Jumat, 10 Juli 2009

ANTARA KEPEMIMPINAN DEMOKRASI DAN ILAHIYYAH

Khutbah Jum'at, 10 Juli 2009
Baru saja kita melewati proses kepemimpinan demokrasi. Kepemimpinan yang akan membawa aspirasi kita dalam kehidupan duniawi ini. Kebutuhan manusia kepada kepemimpinan adalah fitrah dan mutlak diperlukan. Sebab apa jadinya jika negara berdiri tanpa seorang pemimpin.
Kepemimpinan terkecil dalam kehidupan kita adalah diri kita masing-masing. Hal ini disabdakan Nabi Saw: Kullukum Ro'in, wakullu ro'in mas-uulun 'an ro'iyyatihi كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّ رَاعٍ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ [Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin itu akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak]. Dan kepemimpinan tingkat selanjutnya adalah kepemimpinan dalam membina rumah tangga.
Tentu, (sebagaimana sistem yang ada di kehidupan ini) dalam menjalankan aturan agama mesti ada pemimpinnya. Bagaimana mungkin urusan duniawi ada pemimpinnya, sedangkan ukhrawi tidak ada. Pembelajaran kepemimpinan sebenarnya sudah ditanamkan pada diri kita sejak dahulu, seperti apa yang kita laksanakan saat ini (ibadah Sholat Jum'at). Ada unsur imam dan makmum, ada khotib yang memberikan nasehat dan ada yang mendengarkannya, yakni hadirin sekalian.
Allah mengaitkan unsur kepemimpinan lainnya dalam aturan kehidupan kita. Tidak semata-mata hanya Allah saja. Sebab telah disebutkan: 'Athii'ullaah wa Athii'ur rosuula waulil amri minkum. [Taatlah kepada Allah dan Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian].Qul in kuntum tuhibbunallaah fattabi'uunii. [Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku!]
Tidak ada dualisme antara ketaatan Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula tidak ada pertarungan konsep ketundukan antara Nabi Muhammad Saw dengan Al-Ulama sebagai pewaris para Nabi. Kesemuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Ketika kita mengimani atau mempercayai adanya penerus ajaran Nabi Muhammad Saw yang disebut sebagai Rasulu Rasulillah (Utusan dari Utusan Allah) atau Khalifatu Rasulillah (pengganti Utusan Allah), maka berarti ia beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya implikasi keimanan kepada Nabi Muhammad Saw menunjukkan keimanan kita kepada Allah SWT.
Allah mengajarkan kita tentang Rukun Iman yang berjumlah 6 point, bukan 1. Tidak mutlak hanya beriman kepada Allah saja, tapi juga kepada rangkaian keimanan yang lain. Dan analoginya, tidak hanya beriman kepada Nabi Muhammad Saw saja, tapi juga para penerusnya di setiap masa. Allah dalam beberapa firman-Nya menyatakan 'Kami', yang menunjukkan keberadaan unsur dan sistem kepemimpinan lain dalam kebijakan-Nya. Juga Nabi Saw tidak jarang mengungkapkan istilah Laysa minna (bukan golongan kami) atau istilah lainnya berkenaan dengan konteks ini.
Demikianlah yang ditetapkan Nabi Saw, Fa'alaykum bisunnatii wa sunnatil khulafaa-ir roosyidiina al-mahdiyyiina mim ba'dii. [Hendaklah kalian mengikuti kebiasaan-kebiasaanku dan para Khalifah yang memberi petunjuk vertikal dan horisontal setelahku]. Juga mengindikasikan adanya kebijakan yang mesti diikuti selain Nabi Saw.

Hadirin yang berbahagia,
Nilai ketaqwaan yang dianjurkan oleh setiap Khatib juga berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Disebutkan dalam suatu hadits: Ittaqullaah 'Azza wa Jalla lis sam'i wath Tho'ati walaw amaro 'abdan habasyiyyan. [Taatlah kepada Allah 'Azza wa Jalla, agar mau mendengar dan taat, meski yang memerintah (kalian) adalah seorang budak hitam].
Jika kita mendefinisikan taqwa sebagai pelaksanaan amaliyyah yang diambil dari suatu konsep Islamiyyah, maka konsep itu sendiri mungkin terbangun dari budaya, tradisi yang selama ini kita ketahui. Bukan berdasarkan konsep yang dibawa oleh para pewaris di setiap zamannya. Allah menegaskan: Laysa bi-amaaniyyikum walaa amaaniyyi ahlil kitaab. [Bukanlah (kebenaran itu) menurut angan-angan kosong kalian, dan bukan pula menurut angan-angan (perkiraan) orang-orang Yahudi dan Nasrani].
Ahlul kitab di sini bukan saja kaum Pendeta Yahudi dan Nasrasi pada masa dahulu. Tetapi pada masa sekarang banyak Ahlul Kitab, yakni mereka yang mengerti betul makna kandungan Al-Quran dan Hadits, tapi pandangannya menyimpang atau memiliki garis yang berbeda dari tuntunan yang sebenarnya. Inilah sebab musabab yang menimbulkan firqah, sesuai yang diisyaratkan Nabi Saw.

Hadirin yang berbahagia,
Kriteria kepemimpinan selalu akan menimbulkan masalah karena memiliki perbedaan konsep, dan keberpihakan kepada kelompok yang mengusungnya. Jika mereka bukan berasal dari golongannya bisa dipastikan seseorang sulit menerima kepemimpinannya itu. Hal ini terjadi pada kaum Nasrani yang menanti-nanti Nabi terakhir dari golongan mereka, tapi harapan mereka tidak terwujud. Dan jika iming-iming konsepnya tidak membawa manfaat dan keberuntungan atas kepentingan duniawinya, maka ia pun juga akan menolaknya.
Namun kepemimpinan Ilahiyyah yang diangkat Allah itu tidak dibentuk berdasarkan kriteria dan keinginan manusia. Meskipun seluruh makhluk di langit dan di bumi menolak, Allah tetap tidak bergeming dengan putusan-Nya. Sosok kepemimpinan yang dibangun dalam Birokrasi Ilahiyyah tidak dipilih melalui Syuro (musyawarah atau suara terbanyak), seperti yang dipahami oleh tokoh faham Khilafah dewasa ini. Karena kriteria yang dituntut manusia memiliki banyak kelemahan, sedangkan pilihan Allah tidaklah keliru (meski kebanyakan orang melihatnya sebagai bentuk kekurangan).

Hadirin Rahimakumullah,
Perilaku umat dalam menyikapi kehadiran sosok Birokrasi Ilahiyyah di setiap masa, pada umumnya tidak menerima dan memberikan respon yang negatif, karena dianggap sebagai sesuatu 'hal' yang baru. Sikap mempertanyakan yang berakhir pada sikap penolakan adalah suatu hal biasa terjadi. Bahkan sikap anti kehadiran pemimpin Ilahiyyah itu mengalami puncaknya saat terjadi pembunuhan kepada beberapa Nabi dan Rasul, begitu juga terjadi pada Khalifah Rasul sesudah Nabi Muhammad Saw.
Padahal konsep Kenabian sejak dahulu adalah sekedar memberikan informasi [Wama 'alayna illal balaaghul mubiin, tiadalah atas Kami melainkan hanya sekedar menyampaikan informasi (kebenaran) yang nyata]. Dan siapapun yang mendengarnya, hanya dituntut meresponnya dengan iman, sami'na wa atho'na.
Sikap responsif ini pun yang diupayakan Nabi Sulaiman As kepada Ratu Balqis beserta kerajaannya, agar mereka mau tunduk. Bukanlah Nabi Sulaiman menginginkan kerajaan Saba, tapi Beliau hanya sekedar menyampaikan Risalah yang diamanatkan Allah padanya. Dan yang dituntut Allah adalah responnya yang positif berupa pengakuan (keimanan). Allah SWT juga mengajak Bumi dan Langit (setelah tercipta), agar merespon keberadaan Allah, Yang Menciptakan, ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ I'tiyaa thow'an aw karhaa qoolataa ataynaa thoo'i iin. [Datanglah kepadaKu dengan kerelaan atau terpaksa! Maka mereka berdua berkata, Kami berdua datang dengan sikap tunduk]. Q.S. Fushilat: 11.
Nabi Muhammad Saw pernah mengumpulkan penduduk Mekah di suatu tempat yang tinggi, kemudian mereka yang sebenarnya sedang sibuk dengan urusan dunianya disuruh mendengarkan maklumat Nabi Muhammad Saw berupa pengakuan diri Beliau sebagai Utusan Allah. Maka serta merta mereka yang mendengarnya ada yang diam (mengakui atau tidak bersikap), dan banyak yang mencibir apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, karena mereka merelakan waktu mereka yang berharga untuk mendengar perkara yang mereka anggap sepele. Padahal Nabi Muhammad Saw dan para pewarisnya hanya membutuhkan pengakuan dan ketundukan dari umat, bukan butuh harta dan diri mereka.
Semoga kita tidak termasuk orang yang merugi, dan mengeluh di hadapan Allah karena salah memilih pemimpin,
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا*وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).[Q.S.Al-Ahzab: 66-67]
Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang lahir (nyata), yang sedang eksis, bukan yang telah wafat. Bukankah di dunia saat ini kita lebih membutuhkan SBY dibanding Soekarno? Karena SBY masih manggung, sedangkan masa Soekarno telah lewat. Maka demikian pula masa kenabian telah lewat, yang ada adalah masa Shiddiqin dan Awliya-Nya. Merekalah yang diberi nikmat yang sebenar-benar nikmat oleh Allah SWT, shirotholladziina alladziina an'amta 'alayhim ghoyril maghdhuubi 'alayhim waladh-dhoolliin..
Barokallaahu lii walakum fil Quranil 'Azhiim. Fastaghfiruuhu innahu huwal ghofuurur Rohiim.