Kamis, 01 Mei 2008

SISI LAIN 'AYAT-AYAT CINTA'

Bergemanya film 'Ayat-ayat Cinta' yang menghasilkan ghanimah (keuntungan) luar biasa bagi artis dan pembuat film tersebut. Obsesi sutradara dan insan film negeri ini pun muncul. Mereka ingin segera menciptakan film dengan nada serupa, agar mendapatkan bias rezeki dari kepopuleran film yang naskahnya berasal dari seorang sastrawan Timur Tengah tersebut.
Film yang diekspose juga oleh para pejabat tersebut membuat jembatan menarik terhadap pemahaman ajaran Islam yang selama ini banyak disalahartikan. Dari masalah terorisme, poligami, dan lainnya membuat cakrawala pandang umat Islam lebih terbuka. Seolah ada bahasa yang tidak terurai untuk mewakili pendapat umat tentang berbagai permasalahan yang terjadi.
Anehnya, keberkahan film Islami tersebut tidak membuat insan perfilman mau mengerti bahwa betapa umat merindukan sisi pengungkapan yang jelas tentang ajaran Islam yang dapat membedah berbagai problematika yang senantiasa dihadapi. Artis film ini pun tidak membuatnya menggeliat bangkit untuk mengejar ketertinggalannya memahami ajaran Islam itu sendiri. Akhirnya ia tersandung oleh gemerlapnya tawaran film-film yang tidak bernuansa Islami.
Kenyataannya film itu memang sandiwara. Yang manfaatnya bisa diambil dari berbagai sudut. Bisa manfaat duniawi yang fana, atau manfaat ukhrawi, yakni hijrahnya insan perfilman dari kondisi tidak peduli terhadap agamanya menjadi seseorang yang ghirah (semangat) pengamalan agamanya tinggi. Dan ternyata berat untuk menjalankannya, mengingat artis dan kru perfilman terikat dengan dunianya sendiri. Berkarya untuk dunia, bukan berkarya untuk akhirat.
Jika mereka berkarya untuk hari yang abadi, tentu ruh film 'Ayat-ayat Cinta' membekas pada pribadi mereka. Mereka akan berusaha berpenampilan dan berkepribadian sebagaimana tokoh yang diperankan dalam film tersebut. Penampilan dan kepribadian mereka dalam film tersebut disambut oleh jutaan umat Islam. Apakah kita semua tidak merindukan penampilan dan kepribadian kita yang Islami disambut oleh Allah SWT beserta ruhani-ruhani suci yang tak terhitung jumlahnya?
*************
Begitu sosok wanita bercadar muncul melalui film 'Ayat-ayat Cinta', timbullah pendapat-pendapat berbagai kalangan berkenaan penampilan busana tersebut.
Bahkan ada seorang Ulama ketika ditanyakan apakah kita (seorang wanita) mesti berpakaian seperti itu (bercadar, red), ia malah mengatakan bahwa saat ini yang mesti dilakukan adalah menjilbabkan hati kita terlebih dahulu!
Begitu cerita itu sampai ke telinga saya lewat seorang kawan, langsung saya katakan, 'Kalau begitu, Anda tidak mesti melaksanakan shalat sebelum Anda menshalatkan hati terlebih dahulu!' Anda juga mesti menzakatkan hati dahulu! Anda mesti meng-haji-kan hati dahulu!
Bukankah ibadah itu terbagi dua, ibadah lahir dan batin. Tata berbusana Islami adalah masalah lahiriyyah bukan perkara batin. Ulama tersebut tentu paham masalah ini. Tapi kehadiran kebenaran tentang bertatabusana Islami (lewat film tersebut) rupanya belum siap ia terima, karena berat untuk disampaikan kepada keluarga atau jama'ahnya.