Minggu, 26 April 2009

Antara Bacaan Cepat dan Lambat

Mewujudkan keluwesan dan kemudahan dalam menjalankan Ibadah

Dalam suatu riwayat Aisyah Ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw suka mempercepat 2 raka'at shalat sunat fajar, sehingga saya terkadang bertanya, 'Apakah Rasulullah membaca Fatihah atau tidak?'

Ada sahabat (Abu Fatimah Ra.) yang bertanya 'Bagaimana caranya agar bisa terus menerus menyertai Beliau nanti di syurga. Rasulullah Saw menjawab, 'Dengan banyak melakukan sujud!'. Hal ini dapat dicapai dengan cara yang cepat, bukan lambat'.

Ada Ulama Salaf yang suka mengkhatamkan Al-Quran setiap Jum'at, ada yang sehari sekali atau dua kali, ada yang sebulan sekali, bahkan ada yang tidak henti-henti membolak-balik Surat Hud selama 6 bulan, dan ada pula yang selama setahun belum juga mengkhatamkan Al-Quran.

Yang dimaksud alasan / penyebab demikian adalah membacanya dengan faham dan musyahadah (penyaksian hati). Dan selanjutnya Ulama Salaf lain yang cepat bacaannya itu menyatakan, 'Aku menempatkan jiwaku dalam ibadah. Terkadang aku beramal harian, mingguan, bulanan, dan tahunan'. Inilah yang dipegang oleh Syekh al-Akbar dalam menerapkan metode peribadatannya. Beliau suka menyatakan, 'Kita ini banyak sekali 'pyoyeknya'. (Yang dimaksud adalah agenda / jumlah jenis ibadat yang dilakukan setiap hari). Oleh karena itu dengan melaksanakannya dengan cepat, ada harapan agar ibadah lainnya (yang fadhilahnya juga besar) dapat tercapai dan terlaksana. Misalnya anjuran Nabi Saw tentang Shalat Tasbih agar dilakukan setiap hari, atau seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali, hingga seumur hidup sekali. Maka dalam mewujudkan kemudahan dalam istiqamah shalat ini diringkas agar dapat menjangkau jumlah ibadat lainnya pada waktu yang sama, yakni Shalat Hajat, Shalat Awwabin serta Dzikir hingga datang waktu Isya'.

Syekh al-Akbar juga menjelaskan, 'Mana yang kita pilih, dikerjakan lambat dan sampai ke tujuan atau dikerjakan cepat dan sampai ke tujuan?' Dan semua orang akan memilih selamat dan cepat sampai kepada tujuan.

Menurut Abu Thalib al-Makki (pengarang Qutul Qulub), 'Sebenarnya dengan adanya kaifiyat bacaan Al-Quran menjadi 7 wajah (jenis) bacaan menunjukkan keluwesan dalam membacanya'. Bukan mesti dikuasai keseluruhannya atau kita terpaku pada satu aturan yang menghalangi kemudahan bagi yang membacanya.

Bagaimana kita bisa mengukur tartil bacaan para sahabat yang di antaranya bisa menamatkan Al-Quran dalam 2 raka'at shalat malamnya, sedangkan keesokan harinya mesti melangsungkan aktivitas kehidupan usahanya. Begitu pula Imam Syafi'i yang setiap berziarah ke maqam Rasulullah, beliau mengkhatamkan Al-Quran? Hal ini tidak bisa kita jangkau bagaimana mereka membacanya tanpa menghilangkan hak setiap huruf yang dibacanya itu.

Ada orang yang membacanya lebih cenderung memperhatikan kaidah-kaidah bacaan karena mempertahankan hak dan karakter huruf. Dan ada pula yang membacanya dengan keccnderungan hati kepada makna batiniyyah suatu bacaan. Orang-orang yang tenggelam dalam suasana batin itu bisa menampakkan kondisi di luar kebiasaan umum manusia. Bisa terlihat cepat atau menjadi lama sekali.

Para Ulama berkata 'Aku memulai shalat dengan sebuah Surah. Apa yang kami lihat dalam Surat tersebut telah menjadikan aku kehilangan kesempatan melakukan sesuatu, sampai datang waktu fajar dan aku tidak bisa memenuhi kebutuhan'.

Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh pernah menerima suatu dzikir dari Nabi Khidhir yang mesti ia baca setiap hari hingga akhir hayatnya. Bacaan tersebut dibaca sebanyak 7 ribu kali setiap hari. Pada awalnya beliau menyelesaikannya di waktu menjelang Maghrib, kemudian menjelang Ashar, kemudian bacaannya semakin lancar dan cepat hingga selesai sebelum Zhuhur. Di antara Ulama-ulama lainnya ada yang mampu membaca sekian ribu shalawat yang panjang dalam sehari semalam. Bahkan ada yang mengaku membaca shalawat seanyak sekian ratus kali dalam satu tarikan nafas!

Perbandingan orang yang membaca secara maknawiyyah dan lahiriyyah adalah seperti perbandingan seorang dewasa yang mahir dengan anak kecil yang baru bisa membaca. Apabila keduanya disodorkan sebuah koran atau buku, maka akan terlihat berbeda cara membaca dan memahaminya. Tentu lebih jelas lagi ketika kita tanyakan apa isi kandungan koran atau buku yang telah dibacanya itu.

Selain itu, ada pula yang justru tidak sanggup membaca bukan karena ia tidak bisa membaca, tapi karena apa yang ia baca terasa berat untuk diungkapkan kandungannya yang tersirat. Apa yang tersurat selalu diiringi hal yang tersirat bagi orang-orang pilihan. Hal ini sebagaimana yang diperlihatkan Rasulullah Saw ketika diperdengarkan ayat-ayat Al-Quran oleh seorang sahabat, Beliau Saw berkata, 'Sudah, cukup, cukup!' Dan tampaklah linangan air mata dari wajah Beliau yang mulia.

Dalam pandangan seorang Ulama, Al-Quran tidak akan dapat dipahami oleh orang-orang yang terikat dan mengejar pelafalan huruf-huruf, bukan memikirkan bagaimana mengamalkannya, dan tidak mengindahkan bentuk lahir kaidah bahasa. Orang jenis ini justru tertutup dari Al-Quran. Karena bisa dikategorikan sebagai syirik khafi, yang lebih laten daripada semut kecil di atas batu licin yang hitam pekat di waktu malam yang sangat gelap gulita.

Adanya 2 kaifiyat pelafalan dzikir dan ayat Al-Quran ini (baik tartil maupun cepat) membuktikan karunia atau rahmat Allah teramat luas bagi hamba-Nya dalam beribadah. Dan bukan sebagai suatu yang mesti dipertentangkan, karena para Ulama Shalihin terdahulu juga memiliki beraneka ragam kondisi ketika melafalkan suatu bacaan dalam menjalankan aktivitas ibadahnya.

Jakarta, 27 April 2009