Senin, 01 Maret 2010

Berjabat Tangan dengan Orang Alim

Dan sabda Beliau Saw:

مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا زَارَنِيْ وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِيْ وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا جَالَسَنِيْ وَمَنْ جَالَسَنِيْ فِى الدُّنْيَا أَجْلَسَهُ اللهُ مَعِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang mengunjungi orang Alim seakan-akan ia mengunjungiku, barang siapa yang berjabat tangan dengan orang Alim seakan-akan berjabat tangan denganku, barang siapa yang duduk dengan orang Alim seakan-akan duduk denganku, barang siapa yang duduk denganku di dunia niscaya akan didudukkan Allah bersamaku di syurga pada hari kiamat”.

Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Qaddasallaahu Sirrahu sering mengucapkan hadits ini di kala berjabat tangan dengan murid-muridnya seusai mengakhiri majelisnya.

Hadits ini menunjukkan adanya hubungan yang terkait dan terus berlanjut secara ruhaniyyah antara Beliau Saw dengan Ulama. Dan yang dimaksudkan adalah Ulama tertentu, bukan sembarang Ulama. Kalau hubungan Rasulullah Saw dengan Ulama pilihan tidak terputus, maka tidak terputus pula bimbingan Beliau Saw kepada umatnya hingga akhir zaman. Tentu, bimbingan itu melalui Ulama yang diwarisinya pada setiap masa. Secara lahir petunjuk umat itu melalui Nabi Muhammad Saw, hakikatnya adalah berasal dari Allah SWT. Secara lahir umat dibimbing melalui Ulama pilihan Beliau Saw, dan hakikatnya berasal dari Rasulullah Saw.

[Tanbihul Ghafilin, karya Syekh Abu Laits Samarqandi Rhm]



Pandangan Yang Bernilai Ibadah

Tersebut dalam kitab Tanbihul Ghafilin, karya Syekh Abu Laits Samarqandi Rhm di mana Nabi Saw bersabda:

اَلنَّظْرُ فِيْ وَجْهِ الْعَالِمِ عِبَادَةٌ وَالنَّظْرُ إِلىَ الْكَعْبَةِ عِبَادَةٌ وَالنَّظْرُ فِى الْمُصْحَفِ عِبَادَةٌ

“Memandang orang Alim itu ibadah, melihat Ka'bah adalah ibadah dan melihat Al-Quran itu juga ibadah”.

Orang Alim di sini pengertiannya bukan sekedar orang yang tahu atau pintar, tapi merupakan orang yang kehadirannya dapat membawa orang lain bertambah dekat dan ingat kepada Allah 'Azza wa Jalla. Apalagi seseorang yang dimandatkan kepemimpinannya oleh Rasulullah Saw secara hakiki bukan majazi.