Sayid Ahmad Syarif as-Sanusi Ra. meriwayatkan bahwa Sayid Muhammad bin Ali as-Sanusi Ra. suatu ketika menerangkan keutamaan membaca Shalawat ‘Azhimiyyah, bahwa sesungguhnya membaca Shalawat ‘Azhimiyyah sekali menandingi bacaan Kitab Shalawat Dala-ilul Khairat sebanyak 33.333 kali. Ditanyakan mengapa demikian? Karena keutamaan Shalawat ‘Azhimiyyah itu disebabkan keutamaan para Guru-guru Ra. (yang meriwayatkannya).
Kisah:
Pengarang Dalaiul Khairat: Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Sulaiman Al Jazuli Rahimahullah, nasabnya Jazulah, sebuah qabilah dari daerah Barbar di Susil Aqsha. Belajar ilmu di Fez (Maroko), dan di sanalah beliau mengarang Dalail.
Adapun asal mulanya beliau menyusun kitab Dalail, suatu hari beliau akan mengambil air wudhu untuk sholat. Tetapi beliau tidak mendapatkan alat buat mengambi air dalam sumur. Keadaan itu terus berlangsung sampai ia melihat seorang anak perempuan kecil yang memandanginya dari tempat yang cukup tinggi, lalu anak kecil itu bertanya kepada beliau: “Siapakah Anda?” Beliau kemudian menjelaskan hal ihwal beliau, maka anak itu berkata: “Tuan ini ahli membaca sholawat kepada Rasulullah SAW, dan Tuan ini termasuk orang yang dihormati, mengapa Tuan bingung tidak mendapatkan air?” Kemudian ia pun meludah ke dalam air sumur itu, seketika itu pula airnya naik dan akhirnya memudahkan untuk berwudhu.
Setelah merampungkan wudhunya Syaikh al Jazuli bertanya: “Dengan apa engkau memperoleh karomah (kemuliaan) ini?” Jawabnya: “Karena saya memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi SAW, yang mana jika seseorang berjalan di daratan yang tiada makanan & air, bergantunglah binatang-binatang buas kepadanya”. Lalu beliau bersumpah untuk mengarang sebuah kitab sholawat Nabi SAW, pelindungku, yang melebihi ilmu Aqliyah dan Naqliyah.
Sebelum beliau mengajarkan ilmunya dan tarbiyah kepada muridnya beliau melakukan riyadhah / khawat / uzlah selama 14 tahun setelah mendapat talqin (ijazah) Thariqat Syadziliyah. Setelah beliau keluar ke masyarakat, beliau menjadi masyhur di berbagai tempat dan negeri, murid beliau mencapai 12.000 orang lebih.
Beliau berkata: “Allah telah berfirman kepadaku: “Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku menganugerahkan karomah dan derajat luhur kepadamu ini, karena kamu senang memperbanyak Sholawat kepada NabiKu”.
Pada tanggal 16 Rabiul Awal 870 H beliau wafat, ddisemayamkan di desa Sus al Aqsha. Setelah 77 tahun dari wafatnya, jenazahnya dipindahkan ke Marakesy, maka didapati jenazahnya itu utuh sebagaimana waktu dipendam pertama kali. Makamnya banyak diziarahi orang, dikarenakan baunya yang semerbak. Hal ini dikarenakan beliau menyukai membanyakkan sholawat kepada Nabi SAW selama hidupnya. (Asraarur Rabbaniyyah wal Fuyudhatir Rahmaniyyah ‘aas Sholawatid Dardiriyyah, Sy. Ahmad as Showi)
Kamis, 01 November 2007
Sejarah Ilmu Nahwu
Latar belakang Abul Aswad Ad-Dualy menyusun ilmu ini adalah bermula saat ia dan putrinya berada di bawah atap rumahnya. Kemudian putrinya melihat ke langit, bintang-bintang dan gemerlapan cahayanya sewaktu keadaan gelap. Putrinya berkata padanya, "Yaa abati, maa ahsanus samaa-i ?". Ia mengira maksud putrinya adalah menanyakan, " Adakah sesuatu yang lebih baik dari bintang?"
Maka putrinya berkata, "Wahai ayahku, bukan begitu maksudku, tetapi yang kumaksud adalah (saya) ta'ajub karena keindahannya."
Ia berkata, "Kalau begitu katakanlah : maa ahsana as-samaa-a (alangkah indahnya langit itu).
Pada pagi hari, ia menghadap pada Sayyiddina Ali dan melaporkan kepadanya, " Wahai amirul Mu'minin, telah terjadi percakapan dengan putriku sesuatu yang tidak kami mengerti". Lalu ia menceritakan peristiwa yang telah ia alami bersama anaknya (seperti yang telah dituturkan di atas). Imam Ali berkata, "Ini adalah akibat bercampurnya bahasa Ajam (non Arab) dan Bahasa Arab". Kemudian beliau memerintahkannya untuk membuat aturan bahasa.
Abul Aswad lalu membeli sehelai kertas dan setelah beberapa hari ditulis di atasnya pembagian kalimat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu isim, fi'il dan huruf yang mengandung arti dan pengertian ditambah ta'ajub (tulisan itu disodorkan pada Imam Ali). Lalu Imam Ali berkata, "Inha nahwa haadza" (Buatkan contoh seperti ini), karena itulah ilmu ini dinamakan "Ilmu Nahwu".
(An-Nisa Sholiha)
Maka putrinya berkata, "Wahai ayahku, bukan begitu maksudku, tetapi yang kumaksud adalah (saya) ta'ajub karena keindahannya."
Ia berkata, "Kalau begitu katakanlah : maa ahsana as-samaa-a (alangkah indahnya langit itu).
Pada pagi hari, ia menghadap pada Sayyiddina Ali dan melaporkan kepadanya, " Wahai amirul Mu'minin, telah terjadi percakapan dengan putriku sesuatu yang tidak kami mengerti". Lalu ia menceritakan peristiwa yang telah ia alami bersama anaknya (seperti yang telah dituturkan di atas). Imam Ali berkata, "Ini adalah akibat bercampurnya bahasa Ajam (non Arab) dan Bahasa Arab". Kemudian beliau memerintahkannya untuk membuat aturan bahasa.
Abul Aswad lalu membeli sehelai kertas dan setelah beberapa hari ditulis di atasnya pembagian kalimat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu isim, fi'il dan huruf yang mengandung arti dan pengertian ditambah ta'ajub (tulisan itu disodorkan pada Imam Ali). Lalu Imam Ali berkata, "Inha nahwa haadza" (Buatkan contoh seperti ini), karena itulah ilmu ini dinamakan "Ilmu Nahwu".
(An-Nisa Sholiha)
Langganan:
Postingan (Atom)