Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid[1] Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah[2] Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.[3]
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.[4]
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.[3]
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.[4]
************
Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:
Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.
Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah[5], aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah[5], aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
************
Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.
************
Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya. Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar[6], engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memaami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memaami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.
************
[1] Margaret Smith mengatakan: ‘Junaid berasal dari keturunan Persia, akan tetapi dilahirkan dan dibesarkandi Baghdad. Dia menjadi tokoh terkemuka di antara para Guru thariqat Sufi, walaupun ia hanya mengajar sejumlah kecil muridnya yang hanya sejumlah sepuluh orang saja’. (Reading from the Mistic of Islam: 34)
[2] Perkumpulan, majelis.
[3] Pendapat ini sesuai dengan pendapat Sufi berikutnya, Syaikh Musthafa al Bakri: “Sesungguhnya jalan yang paling dekat kepada Allah adalah dengan dzikir, karena sesungguhnya Ahli Dzikir itu adalah Ahlullah dan yang diistimewakannya, mereka duduk bersamaNya dan dipercayai atas Rahasia-rahasiaNya, sehingga melampaui martabat orang-orang terdahulu (salaf)”.(lihat Siyarus Salikin III: 189)
[4] Siyarus Salikin III: 99
[5] Nama panggilan Imam asy Syafi’i.
[6] Nama panggilan asy Syibli.
[2] Perkumpulan, majelis.
[3] Pendapat ini sesuai dengan pendapat Sufi berikutnya, Syaikh Musthafa al Bakri: “Sesungguhnya jalan yang paling dekat kepada Allah adalah dengan dzikir, karena sesungguhnya Ahli Dzikir itu adalah Ahlullah dan yang diistimewakannya, mereka duduk bersamaNya dan dipercayai atas Rahasia-rahasiaNya, sehingga melampaui martabat orang-orang terdahulu (salaf)”.(lihat Siyarus Salikin III: 189)
[4] Siyarus Salikin III: 99
[5] Nama panggilan Imam asy Syafi’i.
[6] Nama panggilan asy Syibli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar