Minggu, 22 Juli 2007

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (ii)

Melanjutkan cerita terdahulu. Ikhwan saya itu juga berbaik hati untuk menceritakan ’cerita khusus’ lainnya tentang pengalaman ruhani isterinya,
Suatu malam pada saat berzikir istri saya tertidur, dalam mimpinya ia tengah berkumpul dengan beberapa orang / umat yang sedang akan berangkat ke puncak bukit. Di tengah kerumunan tersebut tampak sosok Syekh al-Akbar bersama murid-muridnya. Semua orang berangkat ke puncak bukit tersebut, khusus untuk murid-murid Syekh al-Akbar sebelum berangkat mereka minta izin terlebih dahulu kepada Gurunya termasuk istri saya. Di tengah kerumunan tersebut dia juga melihat ibunya sedang berusaha untuk naik kebukit itu juga. Banyak orang mencoba untuk naik tapi banyak yang tidak sampai bahkan terjatuh kembali. Tetapi ia melihat hampir semua murid Syekh al-Akbar bisa dengan aman dan lancar sampai ke puncak bukit. Di puncak bukit istri saya merasakan suasana yang luar bisa nikmatnya yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata,... Ketika dia berada di puncak, ternyata ia juga melihat ibunya (yang bukan murid) berusaha untuk naik ke bukit tersebut, tetapi hanya sampai di tengah dan tidak sampai-sampai, sambil memanggil istri saya untuk minta pertolongan, tetapi istri saya tidak bisa menolong.
Inilah gambaran perbedaan orang yang telah berada dalam naungan Birokrasi Ilahiyyah di bawah pimpinan Syekh al-Akbar dengan yang tidak. Alangkah ruginya jika kita tidak mau menjemput ’petunjuk’ ini agar nasib kita tidak seperti mereka yang bersusah payah mendaki ’gunung keselamatan’.
Janganlah kita mengharapkan syafaat (pertolongan) di akhirat nanti, harapkanlah di dunia ini agar dimudahkan mendapat pemimpin yang dapat membimbing kita ke jalan yang lurus. Sebab manakah kita sanggup merasakan azab-Nya sekecil apapun bentuknya sebelum diberi pertolongan (syafa’at). Marilah kita harapkan keselamatan. Di dunia dan di akhirat. Selamat di dunia, berarti tidak mendapatkan kelengahan dalam beribadah. Selamat di akhirat berarti masuk syurga tapi tidak ’mampir’ ke neraka terlebih dahulu.
Berkenaan dengan orang-orang yang belum berbai’at dengan Syekh al-Akbar atau menikmati Birokrasi Ilahiyyah ini, Beliau Ra. berpesan agar setiap murid senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka. ’Usahakan, kata Beliau, agar mereka tidak menaruh kebencian dalam hatinya kepada sosok Syekh al-Akbar! Karena orang-orang yang membenci dengan Syekh al-Akbar akan terputus hubungannya di akhirat nanti.’ Beliau Ra. melanjutkan pernyataannya dengan firman Allah: ’Inna syaani-aka huwal abtar’. Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membencimu itu adalah orang-orang yang terputus (hubungannya)’. Orang-orang yang terputus ini merupakan salah satu golongan yang tidak mendapatkan syafa’at Birokrasi Ilahiyyah di akhirat nanti.’ Na’uudzubillaah min dzaalik.

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (i)

Man lam yadzuq lam ya’rif (Barang siapa yang belum (tidak) merasakan maka ia tidak akan mengenal). Begitulah pepatah yang pernah dikemukakan seorang sufi besar masa lalu, Dzun Nun al-Mishri Qs. Inilah yang merupakan dasar mengapa setiap murid harus mengerti kebesaran (keagungan) dan maqam Syekhnya agar ia dapat berkhidmah dengan lapang. Ia harus mendapatkan bukti sebagai dasar keyakinan.
Mungkin cerita berikut ini akan menggugah kita, isteri kita atau anak-anak kita untuk mengenal lebih dekat siapakah Syekh al-Akbar itu dari sisi ruhaniyah, bukan dari sisi jasmani. Karena jika kita melihat sisi Beliau secara jasmaniyah, sama halnya para sahabat melihat Nabi Muhammad Saw dalam pandangan lahir, yang juga makan, minum, tidur, berkeluarga, dan sebagainya.
Seorang murid wanita telah membuktikan hal itu dan baru mengetahuinya, meskipun ia telah sekian tahun lamanya ikut mengaji dengan suaminya. Suaminya bercerita kepada saya,
Setiap waktu saya berdo’a kepada Allah dengan wasilah Syekh al-Akbar, mudah-mudahan isteri dan anak-anak saya dibukakan pintu hatinya agar mereka juga mendapatkan keyakinan seperti saya dalam menyikapi tuntunan dan ajaran-ajarannya selama ini. Dan saya juga ikhtiar (bukan hanya do’a), sedapat mungkin di setiap pengajian rutin hari Ahad yang dihadiri Syekh al-Akbar di Batu Tulis bisa membawa keluarganya semua (anak dan isterinya). Bertahun-tahun hal itu saya lakukan meski isteri saya belum mendapat cahaya keyakinan seteguh apa yang ia rasakan sekarang.
Tapi suatu hari sepertinya Allah mengabulkan permintaan saya. Di suatu saat istri saya sedang berzikir Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatin wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah sambil melihat foto Syekh al-Akbar yang terpampang di suatu dinding rumahnya. Tiba-tiba foto tersebut mengeluarkan cahaya terang berkilau. Tentu saja kejadian ini membuatnya kaget (karena baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh yang begitu nyata ia rasakan).
Dan pada malam harinya ketika tertidur ia bermimpi bertemu dengan sosok manusia berjubah dengan wajah hitam dan mengaku sebagai Syekh al-Akbar. Ia berkata kepada istri saya, ’Jangan ikuti Syekh al-Akbar yang lain, yang lain itu adalah Syekh al-Akbar palsu dan yang benar adalah saya ini!’ Istri saya menjadi bingung, sebab kok Syekh al-Akbar yang mengaku-ngaku itu wajahnya tidak sama dengan Gurunya. Di tengah ketakutannya itu ia berteriak Madad Syekh Akbar! maka secara tiba-tiba sosok berwajah hitam tersebut menghilang.
Kejadian inipun diceritakan kepada saya, dan saya merasa bersyukur kepada Allah. Terasa lapang dada ini mendengarnya.
Saya mendengar ini begitu senang sekaligus menimbulkan rasa iri. Duuh, seandainya isteri saya dan murid Idrisiyyah lainnya yang belum merasakan seperti itu akan mengalami hal serupa. Tentu menambah cahaya dalam rumah tangganya, dan tidak ada konflik dengan kebijakan Syekh al-Akbar melalui Birokrasi Ilahiyyah-Nya.