Jumat, 14 Desember 2007

UNTUNG TIDAK KETEMU NABI!

Ketika saya mendengar orang bermadah yang isinya ingin dipersembahkan kepada Nabi Muhammad Saw, saya semula bertanya ‘mengapa hanya sebuah madah?’ Karena apakah sepadan pengakuan cinta hanya dibuktikan dengan seuntai kata-kata? Akhirnya saya berfikir luwes ‘lebih baik hanya madah (syair) yang berisi dengan kata-kata daripada ungkapan kata-kata yang hanya mengaku cinta tapi tak ada realisasi (bukti)’.
Sesungguhnya kita beruntung tidak dipertemukan dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Sekali Lagi saya katakan: ‘UNTUNG KITA TIDAK KETEMU DENGAN NABI MUHAMMAD!’
Kagetkah kita mendengar pernyataan tersebut? Mungkin saja. Karena umat Islam sekarang ini sedang dilanda kerinduan berat kepada Nabi. Banyak penyanyi atau grup Band di ‘musim Ramadhan’ latah menjadi santri mendendangkan lagu-lagu cinta kepada Rasul. Masayarakat dihanyutkan kepada muara Cinta kepada Rasul. Ada sebuah lagu yang sering didendangkan anak-anak kita:
Alangkah indahnya hidup ini jika kutatap wajahmu!
Yaa Rasulullah Yaa Habiballah, tak pernah kutatap wajahmu!
Yaa Rasulullah Yaa Habiballah, kami rindu padamu! (Jeffry al-Bukhary)
Kalau kita berada satu masa dengan Nabi Muhammad saya khawatir kita tidak mampu menjaga sikap kita kepada Beliau Saw. Orang yang berpenampilan ‘mirip’ Nabi Muhammad saja diperolok. Kita merasa risih atau alergi dengan penampilan Nabi Muhammad, bagaimana mungkin kita bisa mengungkapkan keinginan bertemu dengan Beliau?
Kamu berpakaian Arab begini!? Nggak zaman!! Jangan telalu berlebihan! Olokan yang mirip seperti orang Quraisy dahulu: Kok Nabi gak bisa baca tulis sih?! Jangan banyak cerita dongeng atau omong kosong deh!
Dahulu, perkataan Sang Rasul dianggap remeh umatnya, apakah kita bisa menjamin tidak bersikap demikian apabila hidup semasa dengan Beliau? Pernah kaum Quraisy mencemooh undangan Beliau, ‘wahai Muhammad, apakah cuma karena hal ini aja (mendengarkan ceramah) kami dikumpulkan?’
Kelakuan yang telah dilakukan orang-orang Jahiliyyah Quraisy jangan-jangan juga kita lakukan terhadap Nabi Muhammad Saw. Jangankan kita mau mendengar, melihat penampilan ‘mirip’ Nabi Muhammad saja kita risih.
Pantas saja umat ini tidak mengenal Pewaris Nabi yang dimandatkan Rasulullah Saw pada masa ini, karena mereka ‘buta’ karena seleranya sendiri. Ingin mewujudkan negeri yang berkhilafah saja mesti dengan kriteria yang mereka buat sendiri, bukan menurut pilihan Allah. Mereka berani mati untuk membela pelecehan kartun Nabi, tapi mereka tidak berani mati untuk seseorang yang telah dimandatkan Nabinya.
اللهم اغفر أمة سيدنا محمد اللهم ارحم أمة سيدنا محمد
UNTUNG KITA TIDAK MELIHAT NABI MUHAMMAD!!



Sabtu, 08 Desember 2007

Kisah-kisah

Pada suatu bulan Desember di Konya, Maulana Rumi Ra. Memasuki hujrah-nya (ruang kecil tempat meditasi) untuk melaksanakan sholat malam. Saat waktu sholat fajar tiba, ia tidak muncul. Para pengikutnya menjadi bertanya-tanya karena selama dua puluh tahun Maulana tak pernah absen melakukan sholat berjama’ah bersama mereka. Ketika waktu sholat berlalu dan para murid bertambah gelisah, akhirnya seseorang memutuskan untuk membuka paksa pintunya. Di dalam, mereka terkejut menemukan Maulana dengan janggutnya membeku menempel di lantai, sedang berjuang membebaskan dirinya. Dalam do’a-do’anya, ia mulai menangis demikian banyaknya sehingga terjadi genangan air mata, dan sujudnya begitu panjang di musim dingin sehingga air mata itu membeku, menjerat janggutnya.
Manshur Al Hallaj Ra. Terkenal dalam sejarah tashawuf karena dinyatakan bersalah menyalahi apa yang menjadi orang Salaf. Namun, ia benar-benar diadili dan hukuman dengan tuduhan membuka rahasia-rahasia Tuhan yang telah didengarnya secara diam-diam dari saudara perempuannya, seorang wanita shufi. Pengadilan itu berlangsung selama 8 tahun. Ketika Manshur al Hallaj duduk menanti eksekusinya pada Minggu terakhir hidupnya, ia melewati waktunya dengan melaksanakan sholat secara tepat waktu, dan pada hari terakhir hidupnya ia melaksanakan 500 raka’at sholat.
Kaum shufi adalah pendukung sholat yang paling kuat. Ada suatu cerita tentang Hazrat Abdul Qadir Jaelani Ra. Pada suatu pagi ia hampir saja kelewatan waktu sholat Shubuh. Seekor kucing datang ke sampingnya ketika ia tertidur lalu mulai menyentuh-nyentuhnya sampai ia bangun. Sadar akan keterlambatannya, Abdul Qadir Ra. cepat-cepat mengerjakan sholat dua raka’atnya. Ketika ia selesai, ia memandang kucing tersebut, dan dengan pandangan spiritualnya ia melihat bahwa kucing itu sebenarnya jelmaan syetan. Hal ini membingungkan orang shufi besar itu. Maka ia bertanya, “Aku tahu kau adalah syetan, mengapa engkau bangunkan aku untuk sholat fajar”.
Si kucing menjawab, “Anda memang saleh dan pandai persis seperti yang dikatakan sesama setanku. Karena Anda telah mengetahui saya, maka saya juga akan memberitahu Anda. Saya tahu bahwa jika Anda terlewat sholat wajib, Anda akan mengerjakan seratus raka’at sebagai gantinya, maka saya bangunkan Anda agar hanya mendapat keuntungan dari dua raka’at”. 
Penyembuhan Para Shufi, Mu’inuddin Chisty.
************

Dua malaikat yang sedang turun dari langit bertemu di perjalanan.
“Aku turun ke dunia untuk suatu urusan yang aneh. Allah memerintahkanku untuk menggagalkan sesuatu yang telah lama diangan-angankan oleh salah seorang Waliyullah. Ia pun kemudian mati tanpa merasakan yang diidam-idamkannya,” kata malaikat yang pertama.
“Adapun aku, aku turun ke bumi juga untuk suatu urusan yang aneh yang bertentangan dengan tugasmu. Ada seorang kafir yang menginginkan jenis ikan yang hanya terdapat di suatu lautan tertentu. Letak lautan itu terpisah oleh 7 lautan dari tempat si kafir. Allah memerintahkanku untuk membawa ikan itu ke lautan si kafir dan meletakkannya ke dalam jarring seorang nelayan. Sehingga nelayan itu kemudian dapat menjualnya si kafir. Orang kafir itu telah menawarkan kepada para nelayan bahwa siapa saja yang mempunyai jenis ikan ini akan dibelinya dengan harga berapa saja,” ucap malaikat yang kedua.
Tak lama kemudian turun malaikat yang ketiga dari langit. “Janganlah kalian merasa heran. Allah memerintahkanku untuk menceritakan perihal kedua orang itu kepada kalian. Sang Wali itu pernah bermaksiat kepada Allah sekali,maka Allah tidak memenuhi keinginannya agar kekecewaannya dapat menghapus dosa maksiat yang dilakukannya, sehingga di akhirat nanti ia seakan-akan tidak pernah memiliki dosa. Adapun si kafir, ia telah berbuat kebajikan. Allah memberikan balasan di dunia agar di akhirat nanti ia tidak memiliki kebaikan sama sekali, sehingga hanya nerakalah yang pantas baginya,” jelas malaikat ketiga. 
Tuhfatul Asyraf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman as Segaf.

Adab dengan Syekh

Menuntut Karamah dari Syekh
Di antara adab murid kepada Syekh adalah selalu memelihara adab kepada Syekhnya dan tidak menuntut karamah darinya, kejadian-kejadian luar biasa, penyingkapan, dan sebagainya. Barang siapa manuntut karamah dari Syekhnya hingga ia menurutinya, maka sekarang ia tidak lagi mempercayai Gurunya sebagai bagian dari orang-orang yang mengetahui jalan Ahlullah.
Syekh Abul Abbas al-Mursi Ra. berkata, ‘Berhati-hatilah, wahai muridku, agar engkau jangan meminta karamah dari Syekhmu hingga engkau mengikutinya dalam perintahnya dalam kebaikan dan larangannya dari kemungkaran. Meminta karamah darinya adalah adab yang buruk dan hal itu merupakan bukti keraguanmu dalam Islam, karena sesuatu yang diserukan Syekhmu kepadanya bukanlah yang ia syariatkan. Akan tetapi Rasulullah Saw mensyariatkannya, dan ia hanya pengikut, bukan yang diikuti. Sekiranya rahmat Allah tidak mendahului kermukaan-Nya, tentulah semua orang yang menentang perintah penyeru pada kebaikan akan binasa seketika itu juga’.
Berkeinginan dekat dan beradab dengannya
Pada suatu hari Syekh Abul Hasan asy-Syadzili Ra. berkata kepada muridnya Abul Abbas al-Mursy,
‘Wahai Abul Abbas, aku tidak menyertaimu kecuali engkau menjadi aku dan aku menjadi engkau’.
‘Engkau harus menahan diri dari mengunjing Syekhmu, sekalipun ia mengusirmu. Teruslah mendekatinya, karena para Syekh yang tidak menyukai seorang Muslim bukanlah disebabkan oleh dorongan naafsunya. Hal itu dilakukan karena untuk memberikan pembelajaran’.
‘Kalau seorang murid mengetahui rahasia-rahasia yang dimiliki Syekhnya, maka ia akan patuh kepadanya dan tidak dapat menjauh sekejap matapun, serta ia rela menempuh jalan yang panjang karena tekad dan keinginannya yang kuat’.
Syekh Abul Abbas Ra. berkata, ‘Aku pernah tinggal di Babul Bahr di Mesir. Setiap hari, aku pergi ke Iskandariyah dan di siang hari aku kembali. Aku membacakan kitab Khatm al-Awliya, karya Hakim at-Turmudzi kepada Syekh Abul Hasan’.
‘Jika seorang murid mendengar sesuatu dari Gurunya dan takut lupa, maka sebaiknya ia menitipkannya kepada Allah, karena titipan yang ada di sisi-Nya tidak akan hilang. Orang yang berilmu sebaiknya melakukan hal tersebut bila takut lupa pada hukum-hukum syariat agar orang-orang dapat memanfaatkannya’.
‘Murid yang tidak mampu memahami ucapan Syekh-nya hanyalah disebabkan kebodohannya dan tebal hijab (penghalang pada dirinya). Oleh karena itu ia wajib mengilapkan cermin hatinya dan tidak mengatakan kepada Gurunya, ‘Jelaskanlah jawabannya padaku!’ Ini tidak berguna dalam Tarkat kaum Shufi. Sebab, mereka tidak merasa puas dengan ilmu. Mereka mencari dzauq (rasa) dengan batin untuk menyelaraskan lidah dan hatinya serta keluar dari sifat kemunafikan’.
‘Kalian harus memelihara adab kepada Guru kalian, walaupun ia menyenangi kalian, karena hati para Wali bagaikan hati para Raja yang dapat berubah dari santun menjadi marah dalam waktu singkat. Jika perasaan Wali menjadi sempit, maka orang yang menyakitinya binasa pada waktu itu juga. Jika sedang lapang, maka ia mampu memikul penderitaan yang ditimpakan golongan jin dan manusia’.
Kutipan Kitab Lawaqihul Anwar al-Qudsiyyah, Syekh abul Mawahib Asy-Sya’rani Qs.

Kamis, 22 November 2007

Obat Mata yang Paling Ampuh

Oleh: Vikar
Mata merupakan salah satu indera vital bagi manusia, dengannya kita dapat melihat dengan jelas mana yang lebih baik dari yang buruk, tanpanya kita akan merasakan ketidak-sempurnaan sebagai manusia, dan salah dalam menggunakannya akan membuat kita melihat dalam kebutaan.
Secara phisikologis dan sufis (mistis), seseorang dapat dinilai melalui matanya, karena mata adalah pancaran dan cerminan dari apa-apa yang ada di dalam hati, meskipun mulut dapat berkata lain namun mata tetap tidak dapat menyembunyikan dan menutupinya. Dalam kedokteran pun tidak heran jika kita akan jumpai seorang dokter yang memeriksa penyakit pasiennya melalui mata.
Berkembang pesatnya peradaban manusia akan membuat mata mudah terjangkiti oleh virus-virus peradaban yang mengakibatkan kerusakan atau kaburnya penglihatan dan sebagainya, meskipun secara dzahirnya terlihat baik, sehat dan kedua mata masih berfungsi normal, akan tetapi secara batiniahnya adalah layu dan tidak sehat. Saya menyadari, sebagian besar orang belum mengetahuinya, ada baiknya saya tuliskan sedikit mengenai obat ampuh yang dapat menangkal virus-virus tersebut yang mana telah dipraktekkan oleh ulama salaf terdahulu dan hasilnyapun telah terlihat jelas pada mata mereka.
Di sebuah mesjid, ketika muadzzin mengumandangkan azan, sampailah ia pada dua kalimat syahadat atas kerisalahan Nabi Muhammad SAW. Pada saat syahadat yang pertama dilantumkan, saya membaca “Shallallahu ‘alaika ya Rasulallah”, dan pada syahadat yang kedua, saya mencium kedua ujung ibu jari dan mengusapkannya ke mata sambil berucap “Qurrat ‘aini bika ya rasulallah Allahumma matti’ni bi as-sam’i wa al-bashari, Allahummah Fadz ‘ainay wa nurhima”. Jamaah yang hadir di saat melihat perbuatan tersebut bertanya dan berdebat bahkan ada yang mengatakan bid’ah.
Setelah selesai shalat berjamaah, semakin ribut dan ramai orang bertanya serta berdebat. Secara singkat saya hanya menjawab “Itulah obat yang paling ampuh untuk menjaga mata dan melindunginya dari segala macam bentuk penyakit mata”, orang yang minus pada matanya pun dapat menggunakan untuk mengurangi keminusan bahkan menyembuhkannya jika diamalkan secara berkesinambungan, dan orang-orang yang mempraktekkannya akan lebih jelas melihat jalan yang terang dan benar, terpancar pada kedua matanya ketajaman yang tidak dapat dinilai dan bahkan dapat menundukkan pandangan orang lain.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini adalah bid’ah. Sebagaimana dalam kitab “Talkhish al-Maqashid al-Hasanah” oleh Az-Zarqani bahwa Hafid al-’Arafi berkata jika hal ini tidak mempunyai dasar hukumnya dan diada-ada oleh Sufyan bin Uyainah. Ulama-ulama Wahhabi pun dengan tegas menyatakan bahwa hal ini adalah bid’ah.
Maslah ini sebenarnya telah disebutkan oleh ulama-ulama salafu salihin, seperti Al-’Alamah as-Sanwani dalam penjelasannya terhadap kitab “Mukhtashar Shahih al-Bukhari” oleh Ibnu Abi Hamzah. Juga seperti al-Faqih ad-Dilzali dalam kitab “Mujarrabat”nya, yang mengatakan bahwa sebagian besar ulama-ulama terdahulu telah mempraktekkannya yang menunjukkan sebagai qudwah bagi orang lain.
Syekh Daud al-Baghdadi menyebutkan dalam risalahnya bahwa saya tidak pernah mendapatkan hadis-hadis yang menunjukkan atas masalah ini, akan tetapi bisa jadi bersumber dari perkataan Rasulullah SAW:”Akan turun rahmat yang berlimpah di saat menyebutkan nama-nama orang shaleh”. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Jauzi, Hafidz ibnu Hajar dari Imam Ahmad, juga oleh imam Suyuti dalam kitabnya “Al-Jami’ as-Sahghir”.
Diriwayatkan dari Ibnu Jawzi dati Sufyan bin Uyainah bahwa pada saat menyebutkan nama orang-orang shaleh akan bercucuran rahmat. Demikian juga yang dikemukakan oleh Syekh Daud al-Baghdadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang shaleh dan tiada keraguan akan turunnya rahmat yang berlimpah pada saat menyebutkan namanya, sehingga berdoa pada saat turunnya rahmat adalah mustajab dan orang yang mendengar serta berucap “Qurrat ‘aini bika ya Rasulallah” adalah doa terjaganya mata serta akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka tidak ada larangan padanya.
Ulama Hanafiah, seperti Thahthawi, menukilkan dalam penjelasannya terhadap kitab “Maraqi al-Falah” oleh Qahastani dari kitab “Kunz al-’Ibad fi fadhail al-Ghazw wa al-jihad” oleh abu al-Qasim bin Iqal berkata:”Disunnahkan pada saat mendengar syahadatain atas Rasul untuk mengucapkan Shallallahu ‘alaika ya Rasulallah pada syahadat pertama dan mengucapkan Qurrat ‘aini bika ya rasulallah allahuma matti’ni bi as-sam’i wa al-bashari pada saat mendengar syahadat yang kedua setelah mencium kedua ujung ibu jari sambil mengusapkannya ke mata, maka Rasulullah SAW akan menjadi penunjuk jalan baginya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Dalam Hasyiyah al-Baidhawi dari syekh Abu al-Wafa berkata:”Saya telah mendapatkan dalam beberapa fatwa bahwasanya Abu Bakar As-shiddiq ra mendengar azan, pada saat muazzin sampai pada ucapan dua kalimat syahadat atas Nabi, ia mencium kedua ujung ibu jarinya dan mengusapkannya di kedua matanya, kemudian yang melihat perbuatan Abu Bakar tadi bertanya kepadanya:”Mengapa engkau melakukan yang demikian ya Aba Bakar?”, ia menjawab:”Saya bertabarruk dengan kemuliaan namamu ya rasul”, kemudian Rasulullah berkata:”Kamu benar, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut ia akan selamat dari kerabunan dan terjaga di sisiku jika ia mengucapkan “Allahummah Fadz ‘Ainay wa nurhima”, Ya Allah jagalah kedua mataku dan cahayanya. Hal serupa disebutkan oleh Ad-Dilimi dalam kitabnya “Al-Firdaus” mengenai hadis Abu Bakar ra tadi, dan juga disebutkan oleh at-Thahthawi dalam kitabnya “Al-Fadhail”. Hal serupa pun akan dijumpai dalam Hawasyi al-’Alamah as-sayyid Muhammad bin Abidin dalam “Ala ad-Dar”, malah ia mensunahkannya. Dengan demikian menunjukkan bahwa tidak ada larangan padanya dan tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah.
Sebagian ulama mengkhususkannya hanya pada azan tanpa Qamat sebagaimana penjelasan al-Qahastani pada catatan kaki bukunya, dan sebagian yang lain membolehkannya bukan saja pada azan melainkan pada setiap mendengar ucapan dua kalimat syahadat atas Nabi, bahkan pada saat mendengarkan namanya.
Dari semua urain di atas, jelaslah apa yang dibutuhkan oleh mata agar terhindar dari segala macam bentuk virus peradaban dan obat yang ampuh untuk menyembuhkan kerabuan pada mata dan sebagainya. Karena hidup di zaman modern, mata tidak akan terhindar dari melihat apa-apa yang tidak patut untuk dilihat. Olehnya itu jagalah mata dan melindunginya seperti apa yang telah dikemukakan di atas. Wallahu a’lam bisshawab.

SEORANG DOKTOR NEUROLOGI MENEMUI KEAJAIBAN ALLAH.......

Seorang dokter di Amerika Serikat telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang ditemuinya dalam penyelidikannya. Dia amat kagum dengan penemuan tersebut, sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran.
Dia adalah seorang Dokter Neurologi.
Setelah memeluk Islam, dia amat yakin akan pengobatan secara Islam dan dengan itu telah membuka sebuah klinik yang bertemakan "Pengobatan Melalui Al-Qur'an" .
Kajian pengobatan melalui Al-Qur'an membuatkan obat-obatannya berdasarkan apa yang terdapat di dalam Al-Qur'an. Di antara kaedah-kaedah yang digunakan termasuk berpuasa, madu lebah, biji hitam (black seed) dan sebagainya.
Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam, maka dokter tersebut memberitahu bahwa semasa beliau melakukan kajian urat saraf, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia yang tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara normal.
Setelah membuat kajian yang memakan waktu lama, akhirnya beliau mendapati bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak manusia melainkan pada ketika seseorang itu sedang sujud semasa mengerjakan Shalat!! !
Urat tersebut memerlukan darah hanya untuk beberapa ukuran yang tertentu saja. Ini berarti bahwa darah hanya akan memasuki urat tersebut mengikut kadar shalat waktu yang diwajibkan oleh Islam......Begitulah keagungan ciptaan Allah!!!
Orang yang tidak menunaikan shalat, otaknya tidak akan dapat menerima darah yang cukup untuk berfungsi secara normal!!!
Oleh sebab itu, kejadian (fitrah) manusia sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam 'sepenuhnya' karena sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agama-Nya yang indah ini."

PETUAH IMAM SYAFI’IE

4 PERKARA UNTUK SEHAT
Empat perkara menguatkan badan:
1. makan daging
2. memakai wangi-wangian
3. kerap mandi
4. berpakaian dari kapas

Empat perkara melemahkan badan:
1. banyak bersetubuh
2. selalu cemas
3. banyak minum air ketika makan
4. banyak makan bahan yang masam

Empat perkara menajamkan mata:
1. duduk mengadap kiblat
2. bercelak sebelum tidur
3. memandang yang hijau
4. berpakaian bersih
Empat perkara merusakkan mata:
1. memandang najis
2. melihat orang dibunuh
3. melihat kemaluan
4. membelakangi kiblat

Empat perkara menajamkan fikiran:
1. tidak banyak bergurau
2. rajin bersugi (gosok gigi)
3. bercakap dengan orang soleh
4. bergaul dengan para ulama

4 CARA TIDUR
1. TIDUR PARA NABI
Tidur terlentang sambil berfikir tentang kejadian langit dan bumi.
2. TIDUR PARA ULAMA' & AHLI IBADAH
Miring ke sebelah kanan untuk memudahkan terjaga untuk sholat malam.
3. TIDUR PARA RAJA YANG LOBA
Miring ke sebelah kiri untuk mencernakan makanan yang banyak dimakan.
4. TIDUR SYAITAN
Menelungkup/ tiarap seperti tidurnya ahli neraka.





Selasa, 06 November 2007

Wirid Ba’da Shalat Tahajjud

Baru saja Syekh al-Akbar ingin mengumandangkan keberadaan Birokrasi Ilahiyyah, telah muncul beberapa aliran yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai aliran sesat. Keadaan ini menyebabkan beban penyampaian keberadaan Khalifah Rasul ini menjadi bertambah berat. Karena dikhawatirkan adanya sebuah pemahaman ’baru’ dianggap berbeda oleh kalangan masyrakat adalah keliru atau sesat. Padahal masyarakat belum mengerti parameter kebenaran dalam Dienul Islam yang sesungguhnya. ”Memang Iblis sedang mengadakan manufer untuk mencegah Khalifah Rasul untuk maju”, oleh karenanya perbanyaklah bacaan ini, ’Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ’alaa kulli syai-in qodiir’. Dengan do’a yang dibaca setiap ba’da fardhu 10 kali ini gangguan musuh-musuh Allah diperkecil kekuatannya. Selanjutnya Syekh al-akbar Muhyiddin Muhammad Dahlan menginstruksikan kepada murid Al-Idrisiyyah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat tahajjud di setiap malamnya. Dan setelah shalat hendaknya memperbanyak bacaan ini sebanyak 50 kali. Ditambah dengan 10 X 5 ba’da fardhu = 50 kali. Jadi kalimat ini dibaca sebanyak 100 kali setiap hari. Syekh al-Akbar Ra. mengungkapkan bahwa kita mesti online setiap hari agar sinyal pertolongan dari Allah lebih kuat daripada gangguan musuh-Nya, iblis laknatullah.
Berpisah dengan paparan di atas, seorang murid pernah mengalami peristiwa ruhani sebulan sebelumnya. Di suatu malam ia bangun malam untuk menunaikan shalat tahajjud. Pada saat ia melafalkan niat, ’Ushollii sunnatat tahajjud lillaahi ta’alaa..’ Belum selesai takbir ia ucapkan tiba-tiba terdengar suara ’Ma’muuman!’ (niat mengikuti imam). Berulang tiga kali suara tersebut ia dengar. Kemudian ia menjadi terdiam untuk menyelidiki suara tersebut dari mana. Setelah itu ia baru sadar bahwa saat ia berniat shalat ada sosok Syekh al-Akbar di depannya. ”Ma’muman, kamu ikuti Bapak (Syekh al-Akbar, red)! Kemana yang lainnya?” Syekh al-Akbar bertanya kepada si murid. Si murid bingung, karena ketika ia melihat ke belakang ia tidak melihat siapa-siapa. Barulah ia sadar bahwa ia telah dihadiri ruhani Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Qs.
Saya mengatakan, ’Hei, ingatkah cerita kamu waktu yang lalu kepada saya?’ Si murid yang mengalami peristiwa tersebut terdiam, mencoba mengingat-ingat. Akhirnya ia baru ingat. Saya pun berkomentar, ’Sekarang berita kamu baru terealisasi dengan fatwa (instruksi) Beliau Ra.’ Ruhaniyah mendahului lahiriyah!

Peran Non Muslim

Ada seorang murid yang mempunyai istri yang bermimpi bahwa suatu ketika ia menghadiri pengajian di Pekan Santri Qini di Pesantren Pegendingan, Tasikmalaya. Ia ikut masuk ke dalam masjid menyaksikan sebuah keranda mayat sedang diusung. Begitu dibuka ada sebuah mayat yang berkalungkan salib di tubuhnya. Dan setelah ia seksama memperhatikan, di keranda mayat tersebut ada gambar salib yang jelas sekali. Semua murid-murid di dalam masjid menggiring keranda tersebut hingga ke depan.
Sejak ia mengalami mimpi tersebut, si istri menjadi bimbang diajak mengaji ke Idrisiyyah. Apakah ada hal-hal yang menyimpang sehingga ia mengalami peristiwa mimpi tersebut. Beberapa bulan ia sempat absen merenungkan apa yang sebenarnya terjadi.
Mendengar cerita tersebut, seorang pengurus menjelaskan bahwa gambaran mimpi tersebut bukanlah gambaran yang negatif. Karena mimpi tersebut ada hubungannya dengan ’keakraban’ Syekh al-Akbar dengan beberapa pihak non muslim dalam rangka mensukseskan program dakwah yang sedang dibina beliau melalui kerjasama berbagai usaha (ekonomi).
Melalui orang-orang non muslim ini Syekh al-Akbar memaparkan ajaran Islam yang sesungguhnya, yang sering disalahartikan oleh ’dunia luar’. Di antara ekses yang diharapkan adalah kesan Islam teroris, anarkis, terbelakang hilang dalam pandangan mereka yang non Islam. Belaiu pun menjelaskan betapa agama Islam itu mudah dan relevan dengan perkembangan zaman. Islam senantiasa menyambut nilai-nilai perubahan dan kemajuan.
Akhirnya melalui interaksi pergaulan bisnis itulah muncul sikap simpati mereka kepada kepribadian Syekh al-Akbar. Sehingga di antara mereka mau mempercayakan hartanya untuk diinvestasikan untuk usaha tambak yayasan Al-Idrisiyyah di Tuban. Selanjutnya, perluasan Masjid Jami’e Al-Fattah di Batu Tulis Jakarta mendapat dukungan seorang non muslim lain yang ingin tanahnya dibeli oleh pihak masjid. Padahal tanah yang dijualnya itu sudah ditawar oleh pedagang dengan harga yang lebih mahal. Tapi, ia tetap bersikeras dan merasa senang jika tanahnya dibeli oleh pihak masjid. Proses tawar menawar berjalan, lalu disepakati bahwa biaya pembebasan itu sebesar 450 juta (dari harga awal 700 juta).
Pihak pengurus masjid berusaha mencari dana pembebasan lahan melalui berbagai upaya. Sampai diputuskan untuk meminjam kepada Bank. Tidak ada bank yang mempercayakan pinjaman kepada pihak masjid. Utusan bank kebanyakan mempertanyakan masalah jaminannya, di samping nilai bangunan dan tanah juga menentukan mulus tidaknya proses pinjaman tersebut.
Lagi-lagi, orang Cina non Islam juga yang membantu. Dia menawarkan diri lewat jaminan namanya agar proses pinjaman itu berhasil. Karena ia sudah sering menggunakan jasa perbankan untuk membantu modal usahanya selama ini. Dan, akhirnya tanah tersebut berhasil dibebaskan untuk perluasan masjid.
Beberapa bulan setelah itu ada cerita menarik, keluarga orang Cina ini mengalami musibah. Mobil yang dikendarai anaknya mengalami kecelakaan. Kondisi mobil rusak parah. Namun anaknya selamat dari peristiwa tragis tersebut. Kepada Syekh al-Akbar ia menceritakan peristiwa tersebut. Ia pun menyebutkan bahwa dengan keberkahan pertolongan do’a Syekh al-Akbar, kejadian tersebut tidak membuatnya berduka karena kehilangan anaknya yang ia cintai.
Cukuplah kiranya cerita ini menjelaskan betapa luwesnya akhlak pergaulan Syekh al-Akbar yang tidak memilah-milah antara muslim maupun yang belum muslim. Pada dasarnya, menurut beliau, semua orang masih dalam proses. Sehingga siapapun yang masih hidup di dunia ini tidak bisa dikatakan sebagai ’orang yang sholeh’. Karena siapa tahu di akhir kehidupannya ia berbelok arah menjadi kafir, Na’udzubillah min dzaalik.
Oleh karenanya orang non muslim berhak mendapatkan informasi Dienul Islam sebagai agama yang bersifat Rahmat, yang membawa nilai-nilai kedamaian dalam seluruh aspek kehidupan baik di dunia maupun akhirat. Sebab, Dienul Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Islam, tapi untuk seluruh umat. Mereka perlu diperhatikan oleh kita yang muslim, karena banyak penilaian dan sikap penilaian yang keliru tentang keberadaan Dienul Islam sebagai agama yang ditegakkan dengan pedang (kekerasan).

Kamis, 01 November 2007

Keutamaan Shalawat 'Azhimiyyah

Sayid Ahmad Syarif as-Sanusi Ra. meriwayatkan bahwa Sayid Muhammad bin Ali as-Sanusi Ra. suatu ketika menerangkan keutamaan membaca Shalawat ‘Azhimiyyah, bahwa sesungguhnya membaca Shalawat ‘Azhimiyyah sekali menandingi bacaan Kitab Shalawat Dala-ilul Khairat sebanyak 33.333 kali. Ditanyakan mengapa demikian? Karena keutamaan Shalawat ‘Azhimiyyah itu disebabkan keutamaan para Guru-guru Ra. (yang meriwayatkannya).
Kisah:
Pengarang Dalaiul Khairat: Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Sulaiman Al Jazuli Rahimahullah, nasabnya Jazulah, sebuah qabilah dari daerah Barbar di Susil Aqsha. Belajar ilmu di Fez (Maroko), dan di sanalah beliau mengarang Dalail.
Adapun asal mulanya beliau menyusun kitab Dalail, suatu hari beliau akan mengambil air wudhu untuk sholat. Tetapi beliau tidak mendapatkan alat buat mengambi air dalam sumur. Keadaan itu terus berlangsung sampai ia melihat seorang anak perempuan kecil yang memandanginya dari tempat yang cukup tinggi, lalu anak kecil itu bertanya kepada beliau: “Siapakah Anda?” Beliau kemudian menjelaskan hal ihwal beliau, maka anak itu berkata: “Tuan ini ahli membaca sholawat kepada Rasulullah SAW, dan Tuan ini termasuk orang yang dihormati, mengapa Tuan bingung tidak mendapatkan air?” Kemudian ia pun meludah ke dalam air sumur itu, seketika itu pula airnya naik dan akhirnya memudahkan untuk berwudhu.
Setelah merampungkan wudhunya Syaikh al Jazuli bertanya: “Dengan apa engkau memperoleh karomah (kemuliaan) ini?” Jawabnya: “Karena saya memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi SAW, yang mana jika seseorang berjalan di daratan yang tiada makanan & air, bergantunglah binatang-binatang buas kepadanya”. Lalu beliau bersumpah untuk mengarang sebuah kitab sholawat Nabi SAW, pelindungku, yang melebihi ilmu Aqliyah dan Naqliyah.
Sebelum beliau mengajarkan ilmunya dan tarbiyah kepada muridnya beliau melakukan riyadhah / khawat / uzlah selama 14 tahun setelah mendapat talqin (ijazah) Thariqat Syadziliyah. Setelah beliau keluar ke masyarakat, beliau menjadi masyhur di berbagai tempat dan negeri, murid beliau mencapai 12.000 orang lebih.
Beliau berkata: “Allah telah berfirman kepadaku: “Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku menganugerahkan karomah dan derajat luhur kepadamu ini, karena kamu senang memperbanyak Sholawat kepada NabiKu”.
Pada tanggal 16 Rabiul Awal 870 H beliau wafat, ddisemayamkan di desa Sus al Aqsha. Setelah 77 tahun dari wafatnya, jenazahnya dipindahkan ke Marakesy, maka didapati jenazahnya itu utuh sebagaimana waktu dipendam pertama kali. Makamnya banyak diziarahi orang, dikarenakan baunya yang semerbak. Hal ini dikarenakan beliau menyukai membanyakkan sholawat kepada Nabi SAW selama hidupnya. (Asraarur Rabbaniyyah wal Fuyudhatir Rahmaniyyah ‘aas Sholawatid Dardiriyyah, Sy. Ahmad as Showi)

Sejarah Ilmu Nahwu

Latar belakang Abul Aswad Ad-Dualy menyusun ilmu ini adalah bermula saat ia dan putrinya berada di bawah atap rumahnya. Kemudian putrinya melihat ke langit, bintang-bintang dan gemerlapan cahayanya sewaktu keadaan gelap. Putrinya berkata padanya, "Yaa abati, maa ahsanus samaa-i ?". Ia mengira maksud putrinya adalah menanyakan, " Adakah sesuatu yang lebih baik dari bintang?"
Maka putrinya berkata, "Wahai ayahku, bukan begitu maksudku, tetapi yang kumaksud adalah (saya) ta'ajub karena keindahannya."
Ia berkata, "Kalau begitu katakanlah : maa ahsana as-samaa-a (alangkah indahnya langit itu).
Pada pagi hari, ia menghadap pada Sayyiddina Ali dan melaporkan kepadanya, " Wahai amirul Mu'minin, telah terjadi percakapan dengan putriku sesuatu yang tidak kami mengerti". Lalu ia menceritakan peristiwa yang telah ia alami bersama anaknya (seperti yang telah dituturkan di atas). Imam Ali berkata, "Ini adalah akibat bercampurnya bahasa Ajam (non Arab) dan Bahasa Arab". Kemudian beliau memerintahkannya untuk membuat aturan bahasa.
Abul Aswad lalu membeli sehelai kertas dan setelah beberapa hari ditulis di atasnya pembagian kalimat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu isim, fi'il dan huruf yang mengandung arti dan pengertian ditambah ta'ajub (tulisan itu disodorkan pada Imam Ali). Lalu Imam Ali berkata, "Inha nahwa haadza" (Buatkan contoh seperti ini), karena itulah ilmu ini dinamakan "Ilmu Nahwu".
(An-Nisa Sholiha)

Selasa, 30 Oktober 2007

Mereka ikut merasakan

”Pada saat pasukan FPI merusak kendaraan-kendaraan kami, kami sudah tidak berdaya. Mobil yang saya tumpangi sudah tidak mampu bergerak lagi. Satu persatu mobil-mobil kami dirusak, hingga ada seorang dari mereka berdiri di atas mobil kami, lalu menghujamkan linggisnya bertubi-tubi ke kaca mobil depan. Namun sebelum mereka menghantamkan linggis tersebut, salah seorang penumpang kami berteriak, ’Madaad Syekh Akbaaar!’ Sungguh mengherankan, Linggis yang dihantam ke kaca mobil kami, tidak berhasil memecahkan kaca mobil kami sedikit pun! Kami pun merasa beruntung, karena mobil kami tidak rusak seperti mobil kawan-kawan yang lain.”
Demikianlah paparan seorang penggerak sebuah ormas yang mewadahi orang-orang miskin di ibukota. Namun keberadaannya yang sering melakukan demo ini dicurigai oleh pihak-pihak yang tidak menyenangi keberadaannya sebagai kelompok yang beraliran komunis dan berbasis kekuatan rakyat bawah. Akhirnya, entah mengapa pihak FPI tiba-tiba menyerang mereka dengan alasan ketidaksetujuannya dengan komunis. Apakah mereka dibayar oleh pemerintah? Wallaahu A’lam.
Di balik peristiwa itu, ada catatan kecil namun penting bagi koorninator ormas ini. Yakni apakah sebenarnya ungkapan Madad Syekh al-Akbar itu. Rupa-rupanya ungkapan ini diucapkan oleh seseorang yang bukan dari jama’ah Tarekat Al-Idrisiyyah. Lalu dari manakah ia mendapatkannya. Setelah diselidiki, ternyata ada seorang murid Idrisiyyah yang mengajarkan kepadanya ungkapan tersebut. Lalu ia lakukan dalam berbagai hal sebelum ia mengalami suatu peristiwa. Bahkan ketika ia teriris pisau, ia menjadi latah mengucapkan kalimat tersebut.
Selanjutnya, pimpinan organisasi ini datang sowan kepada Syekh al-Akbar untuk memohon kepada Beliau memberikan bimbingan kepada anggotanya, agar lebih mengerti atau memahami ajaran Islam. Apalagi perjuangan yang selama ini ia lakukan sebenarnya masih belum sempurna, karena pendekatannya masih bersifat duniawi (ekonomi). Banyak umat Islam yang miskin secara ekonomi, juga miskin secara spiritual. Agamanya sendiri saja belum banyak diketahuinya.
Akhirnya Syekh al-Akbar memberikan restu, dan mendukung apa yang sedang diperjuangkan pimpinan ormas ini, asal tidak melupakan majelis pengajian untuk menimba agama Islam lebih serius.

LAILATUL QADR 2007 (lanjutan)

Sebagaimana diceritakan sebelumnya bahwa berita malam Lailatul Qadr itu pada awalnya terdapat 2 waktu, yakni malam 23 atau 25. Sebenarnya menurut seorang murid lainnya, mengutarakan isyarat malam Lailatul Qadr awalnya jatuh pada malam 25 (malam Ahad). Kemudian Allah merubah waktu tersebut menjadi 23.
Dalam hati si murid bertanya-tanya, ’Mengapa demikian?’ Pada saat ia melaksanakan shalat malam pertanyaan itu terjawab, ada sebuah suara terdengar, ’Allah menghormati Kekasih-Nya!’ Hal ini menjadi renungan baginya, sehingga ia membandingkan sebuah peristiwa yang pernah terjadi pada masa dahulu di mana ketika Allah mengabarkan akan menjadi seorang khalifah di muka bumi. Maka serentak para malaikat mempertanyakannya. Maka Allah berfirman, ’Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!’
Refleksi peristiwa malam Lailatul Qadr yang diubah waktunya juga demikian. Pada awalnya para malaikat telah mengetahui ketetapan bahwa malam Lailatul Qadr itu adalah malam 25. Namun para malaikat bertanya-tanya mengapa malam itu diubah. Cerita berikut akan menjelaskan pertanyaan ini.
Sebelum dzikir tengah malam diadakan, Syekh al-Akbar pamit dari ruangan masjid setelah memberikan taushiyah untuk beristirahat sejenak (karena sesuai jadwal panitia Ramadhan beliau akan kembali lagi ke masjid memimpin shalat sunat pada jam 2 malam). Semua jama’ah menyaksikan Beliau keluar ruangan. Namun apa yang dilihat oleh seorang murid berbeda. Ia mengatakan bahwa sosok Syekh al-Akbar itu tetap ada di daerah mimbar sedang duduk mengikuti jalannya majelis dzikir.
Di tengah malam itu, di masjid Jami’e Al-Fattah dipenuhi dengan ratusan jama’ah dari berbagai daerah. Mereka berdzikir bersama, bermunajat dan memohon ampun kepada Allah. Saat berkumandang, ’Astaghfirullaahal ’azhiim wa atuubu ilaiih!’ ruhani Syekh al-Akbar naik ke atas dalam posisi duduk. Semakin dalam ungkapan taubat itu semakin tinggi naiknya Syekh al-Akbar ke atas langit.
Begitu disuarakan istighfar shogir ’Astaghfirullah!’ ’Astaghfirullah!’ berulang kali Syekh al-Akbar berdiri. Ada sebuah tangga yang beliau pijaki hingga ke tasa langit. Jumlah anak tangga tersebut sejumlah Guru-guru (Masyayikh) Al-Idrisiyyah, dari Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra., terus sampai kepada Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra. Tampak jelas saat Beliau menapakinya satu demi satu. Namun ketika sampai tangga selanjutnya yang berhadapan dengan ’Arasy, ada 2 buah tangga yang ketika Beliau (Syekh al-Akbar M. Daud Dahlan) menapakinya tubuh beliau sudah tidak kelihatan lagi. Yang tampak hanyalah kedua mata kaki beliau saja.
Setelah itu lenyaplah seluruh tubuh Beliau. Tiba-tiba ada sebuah suara keras menggema, ’Kalian lihat! Saksikan oleh kalian mereka yang sedang berdzikir kepada-Ku! Lihatlah! Masih ada di zaman yang penuh kerusakan ini hamba-hamba-Ku yang bertaubat, memohon Ampun kepada-Ku dengan sungguh-sungguh!’ Lihatlah mereka, karena seseorang yang Aku utus kepada mereka!’ Menurut si murid yang mendengarnya, suara tersebut mengalahkan gemuruh dzikir jama’ah masjid Jami’e Al-Fattah ketika itu. Suaranya begitu keras dan berulang-ulang seolah-olah suara tersebut ingin memberikan bukti agar yang mendengarnya percaya.
Setelah muncul suara itu, seperti sekumpulan burung-burung di atas langit yang melihat setumpuk makanan di persada bumi, para malaikat bersegera turun berduyun-duyun menengok sekumpulan orang yang berdzikir di masjid Jami’e Al-Fattah. Inilah bukti firman Allah ’Tanazzalul malaaikatu war-Ruuhu fiihaa!’ Ternyata firman Allah itu begitu nyata, malaikat-malaikat dengan sayapnya turun ke bumi tampak jelas terlihat. Pemandangan yang begitu mengesankan jiwa. Lailatul Qadr bukanlah legenda di sisi orang-orang yang telah dibukakan mata hatinya.

Kamis, 25 Oktober 2007

Lailatul Qadr 2007

Malam Lailatul Qadr yang penuh dengan keagungan itu dinanti-nanti sekian miliar penduduk muslim di dunia. Banyak muslim mencarinya dengan memperbanyak i’tikaf di malam ganjil terakhir di bulan Ramadhan. Kita dapat menyaksikan antusias muslimin dan muslimat beribadah di malam-malam tersebut, di daerah Condet (al-Hawi) misalnya, setiap malam ganjil terakhir berduyun-duyun manusia berjejal untuk melaksanakan tarawih bersama hingga tengah malam. Peristiwa ini menyebabkan lalu lintas di sekitarnya menjadi macet.
”Saya tadi malam habis i’tikaf di masjid Sunda Kelapa!” Ujar seorang kakek tua asal Sumatera Barat. Ia menceritakan bahwa sudah menjadi kebiasaannya berkeliling ke masjid-masjid yang mengadakan i’tikaf di bulan Ramadhan, terutama menanti malam yang agung tersebut. Masjid hingga halaman masjid penuh dengan pria maupun wanita berdzikir dan mendengar renungan muhasabah hingga shalat Dhuha, katanya.
Di masjid-masjid lain banyak mengadakan hal serupa. Demikian halnya di masjid Jami’e Al-Fattah di Batu Tulis. Namun yang berbeda di masjid ini dengan lainnya, jika di bulan Ramadhan di masjid lain mengadakan tawaquf (berhenti sementara) terhadap majelis taklim/dzikirnya, tetapi masjid ini terus mengadakan pengajian di bulan Ramadhan.
Hal lainnya yang berbeda adalah kegiatan menghidupkan malam Lailatul Qadr di masjid ini diadakan pada malam yang sudah diyakini sebagai malam Lailatul Qadr berdasarkan petunjuk ruhaniyah. Melalui petunjuk ruhaniyah inilah malam Lailatul Qadr dapat diketahui secara pasti.
Berkenaan dengan petunjuk malam Lailatul Qadr tahun ini ada sedikit kisah yang dapat menjadi informasi yang cukup berharga bagi kita semua yang ingin menyimak di balik peristiwa malam Lailatul Qadr.
Informasi awal tentang malam yang dinanti-nantikan tersebut adalah malam 25 atau 27. Petunjuk ini didapat melalui beberapa murid Idrisiyyah yang bersua dengan ruhani Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. Melalui Nabi Khidir As. Bahkan ditambahkan, di antara kedua tanggal tersebut terserah Syekh al-Akbar Muhammad Daud untuk menentukannya. Melalui berita ini Syekh al-Akbar M. Daud dipersilahkan untuk memutuskan kapan malam Lailatul Qadr.
Satu lagi cerita, seorang murid yang beri’tikaf di qubah menceritakan pada suatu malam ia mendengar suara dua orang mengobrol di ruangan qubah. Namun ia tidak tahu asal suara tersebut. Setelah ia selidiki suara itu berasal dari ruang khalwat Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan. Dari dalam qubah tersebut terdengar suara Syekh al-Akbar dengan Nabi Khidhir As. Ia berjalan perlahan-lahan untuk memastikan apakah benar suara tersebut berasal dari dalam kamar. ”Ehm, ada yang nguping pembicaraan nih?” suara keras terdengar dari dalam kamar, yang menyebabkan ia lari berjingkat karena malu ketahuan menguping.
Segera ia memposisikan diri duduk menghadap makam. Sambil memejamkan mata, ia berdo’a, ”Ya Allah, jika benar itu adalah Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, guru saya, maka datangkanlah ia padaku!” Hatinya terus berkata demikian sambil berdebar-debar memikirkan apa yang sedang terjadi.
Assalamu’alaikum!” Salam itu terdengar hingga 3 kali, sehingga menyebabkan ia terhenyak dari posisi duduknya. ”Kamu memanggil Bapak?” tanya seseorang yang berdiri tegak di hadapan si murid. Si murid menjawab dengan menunduk, ”Benar Syekh al-Akbar!” Kepalanya tidak mampu ia tegakkan, ia tidak berani menengadah untuk memandang wajah Syekhnya tersebut.
”Sampaikan kepada orang yang dekat dengan Bapak itu (sambil memberi isyarat), besok malam (malam 25) malam Lailatul Qadr. Lihat ke langit, semuanya sudah menunggu-nunggu! Cepat segera beritahu!” Betapa kagetnya si murid begitu ia menengadahkan kepalanya ke langit. Subhanallaah! Para malaikat berjejal memenuhi seluruh langit, seolah-olah sedang mengambil ancang-ancang untuk meluncur ke bumi. Rupa-rupanya mereka telah bersiap-siap untuk ’turun’ menunggu titah Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. sebagai wakil Allah yang dikuasakan oleh Rasulullah pada masa ini.
Di siang hari, sebelum datangnya malam Lailatul Qadr kabut tipis seolah menutupi seluruh lapisan langit. Wujud matahari tak tampak tertutupi olehnya. Bukanlah pula awan mendung menyelimutinya, karena hanya diiringi angin semilir yang menenangkan suasana di tengah teriknya kemarau.
Akhirnya malam itu seluruh jama’ah berpesta dzikir hingga sahur menjelang.

Selasa, 02 Oktober 2007

Gelar Muhyiddin

’Tolong sampaikan kepada Syekh al-Akbar, Beliau mendapatkan satu anugerah lagi dari Allah melalui Nabi Khidir As. Gelar tersebut adalah Muhyiddin. Jadi sekarang Beliau bernama Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan Ra.’ Demikian salah seorang murid menuturkan kisah pertemuannya dengan Nabi Khidir As.
Apa arti Muhyiddin? Muhyiddin (Muhyi ad-Din) artinya orang yang menghidupkan agama (Islam). Gelar ini (menurut Nabi Khidir As.) sebenarnya diberikan pula kepada setiap Sulthan Awliya pada setiap masa. Yang memberikan nama ini adalah Nabi Muhammad Saw kepada Khalifah-khalifah Beliau di setiap zaman. Dan saat ini adalah Beliau (Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan Ra.).
Ruhani Rasulullah Saw menyatakan pula, ’Sebenarnya gelar tersebut telah diberikan kepada Sadatul Idrisiyyah (Guru-guru Al-Idrisiyyah yang bermartabat Sulthan Awliya) lainnya. Sebagaimana dahulu diberikan pula kepada Quthbul Ghauts Syekh Abdul Qadir Jaelani. Hanya gelar tersebut disatarkan (disembunyikan)’.

Beliau (Syekh al-Akbar) menurut Nabi Khidir As. mempunyai kelebihan membuka atau menyingkap berbagai jalan. Tidak aneh jika banyak kandungan isi Al-Quran Beliau bedah dengan ketajaman analisa yang Allah anugerahkan kepada Beliau.
Dalam sehari Nabi Khidhir berdialog (bertatap muka) dengan Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. (secara ruhaniyah) lebih dari 70 kali. Interaksi (perjumpaan) itu bahkan terjadi pada saat beliau sedang berbicara di hadapan murid-muridnya. Hanya saja hanya sedikit murid yang menyadari akan hal itu.

Senin, 17 September 2007

GURU yang mengajarkan ilmu

Seseorang yang mendalami Agama memerlukan seorang pemandu yang dipilih Allah untuk dirinya. Ia harus mempelajari ilmunya melalui seorang Guru secara musyafahah. Kalau-lah ia merasa bahwa ia telah menjalankan perkara agama dengan memenuhi secara sempurna syarat dan rukunnya, namun satu hal yang ia lupakan bahwa ia telah meninggalkan adab Salafus Shalih, karena mereka telah melakukan perjuangan gigih dalam menuntut ilmu. Bahkan di kalangan ahli ilmu, orang-orang yang mencukupi dengan membaca buku-buku atau kitab agama tanpa berguru kepada seseorang, dianggap ilmunya itu seperti tidak ada.
Maka tuntutlah Guru yang membimbingmu lahir dan batin, sebagaimana Sayidina Musa As ber-talaqqi ilmu kepada Nabi Khidhir As, dan sebagaimana perjalanan yang begitu jauh Sayidina Jabir bin Abdullah menemui Abdullah bin Anis, hanya untuk mempelajari satu hadits saja. Wajib mencari Guru dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan godaan dan rintangan.
Sayidi Ibrahim ad-Dasuki Rhm. Pernah berkata, ‘Mencari Guru dalam meniti jalan menuju kepada Allah adalah wajib bagi setiap orang yang berkehendak (murid), meskipun ia adalah seorang Ulama besar pada masanya’.
Syekh Ibnu Ruslan dalam Zubad-nya berkata:
مَنْ لَّمْ يَكُنْ يَعْلَمُ ذَا فَلْيَسَأْلِ مَنْ لَّمْ يَجِدْ مُعَلِّمًا فَلْيَرْحَلِ
”Barang siapa yang tidak mengetahui ini, maka hendaklah ia bertanya,
Dan barang siapa tidak mendapatkan Guru, hendaklah ia berangkat ke manapun untuk mencarinya”.
Sayid Abdullah bin Alwi al-Haddad Rhm berkata dalam Qashidah Ro’iyyah-nya:
وَخُذْ مِنْ عُلُوْمِ الدِّيْنِ خَطًّا مُوَفِّرًا فَبِالْعِلْمِ تَسْمُوْ فِى الْحَيَاةِ فِى الْحَشْرِ
”Dan Ambillah olehmu daripada ilmu-ilmu agama itu, akan bagian yang banyak.
Maka dengan ilmu itulah engkau terangkat derajat di dalam kehidupan dan pada saat pengumpulan kelak”.
Dan Qashidah itu disyarahkan (diberikan penjelasannya) oleh Sayid Ahmad bin Abu Bakar bin Sumaith al-Alawy al-Hadhrami Rhm, yang bernama Manhalul Wurraad min Faidhil Imdaad bisyarhi abyaatil Quthbi Abdillah bin Alawi al-Haddad, hal. 102 sebagai berikut:
فَقَدْ أَفْهَمَ تَعْبِيْرُ النَّاظِمِ نَفَعَ اللهُ بِهِ بِقَوْلِهِ خُذْ مِنْ عُلُوْمِ الدِّيْنِ... إلخ أَنَّ اْلأَخْذَ مِنْ شَيْخٍ لَهُ تَمَامُ اْلإِطِّلاَعِ مِمَّا يَتَعَيَّنُ عَلَى طَالِبِ الْعِلْمِ وَأَمَّا مُجَرَّدُ الْمُطَالَعَةِ بِغَيْرِ شَيْخٍ إِتِّكَالًا عَلَى الْفَهْمِ فَقَلِيْلَةُ الْجَدْوَى إِذْلاَ بُدَّ إِنْ تَعْرِضْ عَلَيْهِ مُشْكِلاَتٌ لَا تَتَّضِحُ لَهُ إِلاَّ إِنْ حَلَّهَا شَيْخٌ.
Maka sesungguhnya telah memberi faham oleh keterangan Nazhim Nafa’allaahu bihi, dengan perkataannya: Dan ambillah dari ilmu-ilmu agama, dan seterusnya, bahwa mengambil ilmu dari seorang Guru yang sempurna penela’ahannya itu, terblang daripada apa-apa yang tertentu atas orang yang menuntut ilmu. Dan adapun semata-mata muthala’ah tanpa Guru, karena mengandalkan kefahaman sendiri saja akan sedikit hasilnya. Karena tak dapat tidak, jika datang atasnya kemusykilan-kemusykilan, tidaklah menjadi jelas baginya kecuali dengan penguraian Guru”.
Penyair menyatakan:
مَنْ يَأْخُذِ الْعِلْمَ مِنْ شَيْخٍ مُشَافَهَةً يَكُنْ عَنِ الزَّيْغِ وَالتَّصْحِيْفِ فِيْ حَرَمِ
وَمَنْ يَّكُنْ أَخِذًا لِّلْعِلْمِ مِنْ صُحُفٍ فَعِـلْمُهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِـلْمِ كَالْعَدَمِ

”Barang siapa yang mengambil ilmu dari seorang Guru dengan cara langsung berhadap-hadapan, niscaya terjaga ia dari kesesatan dan kekeliruan.
Dan barang siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku saja, maka pengetahuannya itu di sisi para hali ilmu, seperti tiada saja”.
Dan kata sya’ir pula:
أَمُدَّعِيًا عِلْمًا وَلَيْسَ بِقَارِئٍ كِتَابًا عَلَى شَيْخٍ بِهِ يَسْهَلُ الْحُزْنُ
أَتَزْعُمُ أَنَّ الذِّهْنَ يُوْضِحُ مُشْكِلاً بِلاَ مُخْيِرٍ تَاللهِ قَدْ كَذَّبَ الذِّهْنُ
وَإِنَّ ابْتِغَآءَ الْعِلْمِ دُوْنَ مُعَلِّمٍ كَمُوْقِدِ مِصْبَاحٍ وَلَيْسَ لَهُ دُهْنُ

”Wahai orang yang mengaku berilmu, padahal ia tidak membaca kitab atas seorang Guru, padanya akan mudahlah berduka cita.
Apakah engkau menyangka bahwa pikiran itu dapat menyatakan kemusykilan, tanpa seorang pembimbing?
Demi Allah, sesungguhnya telah berdustalah pikiran itu. Dan sesungguhnya menuntut ilmu tapa Guru, seperti orang yang menyalakan pelita, padahal pelita itu tidak berminyak”.
يَظُنُّ الْمَرْءُ أَنَّ الْكُتْبِ تُجْدِيْ أَخَـافُهُمْ لِإِدْرَاكِ الْعُـلُوْمِ
وَمَا يَدْرِالْجُهُوْلُ بِأَنَّ فِيْـهَا غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيْمِ
إِذَا رُمْتَ الْعُلُوْمَ بِغَـيْرِ شَيْخٍ ضَلَلْتَ عَنِ الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَلْتَبِسُ اْلأُمُوْرُ عَلَيْكَ حَتَّى تَصِيْرَ أَضَلَّ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْم
ِ
”Orang mengira bahwa kitab-kitab itu dapat memberikan hasil kepada saudara yang memahami, untuk mendapatkan ilmu-ilmu.
Dan tidaklah si dungu mengetahui bahwa di dalam kitab-kitab itu banyak terdapat kepelikan yang membingungkan akalnya orang yang mengerti.
Apabila engkau mencari ilmu tanpa seorang Guru, sesatlah engkau dari jalan yang lurus.
Dan akan tersamarlah bagimu segala persoalan, sehingga jadilah engkau lebih sesat dari Al-Hakim Tuma”.
لَيْسَ فِى اْلكُتْبِ وَالدَّقَاتِرِ عِلْمٌ إِنَّمَا الْعِلْمُ فِى الصُّدُوْرِ الرِّجَالِ
كُلُّ مَنْ يَّطْلُبُ الْعِـلْمَ فَرِيْدًا دُوْنَ شَيْـخٍ فَإِنَّهُ ضَــلاَل

”Tidaklah ada di dalam kitab-kitab dan buku-buku itu ilmu. Hanya saja ilmu itu ada pada ahlinya.
Tiap orang yang menuntut ilmu, dengan cara sendiri tanpa Guru, maka sesungguhnya ia berada di dalam kesesatan”.

Kamis, 06 September 2007

Dari Kitab: Salalimul Fudhola, Imam Nawawi al-Bantani

Sebuah karya Imam Nawawi al-Bantani yang memberikan syarah kitab Tasawuf Hidayatul Adzkiya' yang berupa Sya'ir (Nazham) karya Syekh Zainudin (Kakek Zainudin al Malibari, pengarang kitab Fathul Mu'in).
Di muka kitab Imam Nawawi menjelaskan mengapa pengarang kitab Hidayatul Adzkiya ini memilih jalan tasawuf,
…………Kemudian ketahuilah bahwa Nazhim (penyusun Nazham) ini adalah Syekh Zainuddin bin Ali Ahmad asy-Syafi'i (madzhab Syafi'i dalam syari'atnya).
Beliau dilahirkan di kota Kausyan, satu bagian dari kota-kota Malibar, pada saat matahari telah terbit, di hari Kamis tanggal 12 Sya'ban tahun 872 atau 971. Seorang pamannya Qadhi Zainuddin bin Ahmad telah memindahkan beliau ke kota Fanan di saat beliau masih kecil.
Beliau wafat di kota Fanan tersebut pada pertengahan malam kedua, malam Jum'at tanggal 16 Sya'ban tahun 928 Hijriah.
Nazhim ini memiliki banyak karya tulis, seperti Tuhfatul Ahibba, Irsyadul Qoshidin fikhtishari Minhajil 'Abidin, Syu'abul Iman, yang ditulis dengan bahasa Arab, ringkasan kitab Syu'abul Iman dengan teks bahasa Persia, karya Sayyid Nuruddin al-Ijy.
Kitab matan ini banyak tersebar di beberapa kota pulau Jawa disetai banyak sekali salah penafsiran, karena hal itulah aku (Imam Nawawi) mengutip bait-bait yang terdapat dalam kitab matan ini, kemudian aku memperjelasnya dengan ringkas.
Penyebab disusunnya bait-bait ini, sebagaimana yang dikisahkan oleh Nazhim (Syekh Zainudin bin Ali), bahwasanya beliau bimbang dalam hal ilmu-ilmu apa yang hendak diperdalamnya, apakah ia harus menyibukkan diri dengan kajian fiqih dan ilmu semacamnya, ataukah dalam kajian tashawuf seperti mengkaji kitab 'Awariful Ma'arif dan semacamnya.
Lalu beliau melihat saat tidur di malam Rabu tanggal 24 Sya'ban tahun 914 H, seseorang yang mengatakan:
"Sesungguhnya tasawuf lebih utama untuk difokuskan, karena sesungguhnya orang yang berenang di dalam air yang mengalir, apabila hendak melintas dari satu tepi ke tepi yang lain di tengah-tengah sungai, maka ia akan berenang ke tujuannya dari arah di mana air mengalir dari arah tersebut, yaitu arah paling atas, hingga ia bisa mencapai ke tujuannya. Ia tidak akan berenang di sisi tengah sungai saja, karena sesungguhnya ia tidak akan mencapai dengan berenang seperti itu ke tujuannya, bahkan ia berakhir ke tepian yang lebih rendah.
Maka dapat dipahami dengan demikian bahwa menyibukkan diri (fokus) dalam kajian ilmu tasawuf dapat mengantarkan ke tujuan, sedangkan menyibukkan diri (fokus) hanya pada ilmu Fiqih dan semacamnya tidak akan menghantarkan kepada tujuan".
Usai mengalami mimpi ini, beliau mulai menyibukkan diri dalam menuliskan bait-bait ini, yang berjumlah 188 bait, lalu beliau menyusun rangkaian bait-bait ini.

Senin, 03 September 2007

Ibunda Syekh al-Akbar (Siti Aminah)

Pada tanggal 4 April 2007 bertepatan dengan tanggal 14 Rabi’ul Awal 1428 H. telah berpulang ke Hadirat Allah, seorang Ibu yang patut menjadi contoh bagi kaum mukminat saat ini.
Seorang murid menginformasikan bahwa 40 hari sebelum wafat, beliau telah dimasukkan ke dalam syurga bersama-sama dengan Ibu Siti Zubaidah (Istri Syekh al-Akbar Abdul Fattah). Beliau adalah Ratu bidadari kedua di syurga setelah Ibu Siti Zubaidah.
Murid (yang belum pernah bertemu dengan Almarhumah) ini juga menuturkan, beliau (Ibu Siti Aminah) memiliki keutamaan pekerti yang patut dicontoh. Di antaranya adalah sosok yang taat dan penurut kepada suami. Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mengatakan bahwa Ibunya adalah sosok yang tidak memiliki musuh (walaupun ada yang memusuhinya). Banyak kaum ibu merasa kehilangan. Karena teladan beliau sebagai seorang ibu begitu melekat di hati mereka.
Salah satu kenangan yang dapat diceritakan di sini adalah ketika H. Daud (sang anak) dipesankan oleh Ibunda untuk menjadi pengusaha yang sukses. ‘Cukuplah adik-adikmu yang meneruskan dakwah perjuangan ayahmu! Biarlah engkau yang menjadi pengusaha yang berhasil agar kelak dapat membantu adik-adikmu menjadi Ulama yang nanti meneruskan jejak langkah ayahmu (Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.).
Inilah ungkapan sederhana seorang Ibu kepada anaknya yang secara lahir melihat bahwa anaknya yang pertama ini tidak seperti anak-anak lainnya. Pemuda Daud Dahlan saat itu berprofesi sebagai seorang pelukis. Di mata Ibundanya tidak ada tanda-tanda atau bakat menjadi seorang Ulama pada diri Daud Dahlan. Inilah yang menyebabkan Ibunya memerintahkan dirinya untuk ‘berbeda’ dari adik-adiknya yang rata-rata disekolahkan atau di pesantrenkan.
Maka betapa kagetnya seorang Ibu ketika di luar dugaan anaknya yang disuruh menjadi pengusaha itu ternyata malah dikukuhkan sebagai Khalifah Rasul pengganti ayahnya. Dari berbagai sumber diceritakan, sang Ibu berkata lirih, ‘Dauud, Dauud, tolong dia! Dia tidak bisa apa-apa! Bantu dia meneruskan perjuangan ayahnya!’
Dikisahkan, setelah beberapa waktu H. Daud Dahlan dikukuhkan secara ruhaniyah oleh Rasulullah Saw menjadi Syekh al-Akbar, Ibunda mencium tangan dan kaki anaknya yang kini menjadi Gurunya tersebut. (Hal ini mengingatkan kita kepada kisah Al-Quran tentang sujudnya Nabi Ya’kub As kepada Nabi Yusuf As, anaknya). Sejak saat itu Ibunda Siti Aminah tidak menganggap H. Daud Dahlan sebagai anaknya, tapi dia adalah Gurunya.
Keutamaan beliau semasa hidup, menguatkan informasi ruhaniyah yang menyatakan bahwa beliau mesti dimakamkan dekat dengan sang suami, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.
Belakangan penulis (ketika Qini) mendapatkan informasi bahwa beliau memiliki martabat kewalian Imamaini (martabat Awliya di bawah Sulthan Awliya yang hanya ada 2 orang di setiap masa). Syekh al-Akbar menyatakan, informasi ini tidak begitu manfaat jika dipublikasikan. Karena ada yang percaya dan ada yang tidak. Cukup sekedar informasi saja.
----oooo000O000oooo----

Akhlaq Wali Abdal

Akhlaq para Wali Abdal itu ada 10:

  1. Bersih hati,
  2. Dermawan dalam hartanya,
  3. Sidik (lurus) lidahnya,
  4. Rendah diri,
  5. Sabar dalam penderitaan,
  6. Menangis di waktu sendirian,
  7. Nasehat kepada sesama makhluk,
  8. Kasih sayang sesama mukmin,
  9. Memikirkan kerusakan dunia,
  10. Memperhatikan dan mengambil ibarat dari segala kejadian.

Murid Baru Yang Beruntung

Terkadang Syekh al-Akbar mengungkapkan hal-hal gaib/ruhani untuk menghilangkan ruang kejenuhan itu meskipun karunia ruhani itu bukan tujuan. Ia hanya alat untuk menghilangkan kebekuan kita.
Suatu pengajian, beliau pernah mengungkapkan ada seorang murid baru yang telah diberikan karunia istimewa dari Allah di alam barzakhnya. Sebelum menjadi murid ia sudah terbiasa dengan perkara haram dan makruh. Meskipun kenal dengan Syekh al-Akbar (karena masih ada hubungan famili) ia belum mempunyai respon terhadap keberadaan kepemimpinan Ilahiyyah. Namun setelah ia diuji dengan sakit, ia segera berserah diri kepada Syekh al-Akbar. Akhirnya ia dibai’at menjadi murid. Orang itu hanya diberi ’titipan’ pesan dari Syekh al-Akbar agar senantiasa membanyakkan dzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum.
Sebelum sakitnya membawa ajal ada kisah unik di mana ia telah diberitahu bahwa ia akan meninggal setengah jam lagi tepat jam 4 sore. Dan benarlah apa yang ia katakan itu. Ia mengajarkan keluarganya yang hadir menjelang wafatnya dengan banyak berdzikir kepada Allah. Sebelum wafat, ia melihat Syekh al-Akbar beserta jama’ah Idrisiyyah hadir di rumahnya (secara ruhani) menunggu ’kepulangan’ dirinya.

Alam gaib menyelimuti dirinya sehingga ia ketika ia diperlihatkan gemerlapnya syurga ia tidak lagi memikirkan urusan dunia. Ia membenarkan apa yang telah dijanjikan Syekh al-Akbar kepada dirinya. Ia merasa senang dengan pemberian Allah lewat keberkahan Syekh al-Akbar yang membimbingnya selama ini.
Setelah menceritakan itu semua, Syekh al-Akbar mengungkapkan, ’Demikianlah murid yang jauh keberadannya dari Bapak. Hanya amalan dzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum yang ia pegang selama ini. Bagaimana dengan murid Idrisiyyah yang istiqamah menjalankan ibadahnya?! Yang setiap hari mengamalkan Hadiqatur Riyahin, mengiringi berbagai kebijakan kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah, yang selalu hadir di setiap pengajian, yang terus menerus ikut perjuangan Syekh al-Akbar, yang lebih banyak menerima bimbingan beliau! Apakah maqam (kedudukannya) sama?! Tentu, syurga beserta apa yang ada di dalamnya itu jauh melebihi apa yang diberikan murid yang hanya berdzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum tadi.
Apakah kita hanya berpuas dengan kedudukan yang ada saat ini? Syekh al-Akbar berharap semua murid meningkatkan amal ibadahnya agar selamat dari siksa api neraka.

Sifat Para Nabi As

Abu Darda Ra. berkata:
12 macam sifat para Nabi As:

  1. Mereka yakin terhadap janji-janji Allah,
  2. Mereka putus harapan dari makhluk,
  3. Permusuhan mereka hanya kepada syetan,
  4. Mereka rajin memperbaiki urusan mereka,
  5. Mereka kasih sayang kepada makhluk,
  6. Mereka sanggup menanggung penderitaan untuk kepentingan kemaslahatan,
  7. Mereka yakin pada syurga, jika mereka berbuat amal, yakni benar bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya,
  8. Mereka tunduk pada Haq (kebenaran),
  9. Mereka tidak jemu memberi nasehat meskipun pada musuh,
  10. Mereka tidak menyimpan kelebihan harta, dan selalu memberikan kepada fakir miskin,
  11. Mereka selalu berwudhu,
  12. Mereka tidak gembira jika mendapat, dan tidak sedih jika tidak mendapat dunia.

Tanbihul Ghofilin, Imam Abu Laits Samarqandi Rhm.

Rabu, 15 Agustus 2007

WAKTU-1

Rasulullah Saw bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Dua kenikmatan yang banyak dilalaikan orang adalah kesehatan dan keempatan”. (Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Ibnu Mas’ud Ra. berkata:
مَا نَدَمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمْتُ عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ فِيْهِ أَجَلِيْ, وَلَمْ يَزِدْ فِيْهِ عَمَلِيْ
”Saya tidak pernah menyesali suatu hal, seperti penyesalan saya atas hari yang telah berlalu, di mana umurku telah berkurang dan aku tidak sempat menambah amal baikku”.
Imam al-Muzanni rhm berkata, Imam Syafi’i Rhm.ditanya tentang bagaimana hasratnya mencari ilmu,
Apabila saya mendengar satu kalimat yang belum pernah saya dengar sebelumnya, maka seluruh anggota tubuh saya seakan-akan ingin memiliki telinga agar bisa menikmati dan mendengarkan kalimat itu, sebagaimana telinga saya mendengarnya.
Semangatnya mencari ilmu seperti orang yang giat mengumpulkan harta untuk mencapai suatu kejutan dan dia belum pernah mencapainya.
Ia mencari ilmu seperti seorang wanita yang mencari anak satu-satunya yang hilang.
Al-Qadhi Abu Yusuf (113 – 182 H.) sebagaimana diceritakan muridnya Qadhi Ibrahim al-Jarrah berkata, Ketika beliau sakit yang menyebabkan kematiannya beliau masih sempat-sempatnya membahas masalah melontar jumrah. Ia menanyakan kepada muridnya itu bagaimana yang utama melontar jumrah di atas kendaraan atau sambil berjalan. Terjadilah diskusi. Dan sesaat setelah muridnya keluar kamar, terdengarlah suara tangisan keluarganya pertanda Al-Qadhi telah wafat.
Imam Abu Yusuf bercerita: ’Tatkala anak saya meninggal, saya tidak sempat menghadiri jenazahnya dan tidak ikut menguburkannya, saya menyerahkan itu seua pada tetangga dan kerabat dekat, karena saya tidak ingin mengalami penyesalan selama-lamanya karena meninggalkan pelajaran Abu Hanifah meskipun sekali”.
Imam Syafi’i berkata, Saya banyak bergaul dengan para Sufi dan saya tidak mendapatkan manfaat kecuali dalam dua hal:
1. Pertama, motto mereka yang berbunyi: ”Waktu laksana pedang, apabila anda tidak menggunakannya dengan aik, maka ia akan memotongmu”.
2. Kedua, nafsumu akan tunduk kepadamu apabila kamu dapat menggunakannya dengan baik. Apabila tidak, maka ia akan menyibukkanmu dan menuntutnmu ke dalam kebatilan.
Hasan al-Bashri Ra. berkata:
”Wahai anak Adam, sesungguhnya anda bagian dari hari, apabila hari telah berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu”.
”Saya pernah menjumpai beberapa kaum dan perhatian mereka terhadap waktu melebihi perhatian kalian menjaga harta-harta kalian”.
Ammar bin Yasir mengatakan bahwa dia pernah mendengar Ubaid bin Ya’isy berkata, ’Sekitar 30 tahun saya tidak pernah makan malam dengan tangan saya sendiri, melainkan saudara perempuan saya selalu menyuapi sementara saya menulis hadits”.
Imam Ahmad bin Hanbal Ra. berkata bahwa semua hadits yang tidak diketahui oleh Yahya bin Mu’in bukanlah hadits. Yahya bin Mu’in pernah berkata, ’Saya telah menulis sebanyak satu juta hadits”, ”Kalau saya belum menulis sebanyak 50 kali berarti saya belum mengetahuinya”.
Yahya bin Mu’in tatkala wafat meninggalkan buku sebanyak 114 rak dan 4 peti.
Imam Muhammad bin Sahnun al-Qaurawani (202 – 256 H) memiliki seorang budak wanita yang bernama Umu Mudam. Suatu hari budak itu memperhatikan tuannya yang sedang sibuk mengarang di rumahnya hingga larut malam, lalu budaknya itu masuk dan menyiapkan makan malam. Tapi tuannya tak henti-hentinya menulis. Karena lama menunggu tuannya tak makan, Ummu Mudam pun menyuapkan nasi ke mulut tuannya, hingga selesai, sementara Muhammad bin Sahnun tetap asyik menulis hingga azan Shubuh.
Tatkala hendak berdiri, beliau bertanya kepada budaknya, ’Wahai Ummu Mudam, mana makan malamku?’ Dengan penuh keheranan budaknya pun menjawab, Demi Tuhan, aku telah menyuapkannya kepadamu tadi malam’. Beliau berkata, ’Sungguh, aku tak merasa telah disuapi tadi malam’.

Rabu, 01 Agustus 2007

Rela Dimasukkan ke Dalam Neraka

Nabi Musa a.s. suatu hari sedang berjalan-jalan melihat keadaan umatnya. Nabi Musa a.s. melihat seseorang sedang beribadah. Umur orang itu lebih dari 500 tahun. Orang itu adalah seorang yang ahli ibadah. Nabi Musa a.s. kemudian menyapa dan mendekatinya. Setelah berbicara sejenak ahli ibadah itu bertanya kepada Nabi Musa a.s: "Wahai Musa a.s., aku telah beribadah kepada Allah s.w.t. selama 350 tahun tanpa melakukan perbuatan dosa. Di manakah Allah s.w.t. akan meletakkanku di Syurga-Nya?. Tolong sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah s.w.t.". Nabi Musa a.s. mengabulkan permintaan orang itu. Nabi Musa a.s. kemudian bermunajat memohon kepada Allah s.w.t. agar Allah s.w.t. memberitahukan kepadanya di mana ummatnya ini akan ditempatkan di akhirat kelak.
Allah s.w.t. berfirman, "Wahai Musa sampaikanlah kepadanya bahwa Aku akan meletakkannya di dasar Neraka-Ku yang paling dalam". Nabi Musa a.s. kemudian mengabarkan kepada orang tersebut apa yang telah difirmankan Allah s.w.t. kepadanya. Ahli ibadah itu terkejut. Dengan perasaan sedih ia beranjak dari hadapan Nabi Musa a.s.. Malamnya ahli ibadah itu terus berfikir mengenai keadaan dirinya. Ia juga mulai terfikir bagaimana dengan keadaan saudara-saudaranya, temannya, dan orang lain yang mereka baru beribadah selama 200 tahun, 300 tahun, dan mereka yang belum beribadah sebanyak dirinya, di mana lagi tempat mereka kelak di akhirat. Keesokan harinya ia menjumpai Nabi Musa a.s. kembali. Ia kemudian berkata kepada Nabi Musa a.s., "Wahai Musa a.s., aku rela Allah s.w.t. memasukkan aku ke dalam Neraka-Nya, akan tetapi aku meminta satu permohonan. Aku mohon agar setelah tubuhku ini dimasukkan ke dalam Neraka maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu Neraka tertutup oleh tubuhku jadi tidak akan ada seorang pun akan masuk ke dalamnya". Nabi Musa a.s. menyampaikan permohonan orang itu kepada Allah s.w.t. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Nabi Musa a.s. maka Allah s.w.t. berfirman, "Wahai Musa sampaikanlah kepada umatmu itu bahwa sekarang Aku akan menempatkannya di Syurga-Ku yang paling tinggi".

Ibn Taymiyya (661-728 H./1263-1328 M)

Majmu' Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf:  "Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi."
Juga dalam hal 499:  "Para syaikh di mana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka' bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Ma'ruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad,
Syaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa'i, and Shaikh Bayazid al- Bistami.
Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: "...Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:" Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?". Dan Allah menjawab: "Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku".
Ibn Taymiah melanjutkan kutipan Bayazid al-Bistami, " Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya". Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami.
Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taimiyah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul saw.

Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasauf
Berikut adalah pendapat Ibn
Taimiyah tentang definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated copper." Sanai.
Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu'a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo:
"Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan)."
"Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)" Dia melanjutkan mengenai Sufi,"mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal)."

Kamis, 26 Juli 2007

Do'a Memohon Keselamatan Kehamilan

اَللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدِيْ مَا دَامَ فِيْ بَطْنِيْ وَاشْفِهِ أَنْتَ شَافٍ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَّ يُغَادِرُ سَقَمًا, اَللَّهُمَّ صَوِّرْهُ حَسَنَةً وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيْمَانًابِكَ وَبِرَسُوْلِكَ, اَللَّهُمَّ اخْرِجْهُ مِنْ بَطْنِيْ وَقْتَ وِلادَتِيْ سَهْلاً وَّتَسْلِيْمًا, اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلًا وَعَاقِلًا حَاذِقًا عَالِمًا عَامِلًا, اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ عُمْرَهُ وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَحَسِّنْ خُلْقَهُ وَافْصَحْ لِسَانَهُ وَأَحْسِنْ صُوْرَتَهُ لِقِرَاءَةِ الْحَدِيْثِ وَالْقُرْآنِ بِبَرَكَةِ مُحَمَّدٍ ص.م وَاْلأَوْلِيَآءِ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ, وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Alloohummahfazh waladii maa daama fii bathnii, wasyfihii anta syaafin, laa syifaa-a illaa syifaa-uka, syifaa-an laa yughoodiru saqoman. Alloohumma showwirhu hasanatan, watsabbit qolbahuu iimaanam bika wabirosuulika. Alloohummakhrijhu mim bathnii waqta wilaadatii sahlan watasliiman. Alloohummaj’alhu shohiihan kaamilan wa’aaqilan haadziqon ’aaliman ’aamilan. Alloohumma tsabbit ’umrohuu washoh-hih jasadahuu wahassin khulqohuu wafshoh lisaanahuu wa-ahsin shuurotahuu liqiroo-atil qur‘aan, bibarokati Muhammadin Shollalloohu ’alayhi wasallama wal Awliyaa-i wasy-syuhadaa-i wash-shoolihiin, walhamdulilaahi robbil ’aalamiin.
Yaa Allah, peliharalah anakku selama berada dalam kandunganku. Dan sembuhkanlah dia, karena Engkau adalah Zat yang bisa menyembuhkan. Tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit sedikitpun. Yaa Allah, bentuklah dia dalam perutku dalam bentuk yang bagus, dan tetapkanlah hatinya dalam keimanan pada-Mu dan Rasul-Mu. Yaa Allah, keluarkanlah ia dari perutku pada saat kelahiranku dengan mudah dan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, jadikanlah ia anak yang sehat dan sempurna, yang berakal, yang cerdas, yang alim, dan mau mengamalkan ilmunya. Yaa Allah, tetapkanlah umurnya, sehatkanlah tubuhnya, baguskanlah akhlaknya, fasihkanlah lisannya, dan baguskanlah suaranya untuk membaca Hadits dan Qur‘an dengan keberkahan Nabi Muhammad SAW, para Awliya, Syuhada dan orang-orang yang shaleh. Dan segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Jakarta, 20 Agustus 2003




Senin, 23 Juli 2007

Mesti ada wasilahnya!

’Hai Shohib (sahabat), mampir dong ke tempat Ane!’ Panggilan itu terngiang-ngiang di telinga seseorang yang tengah dalam perjalanan. Maka ia pun mampir ke tempat suara tersebut.
Yang memanggilnya adalah Sayid Ahmad bin Alwi al-Haddad (alias Habib Kuncung)[1]. Di makam yang letaknya di Kalibata itu orang itu berdzikir membaca Shalawat ’Azhimiyyah.
Saat ia membaca shalawat tersebut, cahaya besar dan menakjubkan muncul di hadapannya naik ke atas langit, namun ia turun kembali. Ia baca lagi, kemudian cahaya itu naik lalu turun kembali. Kejadian itu berulang-ulang, hingga ia mengingat-ingat apa yang mesti ia lakukan.
Akhirnya ia teringat, setelah ia berwasilah dengan Gurunya Asy-Syekh al-Akbar M. Daud Dahlan Ra. Imamuz Zaman, cahaya awrad itu kemudian mencuat ke atas, dan disambut oleh Gurunya tersebut. Lalu, diantarlah bacaan tersebut hingga ke hadirat Allah ’Azza wa Jalla.
Ia bergumam, ternyata ’mesti berwasilah’ jawabannya.

[1]Habib Kuncung wafat dan dimakamkan di Kali Bata pada umur 93 tahun yaitu pada tanggal 29 Sya’ban 1345 Hijriyah/1926 M.

Bersentuhan dengan alam ruhani

Ada seorang murid Idrisiyyah memiliki pembantu yang dapat berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Mungkin ekses dari ’keahliannya’ ini seperti sering pingsan atau tak sadarkan diri menyebabkan majikannya terdahulu tidak tahan. Namun dengan keberadaannya di tengah keluarga murid Idrisiyyah ini ternyata membawa barokah yang besar.
Hal ini sebagaimana diceritakan kepada saya beberapa minggu lalu (awal Juli 2007). Saat itu memang kebetulan sekali
Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mampir ke rumahnya, karena dekat dengan tempat khutbah Beliau di Masjid Pelita Air Service, Pondok Cabe.
Setelah duduk, Beliau Ra. dipertemukan dengan pembantunya yang sering mendapat masalah dengan mentalnya (karena banyak hal-hal aneh) yang ia lihat di rumah tersebut sejak ia menjadi pembantu beberapa bulan belakangan ini. Kepada Asy-Syekh al-Akbar bahkan si murid menanyakan apakah ia mesti ’dipertahankan’ sebagai pembantu di rumahnya.
Asy-Syekh al-Akbar mengatakan biarlah ia tetap di rumahnya. Karena di tempat lain belum tentu ia akan mendapatkan tempat sebagaimana sekarang ini. Ia perlu diasuh dan dijaga, mudah-mudahan membawa berkah rumah tangganya.
Saat pembantu itu bertemu, ia mencium tangan
Asy-Syekh al-Akbar. Setelah itu ia mencium tangan kepada ’seseorang’ di sebelah Beliau Ra. Dan juga ’satu lagi’ yang berada di sebelahnya. Betapa herannya majikan (si murid) menyaksikan keanehan yang diperlihatkan pembantunya ini. Sang manjikan pun berkata, ’Kamu mencium tangan siapa?’ Si pembantu menjawab, ’Orang yang mengiringi Bapak ini (Asy-Syekh al-Akbar). Kok keduanya tidak diajak bicara?’ Pembantu itu malah balik bertanya.
Asy-Syekh al-Akbar sudah mengerti apa yang terjadi. Namun Beliau sembunyikan untuk ’PR’ buat tuan rumah.
Sepulangnya
Asy-Syekh al-Akbar dari rumahnya, ia menginterogasi pembantunya dalam rangka mencari tahu apa yang dilakukan pembantunya siang tadi. Akhirnya, ingatlah ia kepada sebuah buku wirid Tarekat Idrisiyyah. Ia pun memperlihatkan buku tersebut kepada pembantunya. Dan si pembantu membulak balik halaman buku tersebut. Sesampainya pada halaman terakhir yang memuat foto Guru-guru Tarekat Idrisyyah, akhirnya ia berucap histeris, ’Naah, ini dia yang saya lihat tadi siang!’ sambil menunjukkan telunjuknya kepada foto Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra. dan Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra.
Cerita ini menambah haru bagi keluarga si murid, dan merasakan kehadiran pembantu itu membawa hikmah yang besar dalam rumahnya. Saya pun memahami kehadiran keduanya, sebagai rasa senangnya Gurunya tersebut (
Asy-Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra.) yang kebetulan adalah kakeknya. Karena si cucu sudah lama belum kembali ke pangkuan Idrisiyyah, sedangkan kepemimpinan Tarekat ini adalah merupakan generasi yang ketiga di Indonesia.
Tidak hanya itu, si isteri juga menceritakan mimpi yang indah sekali. Suatu ketika ia terganggu kembali dengan penyakit vertigo (kepala) yang sudah lama ia derita. Ia mengalami ketidaksadaran cukup lama yang membuat khawatir suaminya.
Setelah sadar, sang isteri bercerita, bahwa ia telah diajak ’jalan-jalan’ ke alam ruhani oleh
Asy-Syekh al-Akbar Abdul Fattah Ra. Ia sempat dibawa ke sebuah gedung seperti masjid yang indah sekali. Tidak ada yang cacat dari sikap para dayang-dayang yang menyediakan suguhan makanan dan minuman kepadanya. Semuanya cantik-cantik dan begitu ramah kepadanya. Belum sempat ia menikmati suguhan itu, ia beranjak ke luar ruangan. Di luar gedung itu ada sebuah gerbang. Dan di sanalah ia sudah ditunggu Asy-Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. Seketika ia terbangun dari tidurnya.
Saya tertegun, rasa syukur mendengar ini karena ruhani suci memberi aroma wewangian yang harum dan keindahan rasa bagi keluarga ini. Saya berharap ia menjadi semangat menjadi seorang murid, dan semoga langgeng bahtera rumah tangganya di bawah bimbingan Imam Zaman ini.

Minggu, 22 Juli 2007

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (ii)

Melanjutkan cerita terdahulu. Ikhwan saya itu juga berbaik hati untuk menceritakan ’cerita khusus’ lainnya tentang pengalaman ruhani isterinya,
Suatu malam pada saat berzikir istri saya tertidur, dalam mimpinya ia tengah berkumpul dengan beberapa orang / umat yang sedang akan berangkat ke puncak bukit. Di tengah kerumunan tersebut tampak sosok Syekh al-Akbar bersama murid-muridnya. Semua orang berangkat ke puncak bukit tersebut, khusus untuk murid-murid Syekh al-Akbar sebelum berangkat mereka minta izin terlebih dahulu kepada Gurunya termasuk istri saya. Di tengah kerumunan tersebut dia juga melihat ibunya sedang berusaha untuk naik kebukit itu juga. Banyak orang mencoba untuk naik tapi banyak yang tidak sampai bahkan terjatuh kembali. Tetapi ia melihat hampir semua murid Syekh al-Akbar bisa dengan aman dan lancar sampai ke puncak bukit. Di puncak bukit istri saya merasakan suasana yang luar bisa nikmatnya yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata,... Ketika dia berada di puncak, ternyata ia juga melihat ibunya (yang bukan murid) berusaha untuk naik ke bukit tersebut, tetapi hanya sampai di tengah dan tidak sampai-sampai, sambil memanggil istri saya untuk minta pertolongan, tetapi istri saya tidak bisa menolong.
Inilah gambaran perbedaan orang yang telah berada dalam naungan Birokrasi Ilahiyyah di bawah pimpinan Syekh al-Akbar dengan yang tidak. Alangkah ruginya jika kita tidak mau menjemput ’petunjuk’ ini agar nasib kita tidak seperti mereka yang bersusah payah mendaki ’gunung keselamatan’.
Janganlah kita mengharapkan syafaat (pertolongan) di akhirat nanti, harapkanlah di dunia ini agar dimudahkan mendapat pemimpin yang dapat membimbing kita ke jalan yang lurus. Sebab manakah kita sanggup merasakan azab-Nya sekecil apapun bentuknya sebelum diberi pertolongan (syafa’at). Marilah kita harapkan keselamatan. Di dunia dan di akhirat. Selamat di dunia, berarti tidak mendapatkan kelengahan dalam beribadah. Selamat di akhirat berarti masuk syurga tapi tidak ’mampir’ ke neraka terlebih dahulu.
Berkenaan dengan orang-orang yang belum berbai’at dengan Syekh al-Akbar atau menikmati Birokrasi Ilahiyyah ini, Beliau Ra. berpesan agar setiap murid senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka. ’Usahakan, kata Beliau, agar mereka tidak menaruh kebencian dalam hatinya kepada sosok Syekh al-Akbar! Karena orang-orang yang membenci dengan Syekh al-Akbar akan terputus hubungannya di akhirat nanti.’ Beliau Ra. melanjutkan pernyataannya dengan firman Allah: ’Inna syaani-aka huwal abtar’. Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membencimu itu adalah orang-orang yang terputus (hubungannya)’. Orang-orang yang terputus ini merupakan salah satu golongan yang tidak mendapatkan syafa’at Birokrasi Ilahiyyah di akhirat nanti.’ Na’uudzubillaah min dzaalik.

Allah akhirnya membukakan karunia-Nya (i)

Man lam yadzuq lam ya’rif (Barang siapa yang belum (tidak) merasakan maka ia tidak akan mengenal). Begitulah pepatah yang pernah dikemukakan seorang sufi besar masa lalu, Dzun Nun al-Mishri Qs. Inilah yang merupakan dasar mengapa setiap murid harus mengerti kebesaran (keagungan) dan maqam Syekhnya agar ia dapat berkhidmah dengan lapang. Ia harus mendapatkan bukti sebagai dasar keyakinan.
Mungkin cerita berikut ini akan menggugah kita, isteri kita atau anak-anak kita untuk mengenal lebih dekat siapakah Syekh al-Akbar itu dari sisi ruhaniyah, bukan dari sisi jasmani. Karena jika kita melihat sisi Beliau secara jasmaniyah, sama halnya para sahabat melihat Nabi Muhammad Saw dalam pandangan lahir, yang juga makan, minum, tidur, berkeluarga, dan sebagainya.
Seorang murid wanita telah membuktikan hal itu dan baru mengetahuinya, meskipun ia telah sekian tahun lamanya ikut mengaji dengan suaminya. Suaminya bercerita kepada saya,
Setiap waktu saya berdo’a kepada Allah dengan wasilah Syekh al-Akbar, mudah-mudahan isteri dan anak-anak saya dibukakan pintu hatinya agar mereka juga mendapatkan keyakinan seperti saya dalam menyikapi tuntunan dan ajaran-ajarannya selama ini. Dan saya juga ikhtiar (bukan hanya do’a), sedapat mungkin di setiap pengajian rutin hari Ahad yang dihadiri Syekh al-Akbar di Batu Tulis bisa membawa keluarganya semua (anak dan isterinya). Bertahun-tahun hal itu saya lakukan meski isteri saya belum mendapat cahaya keyakinan seteguh apa yang ia rasakan sekarang.
Tapi suatu hari sepertinya Allah mengabulkan permintaan saya. Di suatu saat istri saya sedang berzikir Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatin wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah sambil melihat foto Syekh al-Akbar yang terpampang di suatu dinding rumahnya. Tiba-tiba foto tersebut mengeluarkan cahaya terang berkilau. Tentu saja kejadian ini membuatnya kaget (karena baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh yang begitu nyata ia rasakan).
Dan pada malam harinya ketika tertidur ia bermimpi bertemu dengan sosok manusia berjubah dengan wajah hitam dan mengaku sebagai Syekh al-Akbar. Ia berkata kepada istri saya, ’Jangan ikuti Syekh al-Akbar yang lain, yang lain itu adalah Syekh al-Akbar palsu dan yang benar adalah saya ini!’ Istri saya menjadi bingung, sebab kok Syekh al-Akbar yang mengaku-ngaku itu wajahnya tidak sama dengan Gurunya. Di tengah ketakutannya itu ia berteriak Madad Syekh Akbar! maka secara tiba-tiba sosok berwajah hitam tersebut menghilang.
Kejadian inipun diceritakan kepada saya, dan saya merasa bersyukur kepada Allah. Terasa lapang dada ini mendengarnya.
Saya mendengar ini begitu senang sekaligus menimbulkan rasa iri. Duuh, seandainya isteri saya dan murid Idrisiyyah lainnya yang belum merasakan seperti itu akan mengalami hal serupa. Tentu menambah cahaya dalam rumah tangganya, dan tidak ada konflik dengan kebijakan Syekh al-Akbar melalui Birokrasi Ilahiyyah-Nya.

Kamis, 19 Juli 2007

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 M)

Imam al-Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 M)

Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'iin, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldun, p. 328]

Gelar 'Syaikh al-Akbar'

Kalimat ‘Syaikh al-Akbar’ [1] yang diletakkan di depan nama beliau & Khalifah sesudahnya adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh Rasulullah SAW [2] kepada Sulthan Awliya pilihan pada zamannya, bukan semata-mata ungkapan pujian atas sesuatu kelebihan dari murid-muridnya. Sebab banyak di zaman sekarang menjadi ‘latah’ untuk memberikan penghormatan khusus kepada Guru Mursyid atau Ulama yang dikaguminya, baik yang masih hidup maupun telah wafat. Hal demikian tidak mengapa, asalkan tidak terlalu berlebihan, yakni tidak melebihi daripada kadar (proporsi) yang sebenarnya. Gelar yang utama bagi seorang Syekh adalah yang diberikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Karena martabat yang di atas itu terlebih tinggi daripada martabat yang di bawah. [3]
Pemberian ‘Syaikh al-Akbar’ ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman dunia ini akan dipimpin oleh seorang yang memiliki martabat khusus. Kalimat Syaikh al-Akbar merupakan Dakwah Mursyidah, yang diungkapkan seperti mengajak semua manusia untuk mencari tahu siapakah yang dikatakan sebagai ‘Syaikh al-Akbar’ itu dan siapakah Guru Mursyid sebenarnya (hakiki), yang merupakan pilihan Rasulullah SAW pada setiap zamannya. Sehingga meskipun ia berada di belahan bumi manapun, maka hendaknya ia mencarinya agar senantiasa mendapat petunjuk & tidak tersesat. Hal ini mengingatkan kita pada suatu keterangan hadits. [4]
Istilah ‘Syaikh al-Akbar’ ini dalam sisi pengajaran Tasawuf maksudnya menafikan ‘nama’, ‘ego’, kemegahan diri, dsb. Karena cenderung tidak menyebutkan nama Syekhnya, sehingga tidak ada kesan memiliki. Dalam suatu majelis, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan sering menyebut bahwa semua murid yang hadir ini adalah murid Syekh al-Akbar Abdul Fattah, bukan murid Bapak, Bapak (Sy. Muh. Dahlan) hanyalah menjalankan amanat/tugas. Dan demikian pula Syekh al-Akbar Abdul Fattah-pun mengatakan demikian, bahwa semua muridnya adalah murid Syekh Ahmad Syarif Sanusi, dan seterusnya. [5] Sehingga begitu kalimat itu sampai kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa semua murid adalah hamba Allah. Inilah tuntunan dalam kefaqiran (merasa tidak memiliki) dan ketawadhu’an (merendahkan diri/menjauhi kemegahan diri).
Menyebut kata ‘Syekh al-Akbar’ berarti menyebut semua Guru dalam silsilah Thariqat. Ketika seorang murid meneriakkan ‘Madad/tolong Syaikh al-Akbar!’ maka secara langsung berarti ia memohon pertolongan kepada Allah SWT, sebab dalam sekejap setiap Syekh yang mendengar panggilan muridnya itu akan meneriakkan kalimat tersebut kepada Gurunya masing-masing, hingga yang rantai penyampaiannya sambung menyambung dari Guru pertamanya hingga terakhir.
Syekh al-Akbar, dalam nuansa ketawadhu’an, bukanlah artinya seorang Syekh yang paling agung (terbesar), tetapi maknanya adalah seorang Syekh yang senantiasa merasakan seluruh gerakan nafasnya berada dalam genggaman Allah Yang Besar (Akbar), selanjutnya Syekh tersebut belajar untuk taat & mematuhi segala perintah Allah Yang Besar. Demikian Guru kami mengajarkan.
Keterangan:
[1] Dalam literatur yang penulis temukan, ada dua sosok Ulama Shufi yang disebut sebagai Syaikh al-Akbar oleh kalangan murid atau pengikutnya, yaitu: Muhyiddin Ibnu ’Arabi (seorang Shufi Andalusia, Spanyol), dan Syekh Bahauddin Naqsyabandi (lihat Kitab Tanwirul Qulub). Guru Besar (seperti Rektor) dalam perguruan tinggi Al-Azhar, Kairo Mesir saat ini diistilahkan pula dengan Syekh al-Akbar.
[2] Gelar ‘Syaikh al-Akbar’ diberikan oleh Rasulullah Saw kepada Syekhuna Abdul Fattah lewat seorang murid Idrisiyyah yang mukasyafah, beliau bernama Ajengan Mukhtar dari Awipari, Tasikmalaya. Setelah itu banyaklah pengalaman ruhani yang menyebutkan kedudukan ‘Syaikh al-Akbar’ bagi Sulthan Awliya pada kepemimpinan Tarekat Idrisiyyah di Indonesia selanjutnya.
[3] Artinya gelar seorang Syekh yang diberikan seorang murid kepadanya berbeda dengan gelar yang diberikan Rasulullah. Karena banyak orang menyanjungkan seseorang hanya sebagai ungkapan Mahabbah kepadanya, bukan berdasarkan pengetahuan Ilahiyyah dari Rasulullah SAW. Wallaahu A’lam.
[4] Dalam suatu hadits diceritakan bahwa pemimpin seperti Imam Mahdi itu harus dicari ke manapun meskipun ia harus merangkak di atas salju.
[5] Ungkapan ini juga dikemukakan oleh penerus beliau, Asy-Syekh al-Akbar Muhamad Daud Dahlan.
[Diambil dari Buku 'Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah']

Selasa, 17 Juli 2007

Seandainya saya masih hidup

Pada saat diadakannya wisata dzikir di Cipatujah (Pantai Selatan) beberapa hari yang lalu (14 Juli 2007) ada selintas peristiwa yang menarik untuk diungkap. Ada seorang ibu (murid Idrisiyyah) yang sering mengalami ‘kehadiran’ ruhani. Karena seringnya, ia sudah ‘pengalaman’ tentang tanda-tanda kedatangan seorang makhluk gaib (Rijalul Ghaib).
Saat program acara wisata spiritual Cipatujah ia merasa tidak siap untuk dihadiri oleh ruhani-ruhani suci. Dan akhirnya sebagaimana biasanya ia mendapat sinyal-sinyal kedatangan seorang Awliya Allah yang ingin ’meminjam tubuhnya’. Apa yang ia katakan pada ruhani gaib itu,
’Sekarang saya tidak menerima kedatangan tamu, saya mau berdagang tahu. Yang lain saja!’.... pernyataan itu pun diucapkannya berulang-ulang’. Hingga akhirnya sosok ruhani gaib yang tiada lain adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan itu berhasil ia tepis dan tidak mampu ’mengganggu’ aktivitasnya selama acara tersebut.
Rupa-rupanya kedatangan ruhani Syekh Abdul Muhyi itu ’disambut’ oleh murid Idrisiyyah yang lain. Syekh Abdul Muhyi berhasil ’menundukkan’ raga si murid. Dengan meminjam tubuh si murid, Syekh Abdul Muhyi mengatakan,
’... Seandainya saya masih hidup, saya akan menjadi murid Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra.!’
Pernyataan ini sudah diungkap beberapa puluh tahun yang lalu.
[Lihat Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’]. Hanya saja waktu itu yang menjadi Syekh al-Akbar (sulthan Awliya) adalah Ghautsul A’zham Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.

Ada apa dengan ‘Cipatujah’?

Wisata dzikir di Cipatujah memiliki misteri yang tidak diketahui banyak, termasuk murid Idrisiyyah sekalipun. Mereka (khususnya) pengurus dengan waktu dan persiapan yang sangat terbatas hanya bersikap ‘Sami’na wa Atho’na.
Beberapa hari sebelum acara tersebut Ruhani Syekh al-Akbar memberitahukan kepada salah seorang murid, mengapa diadakan acara tersebut secara mendadak? Syekh al-Akbar mengisyaratkan bahwa akan ada kejadian yang teramat besar di bumi yang saat ini kita pijaki. Sebenarnya P. Jawa ini akan meledak, dan guncangannya akan terdengar dan dirasakan oleh seluruh penjuru dunia!
Namun bumi yang sedang bergolak ini masih memandang keberadaan Sulthan Awliya di atasnya. Kethuilah bahwa gerak turun aliran darah Syekh al-Akbar secara fisik sangat berpengaruh secara significant terhadap fenomena alam saat ini.
Mengapa bumi ini bergejolak? Ooh, Syekh al-Akbar sedang mengekspresikan kekecewaan terhadap umat ini yang tidak mau peduli dengan keberadaan Imam Zaman!! Mereka (umat Islam khususnya) sudah tidak peduli dengan keberadaan Khalifah Rasulnya saat ini. Mereka acuh tak acuh.
Apa nasib umat ini jika informasi keberadaan Khalifah Zaman sudah diinformasikan, sedang mereka mengingkarinya?! Jangan heran bumi ini akan menggeliat dengan hebat. Kejadian alam yang belum pernah terjadi pada masa dahulu akan muncul. Apa gunanya dengan apa yang orang-orang usahakan selama ini tentang dunianya?
Pandangan ruhaniyah ternyata berbeda dengan pandangan mata kita yang sering tertipu dengan kesibukan dunia ini.
Dan, selang beberapa jam Menteri ESDM Bapak Purnomo Yusgiantoro dalam jumpa persnya (setelah menghadap Presiden) menginformasikan bahwa sejumlah gunung-gunung berapi di Indonesia dalam kondisi aktif . Pemerintah segera membuat rencana-rencana penanggulangan bencana alam skala nasional, mengantisipasi dengan kondisi Siaga terhadap gunung-gunung yang tiba-tiba menjadi aktif.
[Ada satu gunung dalam posisi siaga aktif, yaitu G. Soputan (Sulut). Dan 10 gunung lainnya dalam posisi waspada, yaitu: G. Talang (Sumbar), Anak Krakatau (Lampung), G. Merapi (Jateng), G. Semeru dan G. Bromo (Jatim), G. Batubara (NTT), G. Lokon dan G. Karangetang (Sulut), G. Dukono & G. Ibu (Maluku Utara).]
Berita ini merupakan relevansi sinyal ruhaniyah yang didapat oleh seorang murid Idrisiyyah. Hal ini menandakan alam ruhani lebih dahulu mengetahui kondisi-kondisi yang akan terjadi terhadap alam ini.
Setelah acara di Cipatujah (keesokan harinya) pemerintah menginformasikan bahwa beberapa gunung yang disebutkan sebelumnya turun posisinya dari siaga menjadi waspada.
Alhamdulillaaah!
Yaa, Allah Yaa Rahmaan, lindungilah kami pada saat air mata darah sudah tidak lagi berarti! Jangan jadikan kami sebagai orang-orang yang terlambat menggapai karunia hidayah-Mu.
Yaa, Allah Yaa Rahmaan, panjangkanlah usia Beliau, Syekh al-Akbar Muhyiddin Muhammad Daud Dahlan, agar tersisa waktu dan kesempatan bagi kami untuk membenahi diri, dan orang-orang yang belum mendapatkan curahan anugerah hidayah Birokrasi Ilahiyyah.