Kamis, 19 Juli 2007

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 M)

Imam al-Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: "Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 M)

Ibn Khaldun: "Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi'iin, and Tabi' at-Tabi'een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia" [Muqaddimat ibn Khaldun, p. 328]

Gelar 'Syaikh al-Akbar'

Kalimat ‘Syaikh al-Akbar’ [1] yang diletakkan di depan nama beliau & Khalifah sesudahnya adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh Rasulullah SAW [2] kepada Sulthan Awliya pilihan pada zamannya, bukan semata-mata ungkapan pujian atas sesuatu kelebihan dari murid-muridnya. Sebab banyak di zaman sekarang menjadi ‘latah’ untuk memberikan penghormatan khusus kepada Guru Mursyid atau Ulama yang dikaguminya, baik yang masih hidup maupun telah wafat. Hal demikian tidak mengapa, asalkan tidak terlalu berlebihan, yakni tidak melebihi daripada kadar (proporsi) yang sebenarnya. Gelar yang utama bagi seorang Syekh adalah yang diberikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Karena martabat yang di atas itu terlebih tinggi daripada martabat yang di bawah. [3]
Pemberian ‘Syaikh al-Akbar’ ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa di akhir zaman dunia ini akan dipimpin oleh seorang yang memiliki martabat khusus. Kalimat Syaikh al-Akbar merupakan Dakwah Mursyidah, yang diungkapkan seperti mengajak semua manusia untuk mencari tahu siapakah yang dikatakan sebagai ‘Syaikh al-Akbar’ itu dan siapakah Guru Mursyid sebenarnya (hakiki), yang merupakan pilihan Rasulullah SAW pada setiap zamannya. Sehingga meskipun ia berada di belahan bumi manapun, maka hendaknya ia mencarinya agar senantiasa mendapat petunjuk & tidak tersesat. Hal ini mengingatkan kita pada suatu keterangan hadits. [4]
Istilah ‘Syaikh al-Akbar’ ini dalam sisi pengajaran Tasawuf maksudnya menafikan ‘nama’, ‘ego’, kemegahan diri, dsb. Karena cenderung tidak menyebutkan nama Syekhnya, sehingga tidak ada kesan memiliki. Dalam suatu majelis, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan sering menyebut bahwa semua murid yang hadir ini adalah murid Syekh al-Akbar Abdul Fattah, bukan murid Bapak, Bapak (Sy. Muh. Dahlan) hanyalah menjalankan amanat/tugas. Dan demikian pula Syekh al-Akbar Abdul Fattah-pun mengatakan demikian, bahwa semua muridnya adalah murid Syekh Ahmad Syarif Sanusi, dan seterusnya. [5] Sehingga begitu kalimat itu sampai kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa semua murid adalah hamba Allah. Inilah tuntunan dalam kefaqiran (merasa tidak memiliki) dan ketawadhu’an (merendahkan diri/menjauhi kemegahan diri).
Menyebut kata ‘Syekh al-Akbar’ berarti menyebut semua Guru dalam silsilah Thariqat. Ketika seorang murid meneriakkan ‘Madad/tolong Syaikh al-Akbar!’ maka secara langsung berarti ia memohon pertolongan kepada Allah SWT, sebab dalam sekejap setiap Syekh yang mendengar panggilan muridnya itu akan meneriakkan kalimat tersebut kepada Gurunya masing-masing, hingga yang rantai penyampaiannya sambung menyambung dari Guru pertamanya hingga terakhir.
Syekh al-Akbar, dalam nuansa ketawadhu’an, bukanlah artinya seorang Syekh yang paling agung (terbesar), tetapi maknanya adalah seorang Syekh yang senantiasa merasakan seluruh gerakan nafasnya berada dalam genggaman Allah Yang Besar (Akbar), selanjutnya Syekh tersebut belajar untuk taat & mematuhi segala perintah Allah Yang Besar. Demikian Guru kami mengajarkan.
Keterangan:
[1] Dalam literatur yang penulis temukan, ada dua sosok Ulama Shufi yang disebut sebagai Syaikh al-Akbar oleh kalangan murid atau pengikutnya, yaitu: Muhyiddin Ibnu ’Arabi (seorang Shufi Andalusia, Spanyol), dan Syekh Bahauddin Naqsyabandi (lihat Kitab Tanwirul Qulub). Guru Besar (seperti Rektor) dalam perguruan tinggi Al-Azhar, Kairo Mesir saat ini diistilahkan pula dengan Syekh al-Akbar.
[2] Gelar ‘Syaikh al-Akbar’ diberikan oleh Rasulullah Saw kepada Syekhuna Abdul Fattah lewat seorang murid Idrisiyyah yang mukasyafah, beliau bernama Ajengan Mukhtar dari Awipari, Tasikmalaya. Setelah itu banyaklah pengalaman ruhani yang menyebutkan kedudukan ‘Syaikh al-Akbar’ bagi Sulthan Awliya pada kepemimpinan Tarekat Idrisiyyah di Indonesia selanjutnya.
[3] Artinya gelar seorang Syekh yang diberikan seorang murid kepadanya berbeda dengan gelar yang diberikan Rasulullah. Karena banyak orang menyanjungkan seseorang hanya sebagai ungkapan Mahabbah kepadanya, bukan berdasarkan pengetahuan Ilahiyyah dari Rasulullah SAW. Wallaahu A’lam.
[4] Dalam suatu hadits diceritakan bahwa pemimpin seperti Imam Mahdi itu harus dicari ke manapun meskipun ia harus merangkak di atas salju.
[5] Ungkapan ini juga dikemukakan oleh penerus beliau, Asy-Syekh al-Akbar Muhamad Daud Dahlan.
[Diambil dari Buku 'Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah']