Jumat, 29 Juni 2007

Ciri-ciri Sulthan Awliya

Bermula yang menjadi ciri-ciri yang disifatkan atas keberadaannya seorang Sulthan Awliya atau pemimpin zamannya itu beberapa perkara.
Secara Zhahir:
1. Ummy (kebodohan), yang mewarisi karakter Kenabian dan Kerasulan, sebagaimana yang dijalani Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Kebodohan inilah yang menuntunnya kepada kepatuhan & kebijaksanaan dalam menjalani Makrifat kepada Allah Ta’ala.
2. Selalu pada pendirian sikap yang teguh. Yang dimaksudkan adalah perkara-perkara yang menjadi Hak Allah & RasulNya atas hukum-hukum yang telah ditetapkan. Yang menjadikannya sifat keyakinan dan iman, bukan sifat keraguan.
3. Mengikuti aturan-aturan Allah, yakni tidak meremehkan perkara-perkara yang dapat menjauhkan dirinya kepada Allah.
4. Mengikuti aturan-aturan Rasulullah, yakni perkara Sunnahnya, yang hal itu setara dengan nilai perintah.
Secara Batin:
1. Ridha hatinya, memiliki sifat keikhlasan dalam penempuhan Makrifatnya, apapun yang belum diperoleh ataupun halangan yang timbul, tiada menggoyahkan penerimaan hatinya atas takdir yang telah ditakarkan kepadanya.
2. Gemar mencari Ridha Allah, yakni menyenangi perkara-perkara yang mensucikan hati, yang menjauhinya dari kekotoran-kekotoran (hijab) dirinya kepada Allah atau sesama makhluk.
3. Gemar menyayangi, berusaha mengembangkan sifat Rahmatan lil ‘Alamin, sebagaimana Rasulullah SAW.
4. Gemar Riyadhah, mencari kepuasan batin dengan menunjukkan perihal kebenaran yang didatangkan dari Allah dan RasulNya.
Beberapa faktor penunjang yang menjadikan seseorang diangkat menjadi Sulthan Awliya, yaitu:
1. Nasab Rasulullah, merupakan bekal titisan darah yang menjadi bakat Ilahiyyah.
2. Mempunyai keturunan atas takdirNya, tetapi bukan kehendak Mursyid. Dan tiada seorang Mursyid berkehendak agar anaknya jadi seorang Mursyid. Darah kandung itulah yang dapat mendekatkan dan menguatkan batinnya dalam bermakrifat.
3. Diberi kelebihan Sabar, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwasanya kesabaran itu bertingkat-tingkat sesuai martabatnya.
4. Tahan akan ujian. Sudah menjadi ketetapan atas yang demikian itu. Dengan bekal inilah dapat menguatkan dirinya menghadapi berbagai tantangan akan misi yang diembannya sebagai waratsatul Anbiya’.
Perangainya halus dan bijaksana, mengikuti sifat/perangai kepemimpinan Rasulullah SAW.
************

Kisah Para Wali Abdal

Dikisahkan bahwa di suatu zaman pada masa dahulu ada seorang nelayan tua yang kehidupannya hanya menangkap ikan sambil bertasbih. Pekerjaannya itu dilakukan sehari-hari dengan istiqamah. Tiba-tiba ia di datangi oleh 39 orang berpakaian gamis dan jubah dengan menggunakan surban. Seorang pemimpin dari mereka langsung berkata kepada nelayan tua itu: “Kami dari para Wali Abdal ingin mencari (anggota) sahabat yang baru. Jumlah kami sebelumnya adalah 40 orang, tetapi setelah salah seorang di antara kami meninggal maka jumlah kami sekarang 39 orang. Maukah anda ikut dengan kami dan diangkat menjadi seorang Wali Allah?” Betapa tercengangnya nelayan itu dan langsung menyetujuinya. Namun sebelum itu ia menanyakan: “Katanya seorang Wali itu bisa berjalan di atas air, apakah saya bisa melakukannya setelah menjadi seorang Wali?” Maka jawab pemimpin Wali Abdal itu: “Oh tentu, Insya Allah. Silahkan buktikan”. Setelah itu nelayan tua itu membuktikan kebenaran ucapan Wali tersebut. Dan ternyata benar, kakinya tidak tenggelam ke dasar laut. Dengan serta merta ia berujar dengan gembiranya: “Baiklah, aku mau ikut bersama kalian”. Pemimpin Wali itu berkata: “Kalau kamu ingin ikut dengan kami, ada satu syarat yang harus kamu penuhi. Jika tidak, kami tidak mengakuimu lagi sebagai anggota dari kami. Yaitu, jangan engkau membantah (berkomentar) atas apapun yang akan terjadi. Apakah kamu sanggup?” Karena merasa ringan akan syarat tersebut maka nelayan tua itu menyetujuinya. Lalu ikutlah ia bersama para Wali Abdal tersebut, yang sekarang telah genap berjumlah 40 orang.
Belum lama dari peristiwa tersebut, 40 Wali tadi berdzikir bersama di atas sebuah kapal dan melakukan ibadah ritual lainnya. Pemimpin Abdal, setelah acara selesai berkata: “Kini tibalah waktunya kita makan bersama”. Seketika itu datanglah sebuah hidangan dari langit yang berisi ikan yang amat besar”. Melihat kejadian itu terkagum-kagum nelayan tua itu, dikarenakan baru menyaksikan hal itu seumur hidupnya. Baru saja ikan itu dihidangkan, Pak tua itu langsung mencicipi ikan tadi. Kontan dari mulutnya mengatakan: “Wah, ikannya memang besar, tapi lebih lezat lagi kalau dikasih garam”. Pada saat itulah para Wali tadi menghadapkan wajahnya kepada Pak tua, dan berkatalah pemimpin Abdal: “Wahai Pak tua, tak pantas rasanya seorang Wali mengucapkan perkataan itu, padahal rizqi yang datang di hadapan kita ini Allah yang memberi dan kita tinggal menerima. Anda mencela rizqi dariNya berarti anda mencelaNya. Maka sudah kukatakan sebelumnya bahwa syarat mengikuti kami adalah jangan membantah (mengomentari) apa-apa yang akan terjadi. Dengan sangat menyesal kami tidak dapat menerimamu di hadapan kami”. Setelah itu Pak Tua menjadi nelayan kembali.


Diurai kembali dari penuturan Sy. Akbar Muh. Dahlan di dalam majelisnya.

Benih-Benih Hidayah Kewalian

Apabila Allah melimpahkan maqam Kewalian atas seorang hamba, maka turunlah Hidayah atas dirinya yang dhaif lagi faqir yang merupakan benih-benih Kewalian yang tertanam sejak awal langkah perjalanan (musafir)nya kepada Allah Ta’ala.
Adapun hidayah, yaitu langkah-langkah daripada seorang Awliya itu didapatkannya akan Dia Yang Kuasa lagi Berkehendak atas hamba yang dhaif atas dirinya itu, yakni dengan sifat-sifat yang daripadanya itu berupa:
a) Keberadaannya seorang hamba terhadap Allah Yang Tunggal lagi Mulia atas segala sesuatunya.
b) Keberadaannya seorang hamba terhadap dirinya sendiri yang dhaif lagi fakir atas dirinya itu.
c) Keberadaannya seorang hamba yang dhaif terhadap semua makhluk yang diciptakan Allah Yang Kuasa atas segala kuasa atas makhlukNya.
d) Keberadaannya seorang hamba terhadap dunia yang penuh dengan kehinaan atas dirinya itu.



· Maka terdapatlah tujuh perkara tingkah laku seorang Wali kepada Allah Ta’ala:
1. Senantiasa memberi hakNya kepadaNya.
2. Manjaga batas hukum-hukumNya.
3. Bersyukur atas karuniaNya.
4. Patuh kepada titahNya.
5. Sabar dalam menghadapi cobaan-cobaanNya.
6. Senantiasa memuliakan kesucianNya.
7. Senantiasa rindu atasNya.
· Dan tujuh perkara tingkah laku Awliya terhadap dirinya sendiri:
1. Merasa takut akan Allah Ta’ala.
2. Mau bersedia berjuang.
3. Kuat menahan kesulitan.
4. Memiliki disiplin beribadah.
5. Selalu mencari kebenaran dan keikhlasan.
6. Menjauhkan diri dari apa-apa yang dicintainya terhadap selera nafsunya.
7. Faqr, yakni merasakan dirinya tidak memiliki apa-apa di dunia.
· Dan tujuh perkara tingkah laku Awliya terhadap dunia dan seluruh makhlukNya:
1. Merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki.
2. Lebih suka atas apa yang diperoleh daripada yang tidak.
3. Menghindar dari pencarian yang sukar ditangkap.
4. Membenci segala hal yang berlebihan.
5. Zuhud, yakni lebih suka menahan godaan nafsu.
6. Mengenal kejahatan-kejahatan dari dunia ini dan,
7. Meniadakan pengaruhnya.
Dan apabila seorang shufi itu telah mencukupi pengetahuan-pengetahuan di atas tersebut, maka meningkatlah kepada tingkat mujahadah serta suluk. Dan memperbanyak i’tikaf, dan daripadanya itu berhusnuzzhan kepada Allah Ta’ala dan terhadap Mursyid pada zamannya serta tak terlupakan atas dhaifnya.

Para Shufi & Para Fuqaha'

Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid[1] Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah[2] Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.
[3]
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.
[4]

************

Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:

Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah
[5], aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

************

Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.

************

Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya. Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar[6], engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memaami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.

************

[1] Margaret Smith mengatakan: ‘Junaid berasal dari keturunan Persia, akan tetapi dilahirkan dan dibesarkandi Baghdad. Dia menjadi tokoh terkemuka di antara para Guru thariqat Sufi, walaupun ia hanya mengajar sejumlah kecil muridnya yang hanya sejumlah sepuluh orang saja’. (Reading from the Mistic of Islam: 34)
[2] Perkumpulan, majelis.
[3] Pendapat ini sesuai dengan pendapat Sufi berikutnya, Syaikh Musthafa al Bakri: “Sesungguhnya jalan yang paling dekat kepada Allah adalah dengan dzikir, karena sesungguhnya Ahli Dzikir itu adalah Ahlullah dan yang diistimewakannya, mereka duduk bersamaNya dan dipercayai atas Rahasia-rahasiaNya, sehingga melampaui martabat orang-orang terdahulu (salaf)”.(lihat Siyarus Salikin III: 189)
[4] Siyarus Salikin III: 99
[5] Nama panggilan Imam asy Syafi’i.
[6] Nama panggilan asy Syibli.

Shalawat Ummiyyah

إِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَـتَه يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ
يَآ أَيـُّهَا الَّذيْنَ أمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
************
Shighat Sholawat Ummiyah
اللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Yaa Allah sampaikanlah shalawat atas pemimpin kami, Muhammad SAW, seorang Nabi yang Ummiy, dan atas keluarga dan para sahabatnya.

Syekh Muhammad Nafis bin Idris al Banjari mengatakan bahwa gurunya Al ‘Alim ‘Allamah al Fadhil al Kamil Mukammal al ‘Arif Billah Maulana as Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari sewaktu beliau di Masjidil Haram tahun 1201 H. berkata: “Tidak tersembunyi jalan yang sampai kepada Allah itu, mengikuti Syekh-syekh saja, seperti dugaan sebagian orang yang bertasawuf selain jalan Syekh ada juga bisa sampai tapi menurut biasanya ialah mengikuti jalan Syekh. Allah menyampaikan hambaNya barang siapa yang dikehendakiNya. Sebagian yang menyampaikan kepada Allah Ta’ala itu ialah membaca sholawat atas Nabi Muhammad SAW. Barang siapa mengekali membaca sholawat ini:
اللهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ النَّبِيِّ الأُمِّيّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Sebanyak sepuluh ribu kali setiap malam, selama 2 (dua) tahun maka dia akan sampai kepada Allah. Tetapi jangan sampai diniatkan untuk sampai kepada Allah, karena seseorang tidak akan sampai kepada Allah kalau di dalam hatinya ada lintasan demikian”.
Diambil dari Buku: Perkembangan ilmu Tashawuf & tokoh-tokohnya di Nusantara, Hawash Abdullah, hal.118-119, Al Ikhlas Surabaya.