Rabu, 25 Juni 2008

Permintaan Ampun Sayidina Umar Ra.

Pada masa Rasulullah Saw ada seorang pencuri yang tertangkap. Ketika dihadapkan, Rasulullah Saw memerintahkan Sayidina Umar Ra. untuk memberikan hukuman mati terhadapnya. Kemudian dengan ijtihadnya sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui - bahwasanya seorang pencuri itu mesti dipotong tangannya (bukan dihukum mati) – maka ia pun melaksanakan apa yang menjadi pertimbangannya tersebut. Mungkin, dengan hanya dipotong jari tangannya saja maka pencuri tersebut akan jera.
Sepeninggal kepemimpinan Rasulullah Saw, naiklah Sayidina Abu Bakar memimpin umat Islam. Dan pada masa kepemimpinannya ini pencuri tersebut mengulangi lagi perbuatannya. Akhirnya diputuskan untuk memotong tangannya. Setelah berlalu kepemimpinan Sayidina Abu Bakar Ra., naiklah kepemimpinan Sayidina Umar Ra. Dan ternyata terpotongnya tangan tidak juga membuat pencuri itu jera. Kebiasaannya mencuri itu masih tetap dilakukannya juga.
Akhirnya, Sayidina Umar Ra. memutuskan untuk menghukum mati pencuri tersebut. Setelah itu barulah ia sadar atas kebijakan Rasulullah Saw untuk menghukum mati pencuri tersebut dari awal. Di sinilah ia mengakui bahwa kebijakan Nabi Saw melampaui pandangan ijtihadnya. Sedangkan Rasulullah Saw yang dipelihara dari dosa, melakukan segala kebijakannya tersebut berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan keinginan pribadinya.
15 Abad kisah itu berlalu, dan akhirnya diungkap oleh Syekh al-Akbar Muhyiddin sekarang ini. Dalam suatu majelisnya Beliau Ra. menyinggung kekeliruan Umar Ra. ini, karena tidak melaksanakan perintah. Maka suatu ketika seorang murid datang kepada Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan Ra. dan menceritakan bahwa ia melihat Rasulullah Saw menggandeng tangan Umar Ra, sambil berkata, ‘Wahai Umar, lihatlah, apa yang telah engkau lakukan itu (melakukan ijtihad sendiri dan tidak mengindahkan perintah Nabi Saw untuk menghukum mati pencuri [sebagaimana yang ada dalam kisah di atas]) tidak dinilai ibadah oleh Syekh al-Akbar!’ Mendengar hal itu, menangislah Sayidina Umar, sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, mintakanlah ampun untukku kepada Syekh al-Akbar’.
Para pembaca yang budiman, mengapa Sayidina Umar Ra. tidak memohon ampun kepada Allah lewat Rasulullah Saw? Hal ini menunjukkan posisi kepemimpinan Syekh al-Akbar sebagai Khalifah (pengganti peran kepemimpinan umat saat ini) diakui oleh Rasulullah Saw. Maka alam ruhani yang suci tidak dapat didustakan dan dipungkiri ke mana seluruh kebijakan Ilahiyyah saat ini mesti bersandar. Dan Sayidina Umar pun mengerti akan hal itu, sehingga ia mesti meminta syafa’at (pertolongan) ampunan kepada Syekh al-Akbar sebagai pewaris para Nabi.
Fiman Allah SWT:
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku". Q.S. Maryam: 47
Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Pengampun lagi Penyayang". Q.S. Yusuf: 98

Rabu, 18 Juni 2008

Pengalaman Spiritual Pengarang Al-Mizan, Syekh Abdul Wahab Sya’rani

Syekh Abul Mawahib Asy-Sya’rani dalam kitabnya Al-Mizan mengungkapkan:
“Cara untuk meraih derajat kasyaf dalam memahami sumber syariat adalah melalui suluk dengan bimbingan seorang yang Arif dengan syarat seseorang itu harus menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya kepada pembimbing yang arif tersebut dengan hati yang lapang.
Seandainya pembimbing yang Arif itu menyatakan kepadamu: ‘Ceraikan istrimu, atau lepaskan hartamu atau pekerjaanmu’, misalnya, kemudian Engkau membangkang, maka Engkau tidak akan sampai kepada derajat kasyaf meskipun Engkau beribadah selama 1.000 tahun dengan cara biasa.
Apakah ada syarat-syarat lain dalam menempuh suluk? Ya, ada. Di antaranya tidak boleh menyandang hadats walaupun sebentar baik siang maupun malam, tidak makan selama menjalani suluk kecuali kalau sudah dalam kondisi mendesak, tidak memakan makanan yang asalnya bernyawa, tidak makan melainkan jika telah mengalami awal-awal tanda bahaya, tidak memakan makanan pemberian orang lain yang tidak wara’ dalam memperolehnya, seperti orang yang diberi makan karena ia orang baik atau karena ia zuhud, atau orang yang berjual beli dengan petani atau aparat penguasa yang tidak wara’. Syarat lainnya adalah tidak lupa kepada mengingat Allah siang malam meskipun sekejap, bahkan mesti muraqabah setiap saat.
Kalau sudah demikian, maka seseorang suatu ketika akan mencapai derajat ihsan dalam arti seolah-eoalah ia melihat Tuhannya. Atau bisa pula mencpai derajat keyakinan sesudah ihsan, sehingga ia dapat melihat Tuhannya setiap saat dengan mata iman, bukan dengan mata kepala, karena melihat Tuhan dengan mata iman itu lebih menyucikan Allah SWT daripada seolah-olah meilhat Allah dengan mata kepala yang tentunya dibayangi dengan khayalnya, padahal Allah Suci dari segala apa yang terlintas di dalam hatimu.
Jika ada orang bertanya: ‘Bagaimana pengarang kitab (Al-Mizan) ini menempuh suluknya?’ Jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama-tama saya mendapatkan suluk dari Nabi Khidhir As melalui ilmu, iman dan Islam. Kemudian saya mendapatkannya dari Sayid Ali Al-Khawash, sehingga saya dapat memahami sumber syariat melalui rasa (dzauq), kasyaf, dan yakin tanpa ada rasa ragu, kemudian saya bermujahadah dengan amalan-amalan tertentu selama satu tahun. Lalu saya berkhalwat berada di atas tali yang saya gantungkan ke atap sehingga tubuh saya tidak menyentuh bumi. Terus saya berupaya benar-benar dalam bersikap wara’, sehingga saya pernah memakan zat-zat tanah dengan terpaksa apabila saya tidak menjumpai makanan yang sesuai dengan maqam saya dalam ketaqwaan. Saya pun pernah memakan semacam lemak di atas tanah yang mirip dengan lemak daging atau lemak samin atau lemak susu. Suluk semacam ini pernah ada yang menjalani sebelum saya, yakni Ibrahim bin Adham Ra. yang bertahan selama 20 hari hanya memakan zat-zat tanah ketika ia tidak menemukan makanan yang halal menurut maqamnya.
Begitu pula saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung-gedung istana penguasa. Tatkala Sultan al-Ghuri As-Sabath berkuasa yang saya pernah lewati di antara madrasah dan kubahnya yang biru, saya masuk melalui pasar Warraqin dan keluar lewat pasar minuman, jadi saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung istana sultan. Gedung-gedung lain milik orang yang lalim dan penguasa serta aparatnya, hukumnya sama dengan gedung istana yang penuh dengan kelaliman tersebut.
Saya tidak memakan sesuatu kecuali saya teliti terlebih dahulu dengan betul kehalalannya, tidak langsung saya memakannya dengan berdasarkan adanya rukhshah, dan al-hamdulillah saya sampai saat ini tetap seperti itu. Dulu, saya meneliti kehalalan makanan dengan melihat siapa pemilik sebenarnya, tetapi sekarang saya bisa mengetahui halal, haram, dan syubhatnya makanan dengan melihat warnanya atau melalui baunya atau rasanya. Saya merasakan bau wangi kalau makanan itu halal. Saya merasakan bau busuk kalau makanan itu haram, dan saya merasakan busuk yang tidak sebusuk bau makanan haram kalau makanan itu syubhat. Kalau ada tanda-tanda tersebut maka saya tidak memakannya tanpa harus meneliti siapa pemiliknya yang sah. Segala puji milik Allah atas karunia yang demikian itu.
Setelah saya selesai dari perjalanan suluk itu, maka mata hati saya bisa melihat sumber syari’at, yang dari sumber syari’at itu muncul beberapa pendapat Ulama yang kesemuanya bersambung ke sumber itu. Saya bisa mengetahui bahwa semua pendapat tersebut berada di dalam lingkup syara’ yang murni, dan mata hati saya bisa membuktikan bahwa semua mujtahid itu benar dengan pembuktian secara kasyaf dan yakin, bukan sekedar sangkaan dan kira-kira. Mata hati sayapun bisa mengetahui bahwa tidak ada suatu madzhab yang lebih kuat daripada madzhab lain di dalam syari’at. Kalau ada 1000 orang yang membantah saya bahwa ada satu madzhab lebih kuat dari lainnya, saya tidak terpengaruh. Anggapan tersebut hanya karena keterbatasab pemahaman seseorang terhadap sumber syari’at, dan kebenaran anggapan tersebut hanyalah berlaku sepihak.
Di antara yang bisa saya lihat secara kasyaf adalah bahwa ada saluran-saluran parit dari para Imam Mujtahid sebagai tokoh madzhab, di mana parit-parit itu bermuara sampai ke sumber syari’at bagai lautan yang luas. Tetapi parit-parit tersebut mongering airnya dan membatu / menjadi batu, hanya ada 4 parit yang airnya terus mengalir (4 madzhab). Saya memberikan takwil bahwa madzhab 4 Imam tersebut akan bertahan kekal hingga menjelang kiamat. ….
Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 957 H. saya berdoa di dalam Ka’bah, memohon kepada Allah agar diberi tambahan ilmu, kemudian saya mendengar suara dari atas sebagai berikut: “Belum cukupkah kitab Al-Mizan yang telah Kami anugerahkan kepadamu, yang dengan kitab itu kamu meyakini kebenaran semua pendapat para Mujtahid dan para pengikut mereka sampai hari kiamat, yang anugerah tersebut tidak diberikan kepada orang lain pada zamanmu?” Kemudian saya mengatakan: “Cukuplah kepada Allah saya berharap tambahan rahmat”. ……
Jika engkau yang bertanya: “Apakah orang yang memakan makanan yang halal dan meninggalkan maksiat lalu menempuh suluk dengan dirinya sendiri tanpa pembimbing yang Arif bisa sampai ke tingkat kasyaf sehingga mampu melihat sumber syari’at dengan mata hati?”
Jawabannya adalah 2 hal:
1. Adakalanya karena jadzab (tarikan) yang langsung diberikan oleh Allah.
2. Adakalanya dengan menempuh suluk di bawah asuhan dan bimbingan Guru yang Arif, agar bisa membuang cacat dan kotoran di dalam batinnya. Bahkan seandainya ia bisa menghilangkan aib dan kotoran batinnya melalui ibadahnya sendiri, ia tetap tidak akan sampai ke maqam kasyaf yang mampu melihat sumber syarai’at dengan mata batin, karena ia terkurung di dalam sikap taklid terhadap imam madzhabnya. Jadi imam madzhabnya itulah sebagai penghalang untuk melihat sumber syari’at, padahal imamnya sendiri mampu melihat sumber syari’at tersebut……
Apabila engkau ingin sampai ke tingkat yang setara dengan kitab Al-Mizan ini secara dzauq (rasa) dan engkau ingin mempunyai kemantapan bahwa semua madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu sendiri, maka tempuhlah melalui suluk dan riyadhah dengan asuhan seorang Guru yang Arif yang mengajarkan bagaimana cara engkau agar bisa menjadi orang yang ikhlas dan jujur dalam memahami ilmu dan amal, bagaimana cara engkau agar terhindar dari kotoran-kotoran yang mengotori batin yang menghambat dan menghalangi perjalanan taqarub kepada Allah SWT dan mematuhi anjuran Gurumu, agar engkau bisa sampai ke maqam kesempurnaan yang tertentu, sehingga engkau berperasaan bahwa semua manusia itu selamat kecuali dirimu sendiri, seolah-olah engkau melihat bahwa dirimu celaka. Kalau engkau sudah sampai di mana engkau bisa melihat sumber syari’at secara seksama dengan mata batin, yang dari sumber itu mengalir beberapa pendapat Ulama.
Adapun suluk yang engkau tempuh tanpa bimbingan Guru yang Arif, biasanya tidak bisa menyelamatkan dan membebaskan engkau dari sifat riya’, perdebatan, dan cenderung mencintai harta benda, walaupun sifat-sifat tersebut hanya ada di dalam hati tanpa diucapkan, sehingga tidak bisa mengantarkan engkau ke maqam kasyaf tersebut, walaupun teman-temanmu sudah terlanjur menjulukimu sebagai Wali Quthub.
Dalam masalah ini, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi memberikan penjelasan di dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah pada Bab 73 sebagai berikut: ‘Barang siapa menempuh suatu cara taqarub kepada Allah tanpa bimbingan seorang Guru yang Arif dan tanpa bersikap wara’ dalam menghadapi hal-hal yang diharamkan Allah SWT, maka ia tidak akan sampai ke maqam makrifat seperti yang telah dicapai oleh para Ulama yang Arif, walaupun ia telah beribadah kepada Allah selama umur Nabi Nuh As. Kalau seseorang sudah sampai ke tingkat makrifat maka tidak ada lagi penghalang antara dia dengan Allah SWT, sehingga ia bisa mengetahui Asma-asma Allah secara kasyaf dan yakin, mampu memehami bahwa semua pendapat mujtahid itu tidak menyimpang dari Asma-asma Allah tersebut, sehingga tidak ada lagi pertentangan dan perbedaan di antara madzhab, karena kesemuanya bermuara dari satu sumber yang sama’.
(Petikan Kitab Al-Mizan, Syekh Abul Mawahib Abdul Wahab Asy-Sya’rani)

Senin, 09 Juni 2008

Ceramah Ahad, 25 Mei 2008

Oleh:
SYEKH AL-AKBAR MUHYIDDIN SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَه, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىٰ مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه, وَعَلىٰ ألِهِ وَصَحْبِه وَمَنْ وَالَاهُ, أَمَّا بَعْدُ: رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا. وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Hadirin Hadirat yang berbahagia,

Kehidupan Dunia Yang Fana
Kehidupan dunia yang dibandingkan dengan kehidupan yang dijanjikan oleh Allah (akhirat) diisyaratkan sebagai kebijakan Rahman dan Rahim-Nya. Ar-Rahman itu adalah suatu karunia atau nikmat yang dilimpahkan oleh Allah, diminta atau tidak diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, terutama manusia. Apakah ia iman atau tidak, taat atau tidak. Siapa saja yang telah dilimpahkan kehidupan, Allah akan memberikan rizki atasnya. Allah juga memberikan petunjuk. Petunjuk-Nya bukan hanya sebatas petunjuk tentang kehidupan dunia semata, tapi juga akhirat.
Kehidupan dunia garis besar kebijakannya dilambangkan sebagai kebijakan Ar-Rahman. Adapun kebijakan kehidupan yang abadi merupakan kebijakan Ar-Rahim. Ar-Rahman merupakan suatu nikmat atau karunia yang nilainya sedikit. Yang sedikit ini dibagi-bagikan dan sekaligus diperebutkan oleh makhluk-Nya, khususnya umat manusia. Masing-masing golongan (kelompok) baik yang iman maupun kafir berlomba-lomba ingin memonopolinya, ingin menjadi penguasa dan berjaya. Padahal nikmat dunia (sebagai kebijakan Ar-Rahman) itu akan fana.
Arti fana adalah punah, hancur atau binasa. Baik sempat kita nikmati atau tidak semuanya akan berubah menjadi sesuatu yang tidak berguna. Wujudnya berubah dari bermanfaat menjadi tidak bermanfaat. Misalnya kita mempunyai beras, lauk pauk, minyak goreng, dsb. Setelah kita nikmati, setelah berproses berubah menjadi kotoran. Kalau tidak kita gunakan akan berkurang nilainya, beras menjadi tengik dan berkutu, minyak goreng menjadi anyir, lauk pauk menjadi basi, dst.
Benda mati pun demikian. Dipakai atau tidak akan menjadi rusak (fana). Kalau kita mempunyai mobil atau motor tapi tidak digunakan, kita simpan di gudang. Akhirnya menjadi karat (rusak). Dan bila digunakan terus menerus mesinnya menjadi aus.
Kalau kita percaya dunia ini akan fana, mengapa kita betah hidup di dunia? Mengapa sih berebut terus urusan dunia? Ditawari oleh Allah nikmat yang lebih agung kok susah amat? Ditunggu-tunggu masjid penuh, nggak penuh-penuh juga nih masjid! Kira-kira, kalau langsung dibayar kontan, apakah lebih memilih datang duluan atau belakangan? Kalau tahu rahasia yang akan Allah berikan dalam majelis ini, mau datang duluan atau belakangan?
Keluasan anugerah Ar-Rahman itu tidak akan mampu kita menikmatinya. Klimaks dari anugerah Ar-Rahman itu menyebabkan kita tidak berdaya menerimanya. Ibaratnya seperti makan kekenyangan. Ar-Rahim merupakan kumpulan dari gugusan anugerah Ar-Rahman yang tak terhingga. Nilai Ar-Rahim yang dijanjikan Allah inilah yang mesti kita perjuangkan.
Seseorang yang tergiur dan terobsesi dengan nilai yang dijanjikan Allah itu akan termotivasi bermujahadah (bersungguh-sungguh) untuk meraihnya. Tentu ia akan datang di awal waktu, tidak di akhir waktu. Jika keinginannya ingin yang mudah terus, bukan ibadah namanya!
************
Kehidupan akhirat merupakan suatu nilai kebijakan yang berada dalam genggaman Kekuasaan Allah, Al-Khaliq, yang menciptakan segala makhluk-Nya termasuk manusia. Apakah makhluk mampu menilai Keagungan dan Perbuatan Khaliqnya? Jika boleh mengambil sample (ibarat), sebuah cangkir adalah ciptaan dan manusia adalah penciptanya [Menurut ketentuan Aqidah kita tidak boleh membandingkan Al-Khaliq dengan benda apapun di dunia ini. Namun sebagai ibarat boleh-boleh saja untuk memudahkan qiyas (logika) pemahaman].
Menciptakan dan mengolah itu berbeda. Menciptakan adalah mewujudkan sesuatu dari ketiadaan. Sedangkan mengolah adalah mewujudkan sesuatu dari sesuatu yang telah ada materinya. Misalnya membuat sambal bukan dikatakan menciptakan sambal, tapi mengolah sambal. Usaha meracik bukan menciptakan.
Allah SWT sendiri mengungkapkan perbuatan dalam mewujudkan sesuatu dari sesuatu yang belum ada menggunakan kata ‘menciptakan’ (خلق). Sedangkan untuk sesuatu yang telah ada dengan menggunakan ‘menjadikan’ (جعل). Firman Allah:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang lebih mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mengetahui lagi Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Setelah Allah menggunakan kata ‘menciptakan’ (خلق) pada ayat itu, kemudian Allah menggunakan kata ‘menjadikan’ (جعل). Artinya: memproses, meracik, membentuk. Berbeda dengan arti ‘menciptakan’ yang berarti mewujudkan sesuatu dari ketiadaan sebelumnya. Itulah tata tertib bahasa yang dibangun dalam Al-Quran al-Karim.
************
Masalah Kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak)
Sekarang ini kita saksikan banyak aksi demonstrasi meminta untuk menurunkan harga BBM. Sampai-sampai mereka menginap berhari-hari, merusak fasilitas kehidupan. Mereka mengatasnamakan rakyat dengan slogan-slogan ‘Mahasiswa adalah suara spiritual rakyat’. Kapan mahasiswa menandakan kesepakatan untuk mewakili rakyat Indonesia? Seenaknya mereka menyatakan bahwa mereka mewakili Rakyat tanpa melalui kesepakatan dengan Rakyat!! Segala sesuatu itu mesti melalui perjanjian mufakat di atas kertas. Apakah perbuatan merusak fasilitas negara dan rakyat itu dikatakan sebagai ‘mewakili rakyat?!’
Kalau Anggota DPR dan Presiden, apakah kita sebagai rakyat sudah ada kesepakatan dengan mereka? Tentu sudah, dengan melakukan proses demokrasi melalui Pemilihan Umum. Tapi kalau mahasiswa, kapan mereka mengadakan kesepakatan kerja yang menghasilkan komitmen bahwa mereka adalah mewakili suara rakyat? Bagaimana kita memilihnya, pemikirannya saja kurang cermat.
Kenaikan suatu komoditas, adalah merupakan suatu proses alamiah. Apalagi komoditas kebutuhan manusia itu terbagi 3 (tiga). Pertama, ada yang bisa diproduksi ulang dan ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya. Kedua, ia tidak berkurang dan bertambah. Ketiga, komoditas yang selalu berkurang dan tidak bisa bertambah lagi. Ketiga-tiganya sepanjang kepemimpinan siapapun akan naik, walaupun SBY yang pimpin negara ini, walaupun Wiranto, walaupun Megawati, bahkan Gus Dur naik lagi! BBM dan sembako akan selalu naik!
Dari dulu demo ‘turunkan harga’, ‘turunkan harga’, tapi tidak pernah terpenuhi. Harga-harga tetap naik. Kenaikan itu adalah proses alamiah bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhannya. Bagi yang percaya, itu adalah proses sunnatullah, yakni sudah menjadi Qudrat dan Iradat Allah. Apakah kita hidup di satu tempat terus? Apakah kita bergantung kepada orang tua terus?
Pertumbuhan penduduk apakah tidak semakin bertambah? Jika bertambah pertumbuhan penduduk, berarti bertambah kebutuhan komoditas. Bertambahnya pertumbuhan membutuhkan pertambahan produksi. Tidak ditingkatkan saja harga tetap naik, apalagi ditingkatkan. Jika ditingkatkan produksi, berarti bertambah pula biaya produksinya. Itu komoditas yang bisa diproduksi ulang.
Ada komoditas yang tidak bisa ditambah dan dikurang. Seperti tanah, tidak berkurang atau bertambah. Nilai jualnya terus menerus naik. Yang tadinya murah kemudian menjadi mahal.
Kalau BBM (Bahan Bakar Minyak), yang diambil dari perut bumi. Karakteristiknya sebagai energi fosil. Kalau digunakan apakah semakin berkurang atau bertambah? Bisakah ditingkatkan? Bisakah diproduksi ulang?!
Komoditi yang bisa diproduksi ulang saja memiliki kecenderungan naik harganya apalagi yang selalu berkurang (tidak bisa diproduksi ulang)!! Kenaikannya adalah pasti dan mutlak!!
Apakah ketentuan kenaikan harga BBM itu merupakan kebijakan SBY? Atau pengaruh globalisasi dunia (kehidupan)? Karena Pejabat Pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang fokus dan tidak menimbulkan ketegasan kepada rakyatnya, akhirnya penjelasannya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini dengan adanya kebijakan memperbolehkan setiap warga negara menyampaikan pendapatnya di tempat umum adalah suatu kebijakan yang keliru. Hal itu membuktikan bahwa yang menjadi pemimpin di negara ini dan yang dipimpin sama-sama tidak PeDe. Yaitu sama-sama tidak yakin sebagai pemimpin dan tidak merasa sreg untuk dipimpin sebagai rakyat. Sehingga siap dikoreksi, dikritik dan didemo. Sedangkan tuntutan dalam kehidupan bernegara ingin menjadi bangsa yang maju, makmur sejahtera yang diakui dan dihormati masyarakat dunia. Eh, stabilitas nasional-nya acak-acakan. Di sana-sini demo, perusakan (anarkis), perkelahian antar warga, dsb. Kira-kira, apakah investor mau menanamkan investasi (modal)nya di negara kita dengan keadaan seperti itu?! Maka keinginan untuk menjadi negara yang makmur sejahtera adalah hanyalah mimpi di siang bolong!
Jika mereka mau mendengar dan bersandar pada aspirasi Idrisiyyah ini, Insya Allah negara ini akan dibangkitkan. Karena apa yang diajarkan di pengajian merupakan suatu kebijakan yang fitrah. Makhluk yang lahir dengan makhluk yang mati jumlahnya banyak yang mana? Banyak yang makan atau berkurang yang makan? Sementara komoditas berkurang.
Kita tidak memihak (dalam perkara BBM) kepada salah satu golongan, apakah pemerintah atau yang berdemo. Tapi kita berpihak kepada Allah SWT. Yang punya neraka dan syurga siapa? Jika kita tidak taat kepada Allah dikemanakan kita? Jika kita taat kepada Allah dikemanakan kita? Jika kita tidak taat kepada negara dikemanakan kita?
Kita tidak perlu goncang. Karena semuanya akan naik, BBM naik, sembako naik, bea jasa naik, termasuk gaji jua naik. Dan kembali seperti semula. Bahkan pengemis pun naik penghasilannya. Tukang minta-minta aja sudah tidak mau dikasih uang seratus, mereka menggerutu. Kalau naik semua tidak masalah. Yang menjadi masalah sebenarnya jika BBM naik, yang lain tidak naik! Mengapa pada ribut?!
Mengapa kita bodoh sekali. Pantas bangsa ini dari dulu memang maunya dijajah melulu. Pertama dijajah oleh kondisi alam yang memanjakannya. Ditanam saja sebatang kayu, eh tumbuh dan berbuah. Kemudian datang para penjajah. Kita diperbodoh, dimanjakan. Fasilitas umum dibangun di mana-mana. Jalan raya dibangun, Rel kereta api dibangun, dsb. Pendek kata, masyarakat Indonesia tidak usah capek-capek kerja, biarlah mereka yang bekerja! Di satu sisi para penjajah mengambil keuntungan, dan di lain sisi kita dimanja oleh mereka.
Akhirnya timbullah iri hati. Berontak ingin merdeka. Diupayakanlah pemberontakan untuk melawan mereka (para penjajah). Alasannya adalah revolusi perjuangan kemerdekaan, padahal sebabnya adalah kecemburuan sosial karena hidupnya sial melulu. Kemudian setelah merdeka masing-masing berebut (posisi).
Pada awalnya mereka berjibaku saling berjuang sendiri-sendiri. Teuku Umar berjuang sendiri, Pangeran Diponegoro berjuang sendiri, Patimura berjuang sendiri, Imam Bonjol berjuang sendiri, Sultan Hasanudin juga berjuang sendiri. Apakah berhasil?! …. Padahal mereka semua Islam lho?!.
Dalam perjalanan sejarah ketika seluruh bangsa bersatu padu, memilih satu figur yang dipercaya. Senjata pejuang kala itu adalah bambu runcing. Apakah mereka menang melawan penjajah? Menangnya bangsa ini sebab dibomnya Hiroshima dan Nagasaki. Apakah yang mengebom adalah bambu runcing? Yang mengebom adalah takdir Allah!
Dengan dibomnya kota tersebut, pemimpin kita kala itu ada peluang untuk menyatakan kemerdekaan. Jadi, merdekanya negara Republik ini disebabkan perjuangan bangsa Indonesia atau Rahmat Allah? Syari’atnya adalah Rahmat Allah.
Itulah Rahman dan Rahim-Nya Allah! Apakah mereka semua sudah kembali kepada Allah? Perubahan iklim dan bencana terjadi di mana-mana. Apakah gempa berhenti?
Firman Allah SWT:
Zhoharol fasaadu fil barri walbahri bimaa kasabat aydinnaas, liyudziiqohum ba’dhol ladzii ’amiluu la’allahum yarji’uun
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus)”. (Q.S Ar-Rum: 41)
Yang ada sekarang bukan sadar kembali kepada Allah, tapi yang ada ribut melulu! Eh, memaksakan kontribusi untuk memberikan solusi terhadap perubahan iklim.
Yang mengetahui perubahan iklim dengan yang tidak banyakan yang mana? Yang mempunyai modal dengan yang tidak banyak yang mana? Yang peduli terhadap perubahan iklim dengan yang tidak banyak yang mana?
Ketika Bapak mancing di laut, begitu ditarik pancingnya ternyata berat sekali. (Dikira ada ikan besar yang ketarik), eh.. gak tahunya hanya sampah. Padahal siapa yang betah tinggal di laut? Manusia jarang ada yang betah di laut. Digoyang sedikit saja perahunya saja sudah mabok!
Selain itu saat berangkat ke laut membawa bekal, di antaranya air dalam kemasan botol aqua. Setelah di tengah laut sehabis minum, enak saja membuang botol minuman ke tengah laut. Pantas, banyak sampah di bawah dasar laut. Begitu teringat himbauan Presiden negara Republik Indonesia, ‘Jagalah kesehatan lingkungan. Janganlah membuang sampah sembarangan!’ Akhirnya Bapak membawa bekas kemasan minuman itu ke darat, lalu dibuang ke tempat sampah. Eh, ketika beberapa menit kemudian Bapak melihat tukang sampah membuangnya ke laut lagi! Laa Ilaaha Illallaah! Mau dibilang apa hadirin?! Kira-kira kita mampu memberikan solusi kepada kehidupan ini?
Kalau kita percaya kepada Rukun Iman, kehidupan ini bakal kiamat. Itulah gambaran cerita tadi, sampah dari laut dibawa ke darat kemudian dibuang ke laut lagi! Itulah gambaran bahwa kerusakan itu akan terus berlangsung.
Sudahlah, kita hidup di dunia ini jangan memasang target, capek! Lebih baik dan utama kita memposisikan diri sebagai Hamba Allah saja. Aman!! Mau jaya atau tidak, mau berubah iklim atau tidak, mau jadi bangsa yang disegani atau tidak, kita berposisi sebagai hamba Allah saja. Selama ini kita maunya menjadi hamba manusia, padahal yang memiliki surga itu Allah!! Jika kita duduk sebagai hamba Allah, duduk di mana saja Insya Allah akan mendapat jaminan dan diselamatkan oleh Allah. Tidak ada pilihan!
Jika bangsa ini tidak bersandar pada kebijakan Tarekat Idrisiyyah yang membawa misi Ilahiyyah, niscaya tidak akan mendapatkan solusi.
Bagi Allah mudah. Syari’atnya sebuah tongkat, eh begitu dipukul di tengah laut berubah menjadi jalan raya! Jika seseorang sudah menjadi Abid (hamba) Allah, tentu mudah bagi Allah merubah dan memberikan solusi baginya. Sebab kehidupan ini yang membangun adalah Allah SWT! Apakah Ibu Pertiwi? Kapan Ibu Pertiwi membeli tanah air ini dari Allah?! Pantas negara ini tidak akan menjadi bangsa yang dibangkitkan oleh Allah, walau diperingati seabad kebangkitannya.
Apakah acara Karnaval kemarin kita memperingati seabad kebangitan nasional secara khusus atau kebangkitan Rahmatan lil ‘Alamin? Benderanya Ilahiyyah, bukan Insaniyyah.
************
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Senin, 02 Juni 2008

Istilah Syekh al-Akbar pada sebuah kitab klasik


Di antara (Peringkat Kewalian) adalah Khutmul Awliya (Penutup Kewalian):
Mereka ada 3:
(Pertama): Isa bin Maryam As. sebagai penutup Khilafah Umum dan Penunjuk Keseluruhan dari Adam As hingga akhir zaman. Beliau ditakdirkan akan dibangkitkan bersama para Nabi dan Umat Nabi Muhammad pada hari Kiamat.
(Kedua): Muhammad Mahdi, sebagai penutup khusus Khilafah Muhammadiyyah.
(Ketiga): Asy-Syekh al-Akbar, penutup Kewalian yang Khusus.

Di atas adalah petikan sebuah Kitab Tasawuf Klasik yang bernama Jami’ul Ushulut Thuruq ash-Shufiyyah, karya Sayyid Ahmad Naqsyabandi al-Khalidi Qs. Tulisan tersebut merupakan tulisan yang telah dibaca oleh seorang murid Al-Idrisiyyah pada masa Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Kemudian murid tersebut menanyakan siapakah yang dimaksud dengan ‘Asy-Syekh al-Akbar’, yang tertulis dalam kitab tersebut.
Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. yang ketika itu masih dipanggil (oleh murid-muridnya) dengan sebutan ‘Syekhuna’ kemudian memerintahkan murid-muridnya berdzikir jama’i (berjama’ah) sehingga menemukan jawaban dari Ruhaniyah Rasulullah Saw bahwa yang dimaksud dengan Syekh al-Akbar itu adalah Guru kalian (yakni Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra.). [Lihat Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah, hal. 165]
Setelah itu, hingga kepemimpinan ketiga dalam Tarekat Al-Idrisiyyah di Indonesia, para penggantinya mengunakan sebutan yang sama, tapi bukan melalui keputusan Syuro (musyawarah murid), melainkan melalui petunjuk Ruhaniyah Rasulullah Saw yang mengisyaratkan bahwa pengganti selanjutnya adalah bergelar Syekh al-Akbar (Sulthan Awliya di masa sekarang).
Selasa, 3 Juni 2008.