Kamis, 19 Februari 2009

FIRASAT

Firman Allah SWT: ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda’ (Q.S. Al-Hijr: 75)
Al-Mutawassimin (orang yang memperhatikan tanda-tanda) di sini adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Nabi Saw bersabda: ‘Takutlah kalian dengan firasatnya orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah!’ (HR. Tirmidzi)
Kepada siapakah ungkapan ini ditujukan? Karena tidak semua orang memiliki firasat yang dapat dipakai sebagai petunjuk. Hadits ini tidak diungkapkan, ‘Gunakanlah firasat kalian masing-masing!’ Ungkapan ini teralami jelas oleh seorang murid ketika beradab kepada Syekh yang terpilih.
Atas dasar inilah mengapa seorang murid bersikap Sami’na wa Atho’na di hadapan Syekh yang kamil keimanannya kepada Allah. Karena mereka mengamalkan hadits tersebut. Para murid khawatir dengan tajamnya firasat Syekhnya yang senantiasa berhubungan hatinya kepada Allah.
Maka tidak akan sampai kepada orang-orang yang membelenggu dirinya atas pemahaman Masyayikh Shufi, sehingga pengagungan seorang murid kepada sikap seorang Syekh dianggap sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan sunnah.
Mereka yang senantiasa mencela perilaku murid yang sedang berkhidmah kepada Syekhnya tidak akan mencapai pengetahuan firasat yang Allah berikan kepada kaum yang dibentuk oleh tradisi pengajaran Kenabian. Seorang Syekh yang bermartabat Waratsatul Anbiya menduduki posisi ini akan diperlakukan sebagaimana sahabat berhadapan dengan Nabi mereka.
Abul Hasan al-Alawi al Hamdani menceritakan pengalamannya bahwa suatu ketika ia membeli seekor bebek yang kemudian dimasaknya. Saat ia meninggalkan makanannya itu di atas kompor di rumahnya, ia pergi menemui Gurunya Syekh Ja’far al-Khuldi. Kemudian Syekh-nya tersebut menyuruhnya untuk menginap di rumahnya. Namun Abul Hasan al-Alawi menolaknya. Begitu ia kembali ke dalam rumahnya, ia kehilangan bebeknya karena ada anjing yan masuk ke dalam rumahnya. Keesokan harinya ia mendatangi Gurunya itu, lalu Gurunya berkata, ‘Barang siapa yang Tidak mentaati perintah para Syekh, maka ia dikuasai oleh anjing sehingga ia menemui hal-hal yang tidak diinginkannya’.
Seorang murid (dalam Tarekat) bukan melebih-lebihkan Gurunya karena tanpa alasan. Firasat Gurunya melampaui apa yang akan ia perbuat. Mereka menyerahkan dirinya untuk dibentuk lahir dan batinnya, hal ini karena dirinya ia serahkan kepada firasat yang Allah berikan kepada Syekhnya. Gurunya hanya seorang makhluk yang kedudukannya sama sebagai hamba-Nya, tapi makhluk yang diberi kedekatan si Pemilik kehidupan berbeda maqam kedudukannya. Sebagaimana batu mulia di antara batu-batu lainnya.
Jakarta, 19 Februari 2009

SYIRIK ATAU WASILAH?

Kasus ponari

Dunia kedokteran merasa ‘dilecehkan’ dengan adanya peristiwa pengobatan massal dengan ‘batu ajaib’ Ponari, ‘si Dukun Cilik’. Betapa tidak, kaum dokter telah belajar bertahun-tahun untuk menjadi seorang dokter. Butuh pengorbanan yang tidak sedikit baik harta maupun umur yang telah mereka habiskan, agar tercapai statusnya sebagai ‘dokter’.

Tapi, si Ponari hanya dalam waktu relatif singkat sudah begitu terkenal dengan batu ajaib yang diterimanya melalui proses sekejap mata. Puluhan ribu pasiennya datang dari belahan penjuru wilayah di negeri ini. Mereka rela menanti berhari-hari lamanya untuk menerima ‘air celupan batu’ milik Ponari. Ekses dari kejaiban kasus Ponari ini melahirkan berbagai kontra pendapat baik secara klinis (medis) maupun tinjauan agama.

Pengobatan dengan air sebenarnya merupakan jenis pengobatan alternatif. Istilah alternatif berarti bukan prioritas. Artinya pengobatan yang ke sekian setelah pengobatan jalur medis telah ditempuh seseorang. Masyarakat sebenarnya tidak memiliki pilihan saat mereka tidak menemukan gejala kesembuhan lewat medis atau alternatif lainnya, sehingga mereka melakukan proses ikhtiar bagi kesembuhan penyakitnya.

Banyak yang menilai shahih dan tidaknya perkara-perkara yang ajaib saat ini dengan standar syirik (menyekutukan Allah). Padahal untuk menilai syirik itu sendiri bisa teramat sulit karena syirik itu merupakan wilayah batiniyyah yang sulit dideteksi dan Allah saja Yang Mengetahuinya.

Dalam tinjuan Agama Islam, apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai penyebab kejadian didentifikasikan sebagai syirik. Apabila seseorang menganggap air batu Ponari sebagai penyembuh penyakitnya maka ia bisa dikatakan telah melakukan perilaku syirik. Hal yang sama ditujukan kepada siapapun yang berobat ke dokter, ia pun menjadi syirik apabila menganggap dokter atau obatnya yang telah menyembuhkan penyakitnya. Jadi, tidak ada bedanya antara obat berupa pil atau suntikan dokter dengan air celupan batu Ponari. Semuanya adalah perantara (wasilah, dalam istilah Agama) dalam mencapai kesembuhan.

Nabi Ibrahim As, yang dijuluki sebagai Bapak Tauhid pernah berdo’a, ‘...Wa-idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin. [Jika aku sakit, Engkaulah yang menyembuhkan!]’ Kalau kita melihat ayat ini seolah meniadakan peran dokter atau tabib. Karena Beliau As menyatakan Allah yang menyembuhkannya, bukan lainnya.

Saat kita menyebutkan dalam setiap membaca Fatihah, ‘Iyyaaa na’budu wa iyyaaka nasta’iin’. Kemudian kita artikan ‘Hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada Engkau lah kami memohon pertolongan’. Maka seolah kita menafikan keberadaan dokter ketika kita sakit, dan keberadaan mahkluk-Nya yang lain saat kita membutuhkan pertolongan. Sebab kita mengartikannya dengan keliru.

Salah tafsir tentang pemahaman agama lah yang membuat kita seolah gerah atau was-was terhadap kasus yang berbau ‘keajaiban’. Akhirnya kita alergi tehadap semua keajaiban yang Allah anugerahkan kepada para Kekasih-Nya. Masyarakat semakin dijauhkan dengan fenomena keajaiban akibat kelirunya para tokoh media dan Ulama dalam membedah masalah. Akibatnya masyarakat (akibat salah memahami sumber hukum agama) menjadi kehilangan arah dalam membedah kasus kehidupan akibat selalu dibentengi dengan pemahaman istilah syirik, bid’ah atau khurafat yang salah.

Kekeliruan pertama adalah kekeliruan masyarakat ketika berinteraksi dengan dunia pengobatan. Sebelum munculnya 'Ponari dan batunya' itu mungkin secara sadar maupun tidak sadar beranggapan bahwa aneka obat herbal atau obat medis lainnya dianggap sebagai penyembuh. Mereka tidak mendudukkan peran obat sebagai wasilah dan menyandarkan hakikat segala sesuatunya kepada Allah SWT yang menyembuhkan.

Akhirnya kunci yang amat menentukan adalah niat seseorang dalam berbuat sesuatu. Dengan berpijak pada kaidah ‘Semua bergantung kepada niat’, maka dalam kasus ini niat mereka yang berobatlah yang perlu diluruskan. Kalau sudah lurus niatnya, mereka yang berobat (kepada siapapun baik kepada Ponari maupun ke dokter) akan menyatakan bahwa ia berobat dengan wasilah Ponari atau dokter, namun Allah lah yang menyembuhkannya.

Kita perlu menarik hikmah kejadian demi kejadian unik dan luar biasa belakangan ini agar bisa memposisikan penilaian kita dengan benar dalam kehidupan kita yang lain. Betapa banyak penyimpangan yang terjadi akibat lemahnya pengetahuan kita dalam merumuskan persoalan berdasarkan kaidah Aqidah yang lurus. Akhirnya baik orang yang berbuat maupun yang menilai sama-sama keliru menyikapinya.

Dalam dunia perobatan saja kita mengenal adanya perantara untuk menyembuhkan, tapi mengapa untuk beribadah kepada Allah kita merasa tidak memerlukan perantara untuk menyampaikan. Adalah hal yang tidak logis.

Kasus Ponari menyelipkan kesimpulan betapa perilaku masyarakat dewasa ini banyak yang melupakan Allah SWT. Mereka menginginkan sesuatu yang instan dalam kehidupan ini. Kesembuhan yang ajaib dan seketika. Sama halnya dengan instannya dalam beribadah kepada Allah, dengan tanpa wasilah yang menyampaikan kepada-Nya. Karena wasilah atau perantara adalah sesuatu yang niscaya. Karena kalau tidak, Allah tidak menciptakan para malaikat dan para Utusan-Nya ke muka bumi ini.

Jakarta, 19 Februari 2009.