Jumat, 29 Februari 2008

Medan Keimanan Umat Manusia

CERAMAH MALAM JUM’AT, 14 FEBRUARI 2008
SYEKH AL-AKBAR MUHYIDDIN SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَه, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىٰ مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه, وَعَلىٰ ألِهِ وَصَحْبِه وَمَنْ وَالَاهُ, أَمَّا بَعْدُ: رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا. وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا.


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Hadirin Hadirat yang berbahagia,
Sebagaimana biasanya dan hendaknya kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke Hadirat Allah SWT yang telah dan selalu melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua.
Sholawat dan salam tentunya juga kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sekalian.

Pada kesempatan ini kita akan mengkaji masalah yang berkaitan dengan keimanan. Pada dasarnya Dienul Islam (sebagaimana yang telah kita ketahui) terbagi atas 3 pondasi, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Iman adalah untuk membenahi aspek batiniyyah, dan Islam membenahi aspek lahiriyyah. Sedangkan Ihsan merupakan maqam evaluasi. Sehingga kita dituntut untuk Ihsan Imannya dan Ihsan Islamnya.
Pada awal perjalanan Ahli Thariqah mereka sedang mengalami kegelisahan jiwa dan tidak menemukan kelapangan hati atas keimanannya kepada Allah. Walaupun kondisi umat Islam di kala itu berada dalam Kekuasaan Khalifah Islam yang mendominasi seluruh aspek kehidupan dunia, mereka tidak menemukan keselamatan dan kedamaian yang hakiki. Akhirnya mereka memutuskan untuk ’Uzlah (mengasingkan diri), menjadikannya sebagai kelompok orang-orang yang dinamakan Shufi atau orang-orang yang bertashawuf. Akhirnya mereka menciptakan thariqah (jalan-jalan) yang awalnya hanya sebatas mencari Makrifatullah atau Taqarub kepada Allah untuk mencari kedamaian.
Apa yang mereka peroleh adalah sebatas apa yang mereka ijtihadkan. Dan siapapun yang berkehendak kepada Allah SWT, pada prinsipnya akan senantiasa mendapatkan tempat di sisi-Nya. Hanya saja kedudukannya bergantung kapasitas apa yang diusahakannya, derajat amaliyyahnya. Lalu mereka menjadikan pijakan lahiriyyah dan batiniyyahnya itu kepada Ushuluddin, Fiqih dan Tasawuf yang berasal dari Iman, Islam dan Ihsan.
Perjalanan Ushuluddin, Fiqih dan Tasawuf yang dibawa ahli-ahli Thariqah di manapun, baik Idrisiyyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyyah, dan lainnya pada dasarnya semuanya berasal dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan bila perlu seluruh Thariqah yang berasal dari Nabi Muhammad Saw (termasuk Idrisiyyah) dikembalikan kepada Khithah-nya menjadi Thariqah Muhammadiyyah. Kebijakan Idrisiyyah itu bukanlah yang utama, yang utama adalah kebijakan Al-Islamiyyah. Dan istilah Ushuluddin, Fiqih dan Tasawuf kita kembalikan kepada Iman, Islam dan Ihsan.
Memang istilah Ushuluddin maupun Fiqih bisa diterima karena dapat dijabarkan secara strukrural atau sistematis. Namun pada saat kita mengkaji istilah Tasawuf berasal dari ‘bulu domba’, maka pengertiannya menjadi rancu, apalagi ada yang mengaitkan ajaran ini dengan bias / pengaruh ajaran luar Islam seperti Filsafat Yunani (Sophos), dan lainnya.
Apa yang masyarakat nilai pada masa lalu ketika Asy-Syekh al-Akbar membawa ajaran Idrisiyyah ke daerah Jawa Barat – dengan ungkapan ‘Waro’i' – adalah bukti ketidakpahaman masyarakat itu sendiri terhadap pengaruh ajaran Tasawuf yang dibawa oleh Beliau Ra. Meskipun makna dari ungkapan ‘Waro’i ‘ tersebut adalah positif, yaitu orang-orang yang Waro’ (apik / hati-hati dalam menjalankan ajaran agama), namun di balik pengungkapan istilah itu ada terungkap sikap sentimentil (tidak menyukai) terhadap masuknya ajaran Al-Idrisiyyah ke tengah-tengah mereka. Pada masa itu kehadiran Ahli-ahli Tasawuf dicemoohkan / didiskreditkan oleh sebagian besar umat Islam. Hanya saat sekarang ini saja kemunculannya itu baru bisa diterima.

Pembagian Keimanan
Iman itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan dari bagian-bagian tersebut kita bisa memposisikan diri kita di mana sebenarnya kedudukan iman kita.
(Pertama) Iman Mukhlish, yaitu iman yang lurus.
(Kedua) Iman Fasiq, yaitu iman yang sesat.
(Ketiga) Iman Kafir, yaitu iman yang ingkar.
(Keempat) Iman yang tak berpihak (tidak iman maupun kafir).
Sekarang mari kita bahas seluruh tingkatan iman itu satu persatu.
Yang Pertama, Iman Mukhlish. Iman ini terbagi pula menjadi 3 bagian. Ada Iman yang Khawashul Khawas, Khawash, dan Awam.
Adapun Iman yang Awam, mengetahui nilai-nilai keimanan sebatas apa yang diketahuinya dari keadaan batinnya. Lalu keimanannya itu diselaraskan (diaplikasikan) dengan Keislaman
(Syar’iyyah) yang diketahuinya saja, meski Makrifat (pengetahuan) tentang Ketuhanannya tidak begitu tinggi.
Iman yang Khawash, keimanannya mendekati kesempurnaan. Tapi ia terbelenggu oleh urusan dunia yang dihadapinya. Sehingga terkadang ia terbawa kepada yang Haq, dan terkadang ia terbawa kepada yang batil. Misalnya, jika jenggot tidak dicukur ia tidak bisa diterima di institusi pekerjaannya. Atau contoh lainnya jika ia mengenakan cadar akan diusir dari sekolahnya. Akhirnya ia mencukur jenggotnya, membuka cadarnya. Tapi batinnya menjerit karena hak-haknya melaksanakan perintah Allah tidak terpenuhi. Lalu ia pun bertaubat kepada Allah karena merasakan kedhaifan yang ada pada dirinya.
Iman yang Khawashul Khawash, yakni keimanan yang sempurna kemakrifatannya kepada Allah. Bahwa makrifat keimanan itu tidak hanya kepada Allah saja, tetapi kepada unsur keimanan lainnya seperti para malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, dst. Keimanan pokok adalah keimanan kepada Allah, sedangkan keimanan perintah adalah keimanan yang diperintahkan untuk diimani (seperti yang tersebut dalam Rukun Iman). Kebanyakan umat Islam meskipun telah diuraikan bahwa Rukun Iman itu ada 6 keimanannya selalu dikonsentrasikan kepada Allah, dengan tidak mengikutsertakan unsur keimanan lainnya. Kalaupun mereka menyebut nilai-nilai keimanan itu juga hanya sebatas pada Rasulullah Saw saja. Sedangkan keimanan Mukhlish yang sempurna itu mengakui keimanan kepada Rasul-rasul, Rasulullah Saw kemudian para pewarisnya. Kamudian keimanan tersebut diaplikasikan dalam kehidupannya, sehingga ia melaksanakan ajaran Islam dengan Kaffah (menyeluruh).
Pada saat kita mengucapkan dua kalimah syahadat sesungguhnya kita telah menyatakan ketundukan (penyerahan diri), yakni bersikap Aslamnaa /Aslamtu (saya/kami berserah diri). Maka ungkapan serah diri itu berarti secara menyeluruh. Itulah keimanan Mukhlish yang Khawashul Khawash. Orang yang memiliki keimanan Mukhlish tidak peduli dengan cemoohan, cacian, hinaan orang di sekitarnya. Ia teguh dengan apa yang diyakininya. Ia pun tidak bersedih hati jika keadaan dunia (ekonomi)nya tidak sebaik orang yang Fasiq / Kafir imannya. Alaa inna awliyaa Allaahi laa khowfun ’alayhim walaa hum yahzanuun. [“Ketahuilah, sesungguhnya para Wali (kekasih) Allah itu tiada sedih dan berduka cita (terhadap selain Allah)] Q.S. Yunus: 62.
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang keimanannya Mukhlish Khawashul Khawash walaupun hanya satu perkara syari’at saja yang kita pertahankan keteguhannya. Karena hal itu merupakan benteng keimanan. Jika satu hal itu lemah, maka hancurlah benteng keimanan kita kepada Allah SWT.
Yang Kedua, Iman Fasiq. Yakni orang yang mencampur keimanan apa yang diturunkan oleh Allah dengan selain yang disyari’atkan, yakni budaya nenek moyang dan kebiasaan Yahudi dan Nasrani. Artinya keimanannya tercampur antara yang Haq dengan yang Batil.
Nabi Saw bersabda: Man tasyabbaha biqowmin fahuwa minhum [Barang siapa yang menyerupai suatu kaum niscaya , dan Firman Allah SWT: Ghoyril Maghdhuubi ’alayhim waladh-dhoolliin. Itulah golongan yang sesat. Dan golongan yang Dholal (sesat) itu bukan Yahudi dan Nasrani saja. Orang ini memilah-milah manakah syari’at Islam yang tidak bertentangan dengan budaya yang ada di lingkungan / suku bangsanya.
Menggunakan bedug sebagai tanda masuk waktu sholat adalah di antaranya. Bedug merupakan produk budaya, yang kemudian diasimilasikan menjadi bagian pelaksanaan ibadah di masyarakat kita pada masa lalu (bahkan masa kini). Karena buka puasa kita diawali dengan suara bedug, sebelum azan diawali dengan bedug. Padahal azan adalah syari’at Islam sesungguhnya yang mesti digunakan dan didahulukan. Sedangkan yang kita ketahui, bedug sebagai warisan budaya nenek moyang yang pelaksanaannya mendahului (mengalahkan) azan. Azan memang disyari’atkan, sedangkan bedug tidak disyari’atkan. Allah mengingatkan kepada kaum muslimin:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا لاَ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهصلى وَاتَّقُوا اللهَج إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ {الجرات:۱
Yaa Ayyuhalladziina aamanuu laa tuqoddimuu bayna yadayillaahi warosuulih, wattaqullooha innallooha samii’un ’aliim
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Mengetahui.
Pada saat kita ibadah haji, apakah kita membawa bendera negara kita atau bendera Nabi Muhammad Saw? Apakah kita mengutamakan peci hitam atau putih? Yang diridhai Allah tentu bendera Nabi Muhammad Saw. Dan kita sudah diajarkan dalam suatu do’a ba’da Tarawih di bulan Ramadhan:
Allaahummaj’alnaa bil iimaani kaamiliin ……… watahta liwaa-i sayyidinaa Muhammadin yawmal qiyaamati saa-iriin.
Artinya: Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang disempurnakan imannya ……… dan menjadi orang-orang yang berada di bawah bendera Nabi Muhammad Saw pada hari Kiamat.
Jika kita membawa bendera Nabi Muhammad Saw, niscaya bendera Republik Indonesia akan terbawa.
Orang yang fasiq imannya mengikuti apa yang ditradisikan Yahudi dan Nasrani. Apabila mereka merayakan Hari Valentine maka ia ikut merayakannya. Merayakan Tahun Baru juga demikian, umat Islam terpengaruh oleh kebiasaan yang dikumandangkan mereka. Merayakan Ulang Tahun dengan tiup lilin, Ulang Tahun Perkawinan, dsb. juga dilakukan oleh umat Islam dengan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Memang mereka (Yahudi dan Nasrani) menginginkan kita kembali kepada kekafiran. Walan tardhoo ’ankal Yahuudu walan Nashooroo hattaa tattabi’a millatahum. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti kebiasaan mereka. (Lihat Surat Al-Baqarah: 120).
Orang yang berada di luar bendera Ilahiyyah, yakni bendera Nabi Muhammad Saw akan berbantah-bantah dan menolak dasar hukum yang kita sampaikan ini, karena setiap orang memiliki standar kebenaran yang berbeda-beda. Kualitas ukuran kebenaran setiap orang itu berbeda karena ilmu dan amalnya. Amalnya pun menentukan derajat kebenaran yang ada pada dirinya. Begitulah, kebenaran dalam pandangan seorang anak SD dengan SMP apalagi dengan seorang mahasiswa tidaklah sama.
Manusia dalam pandangan Allah bisa lebih tinggi derajatnya di antara makhluk lainnya, tapi bisa juga menjadi lebih buruk atau hina keadaannya dari hewan sekalipun. Firman Allah SWT:

لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ  ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ 

Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim, tsumma rodadnaahu asfala saafiliin

Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dalam bentuk kejadian yang lebih baik. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.S. At-Tiin:5-6)
Keadaan manusia bahkan dalam ayat lain disebutkan بَلْ هُمْ أَضَلَّ (bahkan lebih sesat daripada binatang ternak). Mengapa demikian? Sebagai bukti, tidak ada hewan di mana pun yang melakukan aksi bunuh diri kecuali manusia saja yang melakukannya. Hal ini menunjukkan Firman Allah tersebut Haq bahwa manusia bisa lebih rendah kedudukannya daripada hewan meskpun awal kejadiannya diciptakan lebih baik daripada semua makhluk-Nya.
Sebenarnya kapasitas iman itu ada yang bersifat fisik dan ada yang bersifat batin. Iman secara fisik adalah untuk meraih kehidupan dunia. Sedangkan iman secara batin (ukhrawi) derajatnya lebih tinggi. Bukan ketinggian derajat iman ukhrawi ini bisa / mampu digapai secara lahir maupun batin oleh manusia. Sebab keimanan ukhrawi itu terbagi lagi menjadi Ilmul Yaqin, Aynul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Orang yang fasiq keimanannya itu mengukur keimanan kepada Allah itu dengan ro’yu (pendapat akal)nya. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang berfilsafat (filosof). Mereka mereka-reka keimanannya dengan ro’yu-nya. Mereka anggap cukup eling (ingat) kepada Yang Menciptakan dirinya. Sedangkan kriteria ‘ingat’ itu sendiri mereka tidak mengerti. Akhirnya mereka tidak memiliki syari’at. Kalaupun memiliki, hanya berdasarkan rekayasanya saja.
Yang Ketiga, Keimanan yang kafir. Bukannya orang yang kafir itu tidak beriman (percaya), tapi mereka sesungguhnya percaya (iman) tetapi rasa percayanya itu diingkarinya. Nilai-nilai keimanan yang ada pada dirinya yang telah diciptakan fitrah diingkari, maka disebutlah kafir (ingkar).
Misalnya ketika ditanyakan, ‘Apakah kamu punya uang?’ Kemudian dijawab ‘punya’. Lalu ditanyakan lagi, ‘Mau tidak memberiku uang?’ Lalu ia menjawab, ‘Saya tidak punya!’ Maka yang ditanya itu bersikap ingkar dengan keadaannya sendiri. Ia kafir atas dirinya sendiri. Nah, orang kafir itu sebenarnya iman tapi ia ingkari keimanannya itu.
Fitrah keimanan sebenarnya telah tertanam pada diri manusia termasuk orang-orang kafir. Manusia juga memiliki fitrah ketuhanan (ingin disembah/diagungkan), sehingga lahirlah sebutan di samping namanya: Pangeran, Gusti, Dewa-dewa sering diungkapkan kepada sosok yang dihormati. Sedang arti Robb (Tuhan) itu adalah pendidik, pembangun, pembimbing, pengasuh, pemilik. Jika kita memperlihatkan sikap-sikap mempertuhankan di antara sesama manusia pada suatu kondisi tertentu, maka disebut sebagai kultus atau mendewa-dewakan. Dalam istilah yang lebih lembut disebut dengan ‘mengidolakan’. Ungkapan ‘mendewa-dewakan’, ‘mengkultuskan’, ‘mengidolakan’, terkadang menjadi senjata bagi orang-orang yang tidak menginginkan kemapanan, kedamaian, kondisi yang stabil, aman dan kondusif. Pada umumnya mereka mempunyai sifat iri dan dengki. Mereka menggunakan istilah tersebut untuk memecah belah pemimpin dengan yang dipimpinnya. Akhirnya muncullah bias istilah lain untuk memecah belah, seperti tudingan nepotisme, kolusi, dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu adalah Sunnatullah. Lenin, Si Raja Komunis mengatakan ‘Tuhan itu ada. Jika ada karena dipikirkan’. Dia sebenarnya mengakui adanya istilah Tuhan berdasarkan ungkapannya. Namun ia tidak mau tunduk kepada aturan-aturan Tuhan yang tegas sebagai resiko pengakuannya terhadap adanya Tuhan. Hal ini lahir karena faktor kecemburuan, iri dan dengki. Sosok Lenin, karena merupakan seorang pemimpin besar pada masanya, ia diikuti oleh para pengikutnya yang fanatik. Hingga mati pun ia tetap dipertuhankan oleh para pengikut dan pengagumnya. Maka dibangunnyalah patung untuk mengenangnya. Ia pun dipertuhankan, tapi ia tidak mengakui adanya Tuhan. Demikian pula tokoh-tokoh besar dunia ini, mereka yang mempertuhankan atau mendewa-dewakan seorang pemimpin akan membuatkan patung yang monumental bagi idolanya itu.
Uraian di atas menunjukkan betapa manusia dari awal hidup hingga matinya tidak akan lepas dari sifat-sifat ketuhanan yang telah tertanam pada dirinya. Karena awal penciptaan manusia sisipan ruh ketuhanan telah ditiupkan kepadanya. Firman Allah SWT:

فَإِذَا سَوَّيْتُه وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَه سٰجِدِيْنَ

Faidzaa sawwaytuhuu wanafakhtu fiihi mir ruuhii faqo’uu lahuu saajidiin

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S. Al-Hijr: 29, As-Shad: 72)
Maka fitrah (naluri) manusia senantiasa paralel dengan kebijakan Allah SWT.
Orang ingkar keimananannya mengeksploitasi alam sedemikian rupa untuk kepentingan kehidupan dunia. Apabila mereka diperingatkan agar jangan berbuat kerusakan, mereka malah menyatakan ‘Kami sedang melakukan amal shalih (berbuat kebaikan)’ [Lihat Q.S. Al-Baqarah: 11]. Mereka mengekspresikan variasi kehidupan agar menggugah selera nyaman hidup di dunia. Mereka membuat aneka masakan atau kue-kue hanya untuk menggugah selera makan saja (bukan untuk dimakan). Mereka membuat asesoris kendaraan untuk jalan-jalan menghamburkan energi yang mereka eksploitasi sendiri. Hidup konsumtif manusia akhirnya membawa kepada bencana. Semuanya berasal dari eksploitasi berlebihan atas bumi yang mereka pijak. Inilah pola hidupnya orang-orang kafir.
Keimanan yang kafir ini terbagi dua. Ada yang disebabkan karena intelektual (kepintaran)nya, dan ada pula yang disebabkan karena kebodohan (kejahilan)nya. Orang yang jahil atas imannya bersikap emosional atau keras kepala dengan kekafirannya itu, seperti kaum Jahiliyyah Quraisy. Sebelum bodoh adalah tidak tahu apa-apa. Maksudnya, ia dikatakan bodoh setelah diberitahu. Orang yang sudah diberitahu tapi tetap keras kepala dengan pendiriannya dikatakan sebagai orang-orang yang bodoh (jahil). Istilahnya ‘tidak connect’ atau ‘gak nyambung-nyambung’ meski sudah diberitahu sedemikian rupa.
Yang Keempat, Keimanan yang tidak berpihak. Tidak disebut iman maupun kafir. Sosok orang yang memiliki kriteria kedudukan keimanan seprti ini adalah orang yang hidup di tengah pulau yang terpencil, dari awal hidup hingga matinya tidak menemukan siapapun. Ia terasing. Ia tidak mengenal istilah Iman, Islam atau pun Ihsan. Ia pun tidak mengenal apa itu Nabi, atau siapakah Tuhan itu. Hingga pada hari perhitungan (Yawmil Hisab) ia ditanya: ‘Hey, namamu siapa?’ Maka ia menjawab, ‘Yang bertanya siapa?’ Orang yang seperti ini dikategorikan iman tidak, kafir pun tidak, alias tidak tahu apa-apa.

Interaksi yang damai dengan komunitas keimanan yang kafir


Firman Allah SWT:

إِِنَّمَا الْمُؤْ مِنُوْنَ إِِخْوَةٌٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ{الحجرات: ۱۰

Innamal mu‘minuuna ikhwah, fa-ashlihuu bayna akhowaykum wattaqullooha la’allakum turhamuun
“Sesungguhnya apa yang ada dalam orang yang beriman itu bersaudara Sebab itu damaikanlah antara saudaramu itu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa keimanan yang kafir itu terbagi 2 (dua). Ada yang memilki kecerdasan dan ada yang bodoh.
Pada umumnya kekafiran orang yang jahil ini menuntut akan dunianya. Ia cenderung kepada ekonomi atau seputar masalah dunianya. Oleh karenanya kebijakan suatu negara kebanyakan berkonsnterasi kepada pembangunan masalah ekonomi dan kesejahteraan. Begitu pula partai-partai yang mengusung sebuah kepemimpinan baru, membuat konsep pembangunan ekonomi, kemakmuran atau kesejahteraan untuk menciptakan keberpihakan orang banyak kepadanya. Inilah pendekatan yang tepat bagi mereka.
Cara interaksi dengan orang yang jahil dalam keimanannya, janganlah kita sekali-kali mendakwahkan kepada mereka langsung untuk beribadah kepada Allah. Cara ini tidak bijak, dan tidak efektif. Kita mesti mengasuh dan membimbingnya. Kita gauli terlebih dahulu kepada apa yang diingininya terlebih dahulu. Jangan memancing emosinya, karena dia bodoh. Kita mesti menjaga ucapan kita agar jangan menyinggung perasaannya. Perilaku kita dan apa yang kita bawa (kenakan) dijaga agar tidak menimbulkan kecemburuan. Jangan kita makan di hadapannya tapi tidak membaginya. Kita bergaya di depan mereka dengan mobil dan pakaian mewah sementara mereka berpakaian compang-camping, sedang kita tidak memberikan apa-apa. Akhirnya timbul rasa kebencian di hati mereka. Muncul di hatinya keinginan mencuri, merampok sebagai jalan pintas untuk mewujudkan apa yang ada di hatinya itu. Jangan sampai mereka berada pada posisi yang sangat terpuruk, dengan kekafirannya sekaligus perilakunya yang batil. Di dunianya sengsara, di akhiratnya pun sengsara. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Setelah tercapai apa yang mereka dapatkan dari nafsu atau syahwat duniawinya, barulah sedikit-sedikit kita perkenalkan nilai-nilai keimanan. Kalau tidak bisa, janganlah dipaksakan. Jangan mengutak-utik pendirian mereka. Kita temani saja. Jika mereka mau berdamai saja dengan kita cukuplah syurga dunia ini bagi mereka. Karena dunia ini merupakan syurga bagi orang-orang yang kafir. Itulah metode dakwah kepada mereka yang jahil dalam kekafirannya.
Orang yang jahil ini bisa menipu kita, di depan kita terlihat baik atau jujur tapi di belakang kita tidak seperti itu. Yang pernah Bapak (Syekh al-Akbar) alami, dulu pernah menjadi Bos pangkalan minyak tanah. Lalu Bapak sediakan sarana / prasarana buat mereka yang mau berdagang keliling, seperti gerobak, drum, dll. Suatu ketika saat ia pulang ke posko ia pun melapor, ‘Tidak habis Pak minyaknya!’ Lalu dia menyetor uang seadanya sebagai setoran. Kemudian dengan diam-diam Bapak periksa, ternyata drum-drum di grobak isinya air semua! Orang-orang pinggiran-pinggiran kota yang masih berkarakter keras dalam kehidupannya kebanyakan lebih cenderung hedonisme (kenikmatan sesaat yang menjadi tujuan). Sehingga apapun mereka lakukan untuk menempuhnya. Orang-orang pinggiran kota masih ada yang menjalani malamnya dengan joget, dangdutan, jaipongan. Tidak ada di antara mereka yang memiliki kecenderungan untuk giat beribadah. Pedoman hidupnya adalah dunia dan dunia. Hidup dan hidup. Bukan hidup untuk mati, tapi hidup untuk hidup. Bangsa lain juga ada yang semacam ini, tidak hanya di Indonesia saja.
Cara berinteraksi dengan kaum kafir yang intelektual juga mesti melalui pergaulan, dan pendekatan dialog. Karena mereka sebenarnya mengakui, tapi mereka ingkari pengakuannya itu. Terbukti dengan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dedengkot komunis seperti Lenin mengakui adanya Tuhan. Dan apa yang diungkapkannya itu sebenarnya juga telah diungkapkan Al-Quran:
Fadzkuruunii adzkurkum wasykuruulii walaa takfuruun
“Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (Q.S. Al-Baqarah: 152). Paralel dengan ucapan Lenin: ‘Tuhan ada karena dipikirkan’.
Berdialog dengan kaum intelektual yang kafir dalam keimanannya ini mesti melalui pendekatan paralel, yakni mencari persamaan pemikiran atau pandangan yang ada pada dirinya. Persamaan manusia ingin meraih kebenaran adalah fitrah. Dan inilah yang mesti dibangun pada awal dialog dengan mereka.
Allah SWT memang menyebutkan:

فَأًََقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ج فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاج لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِج ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ {الروم: ۳۰

Fa-aqim wajhaka lid-diini haniifaa, fithrotallaahillatii fathoron-naasa ’alayhaa laa tabdiila likholqillaah, dzaalikad-diinul qoyyimu walaakinna aktsaron-naasi laa ya’lamuun.
Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama yang lurus; (yakni) fitrah Allah yang telah menciptakan ketetapan-Nya (sesuai) dengan fitrah manusia. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30)
Janganlah ketika berhadapan dengan mereka mendahului dialog dengan ‘Fa-aqim wajhaka lid-diini haniifaa!’ [Hadapkanlah wajahmu kepada Agama Allah dengan lurus!] Tapi bangunlah dari fithrotallaahillatii fathoron-naasa ’alayhaa [Fitrah Allah yang telah menciptakan ketetapan-Nya (sesuai) dengan fitrah manusia].
Itulah pendekatan dakwah yang membawa kedamaian melalui pendekatan persamaan pandangan fitrah terhadap kebenaran.
Pendekatan dengan orang kafir menuju hubungan yang damai dan komunikatif perlu dilakukan, karena mereka cenderung kepada keselamatan dan kedamaian. Orang kafir inilah yang digolongkan kepada jenis Kafir Dzimmi. Sedangkan jenis Kafir Harbi yang jelas-jelas memerangi melalui ucapan atau pun tindakannya maka perlu kita perangi. Oleh karena itu kita perlu menela’ah kondisi kaum kafir sekarang ini apakah kebanyakan cenderung kepada Harbi atau Dzimmi? Cenderung memerangi atau damai?
Kalau pun kaum kafir itu memerangi kita dengan terang-terangan, maka kita gunakan cara yang tepat pula untuk menghadapinya. Jika mereka memerangi kita dengan ucapan, maka kita perangi pula dengan ucapan. Jika mereka menggunakan tangan, maka kita perangi dengan tangan pula. Kenyataannya sekelompok umat Islam saat ini menyikapinya dengan keliru. Orang Kafir memerangi kita dengan diplomasi, malah diperangi dengan bom! Cara ini tidak adil, tidak sportif, dan tidak Islami! Cara ini tidak menyelamatkan mereka, bahkan membunuh orang-orang di sekitarnya yang juga muslim! Ingin membunuh orang kafir malah komunitasnya sendiri yang terbunuh. Cara tersebut sekali lagi tidaklah bijak. Dienul Islam sendiri membijaki sifat-sifat Ketuhanan, di mana Allah SWT memiliki sifat Al-Hakim, Yang Bijaksana. Yang penting mereka yang masih kafir itu hidup dengan aman, tenang dan damai dengan kita.
Petunjuk itu bukanlah kepunyaan seorang Syekh Mursyid atau Rasul-Rasul atau Nabi-Nabi. Hanya Allah-lah yang memilikinya. Kita tidak boleh memaksakan petunjuk kepada orang-orang yang belum mendapatkannya. Oleh karenanya kita hanya dituntut untuk membangun kedamaian, keselamatan diri dan orang lain. Kedamaian untuk orang yang iman dan yang tidak, untuk yang mengetahui dan yang tidak, untuk yang gagah dan yang lemah, untuk yang pintar dan yang bodoh.
Mudah-mudahan akhlak kita mengikuti daripada perilaku Nabi Muhammad Saw.

Bimbingan Ruhani
Orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah adalah orang yang menyesuaikan tindakannya dengan apa yang dikehendaki Allah, lahir maupun batin. Begitu pula yang menghendaki perjumpaan dengan Rasulullah Saw. Jika kita tidak mampu menyesuaikan, sekedar mendekatinya saja sudah lumayan.
Fadzkuruunii adzkurkum [Maka ingatlah kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian]. Jika kita sudah menyesuaikan dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya maka akan terjadilah hubungan (menyambung). Jika tidak, maka hubungan akan terhijab (terputus). Demikianlah aturan yang mesti kita lakukan jika kita ingin berjumpa dan mendapatkan bimbingan dengan ruhani Syekh Mursyid, pewaris Nabi Muhammad Saw.
Janganlah kita merasa puas dengan perjumpaan ruhani saja, bahkan yang paling kuat adalah yang menyikapi lahir batinnya sesuai dengan apa yang dibijaki oleh Syekh Mursyid. Syekh Mursyid pun demikian, akan menyikapi sesuai dengan apa yang dibijaki oleh Rasulullah Saw. Itulah perjumpaan yang sesungguhnya.
Perjumpaan ruhani bisa melalui mimpi atau melalui percakapan di dalam hati, atau melalui bisikan ghaib. Terkadang kita tidak mengetahui apa yang diucapkannya dan siapa yang mengucapkannya itu. Apakah ruhaniah yang Haq atau yang Batil. Mungkin itu ruhaniah Rasulullah atau bukan, ruhani Guru atau bukan. Masalahnya kita belum sampai memahami fenomena ruhani demikian dalam. Yang kita tahu hanya bayangan-bayangannya saja.
Diibaratkan seorang tukang sapu mengidamkan naik pesawat udara belum punya ongkos. Paling-paling bisa naik pesawat dengan menjadi tukang sapu pesawat udara. Dengan demikian ia pun sudah merasakan naik pesawat udara. Mana yang lebih baik, punya uang bisa mempunyai ongkos atau punya uang bisa membeli pesawatnya? Atau menjadi tukang sapunya, penumpangnya, atau yang memiliki pesawat? Tentu lebih baik memilih ‘yang memiliki pesawat’, karena tidak perlu menyapu, dan tidak perlu membayar ongkos. Ia cuma tinggal naik pesawatnya saja.
Mimpi bertemu Rasulullah Saw ada yang melihat sosoknya dan ada yang didatangi oleh sosok Beliau. Hanya saja perwujudan sosok tersebut tidak diketahui wajahnya. Karena kita belum pernah bertemu. Mimpi bukanlah seperti membuat sebuah komik yang bisa diatur gambar dan perjalanan ceritanya. Mimpi adalah pemberian Allah yang tidak bisa direkayasa. Sehingga saat diperlihatkan ‘Itu adalah Rasulullah!' Pernyataan ini belum jelas, karena kita belum siap mendengarnya, dan bertanya pun tidak. Sedangkan perjumpaannya itu jelas terjadi (dalam mimpi). Maka karena nilai amaliyahnya kita belum sampai kepada maqam yang diposisikan oleh Nabi Muhammad Saw, maka kita belum dapat berkomunikasi langsung dengannya. Tapi jika kita sudah disampaikan pada maqam tersebut maka kita akan berdampingan terus dengan Beliau Saw. Semoga kita dijadikan orang yang terbuka mata hatinya sebagai mana para Nabi, Shiddiqin dan Shalihin.
Ada seorang yang dipertemukan dengan ruhani Rasulullah Saw, disebabkan memperbanyak menyebut kalimat Tauhid atau shalawat. Pertemuan itu pun terjadi karena ia telah diangkat hijab-hijabnya. Ibarat frekuensi radio, bacaan atau lantunan dzikir itu bergerak menuju frekuensi-frekuensi Ilahiyyah. Sebelum mencapai Frekuensi Ilahiyyah, dzikir tersebut melewati frekuensi ghaib yang kualitasnya bisa Haq atau Batil. Seorang dzakir yang tidak dibimbing oleh Syekh Mursyid yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Saw, perjalanan dzikir mereka akan dikejar lalu dijegal. Seperti orang-orang yang hendak membeli tiket angkutan darat dan laut ke tempat resmi, mereka didatangi oleh orang-orang yang menawarkan jasa ilegal. Calo-calo ruhaniyah yang batil itu banyak yang berhasil membawa seorang dzakir kepada kesesatan yang membawa kepada penyesalan. Perjalanan dzikir itu baru sampai ke alam ghaibiyah yang belum jelas Haq dan Batilnya.
Orang yang mendawamkan dzikir itu ada yang dipimpin seorang Mursyid dan ada yang tidak. Ada yang dipimpin, tapi ia lalai dengan apa yang dibijaki pemandunya. Ia menginginkan dunia, bukan tujuan mengharapkan perjumpaan dengan Allah. Orang-orang yang mendawamkan tanpa pemandu (Mursyid) akan dicaloi Iblis. Begitu pun orang yang berdzikir agar Allah berkenan mengabulkan apa yang diinginkannya, ia menginginkan agar Allah menjadi hamba syahwat (nafsu)nya. Karena kekeliruan tujuan awalnya itulah akhirnya dalam perjalanan ruhani menuju kepada Allah itu ia didatangi sosok-sosok yang mengaku sebagai ‘Syekh Abdul Qadir Jaelani’, atau ‘Syekh Siti Jenar, atau ‘Sunan Kalijogo’, atau ‘Saya adalah Nabi Muhammad’.
Apakah kita pernah bertemu sewaktu hidup dengan beliau itu semua? Apakah mereka tetangga atau teman kita sehingga kita bisa percaya begitu saja? Bisa saja mereka syetan atau iblis yang Cuma mengaku-ngaku saja. Akan tetapi jika kita memiliki seorang pemandu yang sah, yakni yang memiliki otoritas kepemimpinan Ilahiyyah, maka tinggal memanggilnya saja dan memohon pertolongan melalui Robithoh [رابطة]. Apakah Robithoh itu? Yaitu mengikatkan diri. Cara mengikatkan diri kita kepadanya adalah dengan membayangkan wajahnya. Karena wajah Guru sebagai pemandu perjalanan kita ketahui maka hal itu mudah dan sederhana sekali kita bisa lakukan.
Oleh sebab itu pada saat seorang dzakir didatangi ruhani Guru Pemandunya, serta merta ia bisa mengungkapkan secara pasti kebenarannya, apakah ia adalah Gurunya atau bukan. Jika kita meyakininya, tidaklah memerlukan saksi atas kebenaran peristiwa yang dialaminya itu. Karena ia tahu persis wajah, penampilan, pakaian, bentuk tubuh Gurunya tersebut. Dan apabila ia didatangi oleh sosok ruhani yang belum pasti identitasnya, maka si murid mangatakan Madaad Syekh Akbar! Kemudian datanglah sosok Syekh Mursyid tersebut menyatakan benar tidaknya identitas ruhani yang datang kepadanya tersebut. Seorang pencuri secara hukum tidak sah didakwa jika tidak ada saksi atau bukti secagai acuan dakwaan Begitu pula masalah ruhani, Pembimbing ruhani dapat menjadi saksi atas apa yang dialami oleh seorang murid dalam perjalanan ruhaninya ketika ia berdzikir. Jadi apa yang dialami seseorang dalam karunia ruhani itu tidak bisa ditafsirkan atau diterima begitu saja seperti membalikkan dua buah telapak tangan.
Meskipun seseorang itu memiliki Guru yang berkapasitas Waratsatul Anbiya, jika tidak menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan, maka tidak juga sampai kepada maqam yang ditinggikan Allah SWT. Apalagi mengajinya jarang, berdzikirnya kurang, aplikasi syari’atnya lemah, tidak sama apa yang ia perbuat di hadapan Gurunya atau di belakang Gurunya. Karena ia lebih banyak bergaul dengan ahli dunia maka ia terseret kepada tujuan yang telah disisipi oleh syahwatnya. Saat dzikir yang dibangun oleh niat keinginan dunia mengakibatkan ia diuji dengan kehadiran syetan dan jin. Ia pun lupa kepada Gurunya dan tidak menjadikannya wasilah dalam dzikirnya. Akhirnya ketika diberi amalan ini dan itu langsung ia terima. Padahal amalan itu menjurus kepada kesenangan dunia semata, bukan akhirat.
Nah, jika kita ingin menjadi murid yang dipilih maka sempurnakanlah Iman Islam-nya, perbanyaklah berdzikir kepada Allah SWT, niscaya akan dimulyakan oleh Allah, dijumpakan oleh ruhani-ruhani suci (Wali-wali), Syuhada dan Sholihin. Bahkan diri kita akan disifati oleh sifat Ketuhanan dan Kenabian. Itulah yang menjadi harapan utama kita meraih keridhaan Allah SWT, adab lahiriyyahnya Sidiq, dan bathiniyyah Sidiq. Perjumpaan dengan Rasulullah Saw juga Sidiq. Seperti Imam Syaf’i yang senantiasa bertemu dengan Rasulullah Saw kemudian bertanya kepada Beliau 80 masalah agama. Demikian pula seperti Syekh al-Imam Ahmad bin Idris al-Fasi Ra. yang dijumpakan dengan Rasulullah Saw, kemudian Beliau berkata ‘Inilah awrad untuk umat Islam akhir zaman! Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatiw wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ‘’ilmullaah!’
Awrad tersebut memiliki hubungan erat dengan apa yang dialami oleh Rasulullah Saw, di mana suatu malam ia berkeinginan untuk menjauhi istrinya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian tampaklah oleh sahabat Beliau Saw menangis tersedu-sedu tanpa mampun mengendalikan dirinya. Maka bertanyalah Bilal Ra. ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti ini, sedangkan engkau adalah orang yang dimuliakan oleh-Nya?’ Lalu Rasulullah Saw menjawab: ‘Sesungguhnya baru saja aku mendapatkan wahyu di mana Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Sucilah Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)
Dzikir Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatiw wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ‘’ilmullaah merupakan aplikasi wahyu di atas, yang diberikan kepada umat akhir zaman ini melalui Syekh Ahmad bin Idris Ra. Karena dzikir tersebut mencerminkan seluruh gerak nafas makhluk ciptaan Allah, dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Seluruh makhluk hidup yang terlihat atau yang tidak (ghaib) semuanya terbangun dalam keluasan Ilmu Allah (wasi’ahu ’ilmullaah).
Semoga kita semua dibimbing dan mendapatkan ampunan Allah SWT. Sebab kita semua adalah makhluk-Nya yang dhaif (lemah) dan tidak luput dari dosa.
29 Februari 2008

Selasa, 19 Februari 2008

Merpati Pembawa “Hadiqah Riyahin”

Ujian Allah Swt kepada manusia senantiasa silih berganti waktunya, jenis atau bentuknya, kekuatan (berat dan ringan)nya, asal muasalnya, dsb. Ujian berupa musibah itu merupakan sarana untuk menguji ketabahan/kesabaran seseorang terhadap takdir yang Allah berikan kepadanya.
Ujian derita penyakit yang berkepanjangan pernah dialami oleh sepasang murid Idrisiyyah dari daerah Subang. Istrinya mendapatkan penyakit sebanyak 7 macam yang membuatnya selalu mengeluh. Pada masa-masa sebelum sakitnya ia memang sedang mengalami keraguan / kebimbangan menjadi murid Idrisiyyah. Dan akhirnya penyakit itu datang mengingatkan dirinya kepada Gurunya Syekh al-Akbar.
Ia pun berikhtiar mencari obat ke mana-mana, tapi belum juga membuahkan hasil. Sang istri selalu menyuruh suaminya meminta air do’a kepada Syekh al-Akbar. Harapannya, agar penderitaan yang dialaminya akan segera berakhir. Permintaannya itu terus menerus dilakukannya sampai-sampai muncul rasa ketidaksabarannya.
Baru saja suaminya datang membawa air do’a, ia disuruh datang kembali kepada Syekh al-Akbar untuk meminta air lagi. Akhirnya, suatu ketika Syekh al-Akbar Muhammad Daud Ra. berkata kepadanya (membaca ketidaksabaran istrinya tersebut), ‘Tolong beritahu istri kamu, sesungguhnya jika Allah berkehendak atas sesuatu adalah mudah. Seperti membalikkan kedua belah telapak tangan saja’. Maka kembalilah si suami menceritakan apa yang dipesankan Syekh al-Akbar kepada istrinya tersebut.
Pada malam harinya muncullah peristiwa yang mengawali keajaiban yang terjadi pada keluarganya. Sang istri bermimpi didatangi seekor burung merpati yang besar. Dia datang sambil mengitari rumahnya berkali-kali. Lalu burung tersebut masuk lewat jendela kamar tidurnya sambil menggigit sebuah gulungan kertas kecil yang ada tulisannya. Kertas itu diletakkan di meja sebelah tempat tidurnya.
Pada keesokan harinya, ia kaget melihat sebuah buku kecil telah berada di samping tempat tidurnya itu. Setelah diperhatikan ternyata buku itu adalah buku Hadiqatur Riyahin, kitab Awrad jama’ah / murid Thariqah Al-Idrisiyyah.
Buku itu pun akhirnya ia baca sampai selesai. Setelah itu, tiba-tiba ia merasakan badannya sehat. Ia bangun dari tempat tidurnya. Wajahnya menjadi ceria. Ia berteriak kegirangan karena ia sudah bisa berjalan, padahal sebelumnya duduk saja ia susah untuk melakukannya.
Besoknya, sang ibu menceritakan peristiwa yang aneh. Ia melihat ada sinar (cahaya) dari langit yang turun ke rumah anaknya. Cahaya tersebut masuk melalui jendela tempat anaknya sedang terbaring sakit.
Benarlah apa yang diungkapkan Syekh al-Akbar di atas, “Sesungguhnya Allah Berkuasa atas segala sesuatu!”
Hikmah dari peristiwa tersebut membuat istrinya rajin menghadiri majelis pengajian Syekh al-Akbar di Tasikmalaya. Tidak jarang antara suami-istri tersebut ribut kecil untuk memperebutkan siapa yang berhak datang ke pengajian dan siapa yang mesti menjaga anaknya di rumah.

Rabu, 06 Februari 2008

PETUNJUK

CERAMAH MALAM JUM’AT, 31 JANUARI 2008
SYEKH AL-AKBAR MUHYIDDIN SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.
Petunjuk itu luas, ada yang berkenaan perkara duniawi maupun ukhrawi. Petunjuk bisa mengakibatkan proses timbal balik. Bisa terjadi pada awalnya seseorang melaksanakan petunjuk duniawi, kemudian pada suatu masa perjalanan mengalami perubahan sehingga meningkat nilai urusan yang dijalaninya tersebut. Kemudian urusan itu menjadi jembatan (wasilah) kepada petunjuk yang menyangkut kebijakan ukhrawi. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja.
Seseorang yang sedang menjalani petunjuk duniawi di antaranya akan mengalami tempaan dari kegiatan duniawi yang dijalaninya itu. Dengan mengerahkan segenap jiwa dan raganya ia akan berusaha mendapatkan yang lebih baik dari apa yang telah diperolehnya. Ia berusaha fokus dengan urusan duniawi yang sedang ia geluti. Pada posisi ini, ia selalu mengharapkan petunjuk untuk perubahan yang lebih baik bagi usahanya [dalam bahasa Arab خير (khoir), artinya lebih baik].
Jika ia serius dengan prinsip perubahan dari yang baik menuju kepada yang lebih baik, maka ia akan menuju secara alami kepada konsep kebijakan ukhrawi yang diawali dengan petunjuk-petunjuk pula. Karena proses perjalanan urusan duniawi yang dijalani seseorang akan berakhir kepada titik puncak (kulminasi) kebahagiaan yang semu (tidak abadi). Maka di balik kenyataan itu seseorang (yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik) akan menggeser pola kebijakan kehidupannya (melalui petunjuk yang datang) kepada suatu nilai yang lebih baik (yakni nilai ukhrawi).
Sebaliknya, orang yang pada awalnya sudah menancapkan i’tikad melaksanakan urusan ukhrawi dapat berubah menjadi urusan duniawi. Ketika ia memutuskan untuk berhijrah kepada petunjuk ukhrawi, dalam perjalanan ia diuji oleh Allah Swt. Memang dunia ini sudah dirancang oleh Allah sebagai ladang ujian yang bertingkat-tingkat hingga ia menemui kematian. Firman Allah Swt:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِقلى وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً صلى وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Kullu nafsin dzaa-iqotul mauut. Wanabluukum bisy-syarri walkhoyri fitnah, wa-ilaynaa turja’uun
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Al-Anbiya: 35)
Secara syari’at ungkapan ‘Kami’ bukan hanya Allah, namun secara hakikat makna ‘Kami’ adalah Allah Yang Menciptakan. Inilah yang membuktikan bahwa segala sesuatu hal mesti ada yang me
Di dunia manusia merasa yakin dengan apa yang diusahakannya. Hal ini sudah menjadi rumus terhadap apa yang telah mereka lakukan selama ini. Prinsip ini pun akhirnya membekas kepada perkara ukhrawi. Mereka merasa amalnya diterima, dan merasa selamat di hadapan Allah Swt.
Sikap merasa yakin ini membawa kepada sikap ‘merasa cukup’ terhadap informasi yang lebih baik yang disodorkan kepadanya. Akhirnya ia merasa terlena. Ia tidak peduli dan tidak memiliki gairah untuk meningkatkan amalnya menjadi lebih baik.
Cobaan (musibah) yang dirasakan manusia adalah sesuatu yang telah ditetapkan.
Janganlah kita mengharapkan seseorang mendapatkan petunjuk, sekalipun kita telah berusaha keras menggiringnya kepada informasi kebenaran. Meskipun dia adalah orang yang amat kita cintai. Jadikanlah apa yang telah kita upayakan sebagai bagian ibadah kita kepada Allah Swt.
Ketika seseorang telah memperlihatkan kepercayaan kepada kita, kita bisa terjebak kepada suatu kondisi untuk memanfaatkannya bagi kepentingan kita. Sebab setiap orang bisa memiliki potensi untuk kebaikan atau keburukan.
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰـهَا
Fa-alhamahaa fujuurohaa wataqwaahaa
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (Asy-Syams: 8)
Jiwa yang ada pada setiap diri ini akan terilhami oleh suatu kejahatan dan akan terilhami kepada ketaqwaan. Orang yang terilhami kepada ketaqwaan inilah yang dikatakan sebagai orang yang mendapatkan petunjuk.
Itulah suatu bukti bahwa Allah-lah yang memiliki petunjuk, dengan kata lain Dia-lah yang mempunyai hak otoritas untuk memberikan petunjuk. Kita sebagai ciptaan-Nya dalam memberikan informasi (dakwah) hanyalah sekedar menjalankan ibadah. Dengan i’tikad niat tersebut niscaya ketidakpercayaan seseorang kepada informasi yang kita berikan tidak adakan membuat kita kecewa.
Allah berfirman dalam Surat Al Kahfi:17:

مَنْ يَّهْدِى اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَه وَليًّا مُّرْشِدًا

“Barangsiapa yang dihidayahkan (mau mengambil petunjuk) Allah maka ia termasuk orang-orang yang diberi petunjuk. Dan bagi siapa yang sesat (jalannya), maka sekali-sekali tidaklah akan mendapatkan Wali yang Mursyid.”
Ayat ini jika diterapkan dengan sikap hati yang keliru akan membuat kita tidak berada pada posisi yang mukmin yang sebenarnya. Kalau kita memperhatikan bahasa tersebut, kekeliruan dalam memahaminya bisa terjadi pada setiap orang. Dikatakan, ‘Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka ia termasuk orang yang diberi hidayah’. Sehingga bagi orang yang belum ingin beribadah akan menyalahkan Allah, karena ia merasa tidak diberi hidayah. Sementara orang lain yang beribadah (menurutnya) telah diberi hidayah oleh Allah.
Memang benar petunjuk itu kepunyaan Allah, begitu pula seluruh dimensi kehidupan dunia ini. Pada umumnya ketika seseorang telah merasakan kenikmatan dalam kehidupan dunia, ia tidak peduli kepada Yang telah Memberikannya, Allah Swt. Ia lebih peduli kepada kepentingan (keinginan) dirinya daripada keinginan Allah. Demikianlah, jika seseorang masuk kepada Birokrasi Ilahiyyah manakah yang terlihat, peduli kepada keinginan dirinya atau peduli kepada keinginan Allah?
Statement yang sering kita dengar adalah, ‘Pak Kiyai, doakan saya ya, agar bisnis saya lancar! Agar karir saya sukses! Agar usaha saya laris! Agar saya berhasil dalam Pilkada-Pilkades! Adakah yang berkata begini, ‘Pak Kiyai, tolong tunjukkan saya jalan yang lurus! Bagaimana supaya saya mendapatkan keridhaan Allah!
Mana yang ia pedulikan, keinginan dirinya atau keinginan Allah. Padahal ia sudah mendapatkan nikmat atas kehidupan ini, merasakan kenyang dan kesenangan. Apakah orang yang mengutamakan keinginan dirinya dan tidak mempedulikan keinginan Allah itu akan diberi petunjuk oleh Allah? Mereka terhijab dan tertutup. Lemah mujahadah (kesungguhan)nya, lemah semangatnya, banyak keraguannya. Hal yang sangat fatal adalah kenyataan bahwa petunjuk itu luas.
Firman Allah Swt.
إِنَّ الَّذِيْنَ أمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيْهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيْمَانِهِمْ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ اْلأَنْهَارُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ {يونس: ۱۰}
Innalladziina aamanuu wa’amilush-shoolihaati yahdiihim robbuhum bi-iimaanihim tajrii min tahtihimul an-haaru fii jannaatin na’iim
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang sholeh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan.
Dua frase kata yang saling berhubungan (sebab dan akibat) ini tidak diperantai oleh sebuah huruf penghubung (و [dan] atau ف [maka]). Kalimat pertama (Orang-orang yang beriman dan beramal yang sholeh) mempunyai implikasi langsung (tanpa embel-embel) penghubung kepada kalimat sesudahnya (Allah akan memberikannya petunjuk) . Hal ini menunjukkan suatu hal yang pasti dan berlangsung alami, serta tidak memerlukan unsur penekanan. Dalam bahasa lain, ‘Orang-orang yang beriman dan beramal yang sholeh’ langsung direspon oleh Allah Swt. Ayat ini menunjukkan keterkaitan dalam susunan kalimat yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Kalau kita pernah belanja makanan yang sistem paket, maka ia lebih murah dibandingkan kita membelinya dengan cara parsial (satu-satu per item). Demikianlah kandungan ayat tersebut, keduanya memiliki nilai praktis atau mudah dicerna. Dan Allah memudahkan bagi siapa saja yang menginginkan hidayah-Nya.
Amal sholeh itu bisa disandarkan oleh orang yang keliru jalannya dengan mengatakan, ‘Innamaa nahnu mushlihuun’ Sesungguhnya kami (yakni orang-orang yang ingkar) sedang melakukan amal baik (sholeh). Oleh karena itu untuk membedakannya kita menggunakan bahasa ‘amilushsholeh’ yakni amal yang sholeh. Definisi amal yang sholeh itu adalah ‘Ittabi’uu maa anzalallaah’, yaitu mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Swt. Dan yang diturunkan Allah itu adalah para malaikat-Nya, Utusan-Nya, Kitab-kitab-Nya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ الْأٰخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا{الأحزاب:۲۱

Laqod kaana lakum fii rosuulillaahi uswatun hasanah, liman kaana yarjullaaha wal yawmal aakhiro wadzakarollaaha katsiiroo.
“Sungguh, pada pribadi Rasul (Utusan) Allah terdapat teladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi yang mengharapkan berjumpa dengan Allah dan Hari akhirat serta bagi orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala.” (Al Ahzab: 21)
Ayat tersebut tidak menyebutkan secara khusus bahwa Uswah (teladan) itu hanya dibawa oleh sosok Nabi Muhammad Saw saja. Jika sosok keteladanan hanya ditentukan kepada Nab Muhammad Saw saja, tentu Allah akan berfirman: Laqod kaana lakum fii Muhammadin uswatun hasanah. Dan di balik pengungkapan Rasul (Utusan) pada ayat tersebut menunjukkan kepada kita sebagai umat Islam agar tidak merasa puas dengan satu kebijakan sentral dalam menjalankan Dienul Islam ini.
Jika kita sudah merasa cukup maka kita dengan mudahnya menyalahkan orang lain dengan memberikan statemen ‘Bid’ah’ atau ‘sesat’ kepada orang lain. Karena merasa syari’at itu sudah sempurna maka dengan kakunya ia akan mengatakan ‘Ajaran Islam tidak boleh ditambah-tambah atau dikurang-kurangi!’ Itulah orang-orang yang berfikir statis, kerdil, sempit.
Janganlah kita merasa puas, seolah menolak anugerah ilmu (petunjuk) yang begitu luas yang akan Allah limpahkan kepada kita. Sedangkan kemampuan kita saja masih terbatas dalam menguak rahasia-rahasia wahyu yang Allah turunkan. Dengan keterbatasan perangkat ilmu untuk membedah Al-Quran seperti Nahwu, Shorof, Tajwid, dsb., janganlah kita merasa cukup. Bahkan di antara kita membaca Al-Quran saja ada yang belum bisa. Apakah tepat jika kita dengan mudah mengatakan sudah cukup dengan apa yang ada pada kita sehingga tidak perlu lagi mengaji?
Niat meraih petunjuk (mendapatkan ilmu) dengan menghadiri pengajian lebih utama daripada sekedar ingin mendapatkan barokah. Namun keberkahan itu lebih berguna daripada sikap statis, tidak merespon nasehat yang diberikan kepadanya.
Jika seseorang membaca saja tidak bisa, mengartikan juga tidak mampu, apalagi memahami isi kandungan Al-Quran, maka sikap taklid buta itu kepada orang yang faham lebih cocok bagi dirinya. Karena kondisi orang sedang belajar adalah kondisi ‘buta huruf’ bukan ‘melek huruf’. Di mana pun seseorang yang sedang belajar mesti membutuhkan sikap kepercayaan yang penuh kepada orang yang mengajarkannya. Kalaupun ia masih mengalami keraguan saat ia belajar, Allah telah memberikan bimbingan untuk berdo’a “Ihdinash-shirootol mustaqiim” {Tunjukilah kami jalan yang lurus!}
Konsep ketaatan itu melibatkan figur yang dicontoh. Di dalam Al-Quran sendiri tidak dikatakan “Taatlah kalian kepada Allah dan Wahyu (Al-Quran)Nya!” Akan tetapi yang disebut adalah figur yang membawa dan melaksanakan isi Al-Quran, yakni para Utusan-Nya. Melalui figur inilah solusi permasalahan yang terjadi pada setiap diri akan berbeda-beda (tahapan) pemecahannya. Nabi Muhammad Saw pernah menyebutkan amal utama yang beraneka ragam kepada masing-masing sahabat yang menanyakan kepadanya.
Al-Quran yang diimani itu tidak dapat memberikan perintah dan komando. Figur yang memberikan komando inilah yang dibutuhkan untuk mengetahui dan mengevaluasi apakah suatu perkara itu sesuai dengan isi Al-Quran atau tidak. Sama seperti UU, Al-Quran mesti dieksekusi oleh seorang figur yang dapat dijadikan Uswah (contoh).
Hadirin Hadirat,
Petunjuk adalah informasi. Informasi itu ada yang kita upayakan dan ada yang datang dengan sendirinya. Ketika kita berkeinginan untuk menjadi orang yang ahli di suatu bidang, kita berusaha mencari petunjuk (informasi) yang berkenaan dengan bidang tersebut. Semua hal yang berkenaan dengan teknologi dalam dunia ini dapat kita ketahui melalui petunjuk yang kita usahakan. Sebab-sebab mendapatkan petunjuk itu mesti kita lakukan. Pencapaian petunjuk itu tergantung usaha dan kesungguhan yang dilakukannya, sehingga ada yang bisa meraih dan ada yang tidak mampu menjangkaunya.
Sebagaimana tingkatan dalam pendidikan, dari TK sampai jenjang S3 (Pasca Sarjana), demikianlah tingkatan petunjuk itu. Apabila kita tidak mempu meraih petunjuk dalam kehidupan duniawi, janganlah kita bersedih hati. Hadapilah apa yang ada di hadapan kita, hal itu lebih baik bagi kita. Karena Allah telah mengingatkan, Wa’asaa an takrohuu syay-an wahuwa khoyrul lakum wa’asaa an tuhibbuu syay-aw wahuwa syarrul lakum wallaahu ya’lamu wa antum laa ta’lamuun. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al-Baqarah: 216).
Meskipun kita telah berusaha namun petunjuk duniawi yang Allah berikan kepada kita begitu terbatas, jadikanlah apa yang upayakan sebagai nilai ibadah. Mungkin keadaan itu lebih baik di sisi Allah Swt, karena kita tidak mengetahuinya. Dalam ayat di atas dinyatakan ‘Allah Mengetahui’ bukan ‘lebih mengetahui (dari kita)’, bahkan dinyatakan bahwa ‘kamu tidak mengetahui’!
Petunjuk adalah milik Allah semata. Tidak ada seseorang pun bahkan Nabi sekalipun yang mampu memberikan petunjuk. Firman Allah: ‘Tiadalah (petunjuk itu) berdasarkan angan-angan kosong kalian, dan juga bukan angan-angan Ahlul Kitab!’ Laysa bi-amaaniyyikum walaa amaaniyyi ahlil kitaab. (Q.S. An-Nisa: 123)
Seseorang yang baru masuk Islam lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, dikatakan telah mendapatkan petunjuk. Kemudian ia melaksanakan sholat, ia dapat petunjuk. Lalu ia memasuki tingkatan amaliyah yang lain, ia pun mendapatkan petunjuk. Setiap ia memasuki tingkatan amaliyah ia akan mendapatkan petunjuk. Hingga ia dipertemukan yang Mursyid, yakni para Nabi dan para Pewarisnya.
Petunjuk itu sebenarnya ada pada setiap diri manusia. Kemudian dengan otoritas yang ada pada dirinya sebagai khalifah fil ardh, ia memilih petunjuk itu agar mengarah kepada kepentingan dirinya atau kepentingan Allah Swt. Sikap kepedulian inilah yang menyebabkan ia mendapatkan petunjuk.
Maka bila tingkatan petunjuk kebenaran itu diibaratkan seperti jenjang pendidikan, maka orang-orang yang hanya mengarahkan petunjuk itu kepada kepedulian dirinya saja diposisikan hanya mendapatkan kenikmatan ukuran SD saja.
Sumber petunjuk itu bertebaran di muka bumi ini. Di antaranya adalah lembaga-lembaga formal yang menyelenggarakan pendidikan di mana-mana. Semuanya merupakan bagian petunjuk Allah. Namun Allah lebih mengetahui di antara kesemuanya itu manakah yang mengarah kepada kebenaran.
Petunjuk itu merupakan otoritas Ilahiyyah, maka apabila kita menjalankan nilai-nilai petunjuk Ialhiyyah kepada seseorang jangan mengharapkan apapun seperti menginginkan diterimanya apa yang kita informasikan. Dengan demikian kita tidak akan merasa kecewa dengan apa yang kita perbuat.
Mudah-mudahan materi pengajian ini menjadi bahan acuan untuk kita dalam menyikapi diri, dan menjadi bekal untuk menepis keraguan kita dalam mengimani Allah dan Utusan-Nya. Innamal mu‘minuunal ladziina aamanuu billaahi warosuulihii tsumma lam yartaabuu wajaahiduu bi amwaalihim wa anfusihim fii sabiilillaah, ulaaa-ika humush-shoodiquun. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa raga mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (dalam keimanannya terhadap ayat-ayat Allah)". (Al Hujurat: 15).

Senin, 04 Februari 2008

Keutamaan Mengaji di Majelis Syekh al-Akbar

Seorang murid pernah didatangi ruhani Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. Pada malam Jum’at, ‘Mengajilah malam ini! Engkau akan mendapatkan pahala 30 tahun menuntut ilmu!’ Maka dengan hal yang menggembirakan tersebut si murid berangkat merespon apa yang baru saja ia dapatkan.
Akan saya kutip kembali beberapa cerita dari "Buku Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah":
Cerita berikut terjadi pada masa Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. Pada majelis dzikir ada seorang murid kedatangan ruhani Sunan Ampel (Raden Rahmat), salah satu tokoh dari Wali Songo penyebar Agama Islam di Pulau Jawa.
Singkat cerita, ada yang menanyakan mengapa beliau (Sunan Ampel) datang ke sini (majelis dzikir Tarekat Idrisiyyah). Lalu ia menuturkan, bahwa di atas langit tempat saya berpijak, saya diperlihatkan oleh Allah SWT sebuah cahaya yang terang benderang dari bumi.
Saya-pun, kata Sunan Ampel, meminta izin kepada Allah untuk turun ke bumi dan mengetahui di manakah tempat itu. Ternyata cahaya itu berasal dari majelis ini. Lalu ia melanjutkan, saya mendapatkan kabar bahwa nilai pahala saya berdakwah dan berjuang di jalan Allah selama sebulan di masa hidup saya sebanding dengan pahala menghadiri pengajian di majelis ini semalam/sekali. Oleh karena itu andaikan saya hidup pada masa sekarang ini, niscaya saya akan menjadi murid Syekh al-Akbar meskipun saya hanya menjadi tukang sapu saja.
Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. menyatakan bahwa martabat kewalian beliau (Sunan Ampel) adalah Quthub as-Sab’ah, yakni para Wali Allah yang berjumlah tujuh orang di setiap masa.
************
Di masa kepemimpinan Khalifah Rasul saat ini pernah diungkapkan keutamaan majelis Sulthan Awliya Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra.
Kebesaran majelis tersebut bahkan dituturkan oleh seorang murid yang jarang datang ke majelis. Mungkin karena rasa malas yang selalu menghantuinya. Singkat cerita, ia suatu saat didatangi seorang berpakaian serba putih dengan mengenakan surban putih datang kepadanya secara ruhani. Sosok ruhani itu mengungkapkan, ’Barang siapa yang menghadiri pengajian Syekh al-Akbar pada malam Jum’at di Batu Tulis sama saja ia beribadah pada malam Lailatul Qadr. Barang siapa melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Syekh al-Akbar berarti ia mengokohkan bangunan Dienul Islam pada dirinya (sehingga ia tidak terombang ambing dengan berbagai macam persoalan kehidupan). Barang siapa yang melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Syekh al-Akbar niscaya ia akan diberikan jalan kemudhan (segala urusan) dan diberi rizki dari arah yang tiada diduganya’.

Dibawa Terbang

Salah seorang murid Idrisiyyah menuturkan pengalamannya beberapa tahun yang lalu, bahwa ia sempat mengalami pergolakan batin sebelum memasuki Tarekat. Ia mencari orang yang dapat membimbingnya lahir dan batin. Sebelum ia diperkenalkan dengan Syekh al-Akbar (waktu itu Sy. Al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.) ia pernah bermimpi, ‘Nama kamu Ahmad ya? Kamu boleh menjadi murid Bapak. Mana tangan kamu?’ Setelah itu ia berjabat tangan dan mencium tangan Syekh.
Besoknya ia melaporkan kepada murid lain (temannya) bahwa ia telah diperkenankan untuk menjadi murid Syekh al-Akbar. Saat ia bertamu di rumah temannya itu, ia sempat melihat foto Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. Ia kaget sekali, ‘Waahh! Ini diaa yang tadi malam saya temui!’ Beliau sudah tahu nama saya, padahal saya belum bertemu Beliau!’
Pada kali yang lain ia bermimpi Syekh al-Akbar Ra. berkata, ‘Kamu mau gak diajak terbang ke langit?’ Setelah itu tangannya dipegang dan ia diantar oleh dua orang yang berjubah ke atas langit. Masing-masing tangannya dipegang oleh satu orang (keduanya ia tidak mengetahui siapa). Saat ia naik ke langit, ia melihat rumah-rumah, gedung, sungai, laut dan sebagainya. Semuanya menjadi kecil dalam pandangannya.
Selanjutnya ia diajak bicara, ‘Maukah kamu Bapak antar kepada orang-orang (golongan) yang diselamatkan?’ Setelah mendengarnya ia dibawa kepada suatu tempat asing. Di tempat itu terdengar gema suara orang-orang bersenandung dzikir ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rosuulullaah Fii Kulli Lamhatiw Wanafasin ‘Adada Maa Wasi’ahuu ‘Ilmullaah’. Ia sampai kepada pintu gerbang di mana seseorang murid menunggunya, ‘Kamu sudah ditunggu oleh Syekh al-Akbar!’ Lalu ia masuk ke dalam. Dan ia saksikan jama’ah Al-Idrisiyyah yang mengenakan gamis putih-putih bersurban dan berselendang hijau mengumandangkan dzikir tersebut sambil mengitari (thawaf) di sekeliling singgasana indah yang di atasnya duduk seseorang dengan gagahnya. Secara perlahan ia menghampiri dan memperhatikan dengan seksama siapakah sosok yang berada di atas singgasana itu. Akhirnya ia diperlihatkan sosok tersebut, tiada lain adalah Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. Tentu saat ini, sosok yang menduduki singgasana Kerajaan Ilahiyyah tersebut adalah penerus Beliau Syekh al-Akbar Muhyiddin Syekh Muhammad Daud Dahlan Ra.