Surat (i)
Terus terang, mengaitkan gejala-gejala alam dengan tanda2 awal kiamat (saya menerjemahkan term "kiamat" yang anda maksud adalah kiamat kubro, akhir dunia,
yang tidak semata akhir Bumi saja) itu sungguh di luar kemampuan saya. Ilmu agama saya cethek, ngajinya cuman Qur'an, buku2 yang dibaca hanya terjemahan. Memang pernah beberapa kali ceramah, tapi itu semata karena 'todongan' orang. Maka dari itu mohon maaf kalo imel ini juga saya forwardkan ke beberapa pihak yang lebih punya kapasitas untuk menjawab, seperti Bpk. H. Abdillah salah satu cendekia Muhammadiyah yang berdomisili di Malang, Bpk. H. AR Sugeng Riyadi, ustadz Pondok modern As-Salam Pabelan Surakarta, dan juga pada Bpk. H. Rovicky Dwi Putrohari, sang ahli ilmu bumi dengan background religius kuat dan berkedudukan di Kuala Lumpur.
Saya pribadi tidak sependapat dengan pendapat adanya gejolak magma yang berjama'ah di perut bumi Indonesia, sebab yang menampakkan peningkatan aktivitas sebenarnya hanya gunung itu-itu saja. Mengutip data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pada
Juli 2006 peningkatan aktivitas (kode status : waspada-awas) hanya terjadi di Merapi, Anak Krakatau, Semeru, Soputan, Lokon, Talang, Ibu, Dukono dan Karangetang. Pada Juli 2007 ini Gunung Gamkonora (Halmahera) dan Batutara (NTT) ditambahkan ke dalam daftar, sementara gunung Ibu dieliminasi (karena sudah turun menjadi aktif normal). Gunung2 yang lain statusnya aktif normal, alias biasa-biasa saja. Jika gunung2 api lain di luar daftar itu menunjukkan peningkatan aktivitas, terutama gunung2 yang lama 'tidur' seperti Sumbing-Sindoro-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah atau kompleks Wilis-Anjasmoro di Jawa Timur, maka barulah bisa dikatakan ada anomali.
Beberapa gunung api dikenal mempunyai periode letusan pendek. Merapi misalnya, ia mempunyai periode letusan 3 - 4 tahun dan tiap kali meletus memakan waktu 0,5 -
1 tahun, dengan tipe letusan efusif (leleran) dimana ia lebih dulu 'membangun' kubah lava untuk kemudian melongsorkannya sedikit demi sedikit sebagai awan panas. Karangetang, Soputan, Lokon dan Talang meletus secara eksplosif (ledakan) namun tipenya letusan
vulkano lemah sehingga kolom debu-nya hanya mencapai ketinggian maksimum 1 km dari puncaknya. Sementara Semeru, dia memang punya sifat letusan yang khas karena selalu berulang secara periodik dalam waktu yang pendek (kalo tidak salah adalah karakter
Strombolian), namun tipe letusannya juga vulkano lemah sehingga tinggi kolom debu yang dihembuskannya pun tidak > 1 km. Semua tipe letusan ini memiliki energi yang kecil.
Anak Krakatau juga demikian. Memang dalam sejarahnya gunung ini punya riwayat letusan2 paroksimal (besar-besaran) yang ultraplinian, hingga sanggup menghembuskan kolom debunya ke ketinggian 30 km.
Letusan paroksimal terakhir (Agustus 1883) membuat tubuh gunung musnah dan menyisakan kaldera berdiameter 7 km dengan energi letusan yang sungguh luar biasa,
mencapai angka 400 megaton TNT atau 20.000 kali lebih kuat dibanding bom Hiroshima. Namun sejak kelahirannya
(1930) hingga sekarang, aktivitas Anak Krakatau adalah tipe vulkano lemah dengan energi yang kecil, sehingga tidak berdampak jauh.
Letusan gunung api juga dipengaruhi oleh kejadian gempa, karena gempa mampu menghasilkan perubahan tekanan (stress change) baik secara statik maupun dinamik dalam dapur magma, dan secara umum diketahui stress change sebesar 10 kPa adalah ambang batas untuk memicu letusan. Pola ini nampak jelas pada Merapi 2006 (yang dipicu gempa Yogya) dan Talang 2005 (yang dipicu rentetan gempa megathrust Sumatra-Andaman, gempa megathrust Simeulue-Nias dan gempa Mentawai).
Memang saat ini ada pendapat sedang terjadi plate reorganisation pasca gempa megathrust Sumatra-Andaman 2004 (26 Des 2004, yang melahirkan tsunami besar itu) dan disusul gempa megathrust Simeulue-Nias 2005 (28 Maret 2005), sehingga gempa2 bermunculan di mana2 di Indonesia dan sebagai dampaknya banyak gunung api terpengaruh.
Namun saya pribadi tidak sepenuhnya sependapat, sebab gempa-gempa megathrust di zona subduksi Sumatra memiliki periode ulang 200-an tahun dan waktu kejadiannya berbeda-beda, tidak serempak. Misalnya saja di area Nias - Mentawai. Megathrust di Nias
terjadi pada 1861 dan 2005 lalu. Sementara di Mentawai megathrustnya terjadi pada 1797 dan 1883. Sulit untuk mengatakan bahwa dari tahun 1797 - 1861 - 1883 (hampir 100 tahun) terjadi plate reorganisation sementara berselang 1 abad lebih kemudian (yakni 2004 dan 2005) juga muncul megathrust di Simeulue serta Nias, yang diselingi oleh gempa 7,7 Mw di Nias (1935) dan kelak sekitar 2030 (rentang waktu probabilitasnya antara 2010 - 2050 dengan interval konfidensi 95 %) gempa megathrust di Mentawai bakal berulang. Polanya nampak bersambung terus menerus bukan? Itu baru di Sumatra saja, belum memperhitungkan skenario2 gempa megathrust yang terjadi di Jawa dan Indonesia timur. Dan plate reorganisation, dalam pendapat saya, mungkin sulit terjadi/teramati pada umur yang sangat singkat (~100 tahun) berdasar skala waktu geologi.
Dalam pendapat saya, yang terjadi justru karena ada terlalu banyak zona subduksi dan patahan geser di Indonesia yang sudah 'matang' karena sudah mengandung cukup banyak energi hasil desakan lempeng dan oleh posisinya yang 'terkunci' (locked, ngancing dlm bhs
Jawanya) pada bidang batuan yang dihadapinya. Pada kondisi seperti ini sebuah usikan kecil (perturbasi) entah dari konjungsi/oposisi Bulan ataupun gempa lain yang berdekatan sudah cukup menjadi pemicu lepasnya energi ini dan muncullah gempa.
Kembali ke letusan gunung, jika dibandingkan, volume erupsi gunung2 di Indonesia dalam (katakanlah) 50 tahun terakhir ini boleh dikata tidak ada apa-apanya dibanding letusan Harrat Rahat di dekat Madinah (Saudi Arabia) pada 26 Juni 1256 dan berlangsung selama 52 hari kemudian. Letusan ini mengeluarkan lava basalt sebanyak 500 juta meter kubik (!) - bandingkan dengan Merapi 2006 yang 'hanya' 8 juta meter kubik – dan mengalir hingga 23 km ke utara dari sumbernya dan nyaris saja menenggelamkan kota suci Madinah dalam
lautan bara karena tinggal berjarak 8 km dari Masjid Nabawi. Bapak-bapak yang sudah menunaikan ibadah haji mungkin sudah pernah menyaksikan sisa letusan ini, yang terhampar dalam bentuk perbukitan tandus memanjang kehitaman di timur Madinah. Kalo tidak salah ada yang mengaitkan ungkapan "munculnya api di tanah Hijaz" sebagai salah satu tanda2 kiamat (dalam sebuah hadits) dengan letusan ini. Meski, sekali lagi, menelaah hal ini sungguh diluar kemampuan saya.
Wassalamu'alaikum...
Juli 2007
Ma'rufin
catatan : gempa megathrust = gempa besar dengan magnitude > 8,5 Mw.
Minggu, 04 Mei 2008
MANUSIA & HARMONI ALAM
KHUTBAH JUM’AT, 4 APRIL 2008
MANUSIA & HARMONI ALAM
Oleh: Salim Bela Pili, MA
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Dalam ayat lainnya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S. Ar-Rum: 41).
Telah bertebaran ... kemungkaran di daratan, lautan maupun udara. Semuanya itu disebabkan oleh faham, karya manusia. Maka diciptakan bagi mereka musibah (liyudziiiqohum.....) agar melalui musibah-musibah itu mereka dapat sebagian pelajaran akibat dari perbuatan mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah (bertobat).
Dalam rangkaian bahasa, ar-Ruju’ artinya at-Taubah. Jadi, ar-Ruju’ sama dengan at-Taubah yang berarti kembali. Kita tentu pernah pergi lalu kembali.
Kembali dari mana? Dari fitrah. Selama ini kita melenceng dari fitrah dengan melakukan banyak kemungkaran, maka ada peluang atau kesempatan kita untuk kembali (taubat).
Ayat tadi, disepakati atau tidak, tentu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Munculnya bencana alam, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk nilai-nilai, kesadaran moral, semuanya itu karena perbuatan manusia itu sendiri. Kalau pun kita tidak terlibat atau tidak termasuk dalam kategori fasad, yakni yang menyebabkan turunnya bencana tersebut, setidaknya kita akan mengalami ujung musibah itu dan bias musibah itu melanda kita jua.
Sekalipun kita tidak melakukan maksiat atau kita terbebas dari maksiat, tapi maksiat itu mengundang bencana bagi kita semua. Ibarat kita berada dalam satu perahu di bumi ini, kemudian ada seorang yang membocori perahu. Tentu, bukan orang yang membocori perahu itu saja yang tenggelam, tapi kita pun ikut tenggelam bersama-sama orang yang membocorkan perahu tersebut.
Imam al-Mawardi ketika menafsirkan ayat ini (Q.S. An-Naml: 48):
{ يُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُونَ } mengungkapkan bahwa 5 perlakuan manusia pada masa dahulu yang berbuat kerusakan di muka bumi,
(Pertama): Mereka merusak dengan keingkaran, dan tidak melakukan kebaikan dengan keimanan,
(Kedua): Mereka merusak dengan kemungkaran, tapi tidak berbuat baik dengan hal yang ma’ruf,
(Ketiga): Mereka merusak dengan kemaksiatan, tapi tidak berbuat baik dengan ketaatan,
(Keempat): Mereka berbuat kerusakan dengan membanyakkan harta, tapi tidak berbuat kebaikan dengan meninggalkan kelakuan tersebut.
(Kelima): Mereka mengejar aurat wanita, tapi tidak menutupinya.
Hadirin Rahimakumullah,
Alam dunia ini dalam bahasa pengetahuan merupakan theofani. Theo berarti Tuhan, Fani itu berarti penampakan atau perwujudan. Theofani artinya penampakan Tuhan (Tajaliyyat Ilahiyyah), penampakan Sifat-sifat dan Af’al (Perbuatan) Allah SWT, bukan Zat-Nya.
Dalam bahasa pengetahuan alam ini disebut Cosmos, artinya tertib, teratur (the order). Pergantian malam siang terjadi dengan keteraturan. Waktu berjalan sesuai peredaran alam.
‘Dan matahari berjalan poros (tempat peredaran)nya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Perkasa lagi mengetahui.” (Q.S. Yasin: 38)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (posisinya), sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tanduk”. (Q.S. Yasin: 39)
“Tidaklah mungkin bagi matahari balapan dengan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya sambil bertasbih (kepada Allah)". (Q.S. Yasin: 40)
Tidak akan terjadi matahari balapan dengan bulan, ....... baik matahari maupun bulan dalam falaknya bertasbih kepada Allah.
Demikianlah alam itu sebagai Tajalliyat, the order. Keteraturan ini dalam bahasa pengetahuan disebut dengan hukum alam. Ada pergantian musim, 2 musim atau musim, semuanya ada waktunya.
Dalam Surat Ar-Rahman ayat 5 disebutkan:
Wasy-syamsu wal qomaru bihusbaan. Baik perjalanan matahari maupun bulan, keduanya ada hitung-hitungannya (hisab). Akan tetapi karena ulah tangan manusia, semuanya menjadi kacau. Pada saat sekarang mestinya sudah datang waktunya musim kemarau, ternyata kita masih mendapatkan tetesan air hujan. Dan pada saat mestinya musim hujan, sumur kita mengalami kekeringan.
Terkadang kita menyatakan, kita sedang diuji oleh Allah SWT. Mengenai pernyataan tersebut marilah kita mencoba instropeksi, apakah kita memang sedang diuji atas hal seperti itu atau tidakkah kita sebenarnya sedang melakukan fitnah (tuduhan) dengan mengatakan bahwa ‘Allah sedang menurunkan musibah’. Padahal ayat di atas menyebutkan bahwa kerusakan itu akibat ulah manusia jua. Rusaknya daratan, lautan, sumber kehidupan, semua adalah jejak perbuatan manusia itu sendiri.
Petani sudah tidak memiliki waktu dan lahan yang baik untuk bercocok tanam. Nelayan tidak memiliki waktu yang tepat untuk melaut. Perahu-perahu di sepanjang pesisir pantai sudah tidak aman lagi dari badai. Apakah yang demikian itu kita katakan bahwa ‘itu merupakan perbuatan Allah?’ ataukah kita mengatakan, ‘Itulah perbuatan kita yang membuat murka Allah!’
Orang yang merusak alam berarti membunuh dirinya sendiri. Orang yang menebang hutan menimbulkan hutan gundul. Longsor yang ditimbulkan akhirnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Sebenarnya orang yang berada di lembah mengetahui bahwa mereka bertheofani, bergantung atau berharmoni dengan alam sekitar. Sehingga pada saat alam atau hutan dirusak mereka telah melakukan bunuh diri secara ekologis.
Dalam teori dosa, disebutkan bahwa yang namanya zhulmun (ظلم) sesungguhnya adalah zhulmun nafsi (ظلم النفس), yakni menganiaya diri sendiri. Allah Yang Suci dari segala perilaku manusia, apabila didurhakai oleh seluruh penduduk bumi, niscaya tidak akan berkurang sedikitpun Keagungan-Nya. Tapi, manusia itu sendirilah yang akan memperoleh buah atau hasil kemungkarannya tersebut.
Jika kita menerima atau mengalami musibah-musibah itu, maksudnya adalah liyudziiqohum ba’dholladzii ‘amiluuu, setidak-tidaknya manusia merasakan sebagian saja akibat perbuatannya. Karena Rahmat Allah yang mencegah tidak turunnya seluruh akibat perbuatan manusia.
Jika Allah menghendaki menurunkan musibah sebagai akibat perbuatan manusia itu secara keseluruhan, niscaya tidaka akan tersisa makhluk yang ada di muka bumi ini, sekalipun seekor hewan melata.
Jadi, kita yang masih tinggal di bumi sekarang ini bukanlah semata-mata karena kita baik, tapi karena Allah membiarkan dan memberikan kita kesempatan untuk merasakan sehingga kita kembali untuk bertobat, kembali kepada fitrahnya.
Proses taubat mesti diiringi dengan langkah perubahan. Misalnya jika kita selama ini kita menebang hutan, hendaknya sekarang ia menanam pohon atau menghijaukan kembali hutan. Jika selama ini ia sembarang membuang sampah di selokan, hendaknya taubatnya diiringi dengan membersihkan selokan tersebut. Karena alam itu tidak mau dikotori atau dirusak. Alam itu bertasbih. Tapi kita tidak tahu mereka sedang bertasbih kepada Allah. Dikatakan:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Penyantun lagi Pengampun”. (Q.S. Al-Isra: 44)
Alam yang bertasbih kepada Allah kita nodai dan kita kotori. Akhirnya alam berbalik memusuhi manusia. Tanah yang ditanam tidak lagi memberikan kesuburan, air yang digali tidak lagi memberi kecukupan, yang tumbuh tidak memberikan rahmah (kasih sayang) tapi memberikan penyakit bagi kita. Semuanya disebabkan ulah tangan manusia.
Marilah kita kembali kepada fitrah. Bertaubat dengan perubahan perilaku, memperbaiki lingkungan yang telah dirusak.
Secara fisik, alam yang dirusak terlihat dari penampilannya yang gundul. Alam mempunyai daya psikologis sebagai hukum spiritual. Kita tidak mengetahui alam bertasbih, sebagaimana kita tidak tahu persis bagaimana tersiksa atau tersinggung-nya alam ketika ia disakiti.
Alam tersedia untuk umat manusia,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. ............”. (Q.S. Al-Jatsiyah: 13) Tapi alam mempunyai sifat yang fitrah. Mereka mempunyai empati (rasa).
Dalam teks-teks hadits disebutkan bahwa harta benda, hewan ternak, semuanya senang kepada yang mikmin/muttaqin. Sedangkan harta benda di tangan orang yang zhalim, ia merasa tidak betah.
Hadirin Rahimakumullah,
Di sini ada hukum harmoni antara manusia dengan alam.
Dalam literatur Sufistik dikisahkan seorang Alim di alam barzakh mempunyai gusi yang selalu berdarah. Setelah diteliti apa yang menyebabkan demikian ternyata sewaktu di dunia ia pernah mengambil sepotong duri untuk membersihkan giginya sehabis makan. Hal yang sekecil itu tetap tercatat sebagai ganjaran seseorang di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
Apa yang menjadi akibat perbuatan kita itu bisa tampak di akhir zaman nanti, atau bahkan dalam waktu dekat ini. Marilah kita kembali, bertaubat kepada Allah. Kita yang sudah mendapatkan petunjuk dan ilmu marilah beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mulailah dari diri kita, kemudian keluarga, kerabat dekat hingga lebih luas lagi jangkauannya.
Wassalam.
MANUSIA & HARMONI ALAM
Oleh: Salim Bela Pili, MA
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Dalam ayat lainnya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S. Ar-Rum: 41).
Telah bertebaran ... kemungkaran di daratan, lautan maupun udara. Semuanya itu disebabkan oleh faham, karya manusia. Maka diciptakan bagi mereka musibah (liyudziiiqohum.....) agar melalui musibah-musibah itu mereka dapat sebagian pelajaran akibat dari perbuatan mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah (bertobat).
Dalam rangkaian bahasa, ar-Ruju’ artinya at-Taubah. Jadi, ar-Ruju’ sama dengan at-Taubah yang berarti kembali. Kita tentu pernah pergi lalu kembali.
Kembali dari mana? Dari fitrah. Selama ini kita melenceng dari fitrah dengan melakukan banyak kemungkaran, maka ada peluang atau kesempatan kita untuk kembali (taubat).
Ayat tadi, disepakati atau tidak, tentu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Munculnya bencana alam, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk nilai-nilai, kesadaran moral, semuanya itu karena perbuatan manusia itu sendiri. Kalau pun kita tidak terlibat atau tidak termasuk dalam kategori fasad, yakni yang menyebabkan turunnya bencana tersebut, setidaknya kita akan mengalami ujung musibah itu dan bias musibah itu melanda kita jua.
Sekalipun kita tidak melakukan maksiat atau kita terbebas dari maksiat, tapi maksiat itu mengundang bencana bagi kita semua. Ibarat kita berada dalam satu perahu di bumi ini, kemudian ada seorang yang membocori perahu. Tentu, bukan orang yang membocori perahu itu saja yang tenggelam, tapi kita pun ikut tenggelam bersama-sama orang yang membocorkan perahu tersebut.
Imam al-Mawardi ketika menafsirkan ayat ini (Q.S. An-Naml: 48):
{ يُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُونَ } mengungkapkan bahwa 5 perlakuan manusia pada masa dahulu yang berbuat kerusakan di muka bumi,
(Pertama): Mereka merusak dengan keingkaran, dan tidak melakukan kebaikan dengan keimanan,
(Kedua): Mereka merusak dengan kemungkaran, tapi tidak berbuat baik dengan hal yang ma’ruf,
(Ketiga): Mereka merusak dengan kemaksiatan, tapi tidak berbuat baik dengan ketaatan,
(Keempat): Mereka berbuat kerusakan dengan membanyakkan harta, tapi tidak berbuat kebaikan dengan meninggalkan kelakuan tersebut.
(Kelima): Mereka mengejar aurat wanita, tapi tidak menutupinya.
Hadirin Rahimakumullah,
Alam dunia ini dalam bahasa pengetahuan merupakan theofani. Theo berarti Tuhan, Fani itu berarti penampakan atau perwujudan. Theofani artinya penampakan Tuhan (Tajaliyyat Ilahiyyah), penampakan Sifat-sifat dan Af’al (Perbuatan) Allah SWT, bukan Zat-Nya.
Dalam bahasa pengetahuan alam ini disebut Cosmos, artinya tertib, teratur (the order). Pergantian malam siang terjadi dengan keteraturan. Waktu berjalan sesuai peredaran alam.
‘Dan matahari berjalan poros (tempat peredaran)nya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Perkasa lagi mengetahui.” (Q.S. Yasin: 38)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (posisinya), sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tanduk”. (Q.S. Yasin: 39)
“Tidaklah mungkin bagi matahari balapan dengan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya sambil bertasbih (kepada Allah)". (Q.S. Yasin: 40)
Tidak akan terjadi matahari balapan dengan bulan, ....... baik matahari maupun bulan dalam falaknya bertasbih kepada Allah.
Demikianlah alam itu sebagai Tajalliyat, the order. Keteraturan ini dalam bahasa pengetahuan disebut dengan hukum alam. Ada pergantian musim, 2 musim atau musim, semuanya ada waktunya.
Dalam Surat Ar-Rahman ayat 5 disebutkan:
Wasy-syamsu wal qomaru bihusbaan. Baik perjalanan matahari maupun bulan, keduanya ada hitung-hitungannya (hisab). Akan tetapi karena ulah tangan manusia, semuanya menjadi kacau. Pada saat sekarang mestinya sudah datang waktunya musim kemarau, ternyata kita masih mendapatkan tetesan air hujan. Dan pada saat mestinya musim hujan, sumur kita mengalami kekeringan.
Terkadang kita menyatakan, kita sedang diuji oleh Allah SWT. Mengenai pernyataan tersebut marilah kita mencoba instropeksi, apakah kita memang sedang diuji atas hal seperti itu atau tidakkah kita sebenarnya sedang melakukan fitnah (tuduhan) dengan mengatakan bahwa ‘Allah sedang menurunkan musibah’. Padahal ayat di atas menyebutkan bahwa kerusakan itu akibat ulah manusia jua. Rusaknya daratan, lautan, sumber kehidupan, semua adalah jejak perbuatan manusia itu sendiri.
Petani sudah tidak memiliki waktu dan lahan yang baik untuk bercocok tanam. Nelayan tidak memiliki waktu yang tepat untuk melaut. Perahu-perahu di sepanjang pesisir pantai sudah tidak aman lagi dari badai. Apakah yang demikian itu kita katakan bahwa ‘itu merupakan perbuatan Allah?’ ataukah kita mengatakan, ‘Itulah perbuatan kita yang membuat murka Allah!’
Orang yang merusak alam berarti membunuh dirinya sendiri. Orang yang menebang hutan menimbulkan hutan gundul. Longsor yang ditimbulkan akhirnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Sebenarnya orang yang berada di lembah mengetahui bahwa mereka bertheofani, bergantung atau berharmoni dengan alam sekitar. Sehingga pada saat alam atau hutan dirusak mereka telah melakukan bunuh diri secara ekologis.
Dalam teori dosa, disebutkan bahwa yang namanya zhulmun (ظلم) sesungguhnya adalah zhulmun nafsi (ظلم النفس), yakni menganiaya diri sendiri. Allah Yang Suci dari segala perilaku manusia, apabila didurhakai oleh seluruh penduduk bumi, niscaya tidak akan berkurang sedikitpun Keagungan-Nya. Tapi, manusia itu sendirilah yang akan memperoleh buah atau hasil kemungkarannya tersebut.
Jika kita menerima atau mengalami musibah-musibah itu, maksudnya adalah liyudziiqohum ba’dholladzii ‘amiluuu, setidak-tidaknya manusia merasakan sebagian saja akibat perbuatannya. Karena Rahmat Allah yang mencegah tidak turunnya seluruh akibat perbuatan manusia.
Jika Allah menghendaki menurunkan musibah sebagai akibat perbuatan manusia itu secara keseluruhan, niscaya tidaka akan tersisa makhluk yang ada di muka bumi ini, sekalipun seekor hewan melata.
Jadi, kita yang masih tinggal di bumi sekarang ini bukanlah semata-mata karena kita baik, tapi karena Allah membiarkan dan memberikan kita kesempatan untuk merasakan sehingga kita kembali untuk bertobat, kembali kepada fitrahnya.
Proses taubat mesti diiringi dengan langkah perubahan. Misalnya jika kita selama ini kita menebang hutan, hendaknya sekarang ia menanam pohon atau menghijaukan kembali hutan. Jika selama ini ia sembarang membuang sampah di selokan, hendaknya taubatnya diiringi dengan membersihkan selokan tersebut. Karena alam itu tidak mau dikotori atau dirusak. Alam itu bertasbih. Tapi kita tidak tahu mereka sedang bertasbih kepada Allah. Dikatakan:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Penyantun lagi Pengampun”. (Q.S. Al-Isra: 44)
Alam yang bertasbih kepada Allah kita nodai dan kita kotori. Akhirnya alam berbalik memusuhi manusia. Tanah yang ditanam tidak lagi memberikan kesuburan, air yang digali tidak lagi memberi kecukupan, yang tumbuh tidak memberikan rahmah (kasih sayang) tapi memberikan penyakit bagi kita. Semuanya disebabkan ulah tangan manusia.
Marilah kita kembali kepada fitrah. Bertaubat dengan perubahan perilaku, memperbaiki lingkungan yang telah dirusak.
Secara fisik, alam yang dirusak terlihat dari penampilannya yang gundul. Alam mempunyai daya psikologis sebagai hukum spiritual. Kita tidak mengetahui alam bertasbih, sebagaimana kita tidak tahu persis bagaimana tersiksa atau tersinggung-nya alam ketika ia disakiti.
Alam tersedia untuk umat manusia,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. ............”. (Q.S. Al-Jatsiyah: 13) Tapi alam mempunyai sifat yang fitrah. Mereka mempunyai empati (rasa).
Dalam teks-teks hadits disebutkan bahwa harta benda, hewan ternak, semuanya senang kepada yang mikmin/muttaqin. Sedangkan harta benda di tangan orang yang zhalim, ia merasa tidak betah.
Hadirin Rahimakumullah,
Di sini ada hukum harmoni antara manusia dengan alam.
Dalam literatur Sufistik dikisahkan seorang Alim di alam barzakh mempunyai gusi yang selalu berdarah. Setelah diteliti apa yang menyebabkan demikian ternyata sewaktu di dunia ia pernah mengambil sepotong duri untuk membersihkan giginya sehabis makan. Hal yang sekecil itu tetap tercatat sebagai ganjaran seseorang di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
Apa yang menjadi akibat perbuatan kita itu bisa tampak di akhir zaman nanti, atau bahkan dalam waktu dekat ini. Marilah kita kembali, bertaubat kepada Allah. Kita yang sudah mendapatkan petunjuk dan ilmu marilah beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mulailah dari diri kita, kemudian keluarga, kerabat dekat hingga lebih luas lagi jangkauannya.
Wassalam.
Langganan:
Postingan (Atom)