Rabu, 06 Februari 2008

PETUNJUK

CERAMAH MALAM JUM’AT, 31 JANUARI 2008
SYEKH AL-AKBAR MUHYIDDIN SYEKH AL-AKBAR MUHAMMAD DAUD DAHLAN RA.
Petunjuk itu luas, ada yang berkenaan perkara duniawi maupun ukhrawi. Petunjuk bisa mengakibatkan proses timbal balik. Bisa terjadi pada awalnya seseorang melaksanakan petunjuk duniawi, kemudian pada suatu masa perjalanan mengalami perubahan sehingga meningkat nilai urusan yang dijalaninya tersebut. Kemudian urusan itu menjadi jembatan (wasilah) kepada petunjuk yang menyangkut kebijakan ukhrawi. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja.
Seseorang yang sedang menjalani petunjuk duniawi di antaranya akan mengalami tempaan dari kegiatan duniawi yang dijalaninya itu. Dengan mengerahkan segenap jiwa dan raganya ia akan berusaha mendapatkan yang lebih baik dari apa yang telah diperolehnya. Ia berusaha fokus dengan urusan duniawi yang sedang ia geluti. Pada posisi ini, ia selalu mengharapkan petunjuk untuk perubahan yang lebih baik bagi usahanya [dalam bahasa Arab خير (khoir), artinya lebih baik].
Jika ia serius dengan prinsip perubahan dari yang baik menuju kepada yang lebih baik, maka ia akan menuju secara alami kepada konsep kebijakan ukhrawi yang diawali dengan petunjuk-petunjuk pula. Karena proses perjalanan urusan duniawi yang dijalani seseorang akan berakhir kepada titik puncak (kulminasi) kebahagiaan yang semu (tidak abadi). Maka di balik kenyataan itu seseorang (yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik) akan menggeser pola kebijakan kehidupannya (melalui petunjuk yang datang) kepada suatu nilai yang lebih baik (yakni nilai ukhrawi).
Sebaliknya, orang yang pada awalnya sudah menancapkan i’tikad melaksanakan urusan ukhrawi dapat berubah menjadi urusan duniawi. Ketika ia memutuskan untuk berhijrah kepada petunjuk ukhrawi, dalam perjalanan ia diuji oleh Allah Swt. Memang dunia ini sudah dirancang oleh Allah sebagai ladang ujian yang bertingkat-tingkat hingga ia menemui kematian. Firman Allah Swt:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِقلى وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً صلى وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Kullu nafsin dzaa-iqotul mauut. Wanabluukum bisy-syarri walkhoyri fitnah, wa-ilaynaa turja’uun
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Al-Anbiya: 35)
Secara syari’at ungkapan ‘Kami’ bukan hanya Allah, namun secara hakikat makna ‘Kami’ adalah Allah Yang Menciptakan. Inilah yang membuktikan bahwa segala sesuatu hal mesti ada yang me
Di dunia manusia merasa yakin dengan apa yang diusahakannya. Hal ini sudah menjadi rumus terhadap apa yang telah mereka lakukan selama ini. Prinsip ini pun akhirnya membekas kepada perkara ukhrawi. Mereka merasa amalnya diterima, dan merasa selamat di hadapan Allah Swt.
Sikap merasa yakin ini membawa kepada sikap ‘merasa cukup’ terhadap informasi yang lebih baik yang disodorkan kepadanya. Akhirnya ia merasa terlena. Ia tidak peduli dan tidak memiliki gairah untuk meningkatkan amalnya menjadi lebih baik.
Cobaan (musibah) yang dirasakan manusia adalah sesuatu yang telah ditetapkan.
Janganlah kita mengharapkan seseorang mendapatkan petunjuk, sekalipun kita telah berusaha keras menggiringnya kepada informasi kebenaran. Meskipun dia adalah orang yang amat kita cintai. Jadikanlah apa yang telah kita upayakan sebagai bagian ibadah kita kepada Allah Swt.
Ketika seseorang telah memperlihatkan kepercayaan kepada kita, kita bisa terjebak kepada suatu kondisi untuk memanfaatkannya bagi kepentingan kita. Sebab setiap orang bisa memiliki potensi untuk kebaikan atau keburukan.
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰـهَا
Fa-alhamahaa fujuurohaa wataqwaahaa
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (Asy-Syams: 8)
Jiwa yang ada pada setiap diri ini akan terilhami oleh suatu kejahatan dan akan terilhami kepada ketaqwaan. Orang yang terilhami kepada ketaqwaan inilah yang dikatakan sebagai orang yang mendapatkan petunjuk.
Itulah suatu bukti bahwa Allah-lah yang memiliki petunjuk, dengan kata lain Dia-lah yang mempunyai hak otoritas untuk memberikan petunjuk. Kita sebagai ciptaan-Nya dalam memberikan informasi (dakwah) hanyalah sekedar menjalankan ibadah. Dengan i’tikad niat tersebut niscaya ketidakpercayaan seseorang kepada informasi yang kita berikan tidak adakan membuat kita kecewa.
Allah berfirman dalam Surat Al Kahfi:17:

مَنْ يَّهْدِى اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَه وَليًّا مُّرْشِدًا

“Barangsiapa yang dihidayahkan (mau mengambil petunjuk) Allah maka ia termasuk orang-orang yang diberi petunjuk. Dan bagi siapa yang sesat (jalannya), maka sekali-sekali tidaklah akan mendapatkan Wali yang Mursyid.”
Ayat ini jika diterapkan dengan sikap hati yang keliru akan membuat kita tidak berada pada posisi yang mukmin yang sebenarnya. Kalau kita memperhatikan bahasa tersebut, kekeliruan dalam memahaminya bisa terjadi pada setiap orang. Dikatakan, ‘Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka ia termasuk orang yang diberi hidayah’. Sehingga bagi orang yang belum ingin beribadah akan menyalahkan Allah, karena ia merasa tidak diberi hidayah. Sementara orang lain yang beribadah (menurutnya) telah diberi hidayah oleh Allah.
Memang benar petunjuk itu kepunyaan Allah, begitu pula seluruh dimensi kehidupan dunia ini. Pada umumnya ketika seseorang telah merasakan kenikmatan dalam kehidupan dunia, ia tidak peduli kepada Yang telah Memberikannya, Allah Swt. Ia lebih peduli kepada kepentingan (keinginan) dirinya daripada keinginan Allah. Demikianlah, jika seseorang masuk kepada Birokrasi Ilahiyyah manakah yang terlihat, peduli kepada keinginan dirinya atau peduli kepada keinginan Allah?
Statement yang sering kita dengar adalah, ‘Pak Kiyai, doakan saya ya, agar bisnis saya lancar! Agar karir saya sukses! Agar usaha saya laris! Agar saya berhasil dalam Pilkada-Pilkades! Adakah yang berkata begini, ‘Pak Kiyai, tolong tunjukkan saya jalan yang lurus! Bagaimana supaya saya mendapatkan keridhaan Allah!
Mana yang ia pedulikan, keinginan dirinya atau keinginan Allah. Padahal ia sudah mendapatkan nikmat atas kehidupan ini, merasakan kenyang dan kesenangan. Apakah orang yang mengutamakan keinginan dirinya dan tidak mempedulikan keinginan Allah itu akan diberi petunjuk oleh Allah? Mereka terhijab dan tertutup. Lemah mujahadah (kesungguhan)nya, lemah semangatnya, banyak keraguannya. Hal yang sangat fatal adalah kenyataan bahwa petunjuk itu luas.
Firman Allah Swt.
إِنَّ الَّذِيْنَ أمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيْهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيْمَانِهِمْ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ اْلأَنْهَارُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ {يونس: ۱۰}
Innalladziina aamanuu wa’amilush-shoolihaati yahdiihim robbuhum bi-iimaanihim tajrii min tahtihimul an-haaru fii jannaatin na’iim
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang sholeh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan.
Dua frase kata yang saling berhubungan (sebab dan akibat) ini tidak diperantai oleh sebuah huruf penghubung (و [dan] atau ف [maka]). Kalimat pertama (Orang-orang yang beriman dan beramal yang sholeh) mempunyai implikasi langsung (tanpa embel-embel) penghubung kepada kalimat sesudahnya (Allah akan memberikannya petunjuk) . Hal ini menunjukkan suatu hal yang pasti dan berlangsung alami, serta tidak memerlukan unsur penekanan. Dalam bahasa lain, ‘Orang-orang yang beriman dan beramal yang sholeh’ langsung direspon oleh Allah Swt. Ayat ini menunjukkan keterkaitan dalam susunan kalimat yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Kalau kita pernah belanja makanan yang sistem paket, maka ia lebih murah dibandingkan kita membelinya dengan cara parsial (satu-satu per item). Demikianlah kandungan ayat tersebut, keduanya memiliki nilai praktis atau mudah dicerna. Dan Allah memudahkan bagi siapa saja yang menginginkan hidayah-Nya.
Amal sholeh itu bisa disandarkan oleh orang yang keliru jalannya dengan mengatakan, ‘Innamaa nahnu mushlihuun’ Sesungguhnya kami (yakni orang-orang yang ingkar) sedang melakukan amal baik (sholeh). Oleh karena itu untuk membedakannya kita menggunakan bahasa ‘amilushsholeh’ yakni amal yang sholeh. Definisi amal yang sholeh itu adalah ‘Ittabi’uu maa anzalallaah’, yaitu mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Swt. Dan yang diturunkan Allah itu adalah para malaikat-Nya, Utusan-Nya, Kitab-kitab-Nya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ الْأٰخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا{الأحزاب:۲۱

Laqod kaana lakum fii rosuulillaahi uswatun hasanah, liman kaana yarjullaaha wal yawmal aakhiro wadzakarollaaha katsiiroo.
“Sungguh, pada pribadi Rasul (Utusan) Allah terdapat teladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi yang mengharapkan berjumpa dengan Allah dan Hari akhirat serta bagi orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala.” (Al Ahzab: 21)
Ayat tersebut tidak menyebutkan secara khusus bahwa Uswah (teladan) itu hanya dibawa oleh sosok Nabi Muhammad Saw saja. Jika sosok keteladanan hanya ditentukan kepada Nab Muhammad Saw saja, tentu Allah akan berfirman: Laqod kaana lakum fii Muhammadin uswatun hasanah. Dan di balik pengungkapan Rasul (Utusan) pada ayat tersebut menunjukkan kepada kita sebagai umat Islam agar tidak merasa puas dengan satu kebijakan sentral dalam menjalankan Dienul Islam ini.
Jika kita sudah merasa cukup maka kita dengan mudahnya menyalahkan orang lain dengan memberikan statemen ‘Bid’ah’ atau ‘sesat’ kepada orang lain. Karena merasa syari’at itu sudah sempurna maka dengan kakunya ia akan mengatakan ‘Ajaran Islam tidak boleh ditambah-tambah atau dikurang-kurangi!’ Itulah orang-orang yang berfikir statis, kerdil, sempit.
Janganlah kita merasa puas, seolah menolak anugerah ilmu (petunjuk) yang begitu luas yang akan Allah limpahkan kepada kita. Sedangkan kemampuan kita saja masih terbatas dalam menguak rahasia-rahasia wahyu yang Allah turunkan. Dengan keterbatasan perangkat ilmu untuk membedah Al-Quran seperti Nahwu, Shorof, Tajwid, dsb., janganlah kita merasa cukup. Bahkan di antara kita membaca Al-Quran saja ada yang belum bisa. Apakah tepat jika kita dengan mudah mengatakan sudah cukup dengan apa yang ada pada kita sehingga tidak perlu lagi mengaji?
Niat meraih petunjuk (mendapatkan ilmu) dengan menghadiri pengajian lebih utama daripada sekedar ingin mendapatkan barokah. Namun keberkahan itu lebih berguna daripada sikap statis, tidak merespon nasehat yang diberikan kepadanya.
Jika seseorang membaca saja tidak bisa, mengartikan juga tidak mampu, apalagi memahami isi kandungan Al-Quran, maka sikap taklid buta itu kepada orang yang faham lebih cocok bagi dirinya. Karena kondisi orang sedang belajar adalah kondisi ‘buta huruf’ bukan ‘melek huruf’. Di mana pun seseorang yang sedang belajar mesti membutuhkan sikap kepercayaan yang penuh kepada orang yang mengajarkannya. Kalaupun ia masih mengalami keraguan saat ia belajar, Allah telah memberikan bimbingan untuk berdo’a “Ihdinash-shirootol mustaqiim” {Tunjukilah kami jalan yang lurus!}
Konsep ketaatan itu melibatkan figur yang dicontoh. Di dalam Al-Quran sendiri tidak dikatakan “Taatlah kalian kepada Allah dan Wahyu (Al-Quran)Nya!” Akan tetapi yang disebut adalah figur yang membawa dan melaksanakan isi Al-Quran, yakni para Utusan-Nya. Melalui figur inilah solusi permasalahan yang terjadi pada setiap diri akan berbeda-beda (tahapan) pemecahannya. Nabi Muhammad Saw pernah menyebutkan amal utama yang beraneka ragam kepada masing-masing sahabat yang menanyakan kepadanya.
Al-Quran yang diimani itu tidak dapat memberikan perintah dan komando. Figur yang memberikan komando inilah yang dibutuhkan untuk mengetahui dan mengevaluasi apakah suatu perkara itu sesuai dengan isi Al-Quran atau tidak. Sama seperti UU, Al-Quran mesti dieksekusi oleh seorang figur yang dapat dijadikan Uswah (contoh).
Hadirin Hadirat,
Petunjuk adalah informasi. Informasi itu ada yang kita upayakan dan ada yang datang dengan sendirinya. Ketika kita berkeinginan untuk menjadi orang yang ahli di suatu bidang, kita berusaha mencari petunjuk (informasi) yang berkenaan dengan bidang tersebut. Semua hal yang berkenaan dengan teknologi dalam dunia ini dapat kita ketahui melalui petunjuk yang kita usahakan. Sebab-sebab mendapatkan petunjuk itu mesti kita lakukan. Pencapaian petunjuk itu tergantung usaha dan kesungguhan yang dilakukannya, sehingga ada yang bisa meraih dan ada yang tidak mampu menjangkaunya.
Sebagaimana tingkatan dalam pendidikan, dari TK sampai jenjang S3 (Pasca Sarjana), demikianlah tingkatan petunjuk itu. Apabila kita tidak mempu meraih petunjuk dalam kehidupan duniawi, janganlah kita bersedih hati. Hadapilah apa yang ada di hadapan kita, hal itu lebih baik bagi kita. Karena Allah telah mengingatkan, Wa’asaa an takrohuu syay-an wahuwa khoyrul lakum wa’asaa an tuhibbuu syay-aw wahuwa syarrul lakum wallaahu ya’lamu wa antum laa ta’lamuun. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al-Baqarah: 216).
Meskipun kita telah berusaha namun petunjuk duniawi yang Allah berikan kepada kita begitu terbatas, jadikanlah apa yang upayakan sebagai nilai ibadah. Mungkin keadaan itu lebih baik di sisi Allah Swt, karena kita tidak mengetahuinya. Dalam ayat di atas dinyatakan ‘Allah Mengetahui’ bukan ‘lebih mengetahui (dari kita)’, bahkan dinyatakan bahwa ‘kamu tidak mengetahui’!
Petunjuk adalah milik Allah semata. Tidak ada seseorang pun bahkan Nabi sekalipun yang mampu memberikan petunjuk. Firman Allah: ‘Tiadalah (petunjuk itu) berdasarkan angan-angan kosong kalian, dan juga bukan angan-angan Ahlul Kitab!’ Laysa bi-amaaniyyikum walaa amaaniyyi ahlil kitaab. (Q.S. An-Nisa: 123)
Seseorang yang baru masuk Islam lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, dikatakan telah mendapatkan petunjuk. Kemudian ia melaksanakan sholat, ia dapat petunjuk. Lalu ia memasuki tingkatan amaliyah yang lain, ia pun mendapatkan petunjuk. Setiap ia memasuki tingkatan amaliyah ia akan mendapatkan petunjuk. Hingga ia dipertemukan yang Mursyid, yakni para Nabi dan para Pewarisnya.
Petunjuk itu sebenarnya ada pada setiap diri manusia. Kemudian dengan otoritas yang ada pada dirinya sebagai khalifah fil ardh, ia memilih petunjuk itu agar mengarah kepada kepentingan dirinya atau kepentingan Allah Swt. Sikap kepedulian inilah yang menyebabkan ia mendapatkan petunjuk.
Maka bila tingkatan petunjuk kebenaran itu diibaratkan seperti jenjang pendidikan, maka orang-orang yang hanya mengarahkan petunjuk itu kepada kepedulian dirinya saja diposisikan hanya mendapatkan kenikmatan ukuran SD saja.
Sumber petunjuk itu bertebaran di muka bumi ini. Di antaranya adalah lembaga-lembaga formal yang menyelenggarakan pendidikan di mana-mana. Semuanya merupakan bagian petunjuk Allah. Namun Allah lebih mengetahui di antara kesemuanya itu manakah yang mengarah kepada kebenaran.
Petunjuk itu merupakan otoritas Ilahiyyah, maka apabila kita menjalankan nilai-nilai petunjuk Ialhiyyah kepada seseorang jangan mengharapkan apapun seperti menginginkan diterimanya apa yang kita informasikan. Dengan demikian kita tidak akan merasa kecewa dengan apa yang kita perbuat.
Mudah-mudahan materi pengajian ini menjadi bahan acuan untuk kita dalam menyikapi diri, dan menjadi bekal untuk menepis keraguan kita dalam mengimani Allah dan Utusan-Nya. Innamal mu‘minuunal ladziina aamanuu billaahi warosuulihii tsumma lam yartaabuu wajaahiduu bi amwaalihim wa anfusihim fii sabiilillaah, ulaaa-ika humush-shoodiquun. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa raga mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (dalam keimanannya terhadap ayat-ayat Allah)". (Al Hujurat: 15).