Oleh Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan
Seruan yang diperintahkan oleh Allah SWT, yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad Saw tiada lain adalah 'bertaqwalah dengan sebenar-benarnya' [Haqqo Tuqootih]. Karena dengan taqwa itulah kita akan meraih kemenangan. Sudah tahukah kita tentag apa arti 'Taqwa' itu? Selama ini jarang sekali ada Ulama yang memberikan makna yang konkrit, tegas dan jelas tentang makna 'Taqwa'. Sehingga istilah taqwa itu hanya sebatas hiasan bibir semata.
Kita sedang berada pada suasana menghadapi pemilihan umum yang dibarengi dengan moment peringatan maulid Nabi Saw di mana sosok Rasulullah Saw itu digambarkan sebagai suri tauladan. Situasi ini membuat moment maulid menjadi peluang dan kesempatan bagi tokoh-tokoh politik mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah suri tauladan. Betulkah kita sudah menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri tauladan.
Di satu sisi lain negara ini menyandarkan kepada sistem demokrasi. Kebijakan demokrasi itu suatu konsep yang dibangun atas dasar kenyataan bahwa kita sudah tidak lagi memiliki seorang pemimpin yang dipercaya. Karena kepemimpinan itu yang terbentuk dan terwujud itu hanya merupakan pemimpin yang dipaksakan melalui permainan demokrasi dan politik sehingga dengan permainan politik itulah terjadinya silih berganti sosok pemimpin satu dan lainnya. Semuanya tidak dihormati, ditaati, dan tidak disikapi sebagai pemimpin yang bersifat mutlak untuk dihormati dan diikuti. Itukah keinginan kita sebagai umat manusia khususnya sebagai seorang muslim?
Sedangkan tuntunan yang telah diberikan oleh Allah dan berbagai contoh yang ada di kehidupan alam semesta ini yang Allah nyatakan bahwa Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh Al-Quranul Karim dan Al-Quranul Karim itu tidak membatasi Ayat-ayat Allah. Sehingga Allah memberikan isyarat untuk percaya kepada Kitab-kitab-Nya. Ada kitab yang tertulis dan tersirat. Dan yang tersirat ada di alam semesta ini. Di mana Allah berfirman: Innafii kholqis samaawaati wal ardhi wakhtilaafil layli wan nahaari la-aayaatil li ulil albaab [Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir, Q.S Ali Imran: 190r]
Hadirin sidang Jum'at yang berbahagia,
Pada dasarnya kehidupan alam semesta yang diciptakan oleh Allah dari suatu dimensi yang terkecil sampai yang terbesar dibangun dalam suatu kepemimpinan, baik oleh Allah maupun oleh manusia itu sendiri. Berbagai teknologi, baik alat transportasi, perangkat rumah tangga, komputer, sarana telekomunikasi, dsb semuanya diabngun atas dasar metode kepemimpinan. Tapi manusia tidak mampu menempati dirinya sebagai bagian dari sebuah kepemimpinan. Kalaupun ada, mereka terbawa oleh suatu kepemimpinan yang telah didominasi dan diwarnai oleh budaya orang-orang yang jauh dari Ayat-ayat Allah. Mereka mengingkari Ayat-ayat Allah. Dan ternyata kita sangat sedikit memahami tentang Al-Quranul Karim, sedikit pengetahuan tentang Dienul Islam.
Kepemimpinan yang harus dibangun jika kita ingin mencapai kesuksesan atau keberhasilan sebagai bangsa atau umat yang bermartabat dan diridhai Allah SWT harus memiliki seorang yang pemimpin yang bersifat absolut. Apalah artinya segala peraturan yang ada di negeri ini, apalagi berkenaan kebijakan Dienul Islam bila tidak ditaati. Rambu-rambu lalu lintas dan ketetapan-ketetapan yang dibangun atas dasar mufakat dengan menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit melalui rantap kerja di DPR, DPRD dan sebagainya. Tapi hasilnya tidak ditaati. Lampu merah tabrak terus, leter S (dilarang berhenti) tidak ditanggapi, dan berbagai hal yang disikapi tidak sesuai dengan image bangsa yang bermartabat. Inikah yang menjadi bukti keinginan kita menjadikan Nabi Saw sebagai Suri tauladan atau Akhlaqul Karimah?
Nabi Saw berwasiat, Uushiikum bitaqwallaah was-sam’wath-thoo’ati wa-in kaana ’abdan habasyiyyan, fa-innahuu may-ya’isy ba’dii fasaroo ikhtilaafan katsiiroo, fa’alaykum bisunnatii wasunnatil khulafaa-i ba’dii ar-roosyidiinal mahdiyyiin, wa’adh-dhuu ’alayhaa bin-nawaajidz, wa-iyyaakum wamuhdatsaatul umuur, fa-inna kulla bid’atin dholaalah. “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, (mau) mendengar dan (mau) mematuhinya walaupun dari seorang budak hitam (Habsyi). Sesungguhnya yang hidup setelahku nanti akan mengalami banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah-sunnah para penggantiku yang bersifat Rasyidin dan Mahdiyyin. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Hati-hatilah dengan perkara (masalah - masalah) baru, karena setiap yang bid’ah itu adalah kesesatan!” (HR. Thabrani, dan juga diriwayatkan oleh perawi Shahih lain dengan lafazh yang sedikit berbeda)
Isyarat kepemimpinan berlatarbelakang hamba sahaya berarti kita mesti bersikap menempatkan kepemimpinaan sebagai suatu yang absolut.
Contoh yang mudah adalah dari sejenis hewan yang kedudukannya lebih rendah dalam penciptaannya daripada manusia. Di mana manusia diciptakan dalam kondisi yang lebih baik daripda makhluk lainnya. Laqod kholaqnal insaana fii Ahsani taqwiim [Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam kejadian yang lebih baik (di antara makhluk lainnya)] Mereka (manusia) akan kembali kepada suatu kejadian yang lebih rendah dari kejadian sebelumnya [Tsumma rodadnaahu asfala saafiliin]. Mengapa? Karena manusia cenderung berubah sikap fitrahnya. Padahal manusia itu memiliki nilai-nilai positif (hikmah) dalam fitrahnya. Tapi yang dibangun oleh manusia cenderung kepada hal-hal yang membawa kemadharatan pada dirinya.
Perhatikanlah binatang serangga yang bergabung dengan kelompoknya yang besar. Mereka bekerja secara bersama-sama dengan kompak. Masing-masing mengerjakan tugasnya, setiap dirinya memberikan kontribusi kepada satu titik komando kebijakan, yaitu induknya. Koloni serangga saja memiliki pemimpin yang disanjung, ditaati secara absolut oleh mereka. Sehingga mereka mencapai suatu hasil yang mengagumkan dan bermanfaat tidak hanya komunitas mereka tapi juga kepada tatanan yang lebih tinggi, termasuk manusia. Hewan-hewan lainnya pun demikian, membangun komunitas dengan keberadaan seorang pemimpin yang absolut untuk diikuti, dihormati, dihargai, dan dipatuhi.
Itulah makna sebuah kepemimpinan. Akankah kita sebagai muslim yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak peduli kepada makna atau arti suatu kepemimpinan. Dalam rumah tangga saja, kita mesti membangun nilai kepemimpinan. Mengapa tatanan yang besar seperti negara dan Dienul Islam tidak disikapi sebagai bentuk kepemimpinan yang absolut?
Ketahuilah, manusia telah melampaui batas dari fitrahnya, mengapa? Karena meraka merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Tidak ingin menerima nasehat, kebaikan dan keburukan dari orang lain, tidak menerima ketentuan Qudrat dan Iradat Allah bahwa kehidupan ini dibangun atas dasar nilai-nilai yang positif dan negatif. Padahal kandungan positif dan negatif itu merupakan proyek amal kita di dunia ini sebagai bekal di kehidupan yang abadi.
Hadirin Rahimakumullah,
Dunia akhirat bukan sesuatu yang mesti dipisahkan. Dunia dan akhirat adalah satu paket. Tidak ada dunia kalau tidak ada akhirat dan sebaliknya tidak ada akhirat jika tidak ada dunia. Jika kita masih memisah-misahkan, di dalam masjid beribadah dan di luar masjid bukan ibadah, maka hal itu adalah pandangan yang keliru. Hal demikian pertanda kita belum mengerti makna ayat Wamaa kholaqtul jinna wal insa illaa liya'buduun. [Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah, Q.S. Adz-Dzariyat: 56]. Di mana saja kita berada dituntut untuk beribadah kepada Allah SWT. Dan tidak ada yang luput dari pengawasan Allah urusan yang ada di langit maupun di bumi, yang besar maupun yang kecil.
Demikianlah, mari kita jadikan kehidupan ini sebagai pelajaran dan peringatan agar kita menjadi lebih dewasa dalam menjalankan kehidupan ini, dalam menyikapi diri, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara, dan beragama. Dengan menjalankan kehidupan ini dengan proporsional dan profesional maka kita pun akan dapat menjalankan berbagai urusan dengan proporsional dan profesional pula sebagai warganegara dan lainnya.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَآئِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ