Senin, 17 September 2007

GURU yang mengajarkan ilmu

Seseorang yang mendalami Agama memerlukan seorang pemandu yang dipilih Allah untuk dirinya. Ia harus mempelajari ilmunya melalui seorang Guru secara musyafahah. Kalau-lah ia merasa bahwa ia telah menjalankan perkara agama dengan memenuhi secara sempurna syarat dan rukunnya, namun satu hal yang ia lupakan bahwa ia telah meninggalkan adab Salafus Shalih, karena mereka telah melakukan perjuangan gigih dalam menuntut ilmu. Bahkan di kalangan ahli ilmu, orang-orang yang mencukupi dengan membaca buku-buku atau kitab agama tanpa berguru kepada seseorang, dianggap ilmunya itu seperti tidak ada.
Maka tuntutlah Guru yang membimbingmu lahir dan batin, sebagaimana Sayidina Musa As ber-talaqqi ilmu kepada Nabi Khidhir As, dan sebagaimana perjalanan yang begitu jauh Sayidina Jabir bin Abdullah menemui Abdullah bin Anis, hanya untuk mempelajari satu hadits saja. Wajib mencari Guru dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan godaan dan rintangan.
Sayidi Ibrahim ad-Dasuki Rhm. Pernah berkata, ‘Mencari Guru dalam meniti jalan menuju kepada Allah adalah wajib bagi setiap orang yang berkehendak (murid), meskipun ia adalah seorang Ulama besar pada masanya’.
Syekh Ibnu Ruslan dalam Zubad-nya berkata:
مَنْ لَّمْ يَكُنْ يَعْلَمُ ذَا فَلْيَسَأْلِ مَنْ لَّمْ يَجِدْ مُعَلِّمًا فَلْيَرْحَلِ
”Barang siapa yang tidak mengetahui ini, maka hendaklah ia bertanya,
Dan barang siapa tidak mendapatkan Guru, hendaklah ia berangkat ke manapun untuk mencarinya”.
Sayid Abdullah bin Alwi al-Haddad Rhm berkata dalam Qashidah Ro’iyyah-nya:
وَخُذْ مِنْ عُلُوْمِ الدِّيْنِ خَطًّا مُوَفِّرًا فَبِالْعِلْمِ تَسْمُوْ فِى الْحَيَاةِ فِى الْحَشْرِ
”Dan Ambillah olehmu daripada ilmu-ilmu agama itu, akan bagian yang banyak.
Maka dengan ilmu itulah engkau terangkat derajat di dalam kehidupan dan pada saat pengumpulan kelak”.
Dan Qashidah itu disyarahkan (diberikan penjelasannya) oleh Sayid Ahmad bin Abu Bakar bin Sumaith al-Alawy al-Hadhrami Rhm, yang bernama Manhalul Wurraad min Faidhil Imdaad bisyarhi abyaatil Quthbi Abdillah bin Alawi al-Haddad, hal. 102 sebagai berikut:
فَقَدْ أَفْهَمَ تَعْبِيْرُ النَّاظِمِ نَفَعَ اللهُ بِهِ بِقَوْلِهِ خُذْ مِنْ عُلُوْمِ الدِّيْنِ... إلخ أَنَّ اْلأَخْذَ مِنْ شَيْخٍ لَهُ تَمَامُ اْلإِطِّلاَعِ مِمَّا يَتَعَيَّنُ عَلَى طَالِبِ الْعِلْمِ وَأَمَّا مُجَرَّدُ الْمُطَالَعَةِ بِغَيْرِ شَيْخٍ إِتِّكَالًا عَلَى الْفَهْمِ فَقَلِيْلَةُ الْجَدْوَى إِذْلاَ بُدَّ إِنْ تَعْرِضْ عَلَيْهِ مُشْكِلاَتٌ لَا تَتَّضِحُ لَهُ إِلاَّ إِنْ حَلَّهَا شَيْخٌ.
Maka sesungguhnya telah memberi faham oleh keterangan Nazhim Nafa’allaahu bihi, dengan perkataannya: Dan ambillah dari ilmu-ilmu agama, dan seterusnya, bahwa mengambil ilmu dari seorang Guru yang sempurna penela’ahannya itu, terblang daripada apa-apa yang tertentu atas orang yang menuntut ilmu. Dan adapun semata-mata muthala’ah tanpa Guru, karena mengandalkan kefahaman sendiri saja akan sedikit hasilnya. Karena tak dapat tidak, jika datang atasnya kemusykilan-kemusykilan, tidaklah menjadi jelas baginya kecuali dengan penguraian Guru”.
Penyair menyatakan:
مَنْ يَأْخُذِ الْعِلْمَ مِنْ شَيْخٍ مُشَافَهَةً يَكُنْ عَنِ الزَّيْغِ وَالتَّصْحِيْفِ فِيْ حَرَمِ
وَمَنْ يَّكُنْ أَخِذًا لِّلْعِلْمِ مِنْ صُحُفٍ فَعِـلْمُهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِـلْمِ كَالْعَدَمِ

”Barang siapa yang mengambil ilmu dari seorang Guru dengan cara langsung berhadap-hadapan, niscaya terjaga ia dari kesesatan dan kekeliruan.
Dan barang siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku saja, maka pengetahuannya itu di sisi para hali ilmu, seperti tiada saja”.
Dan kata sya’ir pula:
أَمُدَّعِيًا عِلْمًا وَلَيْسَ بِقَارِئٍ كِتَابًا عَلَى شَيْخٍ بِهِ يَسْهَلُ الْحُزْنُ
أَتَزْعُمُ أَنَّ الذِّهْنَ يُوْضِحُ مُشْكِلاً بِلاَ مُخْيِرٍ تَاللهِ قَدْ كَذَّبَ الذِّهْنُ
وَإِنَّ ابْتِغَآءَ الْعِلْمِ دُوْنَ مُعَلِّمٍ كَمُوْقِدِ مِصْبَاحٍ وَلَيْسَ لَهُ دُهْنُ

”Wahai orang yang mengaku berilmu, padahal ia tidak membaca kitab atas seorang Guru, padanya akan mudahlah berduka cita.
Apakah engkau menyangka bahwa pikiran itu dapat menyatakan kemusykilan, tanpa seorang pembimbing?
Demi Allah, sesungguhnya telah berdustalah pikiran itu. Dan sesungguhnya menuntut ilmu tapa Guru, seperti orang yang menyalakan pelita, padahal pelita itu tidak berminyak”.
يَظُنُّ الْمَرْءُ أَنَّ الْكُتْبِ تُجْدِيْ أَخَـافُهُمْ لِإِدْرَاكِ الْعُـلُوْمِ
وَمَا يَدْرِالْجُهُوْلُ بِأَنَّ فِيْـهَا غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيْمِ
إِذَا رُمْتَ الْعُلُوْمَ بِغَـيْرِ شَيْخٍ ضَلَلْتَ عَنِ الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَلْتَبِسُ اْلأُمُوْرُ عَلَيْكَ حَتَّى تَصِيْرَ أَضَلَّ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْم
ِ
”Orang mengira bahwa kitab-kitab itu dapat memberikan hasil kepada saudara yang memahami, untuk mendapatkan ilmu-ilmu.
Dan tidaklah si dungu mengetahui bahwa di dalam kitab-kitab itu banyak terdapat kepelikan yang membingungkan akalnya orang yang mengerti.
Apabila engkau mencari ilmu tanpa seorang Guru, sesatlah engkau dari jalan yang lurus.
Dan akan tersamarlah bagimu segala persoalan, sehingga jadilah engkau lebih sesat dari Al-Hakim Tuma”.
لَيْسَ فِى اْلكُتْبِ وَالدَّقَاتِرِ عِلْمٌ إِنَّمَا الْعِلْمُ فِى الصُّدُوْرِ الرِّجَالِ
كُلُّ مَنْ يَّطْلُبُ الْعِـلْمَ فَرِيْدًا دُوْنَ شَيْـخٍ فَإِنَّهُ ضَــلاَل

”Tidaklah ada di dalam kitab-kitab dan buku-buku itu ilmu. Hanya saja ilmu itu ada pada ahlinya.
Tiap orang yang menuntut ilmu, dengan cara sendiri tanpa Guru, maka sesungguhnya ia berada di dalam kesesatan”.

Kamis, 06 September 2007

Dari Kitab: Salalimul Fudhola, Imam Nawawi al-Bantani

Sebuah karya Imam Nawawi al-Bantani yang memberikan syarah kitab Tasawuf Hidayatul Adzkiya' yang berupa Sya'ir (Nazham) karya Syekh Zainudin (Kakek Zainudin al Malibari, pengarang kitab Fathul Mu'in).
Di muka kitab Imam Nawawi menjelaskan mengapa pengarang kitab Hidayatul Adzkiya ini memilih jalan tasawuf,
…………Kemudian ketahuilah bahwa Nazhim (penyusun Nazham) ini adalah Syekh Zainuddin bin Ali Ahmad asy-Syafi'i (madzhab Syafi'i dalam syari'atnya).
Beliau dilahirkan di kota Kausyan, satu bagian dari kota-kota Malibar, pada saat matahari telah terbit, di hari Kamis tanggal 12 Sya'ban tahun 872 atau 971. Seorang pamannya Qadhi Zainuddin bin Ahmad telah memindahkan beliau ke kota Fanan di saat beliau masih kecil.
Beliau wafat di kota Fanan tersebut pada pertengahan malam kedua, malam Jum'at tanggal 16 Sya'ban tahun 928 Hijriah.
Nazhim ini memiliki banyak karya tulis, seperti Tuhfatul Ahibba, Irsyadul Qoshidin fikhtishari Minhajil 'Abidin, Syu'abul Iman, yang ditulis dengan bahasa Arab, ringkasan kitab Syu'abul Iman dengan teks bahasa Persia, karya Sayyid Nuruddin al-Ijy.
Kitab matan ini banyak tersebar di beberapa kota pulau Jawa disetai banyak sekali salah penafsiran, karena hal itulah aku (Imam Nawawi) mengutip bait-bait yang terdapat dalam kitab matan ini, kemudian aku memperjelasnya dengan ringkas.
Penyebab disusunnya bait-bait ini, sebagaimana yang dikisahkan oleh Nazhim (Syekh Zainudin bin Ali), bahwasanya beliau bimbang dalam hal ilmu-ilmu apa yang hendak diperdalamnya, apakah ia harus menyibukkan diri dengan kajian fiqih dan ilmu semacamnya, ataukah dalam kajian tashawuf seperti mengkaji kitab 'Awariful Ma'arif dan semacamnya.
Lalu beliau melihat saat tidur di malam Rabu tanggal 24 Sya'ban tahun 914 H, seseorang yang mengatakan:
"Sesungguhnya tasawuf lebih utama untuk difokuskan, karena sesungguhnya orang yang berenang di dalam air yang mengalir, apabila hendak melintas dari satu tepi ke tepi yang lain di tengah-tengah sungai, maka ia akan berenang ke tujuannya dari arah di mana air mengalir dari arah tersebut, yaitu arah paling atas, hingga ia bisa mencapai ke tujuannya. Ia tidak akan berenang di sisi tengah sungai saja, karena sesungguhnya ia tidak akan mencapai dengan berenang seperti itu ke tujuannya, bahkan ia berakhir ke tepian yang lebih rendah.
Maka dapat dipahami dengan demikian bahwa menyibukkan diri (fokus) dalam kajian ilmu tasawuf dapat mengantarkan ke tujuan, sedangkan menyibukkan diri (fokus) hanya pada ilmu Fiqih dan semacamnya tidak akan menghantarkan kepada tujuan".
Usai mengalami mimpi ini, beliau mulai menyibukkan diri dalam menuliskan bait-bait ini, yang berjumlah 188 bait, lalu beliau menyusun rangkaian bait-bait ini.

Senin, 03 September 2007

Ibunda Syekh al-Akbar (Siti Aminah)

Pada tanggal 4 April 2007 bertepatan dengan tanggal 14 Rabi’ul Awal 1428 H. telah berpulang ke Hadirat Allah, seorang Ibu yang patut menjadi contoh bagi kaum mukminat saat ini.
Seorang murid menginformasikan bahwa 40 hari sebelum wafat, beliau telah dimasukkan ke dalam syurga bersama-sama dengan Ibu Siti Zubaidah (Istri Syekh al-Akbar Abdul Fattah). Beliau adalah Ratu bidadari kedua di syurga setelah Ibu Siti Zubaidah.
Murid (yang belum pernah bertemu dengan Almarhumah) ini juga menuturkan, beliau (Ibu Siti Aminah) memiliki keutamaan pekerti yang patut dicontoh. Di antaranya adalah sosok yang taat dan penurut kepada suami. Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mengatakan bahwa Ibunya adalah sosok yang tidak memiliki musuh (walaupun ada yang memusuhinya). Banyak kaum ibu merasa kehilangan. Karena teladan beliau sebagai seorang ibu begitu melekat di hati mereka.
Salah satu kenangan yang dapat diceritakan di sini adalah ketika H. Daud (sang anak) dipesankan oleh Ibunda untuk menjadi pengusaha yang sukses. ‘Cukuplah adik-adikmu yang meneruskan dakwah perjuangan ayahmu! Biarlah engkau yang menjadi pengusaha yang berhasil agar kelak dapat membantu adik-adikmu menjadi Ulama yang nanti meneruskan jejak langkah ayahmu (Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.).
Inilah ungkapan sederhana seorang Ibu kepada anaknya yang secara lahir melihat bahwa anaknya yang pertama ini tidak seperti anak-anak lainnya. Pemuda Daud Dahlan saat itu berprofesi sebagai seorang pelukis. Di mata Ibundanya tidak ada tanda-tanda atau bakat menjadi seorang Ulama pada diri Daud Dahlan. Inilah yang menyebabkan Ibunya memerintahkan dirinya untuk ‘berbeda’ dari adik-adiknya yang rata-rata disekolahkan atau di pesantrenkan.
Maka betapa kagetnya seorang Ibu ketika di luar dugaan anaknya yang disuruh menjadi pengusaha itu ternyata malah dikukuhkan sebagai Khalifah Rasul pengganti ayahnya. Dari berbagai sumber diceritakan, sang Ibu berkata lirih, ‘Dauud, Dauud, tolong dia! Dia tidak bisa apa-apa! Bantu dia meneruskan perjuangan ayahnya!’
Dikisahkan, setelah beberapa waktu H. Daud Dahlan dikukuhkan secara ruhaniyah oleh Rasulullah Saw menjadi Syekh al-Akbar, Ibunda mencium tangan dan kaki anaknya yang kini menjadi Gurunya tersebut. (Hal ini mengingatkan kita kepada kisah Al-Quran tentang sujudnya Nabi Ya’kub As kepada Nabi Yusuf As, anaknya). Sejak saat itu Ibunda Siti Aminah tidak menganggap H. Daud Dahlan sebagai anaknya, tapi dia adalah Gurunya.
Keutamaan beliau semasa hidup, menguatkan informasi ruhaniyah yang menyatakan bahwa beliau mesti dimakamkan dekat dengan sang suami, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Ra.
Belakangan penulis (ketika Qini) mendapatkan informasi bahwa beliau memiliki martabat kewalian Imamaini (martabat Awliya di bawah Sulthan Awliya yang hanya ada 2 orang di setiap masa). Syekh al-Akbar menyatakan, informasi ini tidak begitu manfaat jika dipublikasikan. Karena ada yang percaya dan ada yang tidak. Cukup sekedar informasi saja.
----oooo000O000oooo----

Akhlaq Wali Abdal

Akhlaq para Wali Abdal itu ada 10:

  1. Bersih hati,
  2. Dermawan dalam hartanya,
  3. Sidik (lurus) lidahnya,
  4. Rendah diri,
  5. Sabar dalam penderitaan,
  6. Menangis di waktu sendirian,
  7. Nasehat kepada sesama makhluk,
  8. Kasih sayang sesama mukmin,
  9. Memikirkan kerusakan dunia,
  10. Memperhatikan dan mengambil ibarat dari segala kejadian.

Murid Baru Yang Beruntung

Terkadang Syekh al-Akbar mengungkapkan hal-hal gaib/ruhani untuk menghilangkan ruang kejenuhan itu meskipun karunia ruhani itu bukan tujuan. Ia hanya alat untuk menghilangkan kebekuan kita.
Suatu pengajian, beliau pernah mengungkapkan ada seorang murid baru yang telah diberikan karunia istimewa dari Allah di alam barzakhnya. Sebelum menjadi murid ia sudah terbiasa dengan perkara haram dan makruh. Meskipun kenal dengan Syekh al-Akbar (karena masih ada hubungan famili) ia belum mempunyai respon terhadap keberadaan kepemimpinan Ilahiyyah. Namun setelah ia diuji dengan sakit, ia segera berserah diri kepada Syekh al-Akbar. Akhirnya ia dibai’at menjadi murid. Orang itu hanya diberi ’titipan’ pesan dari Syekh al-Akbar agar senantiasa membanyakkan dzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum.
Sebelum sakitnya membawa ajal ada kisah unik di mana ia telah diberitahu bahwa ia akan meninggal setengah jam lagi tepat jam 4 sore. Dan benarlah apa yang ia katakan itu. Ia mengajarkan keluarganya yang hadir menjelang wafatnya dengan banyak berdzikir kepada Allah. Sebelum wafat, ia melihat Syekh al-Akbar beserta jama’ah Idrisiyyah hadir di rumahnya (secara ruhani) menunggu ’kepulangan’ dirinya.

Alam gaib menyelimuti dirinya sehingga ia ketika ia diperlihatkan gemerlapnya syurga ia tidak lagi memikirkan urusan dunia. Ia membenarkan apa yang telah dijanjikan Syekh al-Akbar kepada dirinya. Ia merasa senang dengan pemberian Allah lewat keberkahan Syekh al-Akbar yang membimbingnya selama ini.
Setelah menceritakan itu semua, Syekh al-Akbar mengungkapkan, ’Demikianlah murid yang jauh keberadannya dari Bapak. Hanya amalan dzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum yang ia pegang selama ini. Bagaimana dengan murid Idrisiyyah yang istiqamah menjalankan ibadahnya?! Yang setiap hari mengamalkan Hadiqatur Riyahin, mengiringi berbagai kebijakan kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah, yang selalu hadir di setiap pengajian, yang terus menerus ikut perjuangan Syekh al-Akbar, yang lebih banyak menerima bimbingan beliau! Apakah maqam (kedudukannya) sama?! Tentu, syurga beserta apa yang ada di dalamnya itu jauh melebihi apa yang diberikan murid yang hanya berdzikir Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum tadi.
Apakah kita hanya berpuas dengan kedudukan yang ada saat ini? Syekh al-Akbar berharap semua murid meningkatkan amal ibadahnya agar selamat dari siksa api neraka.

Sifat Para Nabi As

Abu Darda Ra. berkata:
12 macam sifat para Nabi As:

  1. Mereka yakin terhadap janji-janji Allah,
  2. Mereka putus harapan dari makhluk,
  3. Permusuhan mereka hanya kepada syetan,
  4. Mereka rajin memperbaiki urusan mereka,
  5. Mereka kasih sayang kepada makhluk,
  6. Mereka sanggup menanggung penderitaan untuk kepentingan kemaslahatan,
  7. Mereka yakin pada syurga, jika mereka berbuat amal, yakni benar bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya,
  8. Mereka tunduk pada Haq (kebenaran),
  9. Mereka tidak jemu memberi nasehat meskipun pada musuh,
  10. Mereka tidak menyimpan kelebihan harta, dan selalu memberikan kepada fakir miskin,
  11. Mereka selalu berwudhu,
  12. Mereka tidak gembira jika mendapat, dan tidak sedih jika tidak mendapat dunia.

Tanbihul Ghofilin, Imam Abu Laits Samarqandi Rhm.