Senin, 10 Agustus 2009

ASPEK IMAN

Pengertian Iman
Dari segi bahasa kata ‘Iman’ (إيمان) itu mempunyai akar kata yang sama dengan ‘Aman’ (أمان). Artinya jika seseorang beriman kepada sesuatu (seseorang) maka ia akan berharap memperoleh rasa aman dari yang diimaninya itu. Seperti ia merasa was-was membawa atau menyimpan uang di rumah, kemudian ia memutuskan ‘beriman’ (memberikan kepercayaan) kepada sebuah Bank untuk mengamankannya.
Dalam kehidupan kita, sering kita memberikan sikap percaya kepada pihak lain untuk menangani masalah yang tidak sanggup kita lakukan. Pada saat kita naik bis, sebenarnya kita sudah beriman (percaya) kepada supir untuk membawa kita kepada tempat yang kita tuju. Sedangkan apapun resiko perjalanan, seperti menghindari macet, kondisi mesin, cuaca, dsb. kita percayakan kepada supir untuk mengaturnya.
Banyak aspek kehidupan yang mengandung wilayah spekulasi, remang-remang, ketidaktahuan, harapan rugi-untung, telah dilakukan kebanyakan orang. Karena segala sesuatu itu memiliki resiko untung atau rugi, bisa salah atau benar, dan seterusnya.1 Demikianlah tinjauan pengertian kata iman, dalam konteks yang umum.
Dalam Al-Quran-pun ternyata pengertian iman tidak hanya diorientasikan kepada keimanan kepada Allah saja, namun ada juga disinggung ‘keimanan kepada berhala’. Artinya konsep keimanan itu tidak hanya berlaku kepada nilai-nilai yang positif tapi juga dapat digunakan pada nilai-nilai negatif.
Al-Quran juga banyak menyebutkan bahwa keimanan itu tidak hanya ditujukan kepada Allah saja, tetapi tetapi juga menyangkut keimanan kepada Utusan-Nya. Hal ini menunjukkan aspek keimanan dalam pelaksanaannya bukan ditujukan mutlak kepada Sang Khaliq, tetapi juga kepada ‘Petugas-petugas-Nya’ dalam Birokrasi Ilahiyyah.
Secara kualitatif nilai keimanan itu ada 2 (dua), yakni keimanan yang benar dan salah. Keimanan yang benar bisa terjadi 2 (dua) kemungkinan pula, jika yang diimani itu benar atau salah. Sebagai contoh dari birokrasi insaniah, adalah kalau kita iman (percaya) pada calo tenaga kerja yang tidak mendapatkan letigimasi formal perizinan dari pihak berwenang, berarti kita mempercayai sesuatu yang salah walaupun kita sungguh-sungguh mempercayainya.
Pada dasarnya dalam kehidupan ini manusia membangun iman dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai iklan-iklan, informasi, bahkan pengetahuan dari berbagai urusan produk barang, politik, budaya dan ideologi, menunjukkan bahwa setiap manusia ingin membangun keimanan dan kepercayaan masyarakat luas pada dirinya.
Ada keimanan atas kehidupan dunia, dan keimanan atas kehidupan akhirat. Namun keimanan yang realistis benar adalah dengan Yang Ghaib, yu’minuuna bil ghoib, bukan bersifat lahir. Keimanan yang tidak benarlah yang sangat sulit menerima keberadaan Birokrasi Ilahiyyah, seolah-olah mereka mampu membebaskan diri dari Birokrasi Ilahiyyah. Mereka merasa merdeka, padahal hanya khayalan belaka. Kemerdekaan mereka dibelit oleh kebodohan dan rasa puas, serta manipulasi psikologis lainnya.2

Keimanan yang dimaksud
Dalam menghadapi masalah keimanan maka biasanya kebanyakan orang mengorientasikan pada masalah keagamaan saja, baik agama Islam atau agama lainnya. Al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat yang menyebutkan masalah keimanan di antaranya Yaa ayyuhal ladziina aamanuu... (wahai orang-orang yang beriman!) Seolah-olah Allah mengajak manusia untuk menaruh kepercayaannya kepada Sang Khaliq. Walau Zat Allah Yang Sempurna tidak membutuhkan siapapun dari makhluk ciptaan-Nya itu.
Demikian kuat dominasi istilah keimanan dalam kehidupan beragama mengakibatkan orang-orang menyepakati ini sebagai masalah kebenaran. Padahal keimanan itu ada dua yaitu keimanan yang benar dan salah.
Masalah keimanan ini bukan saja masalah ubudiyah tapi juga masalah duniawi. Semua orang yang bekerja harus mempunyai keimanan bahwa dari pekerjaannya itu akan menghasilkan keuntungan. Jika orang tidak mempunyai keimanan bahwa pekerjaannya akan menghasilkan keuntungan, maka orang tidak akan mengerjakan pekerjaannya. Orang yang akan bertanding yang peluangnya 50%-50% maka mereka harus beriman akan kemenangan, karena jika tidak maka tidak ada pertandingan. Kalau mereka tidak beriman pada keimanan maka tidak ada pertandingan, dan salah satu pihak akan menyerah sebelum bertanding. Maka dengan demikian keimanan itu berada pada semua aspek dan urusan kehidupan.
Iman itu bersifat relatif, bisa benar dan salah. Maka keuntungan akan diperoleh pada iman yang benar, dan kerugian akan diperoleh pada keimanan yang salah. Dalam urusan ukhrawi dan ubudiyah akan mendapatkan jalan yang lurus jika keimanannya benar, sedangkan jika keimanannya salah maka akan menempuh jalan yang sesat. Dalam masalah keimanan menjalankan ibadah orang boleh saja khusyu’ dan menangis. Tapi tangisan itu bukan hanya klaim orang-orang yang menangis di masjid, tapi juga terjadi pada orang-orang yang beribadah di gereja, kuil, bahkan orang-orang Yahudi harus menangis di tembok ratapan. Bukan juga urusan peribadahan agama, tapi juga dalam urusan duniawi. Suporter sepakbola dapat menangis karena terlalu merasakan kegembiraan dan kekhusyu-an pada tim kesayangannya jika tim kesayangannya itu menang dalam pertandingan. Begitu pula dalam kekalahan timnya, mereka dapat menangis karena merasa kalah dan meratapi kekalahan tim kesayangannya itu. Jadi masalah keimanan dan kekhusyuan itu adalah masalah keyakinan yang relatif.
Di sinilah kita memerlukan kebenaran dalam agama, konsep dan kepemimpinannya untuk melimpahkan rasa keimanan dengan hakiki. Allah berfirman dalam Surat An-Nisaa’ ayat 125:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَه لله وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًاقلى وَاتَّخَذَ الله إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً النسآء: 124-125
Waman ahsanu diinam mimman aslama wajhahuu lillaahi wahuwa muhsinuw wattaba’a millata ibroohiima haniifaa, wattakhodzalloohu ibroohiima kholiilaa
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”
Siapa yang lebih baik agamanya, sistemnya, metodenya, tharikatnya, caranya, dari orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah?
Jika sudah sampai kepada pemahaman Birokrasi Ilahiyyah dan masuk di dalamnya, maka hal yang penting adalah ketundukan dan penyerahan diri dalam menghadap kepada Allah. Maqam ini lebih tinggi dari keimanan atau amal. Keimanan dan amal masih bersifat relatif, kedua hal itu bisa berorientasi pada keduniawian dan dirinya. Keimanan dan amal masih bisa menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT, sedangkan ketundukan dan penyerahan diri tidak mengenal kata relatif. Ketundukan tidak menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT. Dalam ketundukan dan penyerahan diri tersimpulkan ibadah total kepada Allah SWT.

Rabu, 05 Agustus 2009

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

Pada Risalah ini dibahas mengenai fatwa-fatwa ahlusunnah dalam kitab Al-I’tisham (kitab yang membahas mengenai Bid’ah dan seluk beluknya) karya Imam Asy-Syatibi, karena pernyataan-pernyataan dalam kitab ini sering dipalsukan oleh musuh-musuh Islam yang mengaku-ngaku sebagai salafy (Wahhaby). Bagi mereka yang ingin membaca kitab al-I’tisham ini hendaklah membacanya dengan teliti dan hingga tuntas, jangan setengah-setangah.
Kitab tarjamah ini, Insya Allah dapat di Download :
http://www.scribd.com/doc/13441519/Al-Itisham-Imam-Syatibi
Beberapa hal yang dibentangkan berasal dari tarjamah kitab al-I’tisham, diantaranya adalah :

* Tassawuf Bukan Bid’ah (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 )

* Mimpi Bertemu Allah atau nabi yang dapat dijadikan acuan untuk beramal (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, halaman 308-310).

* Kewajiban Bertaqlid kepada imam Mujtahid dan haramnya Ber-ijtihad bagi orang yang bukan Mujtahid (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Halaman 879- 880)

* Aqidah Imam Ahlusunnah : Allah ada tanpa tempat dan arah! (dalam kitabnya berjudul Al-Ifadaat Wa Al-Insyadaat pada bilangan 11-Ifadah : Al-Isyarah Lil Baiid Bi Ismi Al-Isyarah Al-Maudhu’ Lil Qorib mukasurat 93-94)
(Kutipan: http://salafytobat.wordpress.com/)