Dialog Ringan di RS Islam
Pertanyaan itu muncul dalam suatu perjumpaan dengan salah seorang Ustadz pembaca do'a di RS Islam, ditujukan kepada saya. Lalu saya jelaskan dengan sederhana bahwa Beliau itu menurut kaca mata umum adalah seorang Mursyid, pemimpin jama'ah Al-Idrisiyyah.
Sang ustadz berkata, 'Saya prihatin dengan keadaan Beliau, karena jama'ah Beliau sudah lama menunggu kehadiran dan nasehat Beliau'. Ustadz ini termasuk di antara 15 orang yang membacakan do'a rutin di seluruh kamar rumah sakit. Saya teringat dengan 'gaya' rumah sakit UKI (Universitas Kristen Indonesia), yang selalu mengirimkan utusan Pendetanya untuk memperdengarkan untaian ayat-ayat Injil kepada pasien-pasiennya. Diawali dengan pertemuan pertama di ruang perwatan Syekh al-Akbar, saya menyapa untuk kedua kalinya. Ternyata ia segera mengawali sapaan saya dengan pertanyaan 'Siapa sih Beliau ini?'
Saya pun menyiapkan 'amunisi informasi' untuk mendongkrak pandangannya tentang siapa sosok Syekh al-Akbar itu sebenarnya. Saya jelaskan bahwa Beliau memimpin sebuah majelis taklim dan dzikir, dan sebuah Pondok Pesantren di Tasikmalaya. Sementara ditinggalkan majelis tersebut, para Dewan Guru (para Ajengan) mewakili Beliau dalam memberikan bimbingan dan pengajaran kepada seluruh jama'ah / murid.
Dalam pandangan kami, Beliau adalah sosok Pewaris Nabi yang digambarkan dalam hadits Nabi Saw 'Al 'Ulama Warotsatul Anbiya'. Beliau tidak pernah menyantren (jadi santri), dan tidak tamat (selesai) study formalnya. Saya akan menguraikan sebuah pertanyaan yang umum bahwa mengapa Beliau yang pengalaman pendidikan formalnya rendah dipilih di antara murid-murid lainnya yang memiliki kapasitas keilmuannya (penguasaan bahasa Arab dan Kitab Kuning) lebih tinggi.
Dalam dunia Thariqah, jika Anda mempelajari Tarikh para Shufi dan Awliya pada masa lalu, pengangkatan atau peralihan kepemimpinan sebuah lembaga Thariqah itu tidak melalui demokrasi (pilihan banyak orang), atau dipilih sendiri sesuai keinginan Mursyidnya. Tapi melalui petunjuk ruhaniyyah dengan media dzikrullah. Inilah bukti dari firman Allah 'Lahumul Busyra fil Hayatid Dun-ya wa fil Akhirah. Di dunia, manusia-manusia pilihan (para Wali Allah) itu diberi Busyra (kabar gembira dari runahiyyah suci) tentang kehidupan ini. Bahkan beberapa Ulama besar yang kita kenal sebagai Al-Huffazh wal Muhadditsin, serta Imam-imam madzhab sering kali mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi Muhammad Saw melalui perjumpaan ruhaniyyah. Anda mungkin tahu siapa Jalaluddin as-Suyuthi, Imam al-Ghazali, mereka merasakan perjumpaan ruhani itu.
Bimbingan Nabi Muhammad Saw kepada umat masih terus berjalan hingga kini. Bukankah sebuah ayat menyatakan Walaa taquuluu limay yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat ['Janganlah kalian menganggap bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu adalah mati, tapi mereka itu hidup!'] Pada syuhada saja tidak boleh kita katakan 'mati' apalagi dengan Rasulullah Saw!
Di sinilah letak perselisihan pendapat antara kaum Thariqah dengan orang-orang yang menamakan jama'ah Salafi sekarang ini tentang bisa dan tidaknya perjumpaan ruhani itu diterima sebagai aplikasi hukum atau ibadah. Padahal mereka pun banyak menimba pengetahuan dari Ulama-ulama yang sering berjumpa dengan Nabi Saw. Bukankah mimpinya saja (berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw) itu adalah Haq menurut hadits?
Kalau Anda menanyakan bagaimana rincian awrad atau dzikir jama'ah Syekh al-Akbar? Maka kalau saya uraikan akan berbenturan dengan faham Salafi yang tidak menerima bacaan dzikir selain yang tertera dari Al-Quran dan Al-Hadits Nabi Saw. Sedangkan dalam Thariqah kami awradnya ada yang berasal dari perjumpaan ruhani dengan Nabi Saw, seperti yang saya jelaskan tadi.
Ustadz ini bertanya (wajahnya menampakkan tanda tidak mengerti) tentang bagaimana bisa menentukan Beliau itu sebagai pengganti (Khalifah) dan bagaimana orang bisa menerimanya dengan dasar berita ruhani tersebut.
Saya menjawab, dahulu Nabi Muhammad Saw juga mengalami hal demikian. Sosok Beliau sebagai 'anak kemarin sore' tidak diperhitungkan oleh pamannya dan kaum Quraisy. Dahulu orang-orang yang didekatnya juga meremehkan pengakuan 'Muhammad' karena melihatnya dari sisi lahiriyyahnya, sebagai anak yang miskin, yatim dan tidak bisa baca (Ummy).
Pada saat sekarang ini, bagaimana kita bisa menerima Muhammad yang Ummy tersebut? Karena kita sudah diselimuti oleh ragam informasi yang menyibak kelebihan dan keagungan Beliau di antara manusia lainnya. Dan perjalanan informasi itu membutuhkan waktu yang begitu panjang. Wallaahu A'lam jika kita dihidupkan pada masa Beliau apakah kita bisa memiliki pendirian keimanan seperti sekarang ini? Maka begitu juga dengan Beliau (Syekh al-Akbar), akan terungkap kebesaran dan kedudukannya bagi orang-orang yang mendengar dan menyaksikan kelebihannya itu. Kita pun dengan melihat keterbatasan fisik Beliau akan menyatakan 'tidak mungkin' atau 'apa iya?'
Kalau Nabi Muhammad Saw menampakkan mukjizat, maka hal itu ditampakkan pada sebagian sahabatnya (tidak seluruhnya). Dan mukjizat itu tidak juga berhasil meruntuhkan ego orang-orang yang mengingkarinya. Begitu juga dengan Syekh al-Akbar, bukti karamah Beliau sebagai Wali Allah dan Pewaris Nabi tidak ditampakkan kepada seluruh umat atau murid-muridnya, tapi hanya orang-orang tertentu yang berhasil menangkap sinyal / bukti karamahnya. Dan yang menyaksikan atau mendengarnya pun tidak semuanya mengakuinya (menyatakan iman), banyak pula yang mengingkarinya atau meragukannya.
Pembicaraan kami terputus, saat sang Ustadz dipanggil untuk mendo'akan pasien yang berada di ruang perawatan lainnya. Saya pun menyilahkannya untuk memasuki ruang perawatan Syekh al-Akbar terlebih dahulu, tapi ia mengatakan, 'Masya Allah, sudah banyak Masyayikh di ruang Syekh al-Akbar. Saya senang menimba wawasan seperti ini, nanti bisa bersambung kembali'. Ustadz asal Pandeglang ini pun pamit.
Jakarta, 25 Maret 2009