Minggu, 04 Mei 2008

MANUSIA & HARMONI ALAM

KHUTBAH JUM’AT, 4 APRIL 2008
MANUSIA & HARMONI ALAM
Oleh: Salim Bela Pili, MA
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Dalam ayat lainnya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S. Ar-Rum: 41).
Telah bertebaran ... kemungkaran di daratan, lautan maupun udara. Semuanya itu disebabkan oleh faham, karya manusia. Maka diciptakan bagi mereka musibah (liyudziiiqohum.....) agar melalui musibah-musibah itu mereka dapat sebagian pelajaran akibat dari perbuatan mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah (bertobat).
Dalam rangkaian bahasa, ar-Ruju’ artinya at-Taubah. Jadi, ar-Ruju’ sama dengan at-Taubah yang berarti kembali. Kita tentu pernah pergi lalu kembali.
Kembali dari mana? Dari fitrah. Selama ini kita melenceng dari fitrah dengan melakukan banyak kemungkaran, maka ada peluang atau kesempatan kita untuk kembali (taubat).
Ayat tadi, disepakati atau tidak, tentu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Munculnya bencana alam, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk nilai-nilai, kesadaran moral, semuanya itu karena perbuatan manusia itu sendiri. Kalau pun kita tidak terlibat atau tidak termasuk dalam kategori fasad, yakni yang menyebabkan turunnya bencana tersebut, setidaknya kita akan mengalami ujung musibah itu dan bias musibah itu melanda kita jua.
Sekalipun kita tidak melakukan maksiat atau kita terbebas dari maksiat, tapi maksiat itu mengundang bencana bagi kita semua. Ibarat kita berada dalam satu perahu di bumi ini, kemudian ada seorang yang membocori perahu. Tentu, bukan orang yang membocori perahu itu saja yang tenggelam, tapi kita pun ikut tenggelam bersama-sama orang yang membocorkan perahu tersebut.
Imam al-Mawardi ketika menafsirkan ayat ini (Q.S. An-Naml: 48):
{ يُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ وَلاَ يُصْلِحُونَ } mengungkapkan bahwa 5 perlakuan manusia pada masa dahulu yang berbuat kerusakan di muka bumi,
(Pertama): Mereka merusak dengan keingkaran, dan tidak melakukan kebaikan dengan keimanan,
(Kedua): Mereka merusak dengan kemungkaran, tapi tidak berbuat baik dengan hal yang ma’ruf,
(Ketiga): Mereka merusak dengan kemaksiatan, tapi tidak berbuat baik dengan ketaatan,
(Keempat): Mereka berbuat kerusakan dengan membanyakkan harta, tapi tidak berbuat kebaikan dengan meninggalkan kelakuan tersebut.
(Kelima): Mereka mengejar aurat wanita, tapi tidak menutupinya.
Hadirin Rahimakumullah,
Alam dunia ini dalam bahasa pengetahuan merupakan theofani. Theo berarti Tuhan, Fani itu berarti penampakan atau perwujudan. Theofani artinya penampakan Tuhan (Tajaliyyat Ilahiyyah), penampakan Sifat-sifat dan Af’al (Perbuatan) Allah SWT, bukan Zat-Nya.
Dalam bahasa pengetahuan alam ini disebut Cosmos, artinya tertib, teratur (the order). Pergantian malam siang terjadi dengan keteraturan. Waktu berjalan sesuai peredaran alam.
Dan matahari berjalan poros (tempat peredaran)nya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Perkasa lagi mengetahui.” (Q.S. Yasin: 38)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (posisinya), sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tanduk”. (Q.S. Yasin: 39)
Tidaklah mungkin bagi matahari balapan dengan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya sambil bertasbih (kepada Allah)". (Q.S. Yasin: 40)
Tidak akan terjadi matahari balapan dengan bulan, ....... baik matahari maupun bulan dalam falaknya bertasbih kepada Allah.
Demikianlah alam itu sebagai Tajalliyat, the order. Keteraturan ini dalam bahasa pengetahuan disebut dengan hukum alam. Ada pergantian musim, 2 musim atau musim, semuanya ada waktunya.
Dalam Surat Ar-Rahman ayat 5 disebutkan:
Wasy-syamsu wal qomaru bihusbaan. Baik perjalanan matahari maupun bulan, keduanya ada hitung-hitungannya (hisab). Akan tetapi karena ulah tangan manusia, semuanya menjadi kacau. Pada saat sekarang mestinya sudah datang waktunya musim kemarau, ternyata kita masih mendapatkan tetesan air hujan. Dan pada saat mestinya musim hujan, sumur kita mengalami kekeringan.
Terkadang kita menyatakan, kita sedang diuji oleh Allah SWT. Mengenai pernyataan tersebut marilah kita mencoba instropeksi, apakah kita memang sedang diuji atas hal seperti itu atau tidakkah kita sebenarnya sedang melakukan fitnah (tuduhan) dengan mengatakan bahwa ‘Allah sedang menurunkan musibah’. Padahal ayat di atas menyebutkan bahwa kerusakan itu akibat ulah manusia jua. Rusaknya daratan, lautan, sumber kehidupan, semua adalah jejak perbuatan manusia itu sendiri.
Petani sudah tidak memiliki waktu dan lahan yang baik untuk bercocok tanam. Nelayan tidak memiliki waktu yang tepat untuk melaut. Perahu-perahu di sepanjang pesisir pantai sudah tidak aman lagi dari badai. Apakah yang demikian itu kita katakan bahwa ‘itu merupakan perbuatan Allah?’ ataukah kita mengatakan, ‘Itulah perbuatan kita yang membuat murka Allah!’
Orang yang merusak alam berarti membunuh dirinya sendiri. Orang yang menebang hutan menimbulkan hutan gundul. Longsor yang ditimbulkan akhirnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Sebenarnya orang yang berada di lembah mengetahui bahwa mereka bertheofani, bergantung atau berharmoni dengan alam sekitar. Sehingga pada saat alam atau hutan dirusak mereka telah melakukan bunuh diri secara ekologis.
Dalam teori dosa, disebutkan bahwa yang namanya zhulmun (ظلم) sesungguhnya adalah zhulmun nafsi (ظلم النفس), yakni menganiaya diri sendiri. Allah Yang Suci dari segala perilaku manusia, apabila didurhakai oleh seluruh penduduk bumi, niscaya tidak akan berkurang sedikitpun Keagungan-Nya. Tapi, manusia itu sendirilah yang akan memperoleh buah atau hasil kemungkarannya tersebut.
Jika kita menerima atau mengalami musibah-musibah itu, maksudnya adalah liyudziiqohum ba’dholladzii ‘amiluuu, setidak-tidaknya manusia merasakan sebagian saja akibat perbuatannya. Karena Rahmat Allah yang mencegah tidak turunnya seluruh akibat perbuatan manusia.
Jika Allah menghendaki menurunkan musibah sebagai akibat perbuatan manusia itu secara keseluruhan, niscaya tidaka akan tersisa makhluk yang ada di muka bumi ini, sekalipun seekor hewan melata.
Jadi, kita yang masih tinggal di bumi sekarang ini bukanlah semata-mata karena kita baik, tapi karena Allah membiarkan dan memberikan kita kesempatan untuk merasakan sehingga kita kembali untuk bertobat, kembali kepada fitrahnya.
Proses taubat mesti diiringi dengan langkah perubahan. Misalnya jika kita selama ini kita menebang hutan, hendaknya sekarang ia menanam pohon atau menghijaukan kembali hutan. Jika selama ini ia sembarang membuang sampah di selokan, hendaknya taubatnya diiringi dengan membersihkan selokan tersebut. Karena alam itu tidak mau dikotori atau dirusak. Alam itu bertasbih. Tapi kita tidak tahu mereka sedang bertasbih kepada Allah. Dikatakan:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Penyantun lagi Pengampun”. (Q.S. Al-Isra: 44)
Alam yang bertasbih kepada Allah kita nodai dan kita kotori. Akhirnya alam berbalik memusuhi manusia. Tanah yang ditanam tidak lagi memberikan kesuburan, air yang digali tidak lagi memberi kecukupan, yang tumbuh tidak memberikan rahmah (kasih sayang) tapi memberikan penyakit bagi kita. Semuanya disebabkan ulah tangan manusia.
Marilah kita kembali kepada fitrah. Bertaubat dengan perubahan perilaku, memperbaiki lingkungan yang telah dirusak.
Secara fisik, alam yang dirusak terlihat dari penampilannya yang gundul. Alam mempunyai daya psikologis sebagai hukum spiritual. Kita tidak mengetahui alam bertasbih, sebagaimana kita tidak tahu persis bagaimana tersiksa atau tersinggung-nya alam ketika ia disakiti.
Alam tersedia untuk umat manusia,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. ............”. (Q.S. Al-Jatsiyah: 13) Tapi alam mempunyai sifat yang fitrah. Mereka mempunyai empati (rasa).
Dalam teks-teks hadits disebutkan bahwa harta benda, hewan ternak, semuanya senang kepada yang mikmin/muttaqin. Sedangkan harta benda di tangan orang yang zhalim, ia merasa tidak betah.
Hadirin Rahimakumullah,
Di sini ada hukum harmoni antara manusia dengan alam.
Dalam literatur Sufistik dikisahkan seorang Alim di alam barzakh mempunyai gusi yang selalu berdarah. Setelah diteliti apa yang menyebabkan demikian ternyata sewaktu di dunia ia pernah mengambil sepotong duri untuk membersihkan giginya sehabis makan. Hal yang sekecil itu tetap tercatat sebagai ganjaran seseorang di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
Apa yang menjadi akibat perbuatan kita itu bisa tampak di akhir zaman nanti, atau bahkan dalam waktu dekat ini. Marilah kita kembali, bertaubat kepada Allah. Kita yang sudah mendapatkan petunjuk dan ilmu marilah beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mulailah dari diri kita, kemudian keluarga, kerabat dekat hingga lebih luas lagi jangkauannya.
Wassalam.

Tidak ada komentar: