Minggu, 04 Mei 2008

Gejala Alam dan Tanda Kiamat

Surat (i)
Terus terang, mengaitkan gejala-gejala alam dengan tanda2 awal kiamat (saya menerjemahkan term "kiamat" yang anda maksud adalah kiamat kubro, akhir dunia,
yang tidak semata akhir Bumi saja) itu sungguh di luar kemampuan saya. Ilmu agama saya cethek, ngajinya cuman Qur'an, buku2 yang dibaca hanya terjemahan. Memang pernah beberapa kali ceramah, tapi itu semata karena 'todongan' orang. Maka dari itu mohon maaf kalo imel ini juga saya forwardkan ke beberapa pihak yang lebih punya kapasitas untuk menjawab, seperti Bpk. H. Abdillah salah satu cendekia Muhammadiyah yang berdomisili di Malang, Bpk. H. AR Sugeng Riyadi, ustadz Pondok modern As-Salam Pabelan Surakarta, dan juga pada Bpk. H. Rovicky Dwi Putrohari, sang ahli ilmu bumi dengan background religius kuat dan berkedudukan di Kuala Lumpur.
Saya pribadi tidak sependapat dengan pendapat adanya gejolak magma yang berjama'ah di perut bumi Indonesia, sebab yang menampakkan peningkatan aktivitas sebenarnya hanya gunung itu-itu saja. Mengutip data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pada
Juli 2006 peningkatan aktivitas (kode status : waspada-awas) hanya terjadi di Merapi, Anak Krakatau, Semeru, Soputan, Lokon, Talang, Ibu, Dukono dan Karangetang. Pada Juli 2007 ini Gunung Gamkonora (Halmahera) dan Batutara (NTT) ditambahkan ke dalam daftar, sementara gunung Ibu dieliminasi (karena sudah turun menjadi aktif normal). Gunung2 yang lain statusnya aktif normal, alias biasa-biasa saja. Jika gunung2 api lain di luar daftar itu menunjukkan peningkatan aktivitas, terutama gunung2 yang lama 'tidur' seperti Sumbing-Sindoro-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah atau kompleks Wilis-Anjasmoro di Jawa Timur, maka barulah bisa dikatakan ada anomali.
Beberapa gunung api dikenal mempunyai periode letusan pendek. Merapi misalnya, ia mempunyai periode letusan 3 - 4 tahun dan tiap kali meletus memakan waktu 0,5 -
1 tahun, dengan tipe letusan efusif (leleran) dimana ia lebih dulu 'membangun' kubah lava untuk kemudian melongsorkannya sedikit demi sedikit sebagai awan panas. Karangetang, Soputan, Lokon dan Talang meletus secara eksplosif (ledakan) namun tipenya letusan
vulkano lemah sehingga kolom debu-nya hanya mencapai ketinggian maksimum 1 km dari puncaknya. Sementara Semeru, dia memang punya sifat letusan yang khas karena selalu berulang secara periodik dalam waktu yang pendek (kalo tidak salah adalah karakter
Strombolian), namun tipe letusannya juga vulkano lemah sehingga tinggi kolom debu yang dihembuskannya pun tidak > 1 km. Semua tipe letusan ini memiliki energi yang kecil.
Anak Krakatau juga demikian. Memang dalam sejarahnya gunung ini punya riwayat letusan2 paroksimal (besar-besaran) yang ultraplinian, hingga sanggup menghembuskan kolom debunya ke ketinggian 30 km.
Letusan paroksimal terakhir (Agustus 1883) membuat tubuh gunung musnah dan menyisakan kaldera berdiameter 7 km dengan energi letusan yang sungguh luar biasa,
mencapai angka 400 megaton TNT atau 20.000 kali lebih kuat dibanding bom Hiroshima. Namun sejak kelahirannya
(1930) hingga sekarang, aktivitas Anak Krakatau adalah tipe vulkano lemah dengan energi yang kecil, sehingga tidak berdampak jauh.
Letusan gunung api juga dipengaruhi oleh kejadian gempa, karena gempa mampu menghasilkan perubahan tekanan (stress change) baik secara statik maupun dinamik dalam dapur magma, dan secara umum diketahui stress change sebesar 10 kPa adalah ambang batas untuk memicu letusan. Pola ini nampak jelas pada Merapi 2006 (yang dipicu gempa Yogya) dan Talang 2005 (yang dipicu rentetan gempa megathrust Sumatra-Andaman, gempa megathrust Simeulue-Nias dan gempa Mentawai).
Memang saat ini ada pendapat sedang terjadi plate reorganisation pasca gempa megathrust Sumatra-Andaman 2004 (26 Des 2004, yang melahirkan tsunami besar itu) dan disusul gempa megathrust Simeulue-Nias 2005 (28 Maret 2005), sehingga gempa2 bermunculan di mana2 di Indonesia dan sebagai dampaknya banyak gunung api terpengaruh.
Namun saya pribadi tidak sepenuhnya sependapat, sebab gempa-gempa megathrust di zona subduksi Sumatra memiliki periode ulang 200-an tahun dan waktu kejadiannya berbeda-beda, tidak serempak. Misalnya saja di area Nias - Mentawai. Megathrust di Nias
terjadi pada 1861 dan 2005 lalu. Sementara di Mentawai megathrustnya terjadi pada 1797 dan 1883. Sulit untuk mengatakan bahwa dari tahun 1797 - 1861 - 1883 (hampir 100 tahun) terjadi plate reorganisation sementara berselang 1 abad lebih kemudian (yakni 2004 dan 2005) juga muncul megathrust di Simeulue serta Nias, yang diselingi oleh gempa 7,7 Mw di Nias (1935) dan kelak sekitar 2030 (rentang waktu probabilitasnya antara 2010 - 2050 dengan interval konfidensi 95 %) gempa megathrust di Mentawai bakal berulang. Polanya nampak bersambung terus menerus bukan? Itu baru di Sumatra saja, belum memperhitungkan skenario2 gempa megathrust yang terjadi di Jawa dan Indonesia timur. Dan plate reorganisation, dalam pendapat saya, mungkin sulit terjadi/teramati pada umur yang sangat singkat (~100 tahun) berdasar skala waktu geologi.
Dalam pendapat saya, yang terjadi justru karena ada terlalu banyak zona subduksi dan patahan geser di Indonesia yang sudah 'matang' karena sudah mengandung cukup banyak energi hasil desakan lempeng dan oleh posisinya yang 'terkunci' (locked, ngancing dlm bhs
Jawanya) pada bidang batuan yang dihadapinya. Pada kondisi seperti ini sebuah usikan kecil (perturbasi) entah dari konjungsi/oposisi Bulan ataupun gempa lain yang berdekatan sudah cukup menjadi pemicu lepasnya energi ini dan muncullah gempa.
Kembali ke letusan gunung, jika dibandingkan, volume erupsi gunung2 di Indonesia dalam (katakanlah) 50 tahun terakhir ini boleh dikata tidak ada apa-apanya dibanding letusan Harrat Rahat di dekat Madinah (Saudi Arabia) pada 26 Juni 1256 dan berlangsung selama 52 hari kemudian. Letusan ini mengeluarkan lava basalt sebanyak 500 juta meter kubik (!) - bandingkan dengan Merapi 2006 yang 'hanya' 8 juta meter kubik – dan mengalir hingga 23 km ke utara dari sumbernya dan nyaris saja menenggelamkan kota suci Madinah dalam
lautan bara karena tinggal berjarak 8 km dari Masjid Nabawi. Bapak-bapak yang sudah menunaikan ibadah haji mungkin sudah pernah menyaksikan sisa letusan ini, yang terhampar dalam bentuk perbukitan tandus memanjang kehitaman di timur Madinah. Kalo tidak salah ada yang mengaitkan ungkapan "munculnya api di tanah Hijaz" sebagai salah satu tanda2 kiamat (dalam sebuah hadits) dengan letusan ini. Meski, sekali lagi, menelaah hal ini sungguh diluar kemampuan saya.
Wassalamu'alaikum...
Juli 2007

Ma'rufin
catatan : gempa megathrust = gempa besar dengan magnitude > 8,5 Mw.

Tidak ada komentar: