Selasa, 06 November 2007

Wirid Ba’da Shalat Tahajjud

Baru saja Syekh al-Akbar ingin mengumandangkan keberadaan Birokrasi Ilahiyyah, telah muncul beberapa aliran yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai aliran sesat. Keadaan ini menyebabkan beban penyampaian keberadaan Khalifah Rasul ini menjadi bertambah berat. Karena dikhawatirkan adanya sebuah pemahaman ’baru’ dianggap berbeda oleh kalangan masyrakat adalah keliru atau sesat. Padahal masyarakat belum mengerti parameter kebenaran dalam Dienul Islam yang sesungguhnya. ”Memang Iblis sedang mengadakan manufer untuk mencegah Khalifah Rasul untuk maju”, oleh karenanya perbanyaklah bacaan ini, ’Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ’alaa kulli syai-in qodiir’. Dengan do’a yang dibaca setiap ba’da fardhu 10 kali ini gangguan musuh-musuh Allah diperkecil kekuatannya. Selanjutnya Syekh al-akbar Muhyiddin Muhammad Dahlan menginstruksikan kepada murid Al-Idrisiyyah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat tahajjud di setiap malamnya. Dan setelah shalat hendaknya memperbanyak bacaan ini sebanyak 50 kali. Ditambah dengan 10 X 5 ba’da fardhu = 50 kali. Jadi kalimat ini dibaca sebanyak 100 kali setiap hari. Syekh al-Akbar Ra. mengungkapkan bahwa kita mesti online setiap hari agar sinyal pertolongan dari Allah lebih kuat daripada gangguan musuh-Nya, iblis laknatullah.
Berpisah dengan paparan di atas, seorang murid pernah mengalami peristiwa ruhani sebulan sebelumnya. Di suatu malam ia bangun malam untuk menunaikan shalat tahajjud. Pada saat ia melafalkan niat, ’Ushollii sunnatat tahajjud lillaahi ta’alaa..’ Belum selesai takbir ia ucapkan tiba-tiba terdengar suara ’Ma’muuman!’ (niat mengikuti imam). Berulang tiga kali suara tersebut ia dengar. Kemudian ia menjadi terdiam untuk menyelidiki suara tersebut dari mana. Setelah itu ia baru sadar bahwa saat ia berniat shalat ada sosok Syekh al-Akbar di depannya. ”Ma’muman, kamu ikuti Bapak (Syekh al-Akbar, red)! Kemana yang lainnya?” Syekh al-Akbar bertanya kepada si murid. Si murid bingung, karena ketika ia melihat ke belakang ia tidak melihat siapa-siapa. Barulah ia sadar bahwa ia telah dihadiri ruhani Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Qs.
Saya mengatakan, ’Hei, ingatkah cerita kamu waktu yang lalu kepada saya?’ Si murid yang mengalami peristiwa tersebut terdiam, mencoba mengingat-ingat. Akhirnya ia baru ingat. Saya pun berkomentar, ’Sekarang berita kamu baru terealisasi dengan fatwa (instruksi) Beliau Ra.’ Ruhaniyah mendahului lahiriyah!

Peran Non Muslim

Ada seorang murid yang mempunyai istri yang bermimpi bahwa suatu ketika ia menghadiri pengajian di Pekan Santri Qini di Pesantren Pegendingan, Tasikmalaya. Ia ikut masuk ke dalam masjid menyaksikan sebuah keranda mayat sedang diusung. Begitu dibuka ada sebuah mayat yang berkalungkan salib di tubuhnya. Dan setelah ia seksama memperhatikan, di keranda mayat tersebut ada gambar salib yang jelas sekali. Semua murid-murid di dalam masjid menggiring keranda tersebut hingga ke depan.
Sejak ia mengalami mimpi tersebut, si istri menjadi bimbang diajak mengaji ke Idrisiyyah. Apakah ada hal-hal yang menyimpang sehingga ia mengalami peristiwa mimpi tersebut. Beberapa bulan ia sempat absen merenungkan apa yang sebenarnya terjadi.
Mendengar cerita tersebut, seorang pengurus menjelaskan bahwa gambaran mimpi tersebut bukanlah gambaran yang negatif. Karena mimpi tersebut ada hubungannya dengan ’keakraban’ Syekh al-Akbar dengan beberapa pihak non muslim dalam rangka mensukseskan program dakwah yang sedang dibina beliau melalui kerjasama berbagai usaha (ekonomi).
Melalui orang-orang non muslim ini Syekh al-Akbar memaparkan ajaran Islam yang sesungguhnya, yang sering disalahartikan oleh ’dunia luar’. Di antara ekses yang diharapkan adalah kesan Islam teroris, anarkis, terbelakang hilang dalam pandangan mereka yang non Islam. Belaiu pun menjelaskan betapa agama Islam itu mudah dan relevan dengan perkembangan zaman. Islam senantiasa menyambut nilai-nilai perubahan dan kemajuan.
Akhirnya melalui interaksi pergaulan bisnis itulah muncul sikap simpati mereka kepada kepribadian Syekh al-Akbar. Sehingga di antara mereka mau mempercayakan hartanya untuk diinvestasikan untuk usaha tambak yayasan Al-Idrisiyyah di Tuban. Selanjutnya, perluasan Masjid Jami’e Al-Fattah di Batu Tulis Jakarta mendapat dukungan seorang non muslim lain yang ingin tanahnya dibeli oleh pihak masjid. Padahal tanah yang dijualnya itu sudah ditawar oleh pedagang dengan harga yang lebih mahal. Tapi, ia tetap bersikeras dan merasa senang jika tanahnya dibeli oleh pihak masjid. Proses tawar menawar berjalan, lalu disepakati bahwa biaya pembebasan itu sebesar 450 juta (dari harga awal 700 juta).
Pihak pengurus masjid berusaha mencari dana pembebasan lahan melalui berbagai upaya. Sampai diputuskan untuk meminjam kepada Bank. Tidak ada bank yang mempercayakan pinjaman kepada pihak masjid. Utusan bank kebanyakan mempertanyakan masalah jaminannya, di samping nilai bangunan dan tanah juga menentukan mulus tidaknya proses pinjaman tersebut.
Lagi-lagi, orang Cina non Islam juga yang membantu. Dia menawarkan diri lewat jaminan namanya agar proses pinjaman itu berhasil. Karena ia sudah sering menggunakan jasa perbankan untuk membantu modal usahanya selama ini. Dan, akhirnya tanah tersebut berhasil dibebaskan untuk perluasan masjid.
Beberapa bulan setelah itu ada cerita menarik, keluarga orang Cina ini mengalami musibah. Mobil yang dikendarai anaknya mengalami kecelakaan. Kondisi mobil rusak parah. Namun anaknya selamat dari peristiwa tragis tersebut. Kepada Syekh al-Akbar ia menceritakan peristiwa tersebut. Ia pun menyebutkan bahwa dengan keberkahan pertolongan do’a Syekh al-Akbar, kejadian tersebut tidak membuatnya berduka karena kehilangan anaknya yang ia cintai.
Cukuplah kiranya cerita ini menjelaskan betapa luwesnya akhlak pergaulan Syekh al-Akbar yang tidak memilah-milah antara muslim maupun yang belum muslim. Pada dasarnya, menurut beliau, semua orang masih dalam proses. Sehingga siapapun yang masih hidup di dunia ini tidak bisa dikatakan sebagai ’orang yang sholeh’. Karena siapa tahu di akhir kehidupannya ia berbelok arah menjadi kafir, Na’udzubillah min dzaalik.
Oleh karenanya orang non muslim berhak mendapatkan informasi Dienul Islam sebagai agama yang bersifat Rahmat, yang membawa nilai-nilai kedamaian dalam seluruh aspek kehidupan baik di dunia maupun akhirat. Sebab, Dienul Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Islam, tapi untuk seluruh umat. Mereka perlu diperhatikan oleh kita yang muslim, karena banyak penilaian dan sikap penilaian yang keliru tentang keberadaan Dienul Islam sebagai agama yang ditegakkan dengan pedang (kekerasan).