Selasa, 28 Juli 2009

Sayid Abdur Rahman al-Mishri, Shahibul Misool Papua

Ketika saya diberitahu isteri saya mengenai sebuah acara tv yang menceritakan tentang keindahan sebuah pulau dan lautnya, disertai dengan adanya gua yang di dalamnya terdapat 2 buah makam, seketika itu hati ini menjadi penasaran. Di manakah tempat yang indah itu? Dan makam siapakah yang berada di dalam gua tersebut. Sungguh aneh, di tempat terpencil yang dikelilingi laut itu ada orang yang pernah hidup di sana. Bahkan ada tanda tanya besar, mengapa makamnya begitu dihormati sehingga dirawat dengan baik. Saya berusaha mencari di internet, tapi tidak juga berhasil. Biasanya saya gemar mencari buku-buku menarik (apalagi yang baru) tapi saat itu tidak ada waktu untuk datang ke toko buku.

Cerita ini akhirnya memancing kabar isyraqiyyah, yang menjelaskan itu semua. Ini merupakan anugerah yang ke sekian kali dari Murobbi Ruhina, Guru kami Syekh al-Akbar sehingga terkuak rahasia yang belum terungkap dalam literatur manapun. Mudah-mudahan cerita ini banyak manfaatnya dan hikmah bagi ita semua.

Adalah Sayid Abdur Rahman bin Abdullah bin Alwi al-Mishri, seorang kelahiran Mesir yang merantau jauh dari Negeri asalnya hingga mengabdikan akhir hidupnya di daerah terpencil di ujung Timur kepulauan Nusantara ini.

Beliau berperawakan tinggi (tapi tidak terlalu tinggi), berambut ikal, kulitnya kemerah-merahan. Jarang mengenakan imamah (surban) karena Beliau lebih senang menutup surban di atas kepalanya saat khalwat atau berdzikir. Beliau Ra. jarang sekali membawa perbekalan makanan saat melakukan khalwat atau berpergian ke suatu tempat. Ia tidak merasa khawatir dengan makanan, justru seolah makanan menghampirinya dengan berbagai sebab. Dengan kata lain, ia lebih memilih tawakkal dalam perjalanannya.

Sayid Abdur Rahman adalah orang yang memahami sya’ir, dan ahli balaghah, dan ini terbukti dari setiap tutur katanya yang indah dan tersusun. Dan memang Beliau merupakan orang yang menyukai keindahan.

Kisah ini berawal dari keberangkatan Beliau dari negeri Mesir, setelah melalui berbagai kunjungan ziarah Beliau ke beberapa Negara, di antaranya Al-Haramayn, Baghdad, Turki, dan sebagainya. Dan Beliau mempunyai kebiasaan berziarah ke berbagai tempat, berkelana ke berbagai negeri. Di tempat kelahirannya, Mesir, Beliau sudah berkeluarga dan memiliki sahabat. Semuanya Beliau tinggalkan, karena perintah Gurunya. Di akhir perjumpaan Beliau sesudah berkunjung dari Turki (sebelum berangkat merantau) Beliau mengadakan janjian untuk bertemu kembali, sahabatnya berkata, ‘Insya Allah, jika Allah takdirkan, kita akan bersua kembali’.

Menarik untuk diungkapkan bahwa Sayid Abdur Rahman ini adalah salah seorang murid Nabi Khidhir As. Dan melalui bimbingan Nabi Khidhir inilah Beliau diperintahkan suatu ketika untuk merantau ke negeri Jawi di wilayah Timur dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Salah satu kelebihan Beliau adalah saat ada khatir (kretek hati) ingin bersua Nabi Khidhir As, maka seketika datanglah gurunya tersebut tanpa penantian yang lama.

Sebelum Beliau mengetahui yang membimbingnya adalah Khidhir As., terdengar suara yang memerintahkannya untuk berangkat pergi ke negeri seberang jauh di wilayah Timur, tepatnya di daerah Jawi (dahulu belum ada nama Indonesia). Tempat itu adalah tempat yang terindah di dunia ini yang belum diketahui oleh manusia di muka bumi ini. Beliau kemudian bertanya, ‘Apakah ada tempat yang lebih indah di dunia ini daripada apa yang saya kunjungi selama ini?’ Jawab suara misterius itu, ‘Ada!’ Lalu Sayid Abdur Rahman bertanya, ‘Siapakah gerangan Anda ini?’ Maka dijawab, ‘Nanti, engkau akan mengetahuinya!’

Berbagai tempat yang pernah Beliau singgahi dan lewati adalah Kerajaan Samudera Pasai, Banten, Brunai, Ambon, hingga Beliau disampaikan kepada gugusan pulau yang dikelilingi laut yang luas. Saat Beliau sampai di tempat itu, Beliau berpendapat, ‘Belum pernah ada tempat yang seindah ini selama aku merantau ke mana-mana!’ Akhirnya, Beliau pun betah tinggal di sana hingga akhir hayatnya.

Sebenarnya pencarian Beliau terhadap tempat yang dimaksud itu mirip dengan apa yang dialami oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan saat mencari tempat yang diisyaratkan Yang Ghaib pada dirinya. Syekh Abdul Muhyi menemukan tanda mengenai tempat yang dituju berdasarkan isyarat sebuah tangkai tumbuhan yang tumbuh becabang tiga apabila ditancapkan di tempat tersebut. Akhirnya Beliau menemukan gua Pamijahan sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.

Lain halnya dengan Sayid Abdur Rahman, Beliau diisyaratkan oleh sosok ghaib akan sebuah tempat di daerah lautan yang menghampar hijau. Dari perjalanan Beliau melewati banyak tempat, singgah di pulau atau bandar yang satu lalu ke pulau yang lain kesemuanya diperhatikan satu persatu, dan tidak juga berhasil menemukan tempat yang dimaksud. Yang selalu dijumpai adalah pemandangan laut yang airnya berwarna biru atau coklat (keruh). Ia berlayar terus mengarah ke arah Timur wilayah Nusantara. Sesampainya di daerah kepulauan Misool, Beliau merasakan apa yang ia lihat persis dengan apa yang diisyaratkan kepadanya. Akhirnya Beliau gembira menemukan apa yang selama ini ia cari. Keindahan laut beserta jajaran pulau di hadapannya seolah baru muncul ke permukaan. Memancarlah keindahan tempat itu, membuat terpesona bagi siapapun yang melihatnya.

Konon, tempat itu lebih indah dari kepulauan Seribu yang berada di wilayah utara Pantai Jakarta dan Banten. Air lautnya berwarna hijau bening, pulau-pulaunya saling berdekatan satu dan lainnya sehingga dikatakan sebagai kepulauan.

Beliau berkata, ‘Kalau Laut Mati memiliki kadar garam yang tinggi, dan tempat yang saya diami ini memiliki nilai keindahan yang teramat tinggi. Benarlah, bahwa setiap makhluk ciptaan Allah itu memiliki kelebihannya masing-masing. Demikian indah ciptaan Allah ini, maka bagaimanakah Yang menciptakannya?’

Beliau berkata, ‘Kalau ada orang yang melihat pasti terbelalak matanya seperti melihat zamrud di atas ketinggian ‘Arasy. Maka aku tidak beranjak sekejap pun darinya, aku mengagumi keindahan ciptaan Allah dan aku menjunjung Kebesaran Penciptanya’.

‘Hanya Subhanallah yang wajib diungkapkan bagi yang menyaksikannya, ucapan Alhamdulillah bagi yang berpijak di atasnya, dan Allahu Akbar sebagai kesempurnaan atas apa yang aku terima, sebagai kesyukuran terhadap anugerah yang diberikan Allahu Ahad, Ash-Shomad. Kemudian Beliau melantunkan Asmaul Husna. Ditutup dengan alladzii lam yalid walam yuulad walam yakul lahuu kufuwan ahad, laysa kamitslihi syay-un wahuwas sami’ul bashiir.

Rupanya Beliau hidup semasa dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), karena secara historis sebelum Beliau sampai ke Misool, Beliau singgah terlebih dahulu ke Cirebon menjumpai Sunan Gunung Jati (yang juga berasal dari Mesir). Persinggahan itu sesudah Beliau mampir ke Palembang. Namun ada sebagian orang berpendapat pula bahwa Beliau pernah datang ke Indonesia sebelum Syarif Hidayatullah.

Beliau berasal dari keturunan Husain Ra. (sehingga diberi gelar al-Husaini). Konon keturunan Rasulullah Saw dari Husain Ra. ini kebanyakan berasal dari Yaman (Hadhramaut). Tapi Beliau berkata, ‘Aku bukan berasal dari Yaman,aku bukan Habib!’

Lalu Beliau mengisahkan asal muasal timbulnya istilah Habib. Bahwa dahulu kala Yaman itu merupakan negeri yang gersang. Hingga disebut Hadhramaut (tanah yang mati). Kemudian datanglah keturunan Nabi Saw ke tempat tersebut, yang disambut oleh para penduduk asli dengan kegembiraan, ‘Marhaban Yaa Habiibi,marhaban Yaa Habiibii!’ Maka disematkanlah istilah tersebut kepada keturunan Rasulullah setelahnya. Padahal istilah itu hanyalah bersifat majazi, dan yang sebenarnya al-Habib (Sang Kekasih) adalah Rasulullah Saw. Selanjutnya sebagai ungkapan kegembiraan, dikumandangkanlah syair, sholawat dan pembacaan Maulid disertai tabuh-tabuhan. Setelah itu muncul berbagai jenis Rawi Maulid seperti Ad-Diba’i, Simtud Durar, Adh-Dhiya’ul Lami’, dsb. Namun yang lebih awal dan utama menurut Beliau di antara Rawi Maulid yang ada adalah Rawi Al-Barzanji.

Beliau termasuk salah satu Rijalallah yang masih berkeliaran membantu dan membimbing umat manusia di muka bumi. Beliau datang kepada orang yang menyebut dan memanggilnya, namun tidak bagi yang tidak meyakininya. Sebuah hadits menguatkan akan adanya Rijalallah ini. Dalam sya’ir Ghautsiyyahnya Syekh Abdul Qadir al-Jaelani Q.S mengungkapkan, ‘Ibadallaah Rijaalallaah Agitsuunaa bifadhlillaah!’ [Wahai Hamba Allah, Petugas Allah, tolonglah kami dengan kemurahan Allah!’ Dan dalam Tarekat Al-Idrisiyyah (khususnya di Indonesia) biasa diungkapkan oleh sang murid dalam berbagai hal, ‘Madaad Syekh Akbar!’ Adalah hal yang menyerupainya.

Saya diberitahu alamat yang begitu lengkap mengenai wilayah dimaksud, yakni Kepulauan Misool. Makam Sayid tersebut berada di sebuah gua yang bernama Gua Keramat. Nama Pulaunya juga disebut sebagai Pulau Keramat, di daerah Pulau Harapan Jaya, Misool, Papua Timur. Data di internet menunjukkan bahwa tempat ini termasuk dalam wilayah Raja Ampat.

Dahulu wilayah ini masih menganut animisme, hingga datang perubahan keyakinan kepada Tauhid, sejak datangnya Sayid Abdur Rahman ke tempat ini. Setelah itu kebanyakan orang di wilayah kepulauan ini menganut agama Islam. Saat ini sudah banyak kaum pendatang yang berasal dari Ambon hingga Banten yang menetap di wilayah ini.

Makam Sayid Abdur Rahman terlihat bersih dan rapih, karena ada yang merawatnya. Tepat di atas makam Beliau ada lubang yang tembus ke langit, berbentuk seperti kubah. Pemandangan ini menambah keindahan suasana di dalam gua tersebut. Di sebelah makam tersedia dupa (pembakaran wangi-wangian) bagi penziarah.

Menurut orang kepulauan di sana, tidak sempurna hajat seorang pendatang sebelum datang berkunjung ke gua keramat, tempat bersemayam Sayid Abdur Rahman ini. Apabila tidak berziarah dahulu ke tempat ini, biasanya terjadi sesuatu hal yang menjadi penghalang atau tidak mulus kenginannya. Beliau berkata, ‘Aku tidak menyukai orang yang merokok saat berziarah kepadaku, dan wajib orang yang hendak berziarah denganku berwudhu terlebih dahulu. [Larangan merokok saat berziarah sama seperti apa yang diterapkan di makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, hanya saja di sana dibatasi pada wilayah tertentu saja] Namun demikian Sayid Abdur Rahman di sini tidak menyatakan keharamannya (mencegah orang yang masih merokok berziarah kepadanya).

Saya sempat bertanya martabat kewalian apakah yang disandang Sayid Abdur Rahman ini? Lalu dijawab, ‘Imamayni!’ (Tingkatan kewalian kedua setelah Sulthan Awliya, yang hanya ada 2 orang di setiap zaman). Beliau telah terbiasa melakukan riyadhah, dan menyukai tempat yang sunyi. Dikisahkan, Beliau Ra. sering mendatangkan hidangan dari langit lewat do’a yang diucapkan oleh Nabi Isa As sewaktu berada di hadapan kaum Hawariyyin. Do’a tersebut diberikan oleh Nabi Khidhir As kepada Beliau. Karomah Beliau ini bukanlah untuk kondisi terdesak (tertentu saja), tapi memang sudah ditetapkan mustajab atas Beliau untuk memintanya kapanpun.

Satu hal lagi yang tak lupa, rupanya sahabat Beliau yang berjumpa terakhir di Mesir itu bisa dipertemukan kembali dengan Beliau di sana, hingga keduanya dimakamkan di pulau tersebut. Sungguh, merupakan bukti kebesaran Allah yang memperjalankan para Kekasih-Nya sehingga bisa disampaikan kepada yang dimaksud meski hamba-Nya tersebut tidak berdaya menjalankannya. Bisa dibayangkan, dari Mesir hingga ke wilayah Timur kepulauan Nusantara yang berjumlah ribuan pulau, dan sekian ribu kilometer jaraknya, serta keterbatasan transportasi waktu itu, bisa mentautkan kembali sepasang sahabat yang sudah lama terpisah sekian tahun lamanya. Mereka bersahabat karena Allah! Rela meninggalkan negeri beserta orang-orang yang mereka cintai karena Allah untuk menegakkan syi’ar Agama Allah.

Sebelum cerita ini ditulis, sempat terbaca oleh saya sebuah kitab klasik yang menarik karangan Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah, seorang Ulama asal Andalus, Mufti dan Qadhi bermadzhab Maliki. Beliau merupakan salah satu murid Ibnu Rusyd (Averous) yang masyhur namanya. Kitab tersebut adalah Asy-Syifa’ bi ta’rifi Huquqil Mushthafa. Menurut Al-‘Allamah Ahmad Syihabuddin al-Khafaji yang membuat syarah (ulasan) atas kitab tersebut (Nasim Riyadh fi Syarhi Qadhi ‘Iyadh) menuturkan bahwa jika kitab tersebut ditemukan di dalam rumah, maka rumah itu tidak ditemui bahaya, dan perahu yang membawanya tidak akan tenggelam, jika orang sakit membacanya atau mendengarnya dibaca, Allah akan menyembuhkannya!’

Maka Sayid Abdur Rahman (tanpa saya menanyakannya) berkata, ‘Kitab Syifa itu dicetak di Maroko. Dan saya punya kitab tersebut!’ Dengan ungkapan ini saya menguatkannya dengan data histori pengarangnya, yakni hidup menuntut ilmu di dua negeri, yakni Maroko (Fez & Qairawan) dan Spanyol (Andalusia).

Saya bersyukur mendapatkan kisah yang unik ini dan belum pernah saya dengar, dan tak terlacak di internet atau sumber tulisan lainnya. Sebagai bukti kebenaran tentang cerita keindahan tempat tersebut, silahkan pembaca mengunjungi tempat tersebut. Penulis hanya melukiskan dalam bentuk kata tapi belum pernah ke sana. Dan sebelumnya belum tahu cerita yang rinci mengenai sosok Shohibul Misool, seorang Wali Allah yang tersembunyi di gua di tengah gugusan pulau. Cerita ini merupakan pancaran karamah Syekh al-Akbar Muhyiddin Syekh Muhammad Daud Dahlan, Qaddasallaahu Sirrahu wa Ruuhahu, semoga Allah mensucikan Ruh dan Sir Beliau.

Jakarta, 26 Juli 2009 / 4 Sya’ban 1430 H.