Minggu, 29 November 2009

JANGAN BERBANGGA ATAS KARUNIA

Kita bisa bersyukur mendengar keutamaan suatu amal, dan juga tidak perlu berbangga karena karunia yang ditujukan kepada diri atau golongan kita. Bonus atau ganjaran itu merupakan fasilitas untuk menegakkan perintah. Besarnya fasilitas dan kelebihan menunjukkan kelemahan seseorang.

Kalau kita melihat tentara dengan persenjataan lengkap bukan berarti ia adalah perkasa, tapi justru karena ia lemah menghadapi medan pertempuran, maka ia mesti dipersenjatai dengan lengkap. Fasilitas yang dituntut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (yang dianggap terlalu besar bagi masyarakat umum) juga bisa menunjukkan kelemahan mereka sehingga mereka amat membutuhkan nilai tunjangan tersebut dalam menjalankan tugas. Terkadang kita mesti melihat dengan 'cara berbeda' terhadap kelebihan-kelebihan atau anugerah yang diperoleh seseorang. Jika kita melihat atau mendengar karamah seseorang, kita pandang bahwa ia mesti diberikan karunia itu untuk mempertahankan keyakinannya. Tidak jarang terjadi orang yang mendengar cerita karamah menjadi naik keyakinannya melebihi persentase keimanan orang yang mengalaminya.

Kalau kita simak kembali alur cerita diturunkannya perintah (kewajiban) sholat, maka kita akan mendapatkan keterangan bahwa sesungguhnya jumlah sholat yang hendak diwajibkan kepada umat Muhammad Saw adalah 50 waktu, tapi karena kelemahan umat akhir zaman ini maka Beliau Saw memohon 'keringanan' sehingga berkuranglah menjadi 5 waktu melalui 9 kali proses dispensasi Ilahiyyah. Tapi ternyata, dengan melaksanakan sholat 5 waktu itu sebanding pahala orang yang melaksanakan sholat 50 waktu.

Keliru rasanya jika kita berbangga dengan keistimewaan atau keutamaan sholat 5 waktu yang sama dengan sholat 50 waktu. Padahal keutamaan itu lahir karena kelemahan diri kita sebagai umat akhir zaman. Sikap yang semestinya dimunculkan adalah rasa bersyukur dengan keutamaan itu karena kelemahan diri.

Sekarang kita tengok Tarekat Idrisiyyah. Kalau dibandingkan dengan Tarekat lain, awrad yang diwajibkan atas murid-murid begitu simple (sederhana). Persyaratan menjadi murid begitu mudah, tidak melalui test atau ujian seleksi terlebih dahulu. Ajarannya tidak menganjurkan khalwat (berdiam di kamar yang sunyi) selama 40 hari. Atau mesti mengikuti ke mana pun Gurunya pergi, karena seorang murid Sufi mesti sekampung atau semajelis dengan Gurunya terus menerus. Banyak rukhshah yang dilaksanakan, sementara Tarekat lain banyak yang menekankan 'azimah (pelaksanaan ketat terhadap ibadah wajib dan mengurangi rukhshah).

Namun kelebihan apa yang sering kita dengar dalam menapaki Tarekat ini? Barang siapa mengekalkan awrad Fi Kulli Lamhatin 300 kali setiap hari, maka ia dapat mengejar keimanan (keyakinan) para sahabat Nabi Saw[liyusbiqul awaa-il]. Melihat Wajah Gurunya atau bersalaman saja berguguran dosa-dosanya. Dan banyak lagi lainnya.

Tidak ada yang bisa kita banggakan atas diri kita yang lemah ini atas keterangan itu sementara melaksanakan kewajiban awrad sehari-hari saja masih kedodoran (malas). Dengan banyaknya keutamaan itu bukanlah kita mau menafikan atau tidak mempercayainya, tapi di balik rasa syukur atas keutamaan itu sebenarnya mesti menimbulkan rasa malu yang mendalam, karena kita yang lemah dan sering melakukan dosa ini merasa tidak pantas menerimanya. Kita tidak perlu berbangga dengan bonus pahala dan tingkatan derajat di syurga yang dijanjikan, karena tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan saat ini. Mungkin pemberian itu pantas diberikan untuk kita lantaran kelemahan jiwa yang mesti ditopang oleh motivasi ganjaran dan pahala tersebut. Akhirnya, kita hanya bertugas menjalankan dan mengamalkannya saja, tidak perlu mengkaji masalah takdir keutamaan itu terlalu dalam sehingga melupakan apa yang semestinya kita lakukan.

Lq, 24 November 2009.