DALAM KITAB ‘UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-‘ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-‘ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM.
Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.
Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.
Senin, 17 November 2008
PETIKAN-PETIKAN UCAPAN SYEKH ABDUL AZIZ AD-DABBAGHRA.
DALAM KITAB ‘UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-‘ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-‘ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM.
Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.
Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.
Tokoh ‘Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-‘Arifin Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:
“Orang-orang yang sudah mencapai tingakat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan”.
“Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai ‘ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta’ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus”.
************
“Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana’, niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo’a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam”.
Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.
Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi ‘ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi ‘ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang ‘ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).
Oleh karena itu, seorang ‘Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.
Kami memohon kepada Alah Ta’ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.
************
Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan ‘Ar-Raji’ dan ‘Bi’r Ma’unah’. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta’ala melihat sikap Nabi kita Saw.
************
“Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya”.
************
“Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta’ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta’ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya”.
“Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan ‘kurma’ dan hendak memilih ‘bara’”.
“Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.
Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.
Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya”.
************
“Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.
Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.
Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya”.
************
Suatu ketika Beliau pernah ditanya: “Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al’Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?”
Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?
Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?
Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?
Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:
Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta’ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.
Manakala Allah Ta’ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa ‘penglihatan-penglihatan’ (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti ‘penglihatan’, lalu persoalan ‘penglihatan’ itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.
Jadi, hijrah melalui Thariqah ‘Syukur’ merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah ‘Riyadhah’ adalah ditujukan untuk memperoleh ‘penglihatan’ dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.
Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.
Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah ‘Syukur’ adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur ‘riyadhah’ (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta’ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta’ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.
Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh”.
………………………………..
Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.
Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah ‘Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta’ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta’ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh ‘penglihatan’ yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah ‘Syukur’. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.
Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat ‘Rabbani’. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.
Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).
………………………………..
Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.
Menyangkut pertanyaan Anda ‘Apakah memungkinkan untuk dilakukan oleh orang yang sama?’ (Artinya memadukan dua Thariqah secara bersamaan)
Jawabnya: Itu mungkin saja. Sebab salah satu dengan yang lain tidak saling bertolak belakang. Jadi memungkinkan bagi seseorang untuk menambatkan hatiya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segenap gerak dan diamnya, sementara mempergunakan saran lahiriyyah untuk bermujahadah dan riyadhah. Allah- lah yang lebih mengetahuinya”.
************
Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.
Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.
Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.
Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.
Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.
Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat”.
Dikutip dari terjemah Buku ‘Wali, Karomah dan Thariqah’, dalam pandangan Al-Habib Alwi b. Thahir al-Haddad. Penerbit Hayat Publishing.
Langganan:
Postingan (Atom)