Senin, 28 Desember 2009

Masing-masing Merasa Benar

Sebuah semangka jatuh dari kendaraan bermotor, berguling-guling di tengah jalan raya yang ramai. Pengendara B di belakangnya melihat benda tersebut segera menyepaknya dari jalan. Melihat barangnya ditendang seperti barang mainan si Pengendara A yang tadinya berniat berhenti mengambil semangkanya menjadi urung, dan berbalik niat mengejar Pengendara B yang berbuat tidak senonoh terhadap barang belanjaannya itu. Akhirnya di tengah jalan raya itu terjadi aksi kebut-kebutan, kejar mengejar. Sialnya, jalan raya di Jakarta saat itu sedang sibuk. Kemacetan membuat Pengendara A berhasil mengejar Pengendara B. Terjadilah baku hantam diselingi lontaran kata-kata yang tidak enak untuk ditulis, didengar, apalagi diucapkan oleh seorang manusia beradab.

Keduanya berhasil dihijrahkan ke Pos Polisi. Keadaannya pun tidak berubah, perang mulut tetap berlangsung. Rasa malu keduanya menjadi hilang. Ego dan emosi menggelapkan hati keduanya.

Keadaan sudah menjadi keruh, sehingga saat warna air sudah menjadi coklat kita sudah tidak bisa memilah mana yang susu dan mana yang kopi. Demikianlah kebenaran, jika dibahas dan diungkap secara emosional (meskipun) awalnya benar menjadi rusak lah aromanya.

Anggaplah kita sebagai malaikat saksi yang bisa me-review ulang kisah tersebut. Rupa-rupanya si Pengendara A habis pulang dari orang tuanya yang menitipkan buah semangka untuk anak kesayangannya di rumah. Si Pengendara A menganggap semangka yang dibawanya adalah sesuatu yang sangat berharga, karena dianggap sebuah amanat yang wajib sampai ke tujuan, yakni untuk si buah hati. Bagaimana jawaban yang mesti ia berikan kepada anaknya jika ia menanyakannya. Begitu pula dengan pertanyaan kedua orang tuanya. Ia merasa kecewa dengan Pengendara B yang semena-mena memperlakukan ‘barang berharga’ itu. ‘Dasar manusia tak berperasaan!’ kata si Pengendara A dalam hati.

Pengendara B juga punya alasan baik yang tidak diketahui oleh Pengendara A. Ia punya pengalaman pahit yang menimpa anaknya ketika naik kendaraan bermotor di jalan raya. Anaknya jatuh dari kendaraan bermotor akibat benda asing yang jatuh di hadapannya saat berkendara. Akibatnya hingga saat ini anaknya mengalami patah tangannya. Cerita duka inilah yang menghantui si Pengendara B, sehingga saat peristiwa itu berulang pada dirinya segera ia lakukan tindakan tepat dan cepat. Ia berharap dirinya maupun orang lain di jalan raya tidak mengalami seperti apa yang dialami anaknya. Trauma kejadian itu tidak dimengerti oleh Pengendara A.

Kejadian begitu cepat, dan keadaan sebenarnya tidak bisa kita ungkap dengan seketika. Bayang-bayang ego dalam menilai suatu kebenaran dalam diri sering mendorong kita untuk menemukan atau menentukan jawaban pasti dan segera. Kita membutuhkan seorang Hakim (penengah) dalam kehidupan ini, karena kerap kali kita tergesa-gesa memilih atau menentukan kebijakan dalam menentukan kebenaran.

Inilah pelajaran Kekhidhiran. Yang mengajarkan Musa As bersabar mendapatkan penjelasan / pemahaman. Kebenaran Hakiki tidak bisa dinilai secepat mata memandang, telinga mendengar, akal merekam, hati merasakan. Semua mesti menahan diri dan sabar terhadap metode kebijakan yang sedang dihadapkan. Maka pengertian yang lebih sempurna dengan sendirinya akan kita dapatkan.

Syekh al-Akbar mengungkapkan, 'Seorang Muslim belum tentu konsisten dengan keislamannya, dan orang Kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya'. Artinya semuanya berjalan melalui proses mekanisme Qudrat dan Iradat-Nya, bukan kemauan (kehendak) manusia dengan sifat ketergesaannya.


Salam Birokrasi Ilahiyyah, 29 Des 2009.