Pada masa Rasulullah Saw ada seorang pencuri yang tertangkap. Ketika dihadapkan, Rasulullah Saw memerintahkan Sayidina Umar Ra. untuk memberikan hukuman mati terhadapnya. Kemudian dengan ijtihadnya sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui - bahwasanya seorang pencuri itu mesti dipotong tangannya (bukan dihukum mati) – maka ia pun melaksanakan apa yang menjadi pertimbangannya tersebut. Mungkin, dengan hanya dipotong jari tangannya saja maka pencuri tersebut akan jera.
Sepeninggal kepemimpinan Rasulullah Saw, naiklah Sayidina Abu Bakar memimpin umat Islam. Dan pada masa kepemimpinannya ini pencuri tersebut mengulangi lagi perbuatannya. Akhirnya diputuskan untuk memotong tangannya. Setelah berlalu kepemimpinan Sayidina Abu Bakar Ra., naiklah kepemimpinan Sayidina Umar Ra. Dan ternyata terpotongnya tangan tidak juga membuat pencuri itu jera. Kebiasaannya mencuri itu masih tetap dilakukannya juga.
Akhirnya, Sayidina Umar Ra. memutuskan untuk menghukum mati pencuri tersebut. Setelah itu barulah ia sadar atas kebijakan Rasulullah Saw untuk menghukum mati pencuri tersebut dari awal. Di sinilah ia mengakui bahwa kebijakan Nabi Saw melampaui pandangan ijtihadnya. Sedangkan Rasulullah Saw yang dipelihara dari dosa, melakukan segala kebijakannya tersebut berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan keinginan pribadinya.
15 Abad kisah itu berlalu, dan akhirnya diungkap oleh Syekh al-Akbar Muhyiddin sekarang ini. Dalam suatu majelisnya Beliau Ra. menyinggung kekeliruan Umar Ra. ini, karena tidak melaksanakan perintah. Maka suatu ketika seorang murid datang kepada Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan Ra. dan menceritakan bahwa ia melihat Rasulullah Saw menggandeng tangan Umar Ra, sambil berkata, ‘Wahai Umar, lihatlah, apa yang telah engkau lakukan itu (melakukan ijtihad sendiri dan tidak mengindahkan perintah Nabi Saw untuk menghukum mati pencuri [sebagaimana yang ada dalam kisah di atas]) tidak dinilai ibadah oleh Syekh al-Akbar!’ Mendengar hal itu, menangislah Sayidina Umar, sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, mintakanlah ampun untukku kepada Syekh al-Akbar’.
Para pembaca yang budiman, mengapa Sayidina Umar Ra. tidak memohon ampun kepada Allah lewat Rasulullah Saw? Hal ini menunjukkan posisi kepemimpinan Syekh al-Akbar sebagai Khalifah (pengganti peran kepemimpinan umat saat ini) diakui oleh Rasulullah Saw. Maka alam ruhani yang suci tidak dapat didustakan dan dipungkiri ke mana seluruh kebijakan Ilahiyyah saat ini mesti bersandar. Dan Sayidina Umar pun mengerti akan hal itu, sehingga ia mesti meminta syafa’at (pertolongan) ampunan kepada Syekh al-Akbar sebagai pewaris para Nabi.
Fiman Allah SWT:
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku". Q.S. Maryam: 47
Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Pengampun lagi Penyayang". Q.S. Yusuf: 98