Kamis, 03 Januari 2008

Fadhilah (keutamaan) Ber-Tasawuf

Sayyidi Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm bercerita: “Aku melihat Nabi SAW di dalam tidurku, maka aku berkata: ‘Ya Rasulullah! Bahwasanya hamba sekarang ini seperti kanak-kanak yang baru belajar Ilmu Tasawuf”. Maka sabda Nabi SAW: “Baca (perhatikan) olehmu akan perkataan kaum Ahlus shufi itu, maka bahwasanya orang yang mubtadi (pemula) yang baru belajar Ilmu Tasawuf itu, yaitu Wali Allah. Adapun orang yang berilmu Tasawuf ini, maka yaitu seperti bintang yang tiada dapat dihinggakan akan dia (ketinggiannya)”.
Imam al Ghazali menukil dalam kitab Ihya’nya daripada perkataan sebagian ‘Arifin:
مَنْ لَـمْ يَكُـنْ لَّه نَصِيْبٌ مِنْ عِلْـمِ الْـقَوْمِ يَـخَافُ عَلَيْهِ سُوْءُ الْـخَاتِـمَةِ وَأَدَّنِيْ نَصِيْبٌ مِنْهُ التَّصَوُّف مِنْهُ التَّصْدِيْقُ وَالتَّسْلِيْمُ لأَهْلِه
“Barang siapa yang tiada mengetahui bagian-bagian dari Ilmu kaum Shufi dikhawatirkan mati dalam keadaan Su-ul Khatimah dan sekurang-kurangnya bagian itu adalah membenarkan (Tashdiq) dan berserah diri terhadap ahlinya (Taslim)”.
Syaikh Junaid al Baghdadi Rhm berkata:
التَّصْدِيْقُ بِعِلْمِنَا هذَا وِلاَيَةُ الصُّغْرى
“Orang yang membenarkan Ilmu kami ini (yakni Ilmu Tasawuf ini adalah termasuk daripada Wali Allah yang kecil”.
Syaikh Abu Yazid al Busthami Qs. Berkata:
إِذَا رَأَيْتَ أَحَدًا يـُحْسِنُ الظَّنّ بِكَلَامِ أَهْلِ هذَا الطَّرِيْقِ فَقُلْ لَه يَدْعُوْلَكَ فَإِنَّه مُـجَابُ الدَّعْوَةِ
“Jika engkau melihat seseorang berhusnuz-zhan dengan perkataan Ahli Thariqah ini (Shufi), maka katakanlah agar engkau dido’akan, karena sesungguhnya ia menjadi mustajab do’anya”.
Ruwaim Rhm berkata:
مَنْ آمَنَ بِكَلَامِنَا هذَا وَلَوْ مِنْ وَّرَآءِ سَبْعِيْنَ حِـجَابًا فَهُوَ مِنْ أًهْلِه
“Barang siapa mempercayai perkataan kami ini (Ahli Shufi) ini meskipun ia berada di belakang 70 hijab (dinding), maka sesungguhnya ia termasuk daripada Ahlinya”.
Syaikh Zakaria Khandalawi dalam kitab Fadhilah Tabligh-nya mengemukakan beberapa keterangan hadits:
 Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Luqman al Hakim berkata kepada anaknya: '‘Wahai anakku, hendaknya engkau menyertai para Ulama dan dengarkan ucapan-ucapan ahli, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan”.
 Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah sahabat yang paling baik bagi kami?” Jawabnya: “Seseorang yang apabila kamu melihatnya,
 kamu akan teringat kepada Allah. Apabila kamu mendengar pembicaraannya, pengetahuanmu mengenai Islam akan bertambah. Dan apabila kamu melihat kelakuannya, kamu akan teringat hari kiamat”.
 Dalam hadits lain disebutkan bahwa hamba Allah yang terbaik adalah orang yang apabila kamu melihatnya, kamu akan teringat kepada Allah, Allah SWT berfirman:
يَآ أَيّـُهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا اتَّـقُوا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama Shiddiqin (orang-orang yang benar)”. (At Taubah: 119)
Para ahli tafsir telah menafsirkan bahwa orang-orang Shiddiqin dalam ayat ini maksudnya adalah para Ulama Ahli Shufi dan para kekasih Allah (Awliya). Karena barang siapa berdekatan dengan mereka dan berkhidmah kepada mereka, akan mendapatkan tarbiyah dan kekuatan iman.
Dan masih banyak lagi keutamaan orang-orang yang menjalani Ilmu Tasawuf itu, yang tak dapat diuraikan di sini, dan mencukupilah kiranya apabila kita lihat uraian imam al Ghazali dalam kitab-kitabnya.
(Hikayat)
Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengisahkan suatu suatu peristiwa yang terjadi pada diri Syaikh Junaid Rhm, bahwa suatu jama’ah yang menuntut ilmu di Baghdad meninggalkan Guru fiqihnya, dan bergabung duduk bersama dalam halaqah Sufi al Junaid, sehingga membuat marah gurunya itu, sampai-sampai menghina dengan kata-katanya atas golongan Shufi. Maka disuruhlah gurunya itu untuk datang kepada al Junaid.
Maka berkatalah al Junaid kepada guru tersebut: “Wahai saudaraku, jika seorang hamba yang ingin bermaksud bertemu dengan kekasihnya memiliki 2 pilihan, ada yang sampai kepada kekasihnya dengan perjalanan kira-kira 30 tahun lamanya dan pilihan lainnya sampai kepada kekasihnya itu dengan waktu singkat kira-kira setahun lamanya. Maka manakah yang anda pilih?” Guru syariat itu berkata: “Tentu aku memilih jalan yang paling dekat dan cepat”. Berkata al Junaid: “Benar”. Lalu berkata guru tersebut: “Thariqah (jalan) kami adalah jalan yang paling dekat kepada Hadhrat Allah Ta’ala Al Haqq daripada thariqah (jalan)mu”. Maka berkatalah al Junaid: “Jalan dzikir kepada Allah itu lebih dekat/ mudah sampai kepada Allah daripada jalan mengetahui hukum-hukumNya, dikarenakan jalan syariat itu berhubungan dengan makhluk, sedangkan ‘jalan’ dengan dzikrullah itu berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala Al Haqq”.
Guru syariat itu akhirnya berkata: “Apakah bukti kebenaran ucapan kamu itu?” Maka seru al Junaid kepada yang hadir: “Ambillah batu ini dan lemparlah kepada orang-orang Sufi yang faqir yang sedang berdzikir”. Maka ketika dilempar, berteriaklah mereka disertai ucapan ‘Allah, Allah’, dikarenakan asyiknya akan dzikrullah. Kemudian al Junaid memerintahkan mengambil batu yang lain untuk dilempar ke tengah-tengah jama’ah fuqaha. Dan ketika dilempari batu itu, maka terlihatlah jama’ah itu marah semuanya sambil berkata: ‘Tidak boleh engkau melakukan pelemparan seperti tadi, perbuatanmu itu haram!’
Menyaksikan perbedaan mencolok tadi, akhirnya sang guru syariat mengakui keunggulan dan kebenaran al Junaid: ‘Aku mohon ampun kepada Allah atas apa-apa yang menyalahi akan engkau, sekarang benarlah perbuatanmu tadi’. Lalu ia menjadi sahabat al Junaid dan mengambil thariqah daripada al Junaid, sampai ia menjadi sahabatnya yang paling dekat.
************
Imam Qusyairi mengatakan: “Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadits, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikirannya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu yang tampak ghaib bagi mereka menjadi tampak jelas bagi kalangan Shufi. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Shufi pengetahuan itu didapat dari Al Maujud, Allah Al Haq. Mereka adalah sekumpulan hamba yang senantiasa berjumpa dengan Allah SWT (Ahlul Wishal), sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (Ahlul Istidlal). Para Shufi itu adalah sebagaimana yang diungkapkan penyair:
Malamku, bersama WajahMu, cemerlang
Sedang kegelapan menyelimuti manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.
Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyahnya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. Datanglah Syaiban ar Ra’yi.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
************
Dikisahkan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat sering mengunjungi Bisyr Harits al Hafi. Ia begitu mempercayai kata-kata Bisyr sehingga murid-muridnya pernah mencela sikapnya itu.
“Pada saat ini tidak ada orang yang menandingimu di bidang hadits, hukum, teologi, dan setiap cabang ilmu pengetahuan, tetapi saat engkau menemani seorang berandal. Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku memang lebih ahli daripada Bisyr”, jawab Ahmad bin Hambal, “Tetapi mengenai Allah ia lebih ahli daripadaku”.
************
Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan Fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy Syibli di Masjid al Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy Syibli. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy Syibli tentang masalah haid, dengan tendensi (maksud) ingin mempermalukannya. Asy Syibli menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid. Abu Amran langsung berdiri, mencium kepala asy Syibli sambil berkata, “Wahai Abu Bakar , engkau telah menyerap sepuluh pandangan tentang masalah haid yang belum pernah aku dengar sama sekali. Sedangkan yang kuketahui hanya tiga pandangan saja”.
Dikatakan, “Abul Abbas Suraij adalah seorang ulama fiqih yang pernah menghadiri majelis al Junaid Ra. Dan mendengarkan penuturannya. Kemudian Abul Abbas ditanya, “Apa pendapatmu tentang ucapan itu?” Ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang diucapkan al Junaid. Namun aku tahu ucapan itu merupakan lompatan, yang bukan tergolong lompatan kebatilan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al Junaid. Lihatlah, apakah anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majelis al Junaid. Ia bertanya kepada al Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al Junaid, “Tolong anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah anda ulangi sekali lagi!” Lantas al Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang anda ucapkan. Tolonglah anda uraikan untuk kami!” Al Junaid menjawab, “Kalau anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya”. Setelah dijelaskan dengan uraian panjang lebar, lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al Junaid beserta keunggulan moralnya. “Apabila prinsip-prinsip kaum Shufi merupakan prinsip yang paling shahih, dan para Syeikhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, jika sang murid itu termasuk ahli salik dan penempuh tujuan mereka, maka para Syeikh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya keghaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak sanggup untuk mandiri dalam hujjah, lalu ingin menahapi wilayah bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada Ulama salafnya. Dan hendaknya melintasi jalan generasi Shufi ini, sebab mereka lebih utama dari yang lain”.
Al Junaid berkata, “Jika anda mengetahui bahwa Allah memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu Tasawuf, di mana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan mencari ilmu tadi”.
************
Adapun tujuan utama mendalami Tasawuf adalah untuk mencapai Ma’rifatullah yang sebenar-benarnya (hakiki), dan faedahnya sampai kepada Allah Ta’ala dengan tersingkapnya hijab (dinding) yang membatasi dirinya yang dhaif dengan Allah Yang Quddus. Jadi bisa dikatakan bahwa tujuan terakhir dan utama dari semua pelaksanaan ibadah seorang hamba adalah mengenal Tuhan yang sebenar-benarnya yang dikatakan sebagai Makrifatullah. Dan dengan mempelajari ilmu Tasawuf itulah merupakan kunci mengenal Allah melalui pengenalan dirinya yang dhaif lagi faqir.
Adapun jalan untuk bermakrifat itu ada 2 cara:
1. Mulazamatudz Dzikri, terus menerus berada dalam dzikir (ingat) akan Alah Ta’ala.
2. Mukhalafa, yakni terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan Allah Ta’ala.
Sebagian ahli Tasawuf berkata: “Permulaan Tasawuf adalah ilmu pengetahuan, pertengahannya kekal mengerjakan ibadah dan akhirnya adalah mauhibiyyah, yaitu turunnya pemberian/ karunia Allah”.
Maka ilmu pengetahuan itu untuk membukakan kehendak. Amal ibadah menolong segala apa yang dimaksud. Dan pemberian (anugerah Allah) menyampaikan kepada apa yang dicita-citakan.
Nama-nama lain ilmu Tasawuf itu antara lain: ilmu Batin, ilmu Qalbi (hati), ilmu Laduni, ilmu Mukasyafah, ilmu Asrar, ilmu Maknun, ilmu Hakikat, dan lain-lain.

Mengapa berTasawuf

Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ فِيْ جَسَدِ ابْنِ أدَمَ مُضْغَةٌ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ لَهَا سَائِرُ الْبَدَنِ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ البَدَنِ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya di dalam jasad anak Adam (manusia) terdapat sepotong daging, yang jika baik, maka baiklah seluruh badan, dan jika binasa (rusak) maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah ia adalah hati”.
Imam al Ghazali Rhm. berkata: “Sesungguhnya jelaslah sudah dengan hadits ini bahwa asal (pangkal) kemuliaan manusia terletak pada hatinya. Ia seperti raja bagi jasad dan seluruh anggota zhahir (selain hati) yang menjadi tentaranya”.
Ketahuilah, wahai saudaraku yang menjalani Thariqat menuju Makrifatullah, bahwa Ahli Shufi itu mengumpamakan hati itu seperti raja, mengumpamakan badan seperti negeri kerajaan dan anggota zhahir (badan) seperti tentaranya. (Yang dimaksud anggota zhahir di sini adalah mata,hidung, telinga, lidah, tangan, perut, faraj dan kaki). Maka jika hati itu baik niscaya baik pula seluruh anggota zhahirnya dan jika baik seluruh anggota zhahirnya itu, sempurnalah badannya. Sebaliknya jika rusak hatinya, niscaya rusak pula seluruh anggota zhahir dan jika rusak seluruh anggota zhahirnya maka rusaklah seluruh badannya.
Yang dimaksud baik hatinya adalah mengerjakan taat batin dan menjauhi segala maksiat yang batin dan yang dimaksud dengan baik zhahirnya adalah mengerjakan taat yang zhahir dan menjauhi maksiat yang zhahir. Taat yang batin itu yaitu melaksanakan sifat-sifat yang terpuji dan perangai yang baik, seperti ikhlas dalam ibadah, zuhud (tidak menggemarkan diri kepada dunia), wara’ (meninggalkan segala yang haram dan syubhat), sabar, syukur, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Maksiat yang batin yaitu segala sifat-sifat yang jelek dan perangai yang jahat, seperti: riya’, ‘ujub, kibir (sombong), ghadhab (marah), hasad, dan sebagainya. Taat yang zhahir yaitu: shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Maksiat yang zhahir, yaitu: berzina, dusta, dan sebagainya.
Jika engkau ditanya: ‘Dengan bagaimanakah caranya agar hati menjadi baik sehingga baik pula segala anggota yang zahir?’ maka jawabnya adalah bahwa hati dapat dijadikan baik dengan mengamalkan Ilmu Thariqat (Tasawuf), membanyakkan dzikrullah, karena hati tiada menjadi baik melainkan dengan menjalani ilmu tareqat ahli sufi (belajar ilmu tareqat kepada ahlinya) mengamalkannya, mengambil talqin dzikir/ bai’at kepada guru mursyid yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah saw – Jibril-Haq Allah SWT Jalla wa ‘Azza, membanyakkan zikir yang diambil mealui talqin zikir dari gurunya itu, mengerjakan seluruh awrad/ ratib dari gurunya tanpa menyalahi aturan thariqat gurunya.
Dan juga hati dapat diperbaiki dengan mempelajari ilmu yang memberi manfaat, seperti yang disebutkan oleh Imam Al Ghazali Rhm Ta’ala dalam Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin, Ihya ‘Ulumuddin, kitab yang al Faqir terjemahkan ini (Siyarus Salikin), Nafahatul Uluhiyyah fii suluki Thariqi al Muhammadiyyah karangan Syeikh Muh. As-Samman, Wali Allah dari Madinah.
Dengan menjalani Thariqat Ahli Sufi ini akan sampailah kepada makrifat Allah yang sebenarnya, inilah yang menjadi kemuliaan dan kelebihan seorang manusia. Karena inilah Imam Al Ghazali berkata di dalam Ihya-nya:
فَشَرْفُ الْإِنْسَانِ وَفَضِيْلَتُهُ الَّتِيْ بِهَا فَاقَ جُمْلَةٌ مِنْ أَصْنَافِ الْـخَلْقِ بِاسْتِعْدَادِ لِـمَعْرِفَةِ اللهِ سُبْحَانَه وَتعَالى الَّتِيْ هِيَ فِى الدُّنيَا جَمَالِه وَكَمَالِه وَفَخْرِه وَفِى اْلأخِرَةِ عُدَّتِه وَذَخْرِه وَأَمَّا اسْتِعْدَادُ لـِمَعْرِفَةِ اللهِ بِقَلْبِه لاَ بِـجَارِحَةِ مِنْ جَوَارِه فَالْقَلْبُُ هُوَ الْعَالَـمُ بِاللهِ وَبِصِفَاتِه وَهُوَ الْعَامِلُ للهِ وَهُوَ السَّاعى إِلىَ اللهِ وَهُوَ الْـمُتَقَرََبُ إِلَيْهِ وَهُوَ الْـمُكَاشِفُ بـِمَا عِنْدَ اللهِ وَلَدَيـْهِ وَإِنَّـمَا الْـجَوَارِحُ أَتْبَاعٌ وَخُدَّامٌ وَالاتٌ يَسْتَخْدِِمُهَا الْقَلْبُ وَ يَسْتَعْمَلُهَا
اسْتِعْمَالَ الْمـَلَكُ لِلْعَبِيْدِ وَاسْتَخْدَامُ الرَّاعى لِرَعِيَّتِه وَالصَّانِعُ لألـَّتـِه

“Kemuliaan manusia dan kelebihannya, yang dengannya mengungguli segala makhluk disebabkan oleh potensi (kemampuan) menuju Makrifat Allah SWT (yakni dengan sebab menjalani thariqat yang menyampaikan kepada Allah) di dunia sebagai keindahan, kesempurnaan, kemegahannya, di akhirat sebagai bekal dan simpanannya. Adapun yang dapat dijadikan sarana menuju makrifatullah adalah hati, bukan anggota tubuh lainnya. Dan hati itulah yang mengetahui keadaan Wujud Allah dan segala Sifat-sifatnya yang Qadim, yang menyebabkan beramal karena Allah, yang menghampiri kepada Allah, yang mendekatkan diri kepada Nya, yang menyingkapkan apa-apa yang ada di HadhiratNya. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya pengikut, pembantu, alat berkhidmah kepada hati, sebagaimana raja, memberikan pekerjaan bagi pelayannya, pemimpin menyuruh kepada bawahannya dan majikan memperkerjakan pegawainya”.
(Ihya Ulumuddin III: 2)
Dan kata Imam al Ghazali:
وَاْلقَلْبُ هُوَ مَقبُوْلٌ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَه وَتعَالى إنَّ سَلَّمَ مِنْ غَيْرِ اللهِ وَهُوَ الْـمَحْجُوْبُ عَنِ اللهِ إِذَا صَارَ مُسْتَغْرِقًا بِغَيْرِ اللهِ وَهُوَ اْلـمُطَالِبُ وَهُوَ الْمُخَاطِبُ وَالْمُعَاتَبُ وَهُوَ الْمُعَاقَبُ وَهُوَ الَّذِيْ يُسْعِدُ بِالْقُرْبِ مِنَ اللهِ فَيُفْلِحُ إِذَا زَكَاهُ وَهُوَ الَّذِيْ يـَخِيْبُ ويَُشْقى إِذَا دَنَسَه وَهُوَ الْـمُطِيْعُ بِالْـحَقِيْقَةِ للهِ تَعَالى وَإِنـَّمَا الَّذِيْ يُنْشِرُ عَلىَ الْـجَوَارِحِ مِنَ الْعِبَادَةِ أنَْوَارِه وَهُوَ الْعَاصِى الْـمُتَمَرَّدُ عَلىَ اللهِ تَعَالى وَإِنـَّمَا السَّارى إِلىَ الأَعْضَاءِ مِنَ الْفَوَاحِشِ آثـَـارِ.
“Hati itu maqbul (diterima) di sisi Allah SWT jika selamat (bersih) dari selain Allah, dan menjadi Mahjub (terdinding/ tertolak) dari Allah, jika ia tenggelam dalam kesibukan dengan selain Allah. Hati itu adalah yang dituntut (untuk berbuat ibadah), yang disuruh (untuk makrifat kepadaNya), yang dicerca/ dimurkai (jika tidak beribadah), yang disiksa (jika berbuat maksiat). Dan hati juga yang menjadi bahagia karena dekat kepada Allah, yang dapat kemenangan jika ia suci (dari segala kejahatan dalam hati), hatilah yang dikenakan kejahatan dan mendapat celaka kalau ia dicemarkan oleh maksiat. Hati pula hakikatnya yang berbuat taat kepada Allah Ta’ala, dan sesungguhnya cahaya hatilah yang menyebabkan segala anggota tubuh berbuat ibadah, demikian pula hati yang jahat menimbulkan maksiat kepada Allah. Karena segala kejahatan anggota zhahir berbekas pada hati yang jahat”.
Dengan sebab itulah para Syaikh Ahlus Shufi bersungguh-sungguh mengetahui (mempelajari) ilmu batin yang menyucikan hati dari segala maksiat batin, yaitu ilmu Tasawuf, yang dinamakan pula Ilmu Thariqat atau Ilmu Suluk. Baik dan jahatanya hati itu tidak dapat diketahui melainkan dengan mengetahui Ilmu Tasawuf.
Muhammad Abduh (W.1905), seorang Mufti Besar & Rektor Al Azhar mengatakan: “Para Shufi berurusan dengan penyembuhan kalbu dan pemurnian dari segala sesuatu yang menghalangi mata batin. Mereka berusaha berdiri tegak dalam Ruh di depan Wajah Kebenaran Yang Tinggi sampai mereka jauh dari segala hal terkeecuali Dia, sehingga zat mereka menyatu dalam ZatNya dan sifat-siat mereka menyatu dengan sifat-sifatNya. Para ahli makrifat di antara mereka, yaitu mereka yang telah mencapai akhir perjallanan mereka, berada dalam derajat yang paling tinggi kesempunaan manusia setelah Nabi”. 
[Wali Sufi Abad 20, hal 100, Martin Lings, yang dikutip dari Maqamat, edisi Badi’uz Zaman al Hamadhani, hal 29.]
Barang siapa mengetahui hatinya, niscaya ia mengetahui nafsunya dan barang siapa mengetahui nafsunya, niscaya ia mengetahui akan Tuhannya, sesuai sabda Nabi SAW:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَه فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
“Barang siapa mengetahui (mengenal) nafsunya niscaya ia mengetahui akan Tuhannya”. (Yakni barang siapa mengetahui hatinya niscaya ia mengetahui nafsunya dan barang siapa mengetahui nafsunya bersifat papa (miskin) maka ia mengetahui bahwa tuhannya bersifat kaya. Dan jika ia mengetahui naffsunya bersifat hina maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Mulia. Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat dha’if (lemah), maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Kuat. Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat tak berdaya niscaya ia mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Kuasa. Barang siapa mengetahui nafsunya bersifat fana (binasa) maka ia akan mengetahui bahwa Tuhannya bersifat Baqa’ (kekal). Barang siapa mengetahui bahwa nafsunya bersifat hadits (baru) maka ia akan mengetahhui bahwa Tuhannya bersifat Qadim, dan seterusnya, sehingga nyatalah berlawanannya sifat hamba dengan Tuhannya. 
[Siyarus Salikin III, hal 2-4]
Imam al Ghazali Rahimahullah mengisahkan pejalanannya:
ثُمَّ إِنِّيْ لَـمَّا فَرَغْتُ مِنْ هذِهِ الْعُلُوْمِ أَقْبَلْتُ بِهِمَّتِيْ عَلى طَرِيْقَةِ الصُّوْفِيَّةِ
وَعَلِمْتُ أَنَّ طَرِيْقَتَهُمْ إنِـَّمَا تَتِمَّ بِعِلْمٍ وَعَمَلٍ وَكَانَ حَاصِلُ عَمَلِهِمْ قَطَعَ عُقُبَاتِ النَّفْسِ وَالتَّنَزُّهِ عَنْ إِخْلاَقِهَا الْـمَذْمُوْمَةِ وَصِفَاتِهَا الْـخُبْثَة حَتّى يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلى تـَخْلِيَةِ الْقَلْبِ عَنْ غَيْرِ اللهِ وَتـَحْلِيَتِه بِذِكْرِ الله
ِ.
“Kemudian sesudah aku menyelesaikan pelajaran-pelajaran ilmu ini, aku menghadapkan keinginanku menurut jalannya orang-orang Tasawuf. Aku mengetahui bahwa jalan mereka itu dapat sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Dan hasil amal itu memotong segala gangguan penghalang hawa nafsu, membersihkan akhlaq yang tercela dan sifat-sifat yang kotor, sehingga berhasil mengosongkan diri selain Allah, mengisinya dengan menyebut Asma Allah”. 
[Ihya’ II: 29]
Sehubungan dengan itu maka berkata Syaikh Abul Hasan as Syadzili Rhm:
مَنْ لـَّمْ يَتَغَلْغَلْ فِيْ هذَا اْلعُلُوْمِ مَاتَ مِصْرًا عَلىَ اْلكَبَائِرِ وَهُوَ لاَيَعْلَمُ
“Barang siapa tiada mempelajari (menyelami) di dalam Ilmu Tasawuf ini, niscaya ia mati dalam keadaan mengekali atas dosa-dosa yang besar, sedangkan ia tiada menyadari (mengetahuinya)”.
[Siyarus Salikin I: 7]

Definisi Tasawuf

Sejak dahulu hingga sekarang telah lahir beraneka ragam makna (definisi) serta uraian penafsiran tentang Tasawuf, baik yang berasal dari Ahli Hakikat (Kaum Shufi sendiri), maupun dari kalangan selainnya dengan bermacam tujuan dan keinginan. Hal demikian dikarenakan Tasawuf merupakan jalan menuju mardhatillah, sebagaimana dikatakan:
الطَّرِيْقُ إِلىَ اللهِ بِعَدَدِ نـُجـُوْمِ السَّمَآءِ أَوْ بِعَدَدِ أَنـفَاسِ الْخـَلَائِقِ
“Thariq (jalan) menuju kepada Allah itu sebanyak bintang di langit atau sebanyak nafas makhluk Allah”.
[Menurut lafazh lainnya: الطَّرِيْقُ إِلىَ اللهِ عَلى عَدَدِ أَنفَاسِ الْخَلاَئِقِ
Beraneka ragam bentuk/ mujahadah dapat dilihat di kitab Siyarrus Salikin II: 237-241 & III 56-57, karya Abdus Shamad al Palimbani al Jawi]
Di antara definisi/ makna Tasawuf itu adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Junaid Al Baghdadi Rhm, bahwa Tasawuf itu adalah membersihkan hati daripada hal/ perkara yang mengganggu pada kebanyakan makhluk, berjuang meninggalkan pengaruh kelakuan bawaan, memadamkan sifat-sifat rendah, menjauhi segala panggilan (seruan) dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat ruhani yang suci, bergantung kepada hakikat, mendahulukan sesuatu yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada sesama, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal Hakikat dan mengikut contoh Rasulullah SAW dalam hal syariat .
Dan lagi berkata Sufi lainnya, yaitu Syaikh Ma’ruf al Karkhi Rhm : “Tasawuf adalah mengambil hakikat, dan putus asa dari apa yang ada dalam tangan sesama makhluk”
Abu Muhammad al Jurairi Rhm mengatakan: “Tasawuf adalah masuk ke dalam akhlak menurut contoh yang diwariskan Nabi dan keluar dari akhlak yang rendah”.
Abu Ali Ahmad ar Ruzbari Rhm barkata: “ Seorang shufi ialah yang memakai kain shuf untuk membersihkan jiwa, memberi makan hawanya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat duduk dan berjalan (suluk) menurut apa yang dicontohkan Rasulullah Al Mushthafa SAW”.
Dan sebagai inti daripada Tasawuf itu adalah merupakan ilmu menggali hati agar terpancar darinya sumber mata air kehidupan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik jalannya orang-orang terpilih baik awal maupun akhir. Itulah sumber mata air keutamaan yang tiada habis dikuras dan digali, tempat lahirnya kehidupan dan terbitnya cahaya hati para ‘Arifin, serta ruhaniyah yang suci.
Tasawuf sebenarnya merupakan thariqah untuk menuju pemurnian jiwa, untuk mencapai kepatuhan sejati pada kebenaran wahyu Ilahi yang diturunkan atas Rasul-Nya, untuk mendorong agar menjalankan perintah Syari’at dengan tulus, dan menumbuhkan kepatuhan yang mutlak, yang tidak mementingkan diri, tiada demi keridhaan Allah. Ia adalah jalan untuk menjadi hamba Allah yang tulus dan bersungguh-sungguh. Dan Tasawuf bukanlah untuk melakukan hal-hal misterius, atau untuk mengagungkan pemujaan.
Ja’far As Shadiq Rhm berkata: “Aku telah berteman dengan 400 orang shufi, kutanyakan kepada mereka 4 masalah, tiada seorangpun yang dapat menjawabnya. Karenanya aku merasa kesal dan pada malam harinya aku bermimpi bertemu Nabi SAW, kutanya keempat masalah itu. Kutanyakan apa dan bagaimana hakikat tauhid, bagaimana definisi akal, apa artinya Tasawuf dan apa hakikat faqir”. Rasulullah menjawab: “Hakikat tauhid itu apa yang terlintas dalam hatimu adalah baharu dan fana. Sedang Allah berbeda dengan yang seperti itu, karena Dia tidak sama dengan yang baharu. Mengenai definisi akal sekurangnya meninggalkan kemewahan dunia dan lebih dari itu meninggalkan memikirkan Zat Allah. Definisi Tasawuf adalah meninggalkan penyabdaran sesuatu kepada makhluk dan menyembunyikan segala rahasia. Hakikat faqir adalah tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu. Dan yang dimaksud tidak memiliki sesuatu yakni tidak memandang apa yang ada pada tanganmu menjadi milikmu, tetapi engkau pandang hanya titipan Allah jua dan Allah dapat mengambilnya sewaktu-waktu. Dan maksud bukan dimiliki oleh sesuatu yakni hatimu tiada cenderung kepada sesuatu, baik kemewahan dunia maupun nikmat akhirat, dan hanya yang menjadi tumpuan hati kepada Allah.
Secara umum Tasawuf itu bisa disederhanakan menjadi:
وُقُوْفُ أَدَبُ الشَّرْعِيَّةِ ظَاهِرًا وَّبَاطِنًا وَّأَدَبُ الألُوْهِيَّةِ
“Mempertahankan adab syari’at dan Ilahiyyah baik zhahir maupun batin”.

Kisah Salman al Farisi

Berkata Salman, “Ketika aku sampai di Syiria aku bertanya, “Siapakah orang yang terkemuka dalam agama ini?” Jawab penduduk: “Seorang Uskup dalam gereja itu”. Aku datangi Uskup itu dan kukatakan kepadanya: “Aku senang agama ini dan aku ingin bersamamu, membantumu dalam gerejamu agar aku dapat belajar dari kau dan sholat bersamamu”. Uskup itu berkata: “Masuklah ke dalam gerejaku”.
Uskup itu ternyata adalah seorang jahat. Ia menyuruh orang untuk bersedekah. Setelah orang berusaha mengumpulkan harta kepadanya, harta itu disimpan untuk dirinya, tidak diberikan kepada fakir miskin. Harta itu dikumpulkannya sampai mencapai tujuh karung emas dan uang kertas.
Aku sangat benci sekali menyaksikan perbuatan Uskup itu. Ketika ia meninggal semua kaum Nasrani datang untuk menguburkannya. Aku beritahukan pada mereka, “Uskup ini adalah orang jahat, ia menyuruh kalian untuk bersedekah. Namun jika kalian sedekah padanya, ia menimbunnya untuk dirinya sendiri, tidak diberikan pada fakir miskin”. Tanya mereka: “Siapa yang memberitahukan hal itu kepadamu?” Aku jawab: “Aku bersedia menunjukkan tempat timbunannya”. Jawab mereka: “Baik, tunjukkan kami tempat timbunannya”. Setelah aku tunjukkan mereka tempat simpanannya, mereka keluarkan harta sedekah yang berupa emas dan uang kertas itu dari tujuh karung tempat simpanannya. Mereka marah dan berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya”. Kemudian mereka salib jenazah itu dan melemparinya dengan batu. Kemudian mereka mengangkat seorang Uskup baru untuk menggantikan kedudukan Uskup lama.
Kisah Salman selanjutnya, “Aku tidak pernah melihat seorang yang rajin mengerjakan ibadah-ibadah lebih dari padanya. Aku lihat Uskup ini lebih baik dari Uskup lama dan tidak pernah kulihat seorang yang Zuhud terhadap dunia dan senang terhadap akhirat dan tidak seorang yang baik budinya baik pada siang hari maupun malam hari lebih daripadanya. Aku sangat suka padanya dan aku bersamanya beberapa waktu sampai tiba saat kematiannya. Waktu dekat kematiannya aku berkata kepadanya, “Hai fulan, aku lama bersamamu dan aku sangat menyenangimu, tidak ada seorang yang kusenangi lebih daripadamu, kini ajalmu hampir tiba, karena itu aku mohon kepada siapakah aku ini kau pesankan dan apa yang hendak kamu suruhkan padaku?” Jawab Uskup itu: “Hai anakku, demi Allah tidak seorangpun kini yang kulihat yang tetap lurus seperti aku. Orang baik telah banyak yang meninggal dan agama banyak diubah dan ditinggalkan orang kecuali ada seorang yang aku tahu ia masih seperti aku. Orang itu berada di Moushil. Aku berharap engkau pergi kepadanya”.
Setelah Uskup itu wafat aku pergi ke Moushil. Sesampaiku di sana aku berkata pada Uskup di Moushil itu, “Hai fulan, aku dipesankan oleh Uskup fulan waktu dekat ajalnya untuk pergi kepadamu, dan ia mengabarkan padaku bahwa kamu masih sepertinya”. Jawab Uskup Moushil itu, “Tinggallah kamu bersamaku”. Maka tinggallah aku bersamanya. Selama itu kukenal ia sangat baik sekali dan masih lurus seperti Uskup yang lalu.
Waktu ajalnya tiba aku berkata, “Hai fulan, Uskup fulan menyuruhku untuk pergi kepadamu dan aku telah datang padamu, kini seperti yang kami ketahui ajalmu hampir tiba. Karena itu sebelum ajalmu tiba kuharap pesanmu, kepada siapakah aku harus pergi dan pesan apakah yang hendak kamu berikan padaku?” Jawab Uskup itu, “Hai anakku, tidak seorangpun yang kulihat masih lurus di masa ini kecuali hanya seorang yang berada di Nasibain. Aku harap kamu datang pada orang itu”. Setelah Uskup Moushil itu mati aku pergi menemui Uskup Nasibain dan kusampaikan padanya pesan Uskup Moushil. Jawab Uskup Nasibain itu, “Tinggallah bersamaku”. Selama aku tinggal bersamanya aku dapatkan Uskup ini sangat baik dan lurus. Namun tak lama Uskup itu meninggal dunia. Sewaktu mendekati ajalnya aku katakan padanya, “Hai fulan, Uskup fulan memesankan padaku untuk datang kepadamu sebelum ia meninggal dan aku telah melaksanakan perintahnya. Kini seperti yang kamu ketahui ajalmu akan tiba. Karena itu aku harap kepada siapakah aku kamu pesankan dan pesan apakah yang kamu tinggalkan untukku?” Jawab Uskup Nasibain, “Hai anakku, tidak ada seorang pun yang lurus di masa ini lebih dari seorang yang berada di Amuriah. Karena itu aku harap kamu pergi padanya”.
Setelah Uskup Nasibain itu meninggal aku pergi ke Amuriah dan menemui Uskup Nasibain padanya. Uskup Amuriah itu menyuruhku tinggal bersamanya. Selama itu aku dapatkan Uskup itu sangat baik dan lurus sekali. Dan aku pun juga bekerja sampai aku punya beberapa ekor sapi dan kambing. Waktu ajal Uskup itu hampir tiba kukatakan padanya, “Hai fulan, aku telah dipesankan oleh Uskup fulan untuk berada di sampingmu. Pesan itu telah kulaksanakan. Kini seperti yang kamu ketahui bahwa ajalmu hampir tiba. Karena itu kepada siapakah kamu pesankan aku dan pesan apakah yang kamu tinggalkan untuku?” Jawab Uskup itu, “Hai anakku, tidak seorangpun yang lurus yang patut kamu datangi. Hanya saja kini telah tiba saat diutusnya seorang Nabi. Ia datang dengan membawa agama Ibrahim. Ia diutus di tanah Arab dan akan berhijrah ke suatu tempat yang dikelilingi dua gunung batu yang penuh dengan kebun kurma. Ia mempunyai tanda yang terang, ia mau makan sesuatu yang dihadiahkan dan ia menolak sedekah. Di antara dua bahunya terdapat Khatimun Nubuwwah. Karena itu jika kamu dapat pergi ke negeri itu kerjakanlah”. Dan seterusnya.
(Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Ibnu Abbas yang berasal dari Salman. Juga diriwayatkan oleh al Hakim dalam Mustadraknya. Dengan sanad yang kuat dan perawi-perawinya yang tidak diragukan kejujurannya. Maka kisah di atas merupakan kisah yang paling kuat sekali untuk dijadikan bukti tentang keadaan zaman jahiliyyah dan keadaan perkembangan agama. Lihat pula kisah ini dalam Hayatu Muhammad, Husein Muh. Haikal.)