Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.....
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal (bergantung) kepada niatnya, dan setiap perkara menurut apa yang ia niatkan.....” HR. Bukhari dan Muslim dari Amar, Muwatha dari Muh. bin Hasan.
Di antara para Ahli Fiqih menyatakan bahwa hadits ini masuk dalam 30 Bab ilmu pengetahuan. Kita tidak mengetahui kedalaman niat seorang Syekh terhadap penerapan suatu kebijakan kepada murid-muridnya. Kecintaan murid kepadanya melupakan mereka untuk bertanya mengapa? Mereka telah mengutamakan menjaga perasaan Syekh dari pada ungkapan-ungkapan yang lahir dari bersitan-bersitan hatinya yang dikhawatirkan bercampur dengan syahwatnya.
Memendam pertanyaan bagi orang yang diberi pengetahuan adalah ujian yang lebih berat dari pada lainnya dalam perkara ini. Para Imamaini (pangkat kewalian setelah Sulthan Awliya) yang ada dalam Tarekat Idrisiyyah sangat teguh penjagaannya berkenaan masalah menjaga perasaan Syekh ini.
Ada sebuah kisah yang yang tidak ada pada literatur tertulis, bahwa Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Mengawali perjalanannya mengembara mencari Syekh Mursyid (dengan pijakan Q.S. Al-Kahfi: 17). Kegigihan pencariannya itu bertahan begitu lama hingga ia ditakdirkan dapat menjumpai Syekh Mursyid yang ia cari, yakni Sidi Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah al-Mukarramah.
Setelah sekian tahun ia bersama dengan Syekh-nya, kecintaannya itu melahirkan ujian-ujian yang cukup berat bagi dirinya. Di antara ujian yang terberat adalah berita-berita ruhaniyah yang sering dialaminya, khususnya perjumpaan dengan Rasulullah Saw. Beliau Saw suatu ketika menginformasikan kepadanya bahwa Khilafah Tarekat yang dipegang oleh Syekh Ahmad Syarif ini akan dilimpahkan kepada Abdul Fattah. Kabar ini (setelah beliau mengalami beberapa kejadian) akhirnya beliau ungkapkan kepada gurunya, Sidi Ahmad Syarif. Asy-Syekh berkata, ‘Apa niatmu pertama kali datang ke sini? Ingin menjadi murid atau ingin menjadi Guru’. ‘Ingin menjadi murid ya Sayyidi!’ jawab Abdul Fattah. ‘Maka, luruskan niatmu itu!’ Gurunya menegaskan.
Dengan jawaban Gurunya tersebut Abdul Fattah tidak kecewa, bahkan apa yang membayanginya itu selalu ia buang jauh-jauh dari angan-angannya (bahasa Sunda-nya dikepret-kepret keun). Abdul Fattah senantiasa bersangka baik bahwa bukanlah perkataan itu menandakan ketidaktahuan Gurunya, melainkan bimbingan kasih sayangnya kepadanya agar perjalanannya bermakrifatullah tidak terjegal di tengah jalan.
Jawaban itu menimbulkan renungan yang mendalam dan mengakhiri kegelisahan Abdul Fattah muda yang ketika itu dipercaya menjadi Wakil Talqin bagi murid-murid baru, bahkan kerap kali menggantikan posisi Gurunya tersebut mengajar. Ia menjadi fokus, dan tiada mempedulikan berita apapun.
Inilah niat. Kita tidak mengetahui niat seseorang, apalagi kekhususan niat seorang Syekh yang dipilih-Nya yang kita andalkan dapat meluruskan niat-niat kita selama ini dalam berguru kepadanya. Yang perlu kita perbuat adalah mengosongkan niat kita dari keinginan lain, yang kita harapkan adalah menjadi murid yang tulus, yang mendapat curahan air petunjuk Allah yang lahir dari lisan dan Ahwal Syekh. Hal tersebut tidak akan diperoleh melainkan mengosongkan ‘wadah’ yang ada pada diri kita agar makanan jiwa yang masuk kepada kita begitu murni dan menyehatkan.
Inilah sejalan dengan apa yang dikatakan Syekh Abu Nashr Sarraj (Thaus al-Fuqara), yang meriwayatkan perkataan seorang Shufi besar, ‘Awal perjalanan (Bidayah) sama seperti akhir perjalanan (Nihayah). Dan begitu pula akhir perjalanan sama seperti permulaan. Maka barang siapa di akhir perjalanannya meninggalkan sesuatu yang ia lakukan (perjuangkan) seperti awal perjalanannya itu, maka sebenarnya ia telah tertipu’.
Senin, 12 Mei 2008
MENJAGA PERASAAN HATI SYEKH
Allah SWT berfirman:
هل أتبعك على أن تعلمني مما علمت رشداً
“Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”. (Q.S. Al-Kahfi: 66)
Al-Junaid berkata, “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidhir, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru, lantas Al-Khdhir memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa As mulai kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi ketika kontra untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan. Khidhir berkata:
هذا فراق بيني وبينك
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu!” (Q.S. Al-Kahfi: 78)
Rasulullah Saw bersabda:
مَا أَكْرَمَ شاب شيخاً لسنَّه إلا قبض الله تعالى له من يكرمه عند سنه
“Tiadalah orang muda yang menghormati seorang Guru (Syekh) karena usianya, melainkan Allah akan menakdirkan baginya kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah tua”. (HR. Tirmidzi)
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan Syekhnya,berarti ia tidak menetapi tarekatnya. Hubungan antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah. Barang siapa berguru kepada salah satu Syekh, kemudian dalam hatinya ada konflik, maka janji pertalian Guru dan murid telah rusak, dan ia wajib bertobat”.
Salah satu Syekh berkata, “Menyakiti para guru, tidak ada lagi tobatnya”.
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata, “Aku pergi ke Merw pada saat Syekh-ku, Abu Sahl ash-Shu’luky masih hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum’at pagi selalu ada majelis Khatmul Quran. Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang dipimpin oleh Abul ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Ini sebuah majelis Khatmul Quran telah diganti dengan majelis diskusi”. Kemudian suatu hari Syekh berkata kepadaku, “Hai Abu Abdurrahaman, apa yang diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku katakan kepadanya, “Mereka mengatakan, majelis al-Quran al-Karim telah dihilangkan dan diganti dengan majelis diskusi”. Lantas Syekh berkata, “Siapa saja yang berkata kepada Gurunya mengapa? Maka dia tidak akan bahagia selamanya”.
Ucapan yang populer dari al-Junaid, antara lain, “Aku memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sesuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepadanya, ia memberikan aku secarik kertas, sembari berkata, “Inilah kedudukan pemenuhanmu atas kebutuhanku yang begitu cepat”, lalu aku kubaca pada kertas itu, ternyata di sana tertulis:
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
أبكي، وهل يدريك ما يبكيني ...
أبكي جداراً أن تفارقيني وتقطعي حبلي وتهجريني
Aku menangis, dan tahukah engkau mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
bila engkau (Syekh) memisahkan diriku
bila engkau memutuskan ikatan-ikatan hatiku
bila engkau menghindar dariku
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamadzany al-Alawy yang berkata, “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy. Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata kepadaku, “Bangunlah malam ini”. Aku merasa ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Ku keluarakan burung dari dapur dan ku letakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu langsung meraih burung,di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan berkata, “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para Syekh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya”.
Abdullah ar-Razy mendengar abu Utsman Said al-Hiry sedang menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-balkhy, dan memuji-mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah padanya. Namun hatinya tidak berkenan pada Muhammad bin Fadhl. Lalu ia kembali kepada Abu Utsman, dan Abu Utsman bertanya, “Bagaimana, anda sudah menemuinya?” Abdulah menjawab, “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga”.Lantas Abu Utsman berkata, “Karena Anda menganggapnya remeh. Dan tak ada seorang pun yang menganggap rendah seseorang, melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh hormat”. Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari ziarahnya itu.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan mereka, “Ya, Allah, cegahlah kejujuran dari mereka”. Maka setelah itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Aiwardy Rhm. berkata, “Barang siapa Syekhnya ridha, ia tidak akn menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa takzimnya kepada Syekh tersebut hilang. Apabila Syekh telah meninggal dunia, Allah SWT akan menampakkan balasan ridhanya Syekh kepadanya. Namun,barang siapa membuat hati Syekh-nya berubah, maka ia tidak akan menyimpang pada zaman Syekh tersebut hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk menghormati. Apabila Syekh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya”.
[Petikan Kitab Risalah Qusyairiyyah]
هل أتبعك على أن تعلمني مما علمت رشداً
“Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”. (Q.S. Al-Kahfi: 66)
Al-Junaid berkata, “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidhir, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru, lantas Al-Khdhir memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa As mulai kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi ketika kontra untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan. Khidhir berkata:
هذا فراق بيني وبينك
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu!” (Q.S. Al-Kahfi: 78)
Rasulullah Saw bersabda:
مَا أَكْرَمَ شاب شيخاً لسنَّه إلا قبض الله تعالى له من يكرمه عند سنه
“Tiadalah orang muda yang menghormati seorang Guru (Syekh) karena usianya, melainkan Allah akan menakdirkan baginya kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah tua”. (HR. Tirmidzi)
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan Syekhnya,berarti ia tidak menetapi tarekatnya. Hubungan antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah. Barang siapa berguru kepada salah satu Syekh, kemudian dalam hatinya ada konflik, maka janji pertalian Guru dan murid telah rusak, dan ia wajib bertobat”.
Salah satu Syekh berkata, “Menyakiti para guru, tidak ada lagi tobatnya”.
[Berkata Imam Qusyairi]: Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata, “Aku pergi ke Merw pada saat Syekh-ku, Abu Sahl ash-Shu’luky masih hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum’at pagi selalu ada majelis Khatmul Quran. Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang dipimpin oleh Abul ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan aku berkata pada diriku sendiri, “Ini sebuah majelis Khatmul Quran telah diganti dengan majelis diskusi”. Kemudian suatu hari Syekh berkata kepadaku, “Hai Abu Abdurrahaman, apa yang diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku katakan kepadanya, “Mereka mengatakan, majelis al-Quran al-Karim telah dihilangkan dan diganti dengan majelis diskusi”. Lantas Syekh berkata, “Siapa saja yang berkata kepada Gurunya mengapa? Maka dia tidak akan bahagia selamanya”.
Ucapan yang populer dari al-Junaid, antara lain, “Aku memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sesuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepadanya, ia memberikan aku secarik kertas, sembari berkata, “Inilah kedudukan pemenuhanmu atas kebutuhanku yang begitu cepat”, lalu aku kubaca pada kertas itu, ternyata di sana tertulis:
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
أبكي، وهل يدريك ما يبكيني ...
أبكي جداراً أن تفارقيني وتقطعي حبلي وتهجريني
Aku menangis, dan tahukah engkau mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
bila engkau (Syekh) memisahkan diriku
bila engkau memutuskan ikatan-ikatan hatiku
bila engkau menghindar dariku
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamadzany al-Alawy yang berkata, “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy. Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata kepadaku, “Bangunlah malam ini”. Aku merasa ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Ku keluarakan burung dari dapur dan ku letakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu langsung meraih burung,di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan berkata, “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para Syekh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya”.
Abdullah ar-Razy mendengar abu Utsman Said al-Hiry sedang menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-balkhy, dan memuji-mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah padanya. Namun hatinya tidak berkenan pada Muhammad bin Fadhl. Lalu ia kembali kepada Abu Utsman, dan Abu Utsman bertanya, “Bagaimana, anda sudah menemuinya?” Abdulah menjawab, “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga”.Lantas Abu Utsman berkata, “Karena Anda menganggapnya remeh. Dan tak ada seorang pun yang menganggap rendah seseorang, melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh hormat”. Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari ziarahnya itu.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Ra. Berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan mereka, “Ya, Allah, cegahlah kejujuran dari mereka”. Maka setelah itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Aiwardy Rhm. berkata, “Barang siapa Syekhnya ridha, ia tidak akn menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa takzimnya kepada Syekh tersebut hilang. Apabila Syekh telah meninggal dunia, Allah SWT akan menampakkan balasan ridhanya Syekh kepadanya. Namun,barang siapa membuat hati Syekh-nya berubah, maka ia tidak akan menyimpang pada zaman Syekh tersebut hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk menghormati. Apabila Syekh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya”.
[Petikan Kitab Risalah Qusyairiyyah]
Langganan:
Postingan (Atom)