Jumat, 18 April 2008

Identitas sebagai tanda Kepastian

Betapa identitas atau penampilan Muslim mempengaruhi respect seseorang kepadanya.
Cuek is the best memang sudah mempengaruhi tabiat umat Islam sehingga salam atau tegur sapa tidak terjadi saat mereka saling berjumpa.
Kalau peristiwa tersebut terjadi di Bali, misalnya, hal itu mungkin bisa kita maklumi karena mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Tapi apa yang akan kita katakan apabila rasa cuek itu terjadi si sebuah Rumah sakit Islam?
Banyak hikmah berbusana taqwa yang dapat diambil setelah beberapa hari Guru kami Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. dirawat di Rumah Sakit Islam. Di antaranya adalah saat kami hendak menjenguknya. Kami lupa ruang manakah Syekh kami dirawat. Hanya beberapa langkah kaki kami bergerak dari pintu masuk, tiba-tiba resepsionis RS berseru kepada kami, ‘Kamar Kiyai (Syekh) ada di sebelah kanan no. 4, Arafah bawah!’
Kami tertegun, mengapa begitu spontan petugas komunikasi RS melontarkan kata-kata itu kepada kami padahal kami belum bertanya kepadanya.
Kami dalam hati langsung memahami, bahwa pakaian taqwa yang kami kenakan sudah menjadi perantara komunikasi yang efektif, yang menunjukkan kami adalah pengunjung pasien Syekh al-Akbar dilihat dari kesamaan busananya.
Begitu pula dengan waktu jenguk yang bebas kami lakukan ke RS. Saat kami melewati pintu jaga Satpam RS, 2 orang Satpam memberi jalan kami untuk masuk. Tapi tidak bagi orang-orang lain. Karena (menurut mereka) identitas yang kami kenakan cukup jelas, sehingga tidak menimbulkan rasa was-was bagian keamanan RS.
Lalu lalang orang berpapasan dengan kami, selalu ada sapaan salam. Apakah kami atau mereka yang terlebih dahulu mengucapkan salam. Mereka mengucapkan salam kepada kami, tapi tidak kepada yang lain. Mengapa? Sekali lagi, identitas kemusliman kami jelas!
Di RS Islam sekalipun ucapan salam tidak sembarang dilontarkan. Satu pengunjung dengan pengunjung lainnya saling tidak peduli (padahal mereka muslim). Mereka lebih yakin untuk menyuarakan salam kepada kami. Mereka mendapati suatu kepastian.
Apa yang mereka lihat sehingga mereka mengucapkan salam kepada orang-orang yang mengenakan Libasut Taqwa? Apakah mereka melihat batin (iman) seseorang sehingga mereka mau mengucapkan salam? Oh, ternyata mereka melihat apa yang kami kenakan (lahir) bukan batin kami.
Inilah yang kami fahami mengapa Dienul Islam yang fitrah ini bukan disebut sebagai Agama Iman, tapi Agama Islam, karena mengedepankan nilai lahir yang merupakan bagian fitrah manusia.
************
Saat seorang berghamis datang kepada Kapolres, ia berkata, ‘Saya berpakaian begini (Libasut Taqwa, red) mencoba bersikap professional sebagai seorang muslim’. ‘Coba Bapak (Kapolres) buka baju seragam polisi yang Bapak kenakan, lalu ganti dengan baju biasa. Bagaimana orang-orang di suatu kampung melihat Bapak? Pasti mereka tidak ‘memandang’ (peduli) kepada Bapak. Mereka baru peduli ketika Bapak mengenakan pakaian resmi! Pakaian yang menunjukkan sikap professional Bapak sebagai seorang Polisi!’
‘Nah, begitulah saya ini. Saya belajar bersikap professional sebagai seorang muslim dengan mengenakan busana taqwa seperti yang Bapak lihat!’
Dengan mengenakan Libasut Taqwa, kepastian orang melihat seorang muslim menjadi jelas.