Memang di alam semesta ini terdapat sumber2 radioaktivitas natural yang senantiasa memapar tubuh kita sepanjang masa. Di angkasa ada sinar kosmis yang membanjiri kita dengan proton dan neutron energetik yg tetap kedeteksi hingga kedalaman 100 m dari permukaan laut, di Bumi ada radioisotop U-235, U-238, Th-232 dan K-40 yang menjadi penggerak lempeng2 tektonik. Juga radioisotop Radon-222 di permukaan Bumi dan memiliki konsentrasi terbesar hingga ketinggian 1 m dari permukaan tanah. Peradaban manusia menambahkan sumber radiasi natural itu dengan sinar X untuk kesehatan (termasuk dari CT scan), sisa fall-out produk eksperimen detonasi senjata nuklir atmosferik tahun 1945 - 1963 serta radiasi sinar X bremsstrahlung dari tabung sinar katoda (banyak dipake di televisi dan komputer).
Seluruh sumber itu menghasilkan dosis radiasi rata-rata yang diterima manusia sebesar 0,3 person-rem/tahun untuk yang tinggal di AS. Inilah yang dikenal sebagai background radiation.
Nah, PLTN berdaya 1.000 MWe menghasilkan dosis radiasi rata-rata 4,8 person-rem/tahun sementara PLTU berdaya sama menghasilkan dosis rata-rata 490 person-rem/tahun, juga untuk kasus AS. Kedua angka ini secara statistik tentu berbeda dengan level 0,3 person-rem/tahun dari background radiation sehingga sudah bisa diklasifikasikan ke dalam kontaminasi nuklir meski dalam taraf rendah.
Apakah kontaminasi nuklir dalam taraf rendah ini bisa berbahaya?
Tergantung pada sumber radiasinya. Sumber radiasi alfa (yakni yang memancarkan partikel alfa) berpeluang lebih bermasalah jika tertelan ke dalam tubuh dibandingkan sumber radiasi beta maupun gamma. Musababnya meski jarak tempuh sinar alfa di udara (dalam suhu kamar) sangat pendek, demikian pula jika di dalam tubuh, namun daya ionisasinya sangat besar sehingga sepanjang lintasannya bisa terbentuk puluhan ribu pasangan ion positif dan elektron bebas secara serentak, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya radikal bebas.
Peluang ini akan berubah menjadi realita bila kita "memasukkan" sumber radiasi alfa ini secara kontinu ke dalam tubuh sehingga terdapat akumulasi yang suatu saat kemudian melampaui kemampuan tubuh mengekskresikan partikulat ini keluar.
Kondisi seperti ini nampak dengan telanjang pada kasus perokok. Rokok diketahui mengandung radiosiotop Polonium-210 (pemancar sinar alfa berenergi 5 MeV dan umur paruh 139 hari) meski aktivitasnya cukup rendah (3 - 5 mili Becquerel/batang) . Ini sangat kecil dibandingkan dengan ambang batas dosis mematikan Polonium-210 untuk manusia berbobot 80 kg yang sebesar 148 juta Becquerel (4 mili Curie). Namun aktivitas merokok membuat Polonium-210 terhirup dan terdepositkan ke dalam paru2 tanpa bisa diekskresikan secara langsung oleh tubuh mengingat sifatnya sebagai logam berat dan memiliki sifat kimiawi mirip Oksigen sehingga tidak bisa diikat oleh CO2 maupun ion HCO3- (kecuali ada perlakuan khusus dengan meminum pil EDTA misalnya, itupun diragukan apa bisa melakukan Polonium removal di paru2). Jika perokok yang bersangkutan mengkonsumsi rata-rata 2 bungkus rokok/hari selama lima tahun tanpa terputus, akumulasi Polonium-210 nya sudah cukup mampu menghasilkan perubahan abnormal pada alvoeli. Dan jika konsumsi terus berlanjut tanpa terputus, maka dalam masa 10 - 15 tahun sejak awal menjadi perokok, perokok yang bersangkutan sudah sangat berpotensi menderita kanker paru-paru, seperti nampak pada penelitian di Brazil (berdasarkan tembakau setempat). Jika konsumsi dikurangi menjadi 1 bungkus rokok/hari tanpa terputus, maka baru dalam 25 - 30 tahun kemudian potensi menderita kanker paru-paru mulai muncul.
Kondisi sejenis juga dapat dijumpai pada kasus paparan gas Radon-222, pemancar sinar alfa berenergi 5 MeV dan jauh lebih aktif daripada Polonium-210 karena umur paruhnya hanya 3,5 hari. Gas ini banyak terjebak di deposit batubara dan fosfat (sebagai hasil peluruhan U-238), di zona2 retakan/patahan di permukaan Bumi dan pada daerah2 tertentu yang batuan penyusunnya memiliki konsentrasi Uranium lebih besar dari rata2. Radon ini densitasnya besar sehingga hanya mampu melayang maksimum 1 m dari permukaan tanah. Di AS terdapat korelasi signifikan antara banyaknya kasus kanker paru-paru di Pennsylvania dengan tingginya konsentrasi Radon-222 disini. Melelehnya sebagian reaktor Three Mile Islands-2 di Pennsylvania pada 28 Maret 1979 ternyata justru tidak berdampak signifikan pada kanker paru-paru.
Nah, bagaimana dengan radioisotop dari PLTU ?
Dari data yang sedikit dibocorkan pak Muhammad Subekti, dalam tiap kg abu hasil pembakaran batubara di PLTU terdapat U-235 170 Becquerel, Th-232 87 Becquerel dan Ra-226 105 Becquerel. Semuanya adalah pemancar sinar alfa, dengan aktivitas terkuat pada Radium-226, meskipun tidak sekuat Polonium-210. Dan ketiga radioisotop tersebut juga tergolong logam berat, yang jika terhirup ke dalam paru-paru sulit diekskresikan dibandingkan dengan tertelan ke saluran pencernaan.
Nah, adakah ketiga radioisotop dalam abu terbang batubara ini berpengaruh kepada penurunan kualitas kesehatan masyarakat di sekitar PLTU di Indonesia dalam jangka panjang, terutama dalam peningkatan prevalensi kanker paru-paru? Ini yang belum ada jawabannya. Terlebih kita tahu betapa buruknya sistem data di sini sehingga sangat sulit mencari data penyakit secara spasial dan temporal. Padahal, dari ketiga radioisotop tadi total aktivitasnya mencapai 362 Becquerel, alias setara dengan 0,0098 mili Curie/ton. Dan jika dianggap tidak ada massa radioisotop yang hilang dalam pembakaran, tak ada proses pemekatan dan kita bandingkan aktivitas radiasi batubara Indonesia dengan standar EPA (0,0043 mili Curie/ton batubara), maka batubara kita 2 kali lipat lebih radioaktif.
So, persoalan radiasi dari PLTU bukanlah ilusi, tapi realitas. Dan bagaimana dampaknya itulah yang perlu diteliti lebih lanjut dan diantisipasi oleh yang berwenang, terutama Depkes dan institusi2 litbang kesehatan lainnya. KMNLH dan Ristek juga perlu turun tangan di sini untuk mengatur regulasi, kewajiban penggunaan filter dan zona2 eksklusi sebagaimana yang telah diterapkan dalam PLTN. Jika zona2 eksklusi ini diadakan, so dengan teknologi nuclear waste removal seperti misalnya fitoremediasi yang murah meriah dan efisien itu, maka radioisotop yang masih bisa lolos dari filter bisa 'ditangkap' oleh tanaman2 tertentu di zona eksklusi untuk disimpan didalamnya dan kelak tanaman ini akan diolah sebagai limbah (nuklir) padat. Ini perlu diperhatikan terlebih jika kebijakan percepatan pembangkit 10.000 MWe yang berbasis batubara jadi direalisasikan.
Radioaktivitas Rokok
Kalau merujuk US Department of Health, Division of Radiation Protection 2002, sinar kosmis menghasilkan dosis 26 mrem/tahun. Radioisotop di permukaan Bumi menyumbang 29 mrem/tahun. Gas Radon di atmosfer memberikan kontribusi terbesar, yakni 200 mrem/tahun. Tubuh manusia sendiri memancarkan radiasi (dari Karbon-14 dan Kalium-40) sebesar 40 mrem/tahun. Sinar X kesehatan memberikan 39 mrem/tahun. Aktivitas kedokteran nuklir memberikan 14 mrem/tahun. Instrumen elektronik (TV, komputer) memberikan 11 mrem/tahun. Dan sisa ledakan nuklir (fall out), reaktor nuklir, pesawat terbang dll memberikan 2 mrem/tahun. Sehingga total dosis yang diterima tiap manusia di AS secara rata-rata adalah 361 person mrem/tahun atau 0,3 person rem/tahun (1 rem = 1.000 mrem). Dengan catatan ia tidak merokok.
Dalam PLTN berdaya 1.000 MWe dosis radiasi yang muncul mencapai 4,8 person rem/tahun. Namun pemerintah AS membatasi agar pekerja PLTN dan sektor nuklir lainnya hanya menerima dosis maksimum sebesar 100 person mrem/tahun saja. Sementara dalam PLTU berdaya 1.000 MWe yang menghasilkan radiasi 100 kali lebih besar (yakni 490 person rem/tahun), belum ada kebijakan yang sama.
Dalam kasus rokok, radioisotop Polonium-210 dalam rokok menambahkan dosis ekivalen sebesar 29,1 person rem/tahun untuk manusia perokok. Dalam jaringan epitel paru-parunya didapatkan dosis sebesar 6,6 - 40 person rem/tahun sementara pada bronchiolus-nya sebesar 1,5 person rem/tahun.
So, dengan patokan 100 person mrem/tahun bagi pekerja sektor nuklir, kita mendapatkan pekerja PLTU dan para perokok menerima paparan radiasi berkali-kali lipat lebih besar. So, bisa diduga bahwa lebih banyak orang yang mati akibat radiasi rokok atau PLTU (karena mereka benar2 tidak terlindungi) dibanding pekerja sektor nuklir. Dan kalo kita mau ekstrim lagi, orang2 di kawasan sekitar Semenanjung Muria itu (Kudus - Pati - Jepara), yang banyak pabrik rokok dan konsumennya itu, sebenarnya sudah mengonsumsi radiasi jauh-jauh hari bahkan sebelum PLTN dibangun.
Dan sejauh ini, tak ada tindakan apapun dari rezim apapun yang pernah berkuasa di Indonesia. Mungkin saja Bu Menkes dan pak direktur PLN lebih memilih sikap seperti pejabat Pacific Gas & Electric dalam kasus cemaran ion Cr6+ di Kota Hinkley, yang memunculkan nama Erin Brokovich, dengan mengguman : "asap itu memang beracun, namun tak perlu dibicarakan dengan tetangga..."
salam, Ma'rufin Sudibyo