Selasa, 13 Mei 2008

Cinta melupakan lainnya

Rasulullah Saw bersabda:
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِيْ وَيُصِمُّ
Cintamu pada sesuatu akan membuatmu buta dan tuli”. (HR. Abu Daud dari Abu Darda & Ahmad)
Inilah yang membuktikan sifat ke-ummy-an seorang murid, bahkan pada diri seorang Syekh yang Kamil. Kita dapat memahami apabila seorang Syekh yang dipilih Allah itu bukan berdasarkan apa yang ia ketahui. Dan tiada yang mengetahuinya mengapa. Hanya yang dapat kita simak berdasarkan hadits ini, Syekh yang Ummi ditutup dari hal-hal ‘yang lainnya’ karena cintanya kepada Allah.
Rasulullah Saw dengan sifat ke-ummi-an Beliau mengungkapkan, ‘Kalian lebih mengetahui apa-apa yang menjadi perkara duniamu’. Antum A'lamu bi-umuuri dun-yaakum.
Kita mungkin bisa memandang seorang murid itu kelihatan bodoh (menurut jangkauan pengetahuan kita) tapi kita tidak mampu mengukur kedalaman cintanya kepada Syekh-nya, kerinduan hatinya kepada Allah. Bahkan seorang Nabi pun tiada mampu mengukurnya. Sesungguhnya kebodohan di sisi Allah adalah kebodohannya dari sisi Tauhid (tidak mengenal Allah), bukan kebodohan pengetahuan lahir.
Kita tidak bisa meremehkan seseorang berdasarkan keilmuannya, karena kita tidak mampu mengukur kecintaannya kepada Allah. Itulah rahasia Allah yang tidak bisa kita ungkap.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq Rhm. menuturkan, ‘Suatu ketika Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah SWT mengembalikan penglihatannya. Dia menangis lagi sampai matanya buta kembali, dan Allah SWT mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian dia menangis sampai buta, lantas Allah SWT mewahyukan, ‘Jika engkau menangis karena syurga, maka Aku pun memperkenankannya. Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadikanmu selamat darinya’. Syu’aib menjawab, ‘Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada-Mu!’ Lalu Allah berfirman padanya, ‘Karena itu Aku menunjuk Nabi-Ku dan Kalim-Ku (Musa) untuk melayanimu selama 10 tahun’.
Inilah kerinduan. Inilah Mahabbah yang tidak bisa dijangkau kedalamannya oleh akal. Yang hanya dapat dibeberkan dengan logika ruhani. Semua indera menjadi buta, hanya rasa cinta yang menuntun.
Saat perintah [dalam Tarekat Idrisiyyah] untuk melaksanakan kegiatan di tengah laut pertama kali (P. Untung Jawa), betapa berat menyesuaikan diri dengan instruksi tersebut bagi murid-murid yang baru bergabung dengan Syekhnya. Mereka mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk diri dan keluarganya agar ikut serta beribadah bersama Syekh-nya tersebut. Tapi cinta menghilangkan penat yang mereka rasakan. ... Akhirnya Safari Dakwah dan Dzikir tersebut menandai hikmah Tragedi Tsunami tidak melanda P. Jawa, tetapi terjadi di Aceh beberapa tahun silam. Inilah bukti lahir yang nyata. Sedangkan bukti ruhani amat subyektif jika diungkapkan.
Begitu pula kita tidak akan mengerti apabila musibah yang akan mengancam P. Jawa ini dapat dicegah dengan kehadiran seorang Awliya yang dipilih-Nya, yang menetap di tempat tersebut. Lalu apakah kita sembrono untuk segera menyimpulkan bahwa upaya penyelamatan nyawa ribuan bahkan jutaan manusia itu, kita katakan sebagai buang-buang uang dan waktu serta tidak menghasilkan apapun. Pada saat manusia-manusia tidak menggubris tindakan Syekh Mursyid ini, penghuni alam ghaib bereaksi menunjukkan simpati. Ternyata mereka lebih teliti terhadap langkah yang dilakukan seorang Pewaris Nabi.
Saat ini kita diperintahkan untuk terlibat dalam Gerakan Moral Massa berupa Karnaval Rahmatan lil Alamin. Seluruh Ruhani para Nabi dan Rasul ingin mendukung perjuangannya. Kegiatannya ditunggu oleh penghuni langit (kalau pun penduduk bumi tidak menghiraukannya). Jika petinggi-petinggi ruhani turun ke bumi, maka ruhani-ruhani kelas bawah pun berpesta menyambutnya. Tidak ada yang sia-sia dari langkah ini, karena semuanya merupakan tuntutan amanah yang Allah berikan kepada Pewarisnya.
Para malaikat akan menaungi dengan sayap-sayapnya rombongan Birokrasi Ilahiyyah ini. Jika kita diinformasikan bahwa para malaikat akan turun ke bumi, lalu menghamparkan mutiara di sepanjang perjalanan Karnaval, maka apakah kita mengernyitkan kening, dan bergumam, ‘Bagaimana mungkin?’
Kita akan menggunakan logika yang sama jika diinformasikan, ‘Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari bau kesturi’. Mana mungkin mulut yang bau dikatakan lebih harum dari kesturi? Inilah bahasa ruhani! Bukan bahasa lahir!
Apapun informasi ruhani seperti Lailatul Qadr, tidak akan mengubah pengalaman inderawi kita. Karena kita tidak melihat dan merasakan gegap gempita penghuni ruhani di langit turun ke bumi menyenandungkan tasbih dan dzikir. Kenyataan ruhani terkubur oleh kenyataan lahiri.
Kenyataan-kenyataan ruhani merupakan wilayah keimanan yang hanya dapat disentuh melalui dzauq (rasa) jiwa. Dan fenomena tersebut merupakan Busyra (kabar gembira) bagi para Awliya dalam kehidupan dunianya, sebagai bukti ketundukannya kepada apa yang diperintahkan.
Apa yang dibijaki oleh seorang Syekh Mursyid yang menjadi penerus Nabi Saw (sekalipun dijumpai kekurangan manusiawinya) merupakan ujian kecintaan murid kepada Gurunya. Kecintaan yang tulus tidak akan melahirkan kekecewaan dan kerugian. Al-Mar’u ma’a man Ahabb. Seseorang akan beserta dengan orang yang ia cintai (Al-Hadits).
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”. (Q.S. Maryam: 25)
Dan saya katakan, “Dan goyanglah pangkal pohon kecintaan Syekh-mu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kecintaan yang manis kepadamu”.
Hanya kerinduan atau kecintaan yang membuahkan tangisan-tangisan. Dan itulah yang tampak pada beberapa majelis di Tarekat Idrisiyyah, karena luapan kegembiraan dan kedahsyatan rindu yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Dan ilmu-ilmu tidak mampu menjangkaunya. Ilmu manusia tidak cukup untuk mengukurnya. Dengan kecintaannya ia menggenggam perintah tanpa bahasa penolakan, atau diam karena ketidakberdayaan.
Seorang ahli hikmah berkata, “Diam adalah bahasa ketabahan”
“Diamnya orang awam adalah dengan mengekang lidahnya untuk tidak berbicara, sementara diamnya orang Arifin dengan mengendalikan hatinya. Sedangkan diamnya para Pencinta (Al-Muhibbin) dengan mengendalikan bersitan-bersitan hati nuraninya”.
“Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga. Mengapa?..... Agar ia mendengar dan mau memperhatikan lebih banyak daripada berbicara”.
Selasa, 7 Rabi’ul Akhir 1429 H/13 Mei 2008.
LqmnA

Prasangka yang meremehkan

Imam Qusyairi Rhm. berkata, ‘Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyah-nya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. datanglah Syaiban ar Ra’yi’.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as-Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf (ummy) seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Hasan al-Bashry masuk sebuah masjid untuk shalat Maghrib. Ternyata imam masjid tersebut adalah orang ’Ajam (non Arab). Al-Bashry tidak mau shalat bermakmum di belakangnya, karena khawatir logat Ajam imam itu tidak fasih. Ketika tidur al-Bashry bermimpi bertemu dengan seseorang yang bertanya, “Kenapa Anda tidak shalat di belakangnya? Sungguh, jika engkau shalat di belakangnya, dosamu yang telah lalu akan diampuni semua”.
Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya yang berjudul Zubdatul Asrar menulis, Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.
Rasulullah Saw yang ma’shum saja pernah bersabda:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ فَأَيُّمَا امْرِئٍ سَبَّبْتُهُ أَوْ لَعْنَتُهُ فَاجْعَلْ ذٰلِكَ كَفَّارَةً لَّهُ
“Yaa Allah, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa marah sebagaimana orang lain marah. Maka jika ada orang yang aku lecehkan atau aku laknat, maka jadikanlah itu sebagai kaffarat (tebusan) dosanya”. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, & Ahmad)
Jika Beliau Saw sebagai teladan umat mengungkapkan kekurangannya dari sisi manusiawinya, apalagi seorang Waratsatul Anbiya’ (pewarisnya). Meskipun begitu kita tidak menampakkan ketidakpercayaan kepada Beliau Saw. Beliau bahkan dianggap sebagai sosok manusia yang utama di antara manusia lainnya. Apakah kita tidak menaruh kepercayaan pula kepada petugasnya yang juga memiliki kekurangan dari sisi manusiawi? Orang yang bersahabat dengan rasa cinta tidak akan menemui kekurangan apalagi bersahabat dengan Kekasih Allah.
Dikisahkan bahwa ada seorang yang bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah berkata, ‘Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku’. Ibrahim menjawab, ‘Aku tidak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata Mahabbah, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan qalbuku. Tanyakan saja selain diriku tentang cacatmu’.
Rasulullah Saw menyatakan: “Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kalian (mau) mendengar dan taat, meskipun budak hitam legam yang memerintahmu (menjadi pemimpinmu)” [H.R. Thabrani].
Ketakwaan diwujudkan dengan ketundukan kepada orang yang memimpin kita, walau (menurut kacamata) kita ia banyak kekurangan. Bahkan Rasulullah Saw mengisyaratkan kriteria pemimpin itu dalam keadaan yang di bawah standar keinginan kita.