Rabu, 27 Juni 2007

Tanda Kekhalifahan Syekh al-Akbar (i)

SAYA MALU KEPADA SYEKH AL-AKBAR
Suatu ketika seorang Tokoh Negara melakukan kunjungan ke sebuah tempat yang terpencil, yang jauh dari wilayah perkotaan. Tentu saja dalam kunjungan itu segera direspon oleh berbagai pejabat daerah setingkat di bawahnya hingga tokoh masyarakat terkecil seperti Ketua RT. Salah seorang warga di lingkungan RT tersebut diminta untuk memandu acara pertemuan penting itu.
Di awal pembicaraannya ia berkata, ‘……. Yang kami hormati dan Allah muliakan, Bapak Ketua RT sekian RW sekian ……’. Selesai acara ia dimarahi oleh Pak RT-nya, karena namanya tidak pantas untuk disebutkan di tengah-tengah para pejabat penting yang jauh kedudukannya dibanding dirinya, seorang Pak RT.
Setelah diselidiki ternyata ia hanya mengenal Bapak RT di wilayahnya, dan ia tidak mengetahui dengan siapakah ia berhadapan.
Cerita tersebut merupakan gambaran analog dari sebuah kisah yang terjadi pada bulan Desember 2006 yang lalu ketika salah seorang jama’ah Al-Idrisiyyah mengadakan acara do’a bersama menjelang keberangkatannya ke tanah suci tahun ini. Pada kesempatan itu banyak tokoh Alim Ulama diundang oleh Shahibul Hajat, begitu pula para relasi atau kerabat juga hadir.
Di awal acara sebagaimana biasa dilakukan pembacaan tawassul. Pembacaan tawassul ini dipimpin oleh salah seorang tokoh Ulama dari Tarekat Qadiriyyah. Tentu, sebagai pengamal atau penganut Tarekatnya, ia menyebut-nyebut nama Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam tawassulnya. Demikian panjang ia membaca silsilah Ulama-ulama Qadiriyyah.
Pada saat itulah salah seorang murid Tarekat Idrisiyyah melihat sosok Syekh Abdul Qadir al-Jaelani berada persis di sebelah Murabbi Ruhina Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. Ia memperkenalkan dirinya, ‘Aku Syekh Abdul Qadir al-Jaelani!’ Kalau saja ia tidak memperkenalkan dirinya, tentu si murid tidak mengetahui bahwa ia adalah Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Iapun ragu untuk berbicara sebab ia merasa bahwa beliau (Syekh Abdul Qadir al-Jaelani) itu hanya bisa berbahasa Arab yang ia tidak mengerti.
“Tolong sampaikan pesanku kepada Syekh al-Akbar…!’ Ujar beliau. Kontan saja si murid berkata, ‘Mengapa tidak Syekh saja yang menyampaikan langsung kepadanya? Bukankah Anda berada di sebelahnya?’ Pendiri Tarekat Qadiriyyah itu berkata, ‘Aku tidak mampu, aku tidak bisa! Meskipun aku terlihat dekat (yakni duduk bersebelahan) dengan beliau (Syekh al-Akbar), tapi antara aku dan Beliau ada dinding pembatas. Aku dengan Beliau berbeda alam dan maqam. Maqam beliau saat ini denganku seperti tanah dan langit, aku tidak mampu menjangkaunya. Aku sudah berbeda masa dengan beliau, dan hanya melalui engkaulah (muridnya) aku berwasilah untuk menyampaikan pesanku ini!’
‘Oh, begitu, kalau begitu apa yang hendak Tuan Syekh sampaikan?’ Tanya si murid sambil manggut-manggut. Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dengan ekspresi merendah dan menunduk berkata, ‘Aku malu disebut-sebut namanya di hadapan Sulthan Awliya di masa ini, aku malu kepada Syekh al-Akbar namaku masih diagung-agungkan oleh pengikut-pengikutku. Namaku sudah tidak pantas untuk disebut, bahkan sepatutnya Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan-lah yang pantas untuk disebut-sebut umat pada masa ini. Aku memohon ampun dan ridha dari beliau!’
Pada saat Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan berada di atas mimbar, ucapan awal sebelum beliau memberikan Taushiyah adalah, ‘……..Wabihaqqi Sulthan Awliya (Dengan Haq [kebenaran] Pemimpin para Awliya) Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, Wabihaqqi Sulthan Awliya fii haadzaz zamaan (Dan dengan Haq [kebenaran] Pemimpin para Awliya pada zaman ini), Syekh al-Akbar Syekh Muhammad Daud Dahlan, Assalaamu’alaikum Warohmatullaahi wabarokaatuh!’
Setelah mendengar kalimat itu terdengar ucapan dari Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, ‘Alhamdulillah beliau sudah mengampuniku, atas berbagai hal yang tak patut disandarkan kepadaku oleh orang-orang yang mengagung-agungkan namaku pada masa ini’.
Si murid baru menyadari percakapan kalbu yang berlangsung seketika, tanpa penerjemahan bahasa atau penafsiran apapun. Dan hal itu diceritakan kepada Gurunya sebagai amanat atau pesan dari Pioner Tarekat Qadiriyyah tersebut.

Tidak ada komentar: