Kamis, 19 Februari 2009

FIRASAT

Firman Allah SWT: ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda’ (Q.S. Al-Hijr: 75)
Al-Mutawassimin (orang yang memperhatikan tanda-tanda) di sini adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Nabi Saw bersabda: ‘Takutlah kalian dengan firasatnya orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah!’ (HR. Tirmidzi)
Kepada siapakah ungkapan ini ditujukan? Karena tidak semua orang memiliki firasat yang dapat dipakai sebagai petunjuk. Hadits ini tidak diungkapkan, ‘Gunakanlah firasat kalian masing-masing!’ Ungkapan ini teralami jelas oleh seorang murid ketika beradab kepada Syekh yang terpilih.
Atas dasar inilah mengapa seorang murid bersikap Sami’na wa Atho’na di hadapan Syekh yang kamil keimanannya kepada Allah. Karena mereka mengamalkan hadits tersebut. Para murid khawatir dengan tajamnya firasat Syekhnya yang senantiasa berhubungan hatinya kepada Allah.
Maka tidak akan sampai kepada orang-orang yang membelenggu dirinya atas pemahaman Masyayikh Shufi, sehingga pengagungan seorang murid kepada sikap seorang Syekh dianggap sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan sunnah.
Mereka yang senantiasa mencela perilaku murid yang sedang berkhidmah kepada Syekhnya tidak akan mencapai pengetahuan firasat yang Allah berikan kepada kaum yang dibentuk oleh tradisi pengajaran Kenabian. Seorang Syekh yang bermartabat Waratsatul Anbiya menduduki posisi ini akan diperlakukan sebagaimana sahabat berhadapan dengan Nabi mereka.
Abul Hasan al-Alawi al Hamdani menceritakan pengalamannya bahwa suatu ketika ia membeli seekor bebek yang kemudian dimasaknya. Saat ia meninggalkan makanannya itu di atas kompor di rumahnya, ia pergi menemui Gurunya Syekh Ja’far al-Khuldi. Kemudian Syekh-nya tersebut menyuruhnya untuk menginap di rumahnya. Namun Abul Hasan al-Alawi menolaknya. Begitu ia kembali ke dalam rumahnya, ia kehilangan bebeknya karena ada anjing yan masuk ke dalam rumahnya. Keesokan harinya ia mendatangi Gurunya itu, lalu Gurunya berkata, ‘Barang siapa yang Tidak mentaati perintah para Syekh, maka ia dikuasai oleh anjing sehingga ia menemui hal-hal yang tidak diinginkannya’.
Seorang murid (dalam Tarekat) bukan melebih-lebihkan Gurunya karena tanpa alasan. Firasat Gurunya melampaui apa yang akan ia perbuat. Mereka menyerahkan dirinya untuk dibentuk lahir dan batinnya, hal ini karena dirinya ia serahkan kepada firasat yang Allah berikan kepada Syekhnya. Gurunya hanya seorang makhluk yang kedudukannya sama sebagai hamba-Nya, tapi makhluk yang diberi kedekatan si Pemilik kehidupan berbeda maqam kedudukannya. Sebagaimana batu mulia di antara batu-batu lainnya.
Jakarta, 19 Februari 2009

SYIRIK ATAU WASILAH?

Kasus ponari

Dunia kedokteran merasa ‘dilecehkan’ dengan adanya peristiwa pengobatan massal dengan ‘batu ajaib’ Ponari, ‘si Dukun Cilik’. Betapa tidak, kaum dokter telah belajar bertahun-tahun untuk menjadi seorang dokter. Butuh pengorbanan yang tidak sedikit baik harta maupun umur yang telah mereka habiskan, agar tercapai statusnya sebagai ‘dokter’.

Tapi, si Ponari hanya dalam waktu relatif singkat sudah begitu terkenal dengan batu ajaib yang diterimanya melalui proses sekejap mata. Puluhan ribu pasiennya datang dari belahan penjuru wilayah di negeri ini. Mereka rela menanti berhari-hari lamanya untuk menerima ‘air celupan batu’ milik Ponari. Ekses dari kejaiban kasus Ponari ini melahirkan berbagai kontra pendapat baik secara klinis (medis) maupun tinjauan agama.

Pengobatan dengan air sebenarnya merupakan jenis pengobatan alternatif. Istilah alternatif berarti bukan prioritas. Artinya pengobatan yang ke sekian setelah pengobatan jalur medis telah ditempuh seseorang. Masyarakat sebenarnya tidak memiliki pilihan saat mereka tidak menemukan gejala kesembuhan lewat medis atau alternatif lainnya, sehingga mereka melakukan proses ikhtiar bagi kesembuhan penyakitnya.

Banyak yang menilai shahih dan tidaknya perkara-perkara yang ajaib saat ini dengan standar syirik (menyekutukan Allah). Padahal untuk menilai syirik itu sendiri bisa teramat sulit karena syirik itu merupakan wilayah batiniyyah yang sulit dideteksi dan Allah saja Yang Mengetahuinya.

Dalam tinjuan Agama Islam, apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai penyebab kejadian didentifikasikan sebagai syirik. Apabila seseorang menganggap air batu Ponari sebagai penyembuh penyakitnya maka ia bisa dikatakan telah melakukan perilaku syirik. Hal yang sama ditujukan kepada siapapun yang berobat ke dokter, ia pun menjadi syirik apabila menganggap dokter atau obatnya yang telah menyembuhkan penyakitnya. Jadi, tidak ada bedanya antara obat berupa pil atau suntikan dokter dengan air celupan batu Ponari. Semuanya adalah perantara (wasilah, dalam istilah Agama) dalam mencapai kesembuhan.

Nabi Ibrahim As, yang dijuluki sebagai Bapak Tauhid pernah berdo’a, ‘...Wa-idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin. [Jika aku sakit, Engkaulah yang menyembuhkan!]’ Kalau kita melihat ayat ini seolah meniadakan peran dokter atau tabib. Karena Beliau As menyatakan Allah yang menyembuhkannya, bukan lainnya.

Saat kita menyebutkan dalam setiap membaca Fatihah, ‘Iyyaaa na’budu wa iyyaaka nasta’iin’. Kemudian kita artikan ‘Hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada Engkau lah kami memohon pertolongan’. Maka seolah kita menafikan keberadaan dokter ketika kita sakit, dan keberadaan mahkluk-Nya yang lain saat kita membutuhkan pertolongan. Sebab kita mengartikannya dengan keliru.

Salah tafsir tentang pemahaman agama lah yang membuat kita seolah gerah atau was-was terhadap kasus yang berbau ‘keajaiban’. Akhirnya kita alergi tehadap semua keajaiban yang Allah anugerahkan kepada para Kekasih-Nya. Masyarakat semakin dijauhkan dengan fenomena keajaiban akibat kelirunya para tokoh media dan Ulama dalam membedah masalah. Akibatnya masyarakat (akibat salah memahami sumber hukum agama) menjadi kehilangan arah dalam membedah kasus kehidupan akibat selalu dibentengi dengan pemahaman istilah syirik, bid’ah atau khurafat yang salah.

Kekeliruan pertama adalah kekeliruan masyarakat ketika berinteraksi dengan dunia pengobatan. Sebelum munculnya 'Ponari dan batunya' itu mungkin secara sadar maupun tidak sadar beranggapan bahwa aneka obat herbal atau obat medis lainnya dianggap sebagai penyembuh. Mereka tidak mendudukkan peran obat sebagai wasilah dan menyandarkan hakikat segala sesuatunya kepada Allah SWT yang menyembuhkan.

Akhirnya kunci yang amat menentukan adalah niat seseorang dalam berbuat sesuatu. Dengan berpijak pada kaidah ‘Semua bergantung kepada niat’, maka dalam kasus ini niat mereka yang berobatlah yang perlu diluruskan. Kalau sudah lurus niatnya, mereka yang berobat (kepada siapapun baik kepada Ponari maupun ke dokter) akan menyatakan bahwa ia berobat dengan wasilah Ponari atau dokter, namun Allah lah yang menyembuhkannya.

Kita perlu menarik hikmah kejadian demi kejadian unik dan luar biasa belakangan ini agar bisa memposisikan penilaian kita dengan benar dalam kehidupan kita yang lain. Betapa banyak penyimpangan yang terjadi akibat lemahnya pengetahuan kita dalam merumuskan persoalan berdasarkan kaidah Aqidah yang lurus. Akhirnya baik orang yang berbuat maupun yang menilai sama-sama keliru menyikapinya.

Dalam dunia perobatan saja kita mengenal adanya perantara untuk menyembuhkan, tapi mengapa untuk beribadah kepada Allah kita merasa tidak memerlukan perantara untuk menyampaikan. Adalah hal yang tidak logis.

Kasus Ponari menyelipkan kesimpulan betapa perilaku masyarakat dewasa ini banyak yang melupakan Allah SWT. Mereka menginginkan sesuatu yang instan dalam kehidupan ini. Kesembuhan yang ajaib dan seketika. Sama halnya dengan instannya dalam beribadah kepada Allah, dengan tanpa wasilah yang menyampaikan kepada-Nya. Karena wasilah atau perantara adalah sesuatu yang niscaya. Karena kalau tidak, Allah tidak menciptakan para malaikat dan para Utusan-Nya ke muka bumi ini.

Jakarta, 19 Februari 2009.


Rabu, 18 Februari 2009

KEDUDUKAN MURSYID, GHIBAH, TUJUAN KEHIDUPAN

Pengajian di Pamulang, 30 Januari 2009

Kedudukan Seorang Mursyid

Seseorang yang masuk ke dalam kategori Shalih merupakan orang yang ibadahnya tidak mencampurkan antara yang Haq dengan yang batil. Dan perkara yang batil itu menjadikan 'batal' amal ibadahnya di hadapan Allah. Apakah mungkin seorang yang disebut Mursyid itu masih mencampurkan ibadahnya dengan perkara yang makruh atau haram?

Seorang Mursyid itu makrifat aqidahnya kepada nilai-nilai Ilahiyyah. Seperti yang kita perjuangkan akhir-akhir ini, kita mengadakan acara Malam Tauhid setiap malam tanggal 25 Desember. Karena pada malam itu banyak berkumandang kalimat-kalimat syirik di seluruh dunia. Inilah contoh perhatian seorang Mursyid kepada umat. Seorang Mursyid semestinya memiliki tanggung jawab dan mengkhawatirkan umatnya agar tidak terperosok kepada kerusakan. Jangan hanya menjadi Mursyid yang sekedar mendawamkan wirid-wirid Guru-gurunya yang terdahulu, tapi tidak membijaki nilai-nilai ar-Rasyidin dan al-Mahdiyyin. Kebijakan Ar-Rasyidin adalah kebijakan hubungan vertikal kepada Allah SWT. Apabila terjadi penyimpangan aqidah di tengah umat, maka dengan kemakrifatannya seorang Mursyid akan meluruskannya. Sedangkan kebijakan Al-Mahdiyyin merupakan kebijakan horisontal, yakni perkara syari'at yang diturunkan Allah yang mesti ditaati oleh setiap manusia. Seorang Mursyid mesti memiliki kepedulian kepada umatnya, dan makrifat kepada nilai-nilai Ilahiyyah.

Nilai-nilai Al-Islamiyyah tidak hanya membijaki masalah keimanan semata, tapi juga membijaki nilai-nilai duniawi. Maka disebut ‘Mahdi’, orang-orangnya disebut ‘Al-Mahdiyyiin’. Yakni orang yang diberikan kemampuan dan kelebihan pengetahuan dunawi, serta kepemimpinan di dunia.

Antara Mursyid dan Imam al-Mahdi itu akan muncul suatu masa. Orang yang dinamakan Al-Mahdi ini akan menyatakan kepemimpinannya di depan Ka’bah Baitullah kelak, bukan di sini. Kalau ada yang mengaku-ngaku Imam al-Mahdi sekarang ini patut dipertanyakan. Wallaahu A’lam kapan hal itu terjadi. Maka saat ini kita tidak memfokuskan pembicaraan kepada masalah keberadaan Imam al-Mahdi, tapi membahas perkara identitas seorang Mursyid sebagai pemimpin setiap Thariqat pada masa sekarang.

Pemimpin yang hakiki itu akan membijaki masalah lahiriyyah dan batiniyyah, serta perilakunya tidak mencampurkan ibadahnya dengan nilai-nilai tradisi atau budaya yang bersifat emosional, apalagi mengandung perkara yang haram dan makruh. Hal ini merupakan permasalahan yang sangat serius.

Al-Quran di satu sisi mengungkapkan hukum terhadap suatu permasalahan dengan jelas dan detail (rinci), namun di sisi lain membutuhkan ijtihad dalam mengungkapkan kepastian hukum satu perkara. Bukan berarti ijtihad itu tidak ada tuntunannya dalam Al-Quran.

Telah diungkapkan dalam firman Allah: 'Wayuhillu lahumuth thoyyibaat wayuharrimu ‘alayhimul khobaa-its (Q.S. Al-A’raf: 157). Ayat tersebut menjadi pedoman atau rumus yang bersifat global. Perkara apa saja yang mencerminkan kepada akibat keburukan melalui bukti penyelidikan ilmiah, maka dinyatakan haram. Jika ditelusuri dengan kaidah ilmiah baik, maka hal itu menjadi halal. Jadi kita tidak perlu repot lagi mencari-cari dalil hadits tentang masalah rokok. Bukankah kehidupan ini selalu bergerak dinamis. Suatu masa muncul sesuatu yang belum ada pada masa sebelumnya, dan masa ke depan akan ada hal yang baru lagi. Ke mana dalil mesti kita ambil kalau bukan dari Al-Quran.

Kalau pun ada hadits atau sunnah, hal itu merupakan bagian dari hikmah Al-Quran atau nilai tambah dari kandungan Al-Quran atau akumulasi segala kebijakan Al-Quran. Firman Allah SWT menyatakan: Wayu’allimukumul kitaaba wal-Hikmah (Dan Dia [Allah] mengajarkan kepada kalian Al-Kitab [Al-Quran] dan Hikmah, QS. Al-Baqarah: 151).

Maka setelah zaman Kenabian Al-Hikmah itu tetap berlangsung, karena Al-Quran memiliki tata nilai yang senantiasa relevan dan abadi untuk kehidupan di setiap masa. Relevansi nilai kandungan Al-Quran diterapkan oleh sosok pilihan sebagai pewaris Nabi dan Al-Kitab. Firman Allah SWT: ‘Tsumma awratsnal kitaabal ladziinash thofaynaa min ’ibaadinaa (Kemudian Al-Quran itu diwariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Q.S. Fathir: 31). Maka seseorang yang diwariskan setelah Nabi Muhammad Saw itu akan menerapkan dan mengakumulasikan kebijakan Al-Quran sesuai dengan tuntutan zamannya. Di sinilah Nabi Saw mengokohkan pernyataan ini dengan sabdanya: Fa ’alaykum bisunnatii wasunnatil khulafaa-ir roosyidiinal mahdiyyiina’adh-dhuu ’alayhaa bin -nawaajidz (Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)”. (HR. Tirmidzi)

Hikmah itu senantiasa tumbuh dari sumbernya, yaitu Al-Quran. Maka dalam beberapa kesempatan pengajian telah diuraikan pondasi dibangunnya Al-Quran, yakni apa yang menjadi alasan digunakannya bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran. Keutamaannya telah kita kaji dengan dibandingkan dengan bahasa lainnya (antara huruf atau angka Arab dengan huruf latin). Ternyata apa yang bersumber kepada Al-Quran itu semuanya memiliki tata nilai pasti (eksak) yang mampu mengurai berbagai permasalahan di setiap zaman.

Kalau kita senantiasa mengikuti pengajian secara istiqamah, maka terkadang akan menyaksikan pembahasan yang lahir (muncul) dengan sendirinya tanpa dikuasai oleh Bapak (Syekh al-Akbar). Oleh beberapa murid, mereka meyakini sebagai ‘hadits hangat’. Dikatakan demikian karena hadits diposisikan sebagai Hikmah dari Allah bukan hanya dari Nabi Muhammad Saw saja. Dan Allah SWT menyatakan ‘Yu’til hikmata may yasyaa’ (Allah memberikan Hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, Q.S. Al-Baqarah: 269). Dalam kalimat ‘yu’ti(يؤتى) adalah jenis kata kerja yang sedang berlangsung (fi’il mudhari’) bukan kata lampau (fi’il madhi). Memberikan arti hikmah selalu berlangsung di setiap waktu dan kondisi di setiap zaman. Hal ini menghilangkan statement bahwa ajaram Dienul Islam bersifat statis. Jika ajaran Dienul Islam bersifat statis maka kebijakan kepemimpinan juga statis, yakni hanya mengakui Hadits sebagai Hikmah satu-satunya bagi umat manusia. Sehingga kepemimpinan yang diakui hanyalah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw saja, tidak bersifat estafet. Padahal Allah SWT berfirman: ‘Wa’tashimu bihablillaahi jamii’aa walaa tafarroquu’ (berpeganglah kalian dengan Tali Allah secara keseluruhan, jangan bercerai berai! Q.S. Ali Imran: 103).

Ayat ini sering dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk menyatukan kelompoknya masing-masing, baik lokal maupun kebangsaan. Apakah mereka berlandaskan Al-Quran? Kalau melandasi kepada suatu agama atau keyakinan manusia seluruhnya maka bunyi ayat itu seharusnya, ‘Wa’tashimu bihablnnaasii jamii’aa. Jika melandasi kepada seluruh umat Islam, tentu ayatnya akan berbunyi, ‘Wa’tashimu bihablil muslimiina jamii’a. Kebijakan persatuan yang diungkap dalam Al-Quran tidak menekankan pada aspek keislaman (Ukhuwah Islamiyyah) dalam satu wadah, tapi dalam aspek keimanan. Firman Allah SWT, ‘Innamal mu'minuuna ikhwah’. (Sesungguhnya apa yang ada pada orang-orang yang beriman itu persaudaraan. Q.S al-Hujurat: 10) Bukan ‘Innamal muslimuuna ikhwah’.

Jika masuk ke dalam wilayah lahiriyyah akan memunculkan perpecahan. Karena kecenderungan manusia itu selalu ego dengan apa yang diketahui dan dimilikinya. Hal itu menjadi motivasi atau power dalam mempertahankan kebenaran yang ia dapatkan. Apalagi bila sudah terbentuk dalam suatu komunitas. Sedangkan kebenaran yang dicapai oleh setiap manusia itu bersifat relatif. Sebab manusia diciptakan dalam kondisi yang lemah. Antara satu dan lainnya memiliki perbedaan dalam pengetahuan dan pengalaman yang ia dapatkan dalam hidupnya. Sehingga apabila ada tuntutan untuk menegakkan kebenaran, niscaya tidak akan terwujud, karena akan mengalami benturan (perselisihan) baik secara lahiriyyah maupun batiniyyah. Maka tidak ada perintah dari Allah untuk menegakkan kebenaran. Sebab kebenaran itu hanya berada pada genggaman Allah, bukan setiap individu manusia. Yang diperintahkan adalah mencari jalan yang lurus.

Firman Allah SWT, ‘Fa-aqim wajhaka lid-diini haniifaa, fithrotallaahillatii fathoron-naasa ’alayhaa (Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama yang lurus; (yakni) fitrah Allah yang telah menciptakan ketetapan-Nya (sesuai) dengan fitrah manusia. Q.S. Ar-Rum : 30)

Kebenaran yang ada pada manusia adalah relatif, sedangkan kebenaran yang ada pada Allah adalah absolut. Maka segala kebijakan yang kita lakukan mesti kita arahkan kepada Allah Al-Haqq yang memiliki kebenaran yang absolut. Namun untuk mencapai ke sana tidak mungkin jika tidak melalui wasilah-wasilah.

Allah dan malaikat saja bershalawat, yakni berwasilah (berkoneksi) kepada Nabi Muhammad Saw. Maka kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw berwasilah. Apakah kita sudah mampu bertemu dan dibimbing secara lahiriyyah dengan Nabi Muhammad Saw secara langsung? Tentu mesti yang berwasilah melalui orang yang diwariskannya. Itulah dasar sistem dibangunnya ketaqwaan, di mana Taqwa itu tunduk dan taat kepada system yang dibangun oleh Ilahiyyah.


GHIBAH

Mustahil dalam kehidupan ini kita selalu melihat kejadian yang baik-baik saja atau hanya melihat sesuatu yang buruk saja. Adalah logis dan sunatullah kita selalu melihat fenomena kehidupan dari dua sisi yang berbeda. Hal itu berarti bahwa kita mesti legowo (rela) menerima kenyataan hidup ini ketika dihadapkan kepada sesuatu perkara yang menimbulkan suka maupun tidak. Sebab di antara keduanya itu terdapat proyek (garapan) amaliyyah bagi kita.

Sekarang bagaimana kita tetap berada dalam satu rel perjalanan yang lurus di tengah pergolakan dua kejadian itu. Salah satu perkara di antara perkara penting lainnya yang mesti kita kuasai (untuk mencapai kelurusan dalam mencapainya) adalah masalah ghibah, yakni membicarakan, menggunjingkan kondisi, keadaan aib orang lain. Perilaku ini mau tidak mau, tidak bisa dihindari dalam kehidupan ini. Begitu tinggi tekanan emosional yang datang dari dalam dan luar, begitu pula dengan adanya penambahan-penambahan informasi dari yang menyaksikan, maka kita pun bisa terperosok ke dalam kondisi ‘ghibah’.

Nilai ghibah itu bukan dari banyak atau sedikitnya, menyakiti atau tidak, panjang lebar atau tidak pembicaraannya, sekecil apapun ungkapan pembicaraan terhadap kekurangan orang lain dikatakan sebagai ghibah.

Rasulullah Saw pernah menegur Siti Aisyah Ra. Ada seorang wanita pendek datang ke rumah Nabi Saw dan ketika telah keluar Siti Aisyah Ra berkata, ‘Alangkah pendeknya orang itu!’ Nabi Saw bersabda, ‘Engkau telah melakukan ghibah!’ Aisyah berkata, ‘Aku tidak menyebut kecuali yang sebenarnya ada padanya’. Sabda Nabi Saw, ‘Engkau telah menyebut yang paling jelek padanya!’1

Dahulu ghibah itu dianggap suatu perkara yang negatif, anehnya sekarang ghibah itu dijadikan bisnis membuka aurat dan rahasia pribadi orang lain. Adanya infotaintment di media televisi sering menimbulkan konflik perselisihan di kalangan selebritis, namun banyak kalangan (khususnya kaum ibu) setiap hari memasang mata dan telinga untuk menerima hidangan info terbaru kaum selebritis.

Berikut ini kisah efek dari membuka aib orang lain. Dahulu dikisahkan pada zaman Nabi Nuh As, ketika perahu akan diberangkatkan terjadilah kesepakatan bersama bahwa selama dalam perjalanan tidak diperbolehkan seluruh penumpang (termasuk binatang) berhubungan seksual di atas kapal. Sutau ketika anjing melakukan hubungan badan yang disaksikan oleh kucing. Maka kucing pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi Nuh As. Lalu dipanggillah si anjing. Tapi si anjing tidak mau mengaku, sehingga ia dibebaskan.

Di lain kesempatan si kucing melihat si anjing berhubungan badan kembali, sehingga si kucing melaporkan kembali kepada Nabi Nuh As. Lagi-lagi si anjing tidak mengaku juga atas perbuatannya, dan dilepaskanlah si anjing tanpa dihukum. Peristiwa terlihatnya anjing melakukan hubungan badan itu ternyata terjadi berkali-kali dan berkali-kali pula kucing melaporkan kejadian tersebut. Tapi, apa mau dikata, sebab si anjing tetap saja tidak mau mengaku berbuat seperti apa yang dilaporkan si kucing, 'Bohong, si kucing, aku tidak melakukannya!'

Karena kecewa, maka si kucing bermunajat kepada Allah, 'Yaa Allah, aku merasa dizhalimi dengan kejadian ini. Maka tampakkanlah apa yang telah aku lihat kepada Utusan Engkau (Nabi Nuh As) agar laporanku ini dibenarkan olehnya dan disaksikan oleh seluruh penghuni kapal ini!'

Permohonan si kucing ini dikabulkan Allah SWT. Pada kali berikutnya si anjing berhubungan badan, dan ia tidak mampu melepaskan diri dari pasangannya. Sehingga saat keduanya sedang melakukan hubungan badan tersebut disaksikan oleh Nabi Nuh As, juga seluruh penghuni kapal. Akhirnya si kucing merasa lega karena apa yang ia laporkan selama ini adalah merupakan kebenaran.

Karena merasa malu, anjing pun memohon kepada Allah, 'Yaa Allah, sesungguhnya aku telah dizhalimi oleh si kucing. Karena dialah aibku diketahui oleh banyak makhluk. Oleh karena itu jadikanlah setiap ia (kucing) melakukan hubungan badan diketahui oleh banyak makhluk sebagaimana yang telah ia perlakukan kepadaku!' Permohonan inipun dikabulkan oleh Allah SWT.

Maka sejak saat itu setiap kucing akan berhubungan badan dengan pasangannya akan didengar atau diketahui oleh makhluk lain karena mengeluarkan suara yang gaduh (ribut) terlebih dahulu. Inilah efek dari mengeluarkan aib orang lain.

Artinya dari cerita ini adalah jika kita menyembunyikan aib orang lain di dunia maka Allah akan meyembunyikan aibnya atau kesalahannya di hadapan orang lain, dan hanya mengungkapkan kebaikannya saja kelak di yaumil qiyamah.

Dikisahkan pula pada masa dahulu ada seorang tua memiliki sebuah warung. Kalau dimisalkan dengan zaman sekarang seperti pedagang gado-gado. Ia juga berdagang jenis barang kelontong dan makanan seperti bumbu / bahan masakan. Suatu ketika datang seorang gadis berbelanja. Tanpa disadari dan di luar kemampuan dirinya saat ia hendak memilih salah satu barang yang ingin dibelinya, tiba-tiba keluar suara dari bagian bawah tubuhnya, ‘Duuuuutt!’ Suara kentut yang besar itu membuat mukanya berubah menjadi merah seketika. Ia merasa malu sekali saat itu.

Dengan perasaan yang sangat terpaksa (karena sudah berhadapan dengan si kakek pedagang), ia pun memberanikan diri untuk meneruskan niatnya untuk berbelanja. ‘Pak, ada bawang merah gak?’ Tanya si gadis sambil tersipu-sipu. ‘Apa?!! Jengkol?!!’ jawab Kakek balik bertanya. ‘Bawang merah!!’ Ada gak?!! Tanya si gadis lebih keras. ‘Apa?!! Jengkol?!! Kurang keras suaranya!’ jawab Kakek, tetap mempertahankan ketuliannya. Padahal si Kakek tersebut normal pendengarannya. Tapi ia dengan budi pekertinya yang luhur menjaga rahasia aib si gadis agar ia tidak menjadi malu akibat pristiwa yang terjadi pada dirinya tersebut.

Akhirnya, merasa bahwa si Kakek pendengarannya ‘kurang normal’ alias budek, mukanya yang merah berubah menjadi ceria. Dalam hatinya bersyukur bahwa aibnya tidak diketahui oleh orang lain. Ia pun berbelanja dengan tenang tanpa ada perasaan tidak enak yang mengganjal hatinya.

Atas apa yang diperbuatnya itu, Allah SWT mengangkat derajat kewalian si Kakek menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Itulah buah dari prilaku menyembunyikan aib orang lain.2


ANTARA TUJUAN AKHIRAT DAN TUJUAN DUNIA

Perjalanan cerita belum selesai.

Setelah dinaikkan pangkat kewaliannya Allah memberikan semacam ‘bonus’ kepada dirinya berupa tersingkapnya hijab keruhanian. Ia diberi kemampuan melihat suatu kejadian dari jarak yang sangat jauh. Allah tampakkan kejadian suatu peperangan kepadanya, antara pasukan orang kafir dengan jumlah besar dan memiliki kapal yang besar berhadapan dengan pasukan orang muslim dengan jumlah kecil dan memiliki kapal yang kecil. Allah memperlihatkan kejadian tersebut saat si Kakek sedang mengulek di warung. Ketika dimakrifatkan seperti itu, maka si Kakek langsung berpihak kepada pasukan muslim. Ia pun berabithah sambil mengulek, lalu ia gilas dengan ulekannya pasukan orang kafir tersebut. Seketika, pasukan orang kafir itu binasa semua di tengah laut.

Apa yang terjadi? Allah marah, ia ditegur oleh Allah,

‘Mengapa engkau binasakan pasukan kafir? Yang aku inginkan adalah kemenangan orang kafir! Aku berharap barang kali setelah menang ia akan hidup dan mendapatkan rahmat-Ku. Sehingga ada harapan mereka mendapatkan petunjuk-Ku kelak. Sedangkan pasukan muslim, mereka memang bertempur Fi Sabilillah, dan masuk syurga. Itulah janji akhirat yang Aku tetapkan dalam kehidupan ini, bukan tujuan dunia!

Sebagaimana cerita Nabi Khidhir As. Nabi Khidhir diperlihatkan oleh Allah,

‘Dir, anak ini kalau sudah besar akan menyesatkan kedua orang tuanya. Sedangkan kedua ibu bapaknya sekarang sudah menjadi orang yang shaleh. Bagaimana menurut kamu?’

Jawab Nabi Khidhir, ‘Menurut aku sih lebih baik dibunuh saja anak itu daripada menjadikan ibu bapaknya menjadi ahli neraka. Dan anak itu bisa selamat di akhirat nanti, karena ia belum baligh dan terhindar dari dosa yang akan ia perbuat. Tapi, keputusannya bagaimana Engkau saja Ya Allah!’

Jadi, apa yang dilakukan itu bukan berdasarkan keinginan Nabi Khidir sendiri.

‘Kalau begitu, atas perintahKu bunuh saja anak itu!’ perintah Allah kepada Nabi Khidhir.

Maka dibunuhlah anak itu (sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran surat Al-Kahfi).

Pada akhirnya, anak yang dibunuh tadi selamat karena usianya belum baligh, dan kedua orang tuanya pun diselamatkan karena terhindar dari ulah anaknya yang akan menyesatkannya. Semuanya menjadi ahli syurga.

Jadi, kebijakan yang Allah berikan itu untuk kebahagiaan dan keselamatan di akhirat. Sedangkan fenomena umat Islam sekarang ini apakah lebih memilih kemenangan orang Israel apa orang Palestina (muslim)? Biarlah yang mati itu umat Islam kalau didasari oleh keimanan dan keislamannya, sehingga mereka meraih syurga dengan kesyahidannya.

Firman Allah SWT: Wamal hayaatud dun-yaa la’ibuw walahwun, [Dunia ini tiada lain hanya permainan dan gurauan]. Q.S. Al-an’am: 323. Oleh karenanya seyogyanya kita doakan semuanya meraih kemenangan. Yang muslim mati dalam keadaan syahid sehingga masuk syurga, dan orang kafir yang menang kemudian hidup mendapatkan petunjuk Allah, akhirnya masuk Islam meraih syurga pula. Sebab pada dasarnya 'yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya dan yang kafir itu belum tentu konsisten dengan kekafirannya'.

Klau kita berbuat sesuatu semau gue akan salah kaprah tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Akhirnya si Kakek tadi karena berbuat semau gue, tidak melakukan kompromi dengan yang memiliki kebijakan sesungguhnya, diturunkan lagi pangkat kewaliannya.

Demikianlah hadirin hadirat, semoga cerita tadi menjadi hikmah dan bahan pelajaran bagi kita. Walaupun kita merasa mampu menilai mana yang lebih baik dan buruk, hal itu belum tentu benar di sisi Allah. Karena kita berada di dalam satu kepemimpinan maka hendaknya suatu kebijakan itu dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pemilik kebijakan tersebut, yakni Allah dan Utusan-Nya. Jika kita berada dalam kepemimpinan yang proporsional baik duniawi maupun ukhrawi niscaya kita akan selalu mendapatkan bimbingan yang lurus.

Mudah-mudahan pengajian ini menambah ilmu, hikmah dan barokah bagi kita sekalian.

Jakarta, 17 Februari 2009


1 Nabi Saw bertanya, ‘Tahukah kamu apa kah ghibah?’ Jawab sahabat, ‘Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui’. Maka sabda Rasulullah Saw, ‘Ghibah itu jika engkau menyebut keadaan saudaramu yang ia tidak suka disebut (ceritakan), maka hal itu dinamakan ghibah’. Lalu ada sahabat bertanya, ‘Bagaimana kalau saudaraku betul begitu?’ Jawa Nabi Saw, ‘Jika yang engkau sebut itu benar ada padanya, maka itu ghibah. Tetapi jika tidak betul maka itu namanya buhtan (yakni membuat-buat kepalsuan, pendustaan untuk menjelek-jelekkan orang lain). (Tanbihul Ghafilin)

Siti Aisyah Ra. pernah berkata kepada Rasulullah Saw tentang pribadi madunya, Siti Shafiyyah: ‘Sudahlah, si Shafiyyah itu begini dan begini!’ Kata setengah riwayat, yang dimaksud oleh Siti Aisyah ialah bahwa Siti Shafiyah itu pendek tubuhnya. Maka Rasulullah Saw berkata kepada Siti Aisyah, ‘Engkau telah mengucapkan perkataan yang jika dicampurkan dengan air laut, niscaya air laut itu akan bertukar warnanya’. Maksud Beliau ialah, bahwa kata-kata itu tidak baik diucapkan dan dilarang. (Nasha-ihud Diniyyah)

2 Cerita ini mengingatkan kepada salah seorang Sufi besar pada masa lalu yang bernama Hatim al-‘Asham (w. 237H/851 M), murid Syaqiq al-Balkhi dan guru dari Ahmad al-Khadrawaih. Dinamakan Al-‘Asham (si Tuli) karena seumur hidupnya ia ‘pura-pura’ menjadi tuli karena ia ingin menjaga aib seorang wanita, kisahnya mirip dengan ilustrasi di atas. Selama wanita itu masih hidup yakni 15 tahun lamanya, ia tetap menjaga keadaannya (pura-pura tuli). Hal itu dilakukan agar tidak ada seorang pun mengetahui tentang keadaannya yang sebenarnya (tidak tuli). Setelah wanita itu meninggal dunia, barulah ia ‘kembali kepada kehidupannya yang normal’ alias tidak tuli.

3 Lihat Surat Al Hadid ayat 20 dan Muhammad: 36.