam berbagai riwayat, mungkin kita pernah mendengar bahwa ada di antara para malaikat Allah yang terus-menerus sujud, atau ruku, atau berdiri. Ada yang terus menerus bertasbih, ada yang terus menerus memberikan rahmat, ada yang terus menerus mencabut nyawa, dsb. Makhluk yang disucikan Allah tidak akan merasa jemu dengan kelanggengan aktivitas ibadah dan dzikirnya itu.
Jika dzikir sudah menjadi suatu kebutuhan, maka ia tidak akan merasa jemu berdzikir selamanya sebagaimana tidak jemu-jemunya ia memakan nasi setiap hari.
Hadirin Rahimakumullah,
Di zaman sekarang banyak orang yang berdzikir, tapi tidak mengerti apa yang diucapkannya atau mengerti maknanya tapi tidak bisa menempatkannya. Sebagai contoh: Kita memahami Allah itu Besar (Allahu Akbar). Tapi banyak orang mengucapkannya tidak mendapatkan bekas dari apa yang diucapkannya itu. Semestinya ketika seseorang mengucapkan Takbir, Allaahu Akbar, ia merasakan betapa Besar dan Agungnya Allah, dan ia (sebagai makhluk) merasa dirinya kecil di hadapan-Nya. Tapi yang kita lihat orang yang mengucapkan Takbir itu tidak demikian. Mereka ada yang bertakbir, tapi bertambah kesombongannya. Ia meluapkan emosinya, seolah-olah ia adalah Tuhan yang mendengungkan Nama Besar, sehingga orang-orang mesti takluk kepadanya. Bukanlah tujuan takbir itu untuk menakut-nakuti orang. Oleh karenanya bisa kita saksikan putra-putri kita, saudara-saudari kita, berjejal mengumandangkan Takbir di malam yang Agung, tapi mereka tidak mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Mereka mengumbar nafsu dalam bertakbir, tapi tidak menambah kerendahan hatinya ketika ia melafalkannya. Sehingga yang tampak di malam mulia bukan sebuah irama kesyahduan, tapi gemuruh pesta tanpa makna.
Seharusnya kita mesti mengingat kedudukan Takbir itu ketika sholat. Kita merendahkan diri, karena ketika bertakbir kita merasa makhluk yang hina, tak berdaya di hadapan Allah, Allahu Akbar, Allah saja yang Besar. Oleh sebab itu kita merelakan kepala yang berisi ribuan gagasan dan pemikiran jatuh ke bumi, menandakan kita rendah di hadapan-Nya. Bahkan dijelaskan bahwasanya sedekat-dekatnya seorang hamba di hadapan Allah adalah ketika ia bersujud, Al-Hadits.
Hadirin Rahimakumullah,
Saat kita mengucapkan Maasyaa Allaah, Allah saja yang berkehendak atas apa yang kita lihat. Tapi kebanyakan saat mengucapkan itu kita lupa dengan sikap kita. Kita tidak menyerahkan apa yang kita alami kepada Allah Yang Berkehendak.
Kalau kita menyaksikan acara keajaiban flora dan fauna di televisi, pemandu acara biasanya mengungkapkan ‘Lihat, betapa indahnya pemandangan alam ini, lihat tingkah hewan-hewan lucu itu, begitu hebat kekuatan hewan itu mempertahankan hidupnya, alam memang mempunyai keistimewaan tiada tara, dan segudang ucapan takjub lainnya.’ Tapi mereka tidak menyinggung sedikit pun ‘Betapa indahnya Yang menciptakan!’ Subhaanallaah! Pada saat kita merasakan keindahan, kita mengucapkan hal itu. Namun sering kita terlena, takjub kepada yang kita lihat tapi lupa kepada Allah yang menciptakannya.
Alhamdulillah. Segala Puji milik Allah, bukan bagi Allah. Karena tidak pantas kita berbagi dalam pujian. Banyak yang lupa kepada Allah saat ia mengucapkannya. Ia terus menerus ingat nikmat bukan Pemberi nikmat. Kita selalu ingin bersyukur karena ingin bertambah nikmat. Tapi kita hanya mengerti nikmat itu sebatas nikmat dunia, bukan nikmat yang abadi atau kenikmatan bersua dengan Yang Memberi nikmat!
Sering kita tahlil, Laa Ilaaha Illallaah, Tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah. Tapi kita selalu bertumpu hati dan pikiran kita kepada selain Allah. Senandung dzikir tidak membuat kita bergantung kepada Yang kita sebut. Kita menafikan (menolak) keberadaan selain Allah, tapi usaha itu sia-sia karena kita tidak mengupayakan keberadaanNya dalam hati kita.
Hadirin Rahimakumullah,
Di akhir zaman yang semakin gemerlap ini. Kita rindu kepada realita firman-firman Allah berikut ini:
Innamal mu’minuunalladziina idzaa dzukirollaahu wajilat quluubuhum, wa-idzaa tuliyat ‘alayhim aayaatuhuu zaadathum iimaanaa. [Sesungguhnya orang yang beriman itu apabila disebut Nama Allah bergetar, bergejolak hatinya. Dan apabila mereka dibacakan ayat-ayatNya maka bertambahlah keimanannya] (Q.S. Al-Anfal: 2)
Wa-idzaa sami’uu maa unzila ilar rosuuli taroo a’yunuhum tafiidhu minad dam’i mimmaa ‘arofuu minal haqq yaquuluuna robbunaa aamannaafaktubnaa ma’asy-syaahidiin. (Q.S. Al-Maidah: 83)
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul , kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui; seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi .
Saat ini sulit mencari orang-orang yang apabila diperdengarkan ayat Allah mereka bergetar (padahal ia bukan yang berdzikir). Coba kita tengok sejarah masa lalu, di mana Rasulullah Saw beberapa kali menyuruh sahabatnya melantunkan ayat suci Al-Quran, lalu Beliau, ‘Cukup, cukup’. Maka tampaklah air mata meleleh dari kedua mata Beliau Saw.
Dzikir melahirkan kepekaan batin, sehingga berinteraksi dengan Ayat-ayat Allah membuat seseorang bertambah keyakinan dan keimanannya.
Maka bagaimana kita bisa meniru Rasulullah Saw sebagai Uswatun Hasanah, di berbagai forum kita mendengar ayat-ayat Allah dikumandangkan, tapi malah menjadi bahan perdebatan, mencari akal untuk membenarkan pernyataannya, ‘Maknanya bukan begitu! Berbeda pendapat adalah rahmat! Tafsirnya bukan hanya itu!’ Dengan berucap demikian menandakan hati kita kurang peka, pikiran dan jiwa kita belum sadar, kita belum bersikap benar, dan beradab ketika berinteraksi dengan Ayat-ayat Allah.
Semoga kita semua diberikan petunjuk untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kembali menggunakan Al-Quran dan Al-Hadits sebagai tuntutan menuju akhirat bukan tuntutan modal hidup di dunia semata.
Waghrfir warham wa Anta khoyrur Rohimiin. [Ampunilah dan kasihilah (kami), (karena) Engkau sebaik-baik Yang Mengasihi (kami)].
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Selasa, 12 Agustus 2008

Selamat Jalan Pak Kayum

‘Tok, tok, tok’, suara tongkat terdengar dari dekat Kubah (makam Syekh al-Akbar Abdul Fattah & Syekh al-Akbar M. Dahlan). ‘Eh, Pak Kayum. Kenapa Bapak jalan-jalan? Kan Bapak sedang sakit!’ Ucap seorang murid keheranan. ‘Nggak apa-apa. Saya sengaja datang memaksakan diri untuk mengikuti acara Qini’ Jawab Pak Kayum ringan.
Pembicaraan di atas merupakan mimpi seorang murid pada saat menjelang dipanggilnya Pak Kayum ke Haribaan Allah SWT.
Tiba-tiba terdengar suara HP berdering, ‘Pak Kayum tunggu dulu sebentar saya mau buka HP saya dulu, ada yang manggil saya nih!’ Begitu ia mendengar suara dering HP, sambil meraba-raba kantongnya, ia terbangun dari tidurnya. Ketika ia terbangun, ia menyadari bahwa pertemuannya dengan Pak Kayum tadi cuma mimpi. Anehnya, ketika ia bangun ia juga mendengar suara Hp bordering di kantongnya, seolah mimpinya itu bersambung ke alam nyata.
Maka diangkatlah HP-nya, ‘Hallo, Assalamu’alaikum!’ ‘Hallo, siapa ini? Ada apa?’ tanya si murid.
‘Saya anak Pak Kayum Jam’un. Ingin memberitahu bahwa baru saja Bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir! Mohon do’anya dari para jama’ah Idrisiyyah’
Innaa lillaahi wa-innaa ilayhi rooji’uun! Insya Allah nanti akan kami sampaikan berita duka ini. Mohon maaf kami tidak bisa menghadiri pemakaman Beliau besok, karena malam hingga besok pagi kami masih menghadiri acara Qini di Tasikmalaya. Dan semoga ada wakil dari Idrisiyyah ke tempat Bapak!’
Setelah menjawab suara telpon tadi, si murid termenung. Ia tidak menyangka Pak Kayum meninggal secepat itu. Dan yang ia rasakan aneh adalah baru saja ia memimpikannya. Seakan-akan memberitahukan keinginan kuat Beliau untuk menghadiri Qini di Tasikmalaya meskipun fisiknya sudah melemah. Dan kami berniat akan menghadiri acara do’a dan tahlil di rumah almarhum nanti sepulang dari acara Qini.
Pada malam acara peringatan 7 hari wafatnya, seseorang diperlihatkan ruhani Pak Kayum hadir. Saat acara makan malam Syekh al-Akbar hanya membawa sebuah salak di samping piringnya. Ia ingin sekali membawakan buah-buahan yang banyak di dalam ke hadapan Syekh al-Akbar tapi ia tidak lagi mampu. ‘Mohon maaf Syekh al-Akbar, sekarang saya sudah tidak bisa lagi melayani Syekh al-Akbar! Padahal saya pengen sekali melayani Syekh al-Akbar di tempat saya ini dengan sebaik-baiknya!’
Setelah taushiyah selesai, datanglah anak-anak almarhum. Yang tertua datang menghadap Syekh al-Akbar menguraikan kesedihannya, ‘Saya sedih tapi ikhlas ditinggalkan Bapak. Saya tidak mengerti mengapa Bapak tidak memberitahukan saya bahwa Bapak mau pergi. Sedang orang lain diberitahu’. Si murid yang telah menyaksikan kedatangan ruhani Pak Kayum mengatakan, ‘Beliau berpesan kepada saya tolong sampaikan nanti kepada anak saya yang paling tua di hadapan Syekh al-Akbar, bahwa jangan khawatir dengan keadaan saya sekarang ini. Saya telah mendapatkan kenikamatan dan kebahagiaan saat ini. Namun ada satu yang mengganjal di hati saya, yakni harapan saya semoga di antara anak-anak saya ada yang meneruskan hubungan saya di dunia ini dengan Al-Idrisiyyah. Tapi saya pun memberikan kebebasan kepada anak-anak saya semua, silahkan. Saya tidak memaksa anak-anak saya untuk masuk menjadi jama’ah Tarekat Idrisiyyah’.
Sambil berurai air mata anak tertua almarhum mendengarkan apa yang telah diamanatkan Bapaknya kepadanya. ‘Ya, saya akan ikut mengaji di Idrisiyyah suatu saat nanti’. Lanjutnya, ‘Memang, di akhir-akhir kehidupan Bapak, sewaktu masih di rumah sakit dia selalu duduk sambil berdzikir. Dan suatu saat ia terlihat berkata-kata sendiri, seperti ada orang yang ia ajak bicara. Pernah kejadian itu ditegur oleh kami, Bapak sedang bicara dengan siapa? Lalu Bapak katakan bahwa ia sedang bicara dengan Gurunya (Syekh al-Akbar). Kalian tidak tahu ia hadir di sini bersama kita, begitu beliau menjelaskan’.
Pembicaraan itu kemudian terputus, dialihkan dengan rencana Syekh al-Akbar selanjutnya pergi ke daerah Muara Angke, karena di sana telah ditunggu oleh seseorang.
Semoga Pak Kayum dengan bekas-bekas khidmah perjuangannya di Idrisiyyah diberikan kebahagiaan yang paripurna di sisi Allah, Rasul dan Syekh al-Akbar. Amin Yaa Robbal ‘Alamin. Al-Fatihah:
Batu Tulis, 9 Agustus 2008

Arti Sebuah Mimpi

Pada saat menghadiri walimah seorang murid, Syekh al-Akbar bersama rombongan jama’ah memasuki gedung yang sudah dipadati oleh tamu (para undangan). Di atas panggung tampak kedua calon mempelai yang diapit oleh kedua orang tuanya masing-masing. Acara resepsi berlangsung hingga pukul 2 siang, dan rombongan Syekh al-Akbar datang lebih kurang 1 jam menjelang acara usai.
Melihat Syekh al-Akbar datang, dari atas panggung salah seorang Bapak mertua pengantin (murid) datang bergegas menghampiri Syekh al-Akbar. Ia meraih tangan Syekh al-Akbar, dan mengajaknya ke sebuah meja seolah ada sesuatu penting yang ia ingin katakan.
‘Pak Kiyai, saya ingin bertanya tentang suatu masalah! Boleh tidak?’ si Bapak bertanya.
‘Boleh saja!’ jawab Syekh al-Akbar santai.
‘Begini, saya pernah bermimpi. Mimpi ini sudah lama tapi masih saya ingat. Dalam mimpi tersebut saya seolah berada di padang pasir yang luas. Saat itu saya dalam keadaan sendiri, tidak ada yang menemani. Tiba-tiba ada sebuah suara entah dari mana, yang mengatakan ‘Kalau engkau ingin mencari jalan keselamatan dan mencapai kepada tujuan maka jalanlah lurus ke depan. Apabila ada yang mengajakmu saat engkau berjalan nanti janganlah engkau hiraukan, siapapun orang itu!’
‘Maka sayapun berjalan lurus di padang yang luas itu sesuai dengan apa yang diisyaratkan petunjuk suara tadi. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang wanita yang cantik, ia mengajak saya, ‘Jalan yang lurus (keselamatan) itu adalah ke sini (sambil tangannya mengarahkan kepada arah kanan)!’ ‘Tapi saya tidak menghiraukannya, dan saya terus berjalan mengikuti apa yang telah diamanatkan kepada saya!’
‘Setelah berjalan lama, kemudian saya menemukan seorang anak kecil di persimpangan jalan. Ia berkata kepada saya, ‘Jalan yang menyampaikan kepada tujuan adalah sebelah sini (sambil mengarahkan tangannya ke arah kiri jalan)!’. Tawaran ini pun saya tidak gubris, dan saya tetap berjalan terus’.
‘Setela sekian lama saya berjalan, tiba-tiba saya melihat sebuah masjid. Saya masuk ke dalamnya. Dan di dalam ada orang yang sedang shalat berjama’ah yang di depannya ada seorang imam. Saya maju ke depan dan sholat di belakangnya. Setelah selesai salam, saya menengok ke arah kanan dan kiri, ternyata semua jama’ah telah lenyap. Saya tinggal seorang diri. Saya melihat Imam tergeletak tidak sadarkan diri. Saya berfikir harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Kemudian saya berkata dalam hati, ‘Saya kuat memanggulnya!’ Lalu saya angkat sosok Imam tersebut. Saya berhasil mengangkat tubuhnya, tapi saya tidak diperlihatkan wajahnya. Tiba-tiba terdengarlah suara, ‘Dia adalah Rasulullah!
‘Begitulah cerita mimpi saya. Bagaimana ta’bir mimpi tersebut Kiyai?’ Sambil menatap Syekh al-Akbar dengan penuh perhatian.
‘Mimpi tersebut adalah pertanda keadaan zaman saat ini setelah ditinggalkan Nabi Muhammad Saw 15 abad yang lalu. Betapa banyak godaan yang akan dilewati manusia dalam mencapai tujuan Keridhaan Allah melalui jalan yang lurus. Banyak yang mengaku-ngaku mereka berada pada posisi yang benar. Mereka merasa benar, dan yang lain pun merasa benar. Wanita yang ditemui dalam mimpi tersebut adalah gambaran dunia yang menggoda Bapak. Sedangkan anak kecil yang menggoda adalah perumapamaan pemimpin majazi. Pemimpin majazi adalah pemimpin yang mengajak kepada kepentingan dunia semata. Karakternya adalah seperti kanak-kanak, yang menginginkan segala sesuatunya dengan cara yang instan.
‘Siapakah yang dimaksud dengan Imam yang Bapak angkat itu? Tiada lain adalah Khalifah Rasulullah saat ini yang meneruskan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Kebetulan yang diberikan mandat saat ini adalah saya (Syekh al-Akbar). Kalau di Idrisiyyah, banyak murid-murid yang dipertemukan dengan Rasulullah, tapi begitu diperlihatkan wajahnya, maka berubahlah wajahnya menjadi wajah Syekh al-Akbar. Oleh karena Bapak belum diinformasikan kepemimpinan Syekh al-Akbar dan dipertemukan sosoknya maka dalam mimpi tersebut tidak diperlihatkan wajahnya. Padahal apabila diperlihatkan, maka yang terlihat adalah peran ganti Rasulullah pada zaman ini’.
‘Wah, jawaban Pak Kiyai ini benar-benar membuat saya lega dan puas. Gamblang sekali penjelasan yang Pak Kiyai berikan. Sudah banyak Ulama atau Kiyai yang saya tanyakan tidak membuat saya lega dan puas sebagaimana uraian yang Pak Kiyai berikan. Terima kasih Pak Kiyai atas penjelasannya. Mari kita teruskan acara resepsinya!’
Batu Tulis, 11 Agustus 2008

Rabu, 25 Juni 2008

Permintaan Ampun Sayidina Umar Ra.

Pada masa Rasulullah Saw ada seorang pencuri yang tertangkap. Ketika dihadapkan, Rasulullah Saw memerintahkan Sayidina Umar Ra. untuk memberikan hukuman mati terhadapnya. Kemudian dengan ijtihadnya sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui - bahwasanya seorang pencuri itu mesti dipotong tangannya (bukan dihukum mati) – maka ia pun melaksanakan apa yang menjadi pertimbangannya tersebut. Mungkin, dengan hanya dipotong jari tangannya saja maka pencuri tersebut akan jera.
Sepeninggal kepemimpinan Rasulullah Saw, naiklah Sayidina Abu Bakar memimpin umat Islam. Dan pada masa kepemimpinannya ini pencuri tersebut mengulangi lagi perbuatannya. Akhirnya diputuskan untuk memotong tangannya. Setelah berlalu kepemimpinan Sayidina Abu Bakar Ra., naiklah kepemimpinan Sayidina Umar Ra. Dan ternyata terpotongnya tangan tidak juga membuat pencuri itu jera. Kebiasaannya mencuri itu masih tetap dilakukannya juga.
Akhirnya, Sayidina Umar Ra. memutuskan untuk menghukum mati pencuri tersebut. Setelah itu barulah ia sadar atas kebijakan Rasulullah Saw untuk menghukum mati pencuri tersebut dari awal. Di sinilah ia mengakui bahwa kebijakan Nabi Saw melampaui pandangan ijtihadnya. Sedangkan Rasulullah Saw yang dipelihara dari dosa, melakukan segala kebijakannya tersebut berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan keinginan pribadinya.
15 Abad kisah itu berlalu, dan akhirnya diungkap oleh Syekh al-Akbar Muhyiddin sekarang ini. Dalam suatu majelisnya Beliau Ra. menyinggung kekeliruan Umar Ra. ini, karena tidak melaksanakan perintah. Maka suatu ketika seorang murid datang kepada Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan Ra. dan menceritakan bahwa ia melihat Rasulullah Saw menggandeng tangan Umar Ra, sambil berkata, ‘Wahai Umar, lihatlah, apa yang telah engkau lakukan itu (melakukan ijtihad sendiri dan tidak mengindahkan perintah Nabi Saw untuk menghukum mati pencuri [sebagaimana yang ada dalam kisah di atas]) tidak dinilai ibadah oleh Syekh al-Akbar!’ Mendengar hal itu, menangislah Sayidina Umar, sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, mintakanlah ampun untukku kepada Syekh al-Akbar’.
Para pembaca yang budiman, mengapa Sayidina Umar Ra. tidak memohon ampun kepada Allah lewat Rasulullah Saw? Hal ini menunjukkan posisi kepemimpinan Syekh al-Akbar sebagai Khalifah (pengganti peran kepemimpinan umat saat ini) diakui oleh Rasulullah Saw. Maka alam ruhani yang suci tidak dapat didustakan dan dipungkiri ke mana seluruh kebijakan Ilahiyyah saat ini mesti bersandar. Dan Sayidina Umar pun mengerti akan hal itu, sehingga ia mesti meminta syafa’at (pertolongan) ampunan kepada Syekh al-Akbar sebagai pewaris para Nabi.
Fiman Allah SWT:
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku". Q.S. Maryam: 47
Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Pengampun lagi Penyayang". Q.S. Yusuf: 98

Rabu, 18 Juni 2008

Pengalaman Spiritual Pengarang Al-Mizan, Syekh Abdul Wahab Sya’rani

Syekh Abul Mawahib Asy-Sya’rani dalam kitabnya Al-Mizan mengungkapkan:
“Cara untuk meraih derajat kasyaf dalam memahami sumber syariat adalah melalui suluk dengan bimbingan seorang yang Arif dengan syarat seseorang itu harus menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya kepada pembimbing yang arif tersebut dengan hati yang lapang.
Seandainya pembimbing yang Arif itu menyatakan kepadamu: ‘Ceraikan istrimu, atau lepaskan hartamu atau pekerjaanmu’, misalnya, kemudian Engkau membangkang, maka Engkau tidak akan sampai kepada derajat kasyaf meskipun Engkau beribadah selama 1.000 tahun dengan cara biasa.
Apakah ada syarat-syarat lain dalam menempuh suluk? Ya, ada. Di antaranya tidak boleh menyandang hadats walaupun sebentar baik siang maupun malam, tidak makan selama menjalani suluk kecuali kalau sudah dalam kondisi mendesak, tidak memakan makanan yang asalnya bernyawa, tidak makan melainkan jika telah mengalami awal-awal tanda bahaya, tidak memakan makanan pemberian orang lain yang tidak wara’ dalam memperolehnya, seperti orang yang diberi makan karena ia orang baik atau karena ia zuhud, atau orang yang berjual beli dengan petani atau aparat penguasa yang tidak wara’. Syarat lainnya adalah tidak lupa kepada mengingat Allah siang malam meskipun sekejap, bahkan mesti muraqabah setiap saat.
Kalau sudah demikian, maka seseorang suatu ketika akan mencapai derajat ihsan dalam arti seolah-eoalah ia melihat Tuhannya. Atau bisa pula mencpai derajat keyakinan sesudah ihsan, sehingga ia dapat melihat Tuhannya setiap saat dengan mata iman, bukan dengan mata kepala, karena melihat Tuhan dengan mata iman itu lebih menyucikan Allah SWT daripada seolah-olah meilhat Allah dengan mata kepala yang tentunya dibayangi dengan khayalnya, padahal Allah Suci dari segala apa yang terlintas di dalam hatimu.
Jika ada orang bertanya: ‘Bagaimana pengarang kitab (Al-Mizan) ini menempuh suluknya?’ Jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama-tama saya mendapatkan suluk dari Nabi Khidhir As melalui ilmu, iman dan Islam. Kemudian saya mendapatkannya dari Sayid Ali Al-Khawash, sehingga saya dapat memahami sumber syariat melalui rasa (dzauq), kasyaf, dan yakin tanpa ada rasa ragu, kemudian saya bermujahadah dengan amalan-amalan tertentu selama satu tahun. Lalu saya berkhalwat berada di atas tali yang saya gantungkan ke atap sehingga tubuh saya tidak menyentuh bumi. Terus saya berupaya benar-benar dalam bersikap wara’, sehingga saya pernah memakan zat-zat tanah dengan terpaksa apabila saya tidak menjumpai makanan yang sesuai dengan maqam saya dalam ketaqwaan. Saya pun pernah memakan semacam lemak di atas tanah yang mirip dengan lemak daging atau lemak samin atau lemak susu. Suluk semacam ini pernah ada yang menjalani sebelum saya, yakni Ibrahim bin Adham Ra. yang bertahan selama 20 hari hanya memakan zat-zat tanah ketika ia tidak menemukan makanan yang halal menurut maqamnya.
Begitu pula saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung-gedung istana penguasa. Tatkala Sultan al-Ghuri As-Sabath berkuasa yang saya pernah lewati di antara madrasah dan kubahnya yang biru, saya masuk melalui pasar Warraqin dan keluar lewat pasar minuman, jadi saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung istana sultan. Gedung-gedung lain milik orang yang lalim dan penguasa serta aparatnya, hukumnya sama dengan gedung istana yang penuh dengan kelaliman tersebut.
Saya tidak memakan sesuatu kecuali saya teliti terlebih dahulu dengan betul kehalalannya, tidak langsung saya memakannya dengan berdasarkan adanya rukhshah, dan al-hamdulillah saya sampai saat ini tetap seperti itu. Dulu, saya meneliti kehalalan makanan dengan melihat siapa pemilik sebenarnya, tetapi sekarang saya bisa mengetahui halal, haram, dan syubhatnya makanan dengan melihat warnanya atau melalui baunya atau rasanya. Saya merasakan bau wangi kalau makanan itu halal. Saya merasakan bau busuk kalau makanan itu haram, dan saya merasakan busuk yang tidak sebusuk bau makanan haram kalau makanan itu syubhat. Kalau ada tanda-tanda tersebut maka saya tidak memakannya tanpa harus meneliti siapa pemiliknya yang sah. Segala puji milik Allah atas karunia yang demikian itu.
Setelah saya selesai dari perjalanan suluk itu, maka mata hati saya bisa melihat sumber syari’at, yang dari sumber syari’at itu muncul beberapa pendapat Ulama yang kesemuanya bersambung ke sumber itu. Saya bisa mengetahui bahwa semua pendapat tersebut berada di dalam lingkup syara’ yang murni, dan mata hati saya bisa membuktikan bahwa semua mujtahid itu benar dengan pembuktian secara kasyaf dan yakin, bukan sekedar sangkaan dan kira-kira. Mata hati sayapun bisa mengetahui bahwa tidak ada suatu madzhab yang lebih kuat daripada madzhab lain di dalam syari’at. Kalau ada 1000 orang yang membantah saya bahwa ada satu madzhab lebih kuat dari lainnya, saya tidak terpengaruh. Anggapan tersebut hanya karena keterbatasab pemahaman seseorang terhadap sumber syari’at, dan kebenaran anggapan tersebut hanyalah berlaku sepihak.
Di antara yang bisa saya lihat secara kasyaf adalah bahwa ada saluran-saluran parit dari para Imam Mujtahid sebagai tokoh madzhab, di mana parit-parit itu bermuara sampai ke sumber syari’at bagai lautan yang luas. Tetapi parit-parit tersebut mongering airnya dan membatu / menjadi batu, hanya ada 4 parit yang airnya terus mengalir (4 madzhab). Saya memberikan takwil bahwa madzhab 4 Imam tersebut akan bertahan kekal hingga menjelang kiamat. ….
Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 957 H. saya berdoa di dalam Ka’bah, memohon kepada Allah agar diberi tambahan ilmu, kemudian saya mendengar suara dari atas sebagai berikut: “Belum cukupkah kitab Al-Mizan yang telah Kami anugerahkan kepadamu, yang dengan kitab itu kamu meyakini kebenaran semua pendapat para Mujtahid dan para pengikut mereka sampai hari kiamat, yang anugerah tersebut tidak diberikan kepada orang lain pada zamanmu?” Kemudian saya mengatakan: “Cukuplah kepada Allah saya berharap tambahan rahmat”. ……
Jika engkau yang bertanya: “Apakah orang yang memakan makanan yang halal dan meninggalkan maksiat lalu menempuh suluk dengan dirinya sendiri tanpa pembimbing yang Arif bisa sampai ke tingkat kasyaf sehingga mampu melihat sumber syari’at dengan mata hati?”
Jawabannya adalah 2 hal:
1. Adakalanya karena jadzab (tarikan) yang langsung diberikan oleh Allah.
2. Adakalanya dengan menempuh suluk di bawah asuhan dan bimbingan Guru yang Arif, agar bisa membuang cacat dan kotoran di dalam batinnya. Bahkan seandainya ia bisa menghilangkan aib dan kotoran batinnya melalui ibadahnya sendiri, ia tetap tidak akan sampai ke maqam kasyaf yang mampu melihat sumber syarai’at dengan mata batin, karena ia terkurung di dalam sikap taklid terhadap imam madzhabnya. Jadi imam madzhabnya itulah sebagai penghalang untuk melihat sumber syari’at, padahal imamnya sendiri mampu melihat sumber syari’at tersebut……
Apabila engkau ingin sampai ke tingkat yang setara dengan kitab Al-Mizan ini secara dzauq (rasa) dan engkau ingin mempunyai kemantapan bahwa semua madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu sendiri, maka tempuhlah melalui suluk dan riyadhah dengan asuhan seorang Guru yang Arif yang mengajarkan bagaimana cara engkau agar bisa menjadi orang yang ikhlas dan jujur dalam memahami ilmu dan amal, bagaimana cara engkau agar terhindar dari kotoran-kotoran yang mengotori batin yang menghambat dan menghalangi perjalanan taqarub kepada Allah SWT dan mematuhi anjuran Gurumu, agar engkau bisa sampai ke maqam kesempurnaan yang tertentu, sehingga engkau berperasaan bahwa semua manusia itu selamat kecuali dirimu sendiri, seolah-olah engkau melihat bahwa dirimu celaka. Kalau engkau sudah sampai di mana engkau bisa melihat sumber syari’at secara seksama dengan mata batin, yang dari sumber itu mengalir beberapa pendapat Ulama.
Adapun suluk yang engkau tempuh tanpa bimbingan Guru yang Arif, biasanya tidak bisa menyelamatkan dan membebaskan engkau dari sifat riya’, perdebatan, dan cenderung mencintai harta benda, walaupun sifat-sifat tersebut hanya ada di dalam hati tanpa diucapkan, sehingga tidak bisa mengantarkan engkau ke maqam kasyaf tersebut, walaupun teman-temanmu sudah terlanjur menjulukimu sebagai Wali Quthub.
Dalam masalah ini, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi memberikan penjelasan di dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah pada Bab 73 sebagai berikut: ‘Barang siapa menempuh suatu cara taqarub kepada Allah tanpa bimbingan seorang Guru yang Arif dan tanpa bersikap wara’ dalam menghadapi hal-hal yang diharamkan Allah SWT, maka ia tidak akan sampai ke maqam makrifat seperti yang telah dicapai oleh para Ulama yang Arif, walaupun ia telah beribadah kepada Allah selama umur Nabi Nuh As. Kalau seseorang sudah sampai ke tingkat makrifat maka tidak ada lagi penghalang antara dia dengan Allah SWT, sehingga ia bisa mengetahui Asma-asma Allah secara kasyaf dan yakin, mampu memehami bahwa semua pendapat mujtahid itu tidak menyimpang dari Asma-asma Allah tersebut, sehingga tidak ada lagi pertentangan dan perbedaan di antara madzhab, karena kesemuanya bermuara dari satu sumber yang sama’.
(Petikan Kitab Al-Mizan, Syekh Abul Mawahib Abdul Wahab Asy-Sya’rani)

Senin, 09 Juni 2008

Ceramah Ahad, 25 Mei 2008

Oleh:
SYEKH AL-AKBAR MUHYIDDIN SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَه, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىٰ مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه, وَعَلىٰ ألِهِ وَصَحْبِه وَمَنْ وَالَاهُ, أَمَّا بَعْدُ: رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا. وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Hadirin Hadirat yang berbahagia,

Kehidupan Dunia Yang Fana
Kehidupan dunia yang dibandingkan dengan kehidupan yang dijanjikan oleh Allah (akhirat) diisyaratkan sebagai kebijakan Rahman dan Rahim-Nya. Ar-Rahman itu adalah suatu karunia atau nikmat yang dilimpahkan oleh Allah, diminta atau tidak diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, terutama manusia. Apakah ia iman atau tidak, taat atau tidak. Siapa saja yang telah dilimpahkan kehidupan, Allah akan memberikan rizki atasnya. Allah juga memberikan petunjuk. Petunjuk-Nya bukan hanya sebatas petunjuk tentang kehidupan dunia semata, tapi juga akhirat.
Kehidupan dunia garis besar kebijakannya dilambangkan sebagai kebijakan Ar-Rahman. Adapun kebijakan kehidupan yang abadi merupakan kebijakan Ar-Rahim. Ar-Rahman merupakan suatu nikmat atau karunia yang nilainya sedikit. Yang sedikit ini dibagi-bagikan dan sekaligus diperebutkan oleh makhluk-Nya, khususnya umat manusia. Masing-masing golongan (kelompok) baik yang iman maupun kafir berlomba-lomba ingin memonopolinya, ingin menjadi penguasa dan berjaya. Padahal nikmat dunia (sebagai kebijakan Ar-Rahman) itu akan fana.
Arti fana adalah punah, hancur atau binasa. Baik sempat kita nikmati atau tidak semuanya akan berubah menjadi sesuatu yang tidak berguna. Wujudnya berubah dari bermanfaat menjadi tidak bermanfaat. Misalnya kita mempunyai beras, lauk pauk, minyak goreng, dsb. Setelah kita nikmati, setelah berproses berubah menjadi kotoran. Kalau tidak kita gunakan akan berkurang nilainya, beras menjadi tengik dan berkutu, minyak goreng menjadi anyir, lauk pauk menjadi basi, dst.
Benda mati pun demikian. Dipakai atau tidak akan menjadi rusak (fana). Kalau kita mempunyai mobil atau motor tapi tidak digunakan, kita simpan di gudang. Akhirnya menjadi karat (rusak). Dan bila digunakan terus menerus mesinnya menjadi aus.
Kalau kita percaya dunia ini akan fana, mengapa kita betah hidup di dunia? Mengapa sih berebut terus urusan dunia? Ditawari oleh Allah nikmat yang lebih agung kok susah amat? Ditunggu-tunggu masjid penuh, nggak penuh-penuh juga nih masjid! Kira-kira, kalau langsung dibayar kontan, apakah lebih memilih datang duluan atau belakangan? Kalau tahu rahasia yang akan Allah berikan dalam majelis ini, mau datang duluan atau belakangan?
Keluasan anugerah Ar-Rahman itu tidak akan mampu kita menikmatinya. Klimaks dari anugerah Ar-Rahman itu menyebabkan kita tidak berdaya menerimanya. Ibaratnya seperti makan kekenyangan. Ar-Rahim merupakan kumpulan dari gugusan anugerah Ar-Rahman yang tak terhingga. Nilai Ar-Rahim yang dijanjikan Allah inilah yang mesti kita perjuangkan.
Seseorang yang tergiur dan terobsesi dengan nilai yang dijanjikan Allah itu akan termotivasi bermujahadah (bersungguh-sungguh) untuk meraihnya. Tentu ia akan datang di awal waktu, tidak di akhir waktu. Jika keinginannya ingin yang mudah terus, bukan ibadah namanya!
************
Kehidupan akhirat merupakan suatu nilai kebijakan yang berada dalam genggaman Kekuasaan Allah, Al-Khaliq, yang menciptakan segala makhluk-Nya termasuk manusia. Apakah makhluk mampu menilai Keagungan dan Perbuatan Khaliqnya? Jika boleh mengambil sample (ibarat), sebuah cangkir adalah ciptaan dan manusia adalah penciptanya [Menurut ketentuan Aqidah kita tidak boleh membandingkan Al-Khaliq dengan benda apapun di dunia ini. Namun sebagai ibarat boleh-boleh saja untuk memudahkan qiyas (logika) pemahaman].
Menciptakan dan mengolah itu berbeda. Menciptakan adalah mewujudkan sesuatu dari ketiadaan. Sedangkan mengolah adalah mewujudkan sesuatu dari sesuatu yang telah ada materinya. Misalnya membuat sambal bukan dikatakan menciptakan sambal, tapi mengolah sambal. Usaha meracik bukan menciptakan.
Allah SWT sendiri mengungkapkan perbuatan dalam mewujudkan sesuatu dari sesuatu yang belum ada menggunakan kata ‘menciptakan’ (خلق). Sedangkan untuk sesuatu yang telah ada dengan menggunakan ‘menjadikan’ (جعل). Firman Allah:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang lebih mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mengetahui lagi Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Setelah Allah menggunakan kata ‘menciptakan’ (خلق) pada ayat itu, kemudian Allah menggunakan kata ‘menjadikan’ (جعل). Artinya: memproses, meracik, membentuk. Berbeda dengan arti ‘menciptakan’ yang berarti mewujudkan sesuatu dari ketiadaan sebelumnya. Itulah tata tertib bahasa yang dibangun dalam Al-Quran al-Karim.
************
Masalah Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak)
Sekarang ini kita saksikan banyak aksi demonstrasi meminta untuk menurunkan harga BBM. Sampai-sampai mereka menginap berhari-hari, merusak fasilitas kehidupan. Mereka mengatasnamakan rakyat dengan slogan-slogan ‘Mahasiswa adalah suara spiritual rakyat’. Kapan mahasiswa menandakan kesepakatan untuk mewakili rakyat Indonesia? Seenaknya mereka menyatakan bahwa mereka mewakili Rakyat tanpa melalui kesepakatan dengan Rakyat!! Segala sesuatu itu mesti melalui perjanjian mufakat di atas kertas. Apakah perbuatan merusak fasilitas negara dan rakyat itu dikatakan sebagai ‘mewakili rakyat?!’
Kalau Anggota DPR dan Presiden, apakah kita sebagai rakyat sudah ada kesepakatan dengan mereka? Tentu sudah, dengan melakukan proses demokrasi melalui Pemilihan Umum. Tapi kalau mahasiswa, kapan mereka mengadakan kesepakatan kerja yang menghasilkan komitmen bahwa mereka adalah mewakili suara rakyat? Bagaimana kita memilihnya, pemikirannya saja kurang cermat.
Kenaikan suatu komoditas, adalah merupakan suatu proses alamiah. Apalagi komoditas kebutuhan manusia itu terbagi 3 (tiga). Pertama, ada yang bisa diproduksi ulang dan ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya. Kedua, ia tidak berkurang dan bertambah. Ketiga, komoditas yang selalu berkurang dan tidak bisa bertambah lagi. Ketiga-tiganya sepanjang kepemimpinan siapapun akan naik, walaupun SBY yang pimpin negara ini, walaupun Wiranto, walaupun Megawati, bahkan Gus Dur naik lagi! BBM dan sembako akan selalu naik!
Dari dulu demo ‘turunkan harga’, ‘turunkan harga’, tapi tidak pernah terpenuhi. Harga-harga tetap naik. Kenaikan itu adalah proses alamiah bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhannya. Bagi yang percaya, itu adalah proses sunnatullah, yakni sudah menjadi Qudrat dan Iradat Allah. Apakah kita hidup di satu tempat terus? Apakah kita bergantung kepada orang tua terus?
Pertumbuhan penduduk apakah tidak semakin bertambah? Jika bertambah pertumbuhan penduduk, berarti bertambah kebutuhan komoditas. Bertambahnya pertumbuhan membutuhkan pertambahan produksi. Tidak ditingkatkan saja harga tetap naik, apalagi ditingkatkan. Jika ditingkatkan produksi, berarti bertambah pula biaya produksinya. Itu komoditas yang bisa diproduksi ulang.
Ada komoditas yang tidak bisa ditambah dan dikurang. Seperti tanah, tidak berkurang atau bertambah. Nilai jualnya terus menerus naik. Yang tadinya murah kemudian menjadi mahal.
Kalau BBM (Bahan Bakar Minyak), yang diambil dari perut bumi. Karakteristiknya sebagai energi fosil. Kalau digunakan apakah semakin berkurang atau bertambah? Bisakah ditingkatkan? Bisakah diproduksi ulang?!
Komoditi yang bisa diproduksi ulang saja memiliki kecenderungan naik harganya apalagi yang selalu berkurang (tidak bisa diproduksi ulang)!! Kenaikannya adalah pasti dan mutlak!!
Apakah ketentuan kenaikan harga BBM itu merupakan kebijakan SBY? Atau pengaruh globalisasi dunia (kehidupan)? Karena Pejabat Pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang fokus dan tidak menimbulkan ketegasan kepada rakyatnya, akhirnya penjelasannya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini dengan adanya kebijakan memperbolehkan setiap warga negara menyampaikan pendapatnya di tempat umum adalah suatu kebijakan yang keliru. Hal itu membuktikan bahwa yang menjadi pemimpin di negara ini dan yang dipimpin sama-sama tidak PeDe. Yaitu sama-sama tidak yakin sebagai pemimpin dan tidak merasa sreg untuk dipimpin sebagai rakyat. Sehingga siap dikoreksi, dikritik dan didemo. Sedangkan tuntutan dalam kehidupan bernegara ingin menjadi bangsa yang maju, makmur sejahtera yang diakui dan dihormati masyarakat dunia. Eh, stabilitas nasional-nya acak-acakan. Di sana-sini demo, perusakan (anarkis), perkelahian antar warga, dsb. Kira-kira, apakah investor mau menanamkan investasi (modal)nya di negara kita dengan keadaan seperti itu?! Maka keinginan untuk menjadi negara yang makmur sejahtera adalah hanyalah mimpi di siang bolong!
Jika mereka mau mendengar dan bersandar pada aspirasi Idrisiyyah ini, Insya Allah negara ini akan dibangkitkan. Karena apa yang diajarkan di pengajian merupakan suatu kebijakan yang fitrah. Makhluk yang lahir dengan makhluk yang mati jumlahnya banyak yang mana? Banyak yang makan atau berkurang yang makan? Sementara komoditas berkurang.
Kita tidak memihak (dalam perkara BBM) kepada salah satu golongan, apakah pemerintah atau yang berdemo. Tapi kita berpihak kepada Allah SWT. Yang punya neraka dan syurga siapa? Jika kita tidak taat kepada Allah dikemanakan kita? Jika kita taat kepada Allah dikemanakan kita? Jika kita tidak taat kepada negara dikemanakan kita?
Kita tidak perlu goncang. Karena semuanya akan naik, BBM naik, sembako naik, bea jasa naik, termasuk gaji jua naik. Dan kembali seperti semula. Bahkan pengemis pun naik penghasilannya. Tukang minta-minta aja sudah tidak mau dikasih uang seratus, mereka menggerutu. Kalau naik semua tidak masalah. Yang menjadi masalah sebenarnya jika BBM naik, yang lain tidak naik! Mengapa pada ribut?!
Mengapa kita bodoh sekali. Pantas bangsa ini dari dulu memang maunya dijajah melulu. Pertama dijajah oleh kondisi alam yang memanjakannya. Ditanam saja sebatang kayu, eh tumbuh dan berbuah. Kemudian datang para penjajah. Kita diperbodoh, dimanjakan. Fasilitas umum dibangun di mana-mana. Jalan raya dibangun, Rel kereta api dibangun, dsb. Pendek kata, masyarakat Indonesia tidak usah capek-capek kerja, biarlah mereka yang bekerja! Di satu sisi para penjajah mengambil keuntungan, dan di lain sisi kita dimanja oleh mereka.
Akhirnya timbullah iri hati. Berontak ingin merdeka. Diupayakanlah pemberontakan untuk melawan mereka (para penjajah). Alasannya adalah revolusi perjuangan kemerdekaan, padahal sebabnya adalah kecemburuan sosial karena hidupnya sial melulu. Kemudian setelah merdeka masing-masing berebut (posisi).
Pada awalnya mereka berjibaku saling berjuang sendiri-sendiri. Teuku Umar berjuang sendiri, Pangeran Diponegoro berjuang sendiri, Patimura berjuang sendiri, Imam Bonjol berjuang sendiri, Sultan Hasanudin juga berjuang sendiri. Apakah berhasil?! …. Padahal mereka semua Islam lho?!.
Dalam perjalanan sejarah ketika seluruh bangsa bersatu padu, memilih satu figur yang dipercaya. Senjata pejuang kala itu adalah bambu runcing. Apakah mereka menang melawan penjajah? Menangnya bangsa ini sebab dibomnya Hiroshima dan Nagasaki. Apakah yang mengebom adalah bambu runcing? Yang mengebom adalah takdir Allah!
Dengan dibomnya kota tersebut, pemimpin kita kala itu ada peluang untuk menyatakan kemerdekaan. Jadi, merdekanya negara Republik ini disebabkan perjuangan bangsa Indonesia atau Rahmat Allah? Syari’atnya adalah Rahmat Allah.
Itulah Rahman dan Rahim-Nya Allah! Apakah mereka semua sudah kembali kepada Allah? Perubahan iklim dan bencana terjadi di mana-mana. Apakah gempa berhenti?
Firman Allah SWT:
Zhoharol fasaadu fil barri walbahri bimaa kasabat aydinnaas, liyudziiqohum ba’dhol ladzii ’amiluu la’allahum yarji’uun
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus)”. (Q.S Ar-Rum: 41)
Yang ada sekarang bukan sadar kembali kepada Allah, tapi yang ada ribut melulu! Eh, memaksakan kontribusi untuk memberikan solusi terhadap perubahan iklim.
Yang mengetahui perubahan iklim dengan yang tidak banyakan yang mana? Yang mempunyai modal dengan yang tidak banyak yang mana? Yang peduli terhadap perubahan iklim dengan yang tidak banyak yang mana?
Ketika Bapak mancing di laut, begitu ditarik pancingnya ternyata berat sekali. (Dikira ada ikan besar yang ketarik), eh.. gak tahunya hanya sampah. Padahal siapa yang betah tinggal di laut? Manusia jarang ada yang betah di laut. Digoyang sedikit saja perahunya saja sudah mabok!
Selain itu saat berangkat ke laut membawa bekal, di antaranya air dalam kemasan botol aqua. Setelah di tengah laut sehabis minum, enak saja membuang botol minuman ke tengah laut. Pantas, banyak sampah di bawah dasar laut. Begitu teringat himbauan Presiden negara Republik Indonesia, ‘Jagalah kesehatan lingkungan. Janganlah membuang sampah sembarangan!’ Akhirnya Bapak membawa bekas kemasan minuman itu ke darat, lalu dibuang ke tempat sampah. Eh, ketika beberapa menit kemudian Bapak melihat tukang sampah membuangnya ke laut lagi! Laa Ilaaha Illallaah! Mau dibilang apa hadirin?! Kira-kira kita mampu memberikan solusi kepada kehidupan ini?
Kalau kita percaya kepada Rukun Iman, kehidupan ini bakal kiamat. Itulah gambaran cerita tadi, sampah dari laut dibawa ke darat kemudian dibuang ke laut lagi! Itulah gambaran bahwa kerusakan itu akan terus berlangsung.
Sudahlah, kita hidup di dunia ini jangan memasang target, capek! Lebih baik dan utama kita memposisikan diri sebagai Hamba Allah saja. Aman!! Mau jaya atau tidak, mau berubah iklim atau tidak, mau jadi bangsa yang disegani atau tidak, kita berposisi sebagai hamba Allah saja. Selama ini kita maunya menjadi hamba manusia, padahal yang memiliki surga itu Allah!! Jika kita duduk sebagai hamba Allah, duduk di mana saja Insya Allah akan mendapat jaminan dan diselamatkan oleh Allah. Tidak ada pilihan!
Jika bangsa ini tidak bersandar pada kebijakan Tarekat Idrisiyyah yang membawa misi Ilahiyyah, niscaya tidak akan mendapatkan solusi.
Bagi Allah mudah. Syari’atnya sebuah tongkat, eh begitu dipukul di tengah laut berubah menjadi jalan raya! Jika seseorang sudah menjadi Abid (hamba) Allah, tentu mudah bagi Allah merubah dan memberikan solusi baginya. Sebab kehidupan ini yang membangun adalah Allah SWT! Apakah Ibu Pertiwi? Kapan Ibu Pertiwi membeli tanah air ini dari Allah?! Pantas negara ini tidak akan menjadi bangsa yang dibangkitkan oleh Allah, walau diperingati seabad kebangkitannya.
Apakah acara Karnaval kemarin kita memperingati seabad kebangitan nasional secara khusus atau kebangkitan Rahmatan lil ‘Alamin? Benderanya Ilahiyyah, bukan Insaniyyah.
************
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.