Khutbah, 14 November 2008
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Salah satu kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang tampak di muka bumi ini adalah berbicara. Berbicara menggunakan alat yang bernama lisan. Lisanlah yang menyebabkan seseorang bahagia atau menimbulkan bencana dan malapetaka di mana-mana. Betapa dahsyat pengaruh lisan sehingga ketika seorang Sahabat Ra. tergelincir dalam suatu ucapannya, Rasulullah Saw mengingatkan, ‘Sekiranya ucapanmu itu jatuh ke atas air laut, niscaya laut akan menjadi tawar!’
Lisan, dengan itu banyak manusia tersimpan atau terungkap kebaikan atau kejahatannya. Kalau lisan begitu lihai menyembunyikan kejahatan, sehingga KPK bisa terkecoh, maka di hadapan Allah Al-Hakim All-’Adil ia tidak dibiarkan berbicara. Alyawma nakhtimu ‘alaa afwaahihim, watukallimunaa aydiihim, watasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuun. (Q.S. Yasin: 65) “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Ada orang yang mampu berbicara lancar dan cepat, dan ada yang lambat atau bahkan gagap. Salah satu Nabi yang diuji Allah dalam hal ini adalah Nabi Musa As., sehingga ketika akan menghadapi musuhnya dalam menyampaikan Risalah yang Allah amanatkan kepadanya Beliau berdo’a: Robbisyrohlii shodrii wayassirlii amrii wahlul ’uqdatam millisaanii yafqohuu qowlii. [Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan pada lisanku untuk berbicara agar mereka yang mendengarku memahami ucapanku]. Q.S. Thaha: 27
Kita sering tidak mampu menguraikan kata-kata, padahal kita rajin berbicara yang tak penting, hingga puluhan hingga ratusan gosip kita edarkan setiap hari. Orang yang diberi kemampuan berbicara yang berguna dan makna yang padat (Jawami'ul Kalim) seperti junjungan kita Nabi Muhammad Saw saja pernah berucap: Laa Uhshii tsanaa-an ’alayka kamaa atsnayta ’alaa nafsika [Tiadalah aku sanggup mengucapkan pujian keagungan kepadaMu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu sendiri].
Kalau Nabi Saw merasa tidak mampu berbicara sempurna tentang Kebesaran dan Keagungan Allah SWT, bagaimana dengan lisan kita yang sering kelu mengungkapkan kebenaran? Sebenarnya ada 2 masalah penyebab orang tidak mampu berdzikir atau menyebut Kebesaran Allah. (Pertama) Karena Ketinggian pemahamannya tentang Allah SWT dan (Kedua) karena tidak mengertinya orang itu sehingga tidak mampu menjangkau pentingnya menyebut Nama Allah.
Jika Nabi Musa As kelu (gagap) dalam menyampaikan yang haq, kita pun banyak yang kelu dalam menyampaikan kejujuran. Banyak di antara kita kelu lisannya untuk mengucapkan terima kasih, tertahan lidahnya untuk menyampaikan kata maaf, beku lidahnya untuk menyatakan pengakuan kekurangan dirinya. Lidah kita begitu perkasa mengungkapkan bahwa diri kita adalah sempurna, sehingga mengajak orang-orang mengikuti di bawah bendera kepemimpinannya.
Hadirin Rahimakumullah,
Di zaman sekarang lisan menjadi asset atau modal penting meraih rizki dan kehidupan. Sehingga dengan kata-kata yang akurat dan penuh pesona, seseorang mendapatkan bayaran. Dari seorang guru, penceramah, pembawa acara hingga pengacara (yang sekarang lagi naik daun). Apakah kita tidak yakin jika kita berdzikir (menyebut-nyebut) Allah yang menciptakan kita juga mendapatkan bayaran? Bayarannya adalah nanti di akhirat, sedangkan keberkahannya dapat kita cium di kehidupan ini.
Memang esensi dzikir adalah mengingat dalam pengertian seluruh aspek kehidupan. Dan kita tahu bahwa pengertian Iqra pada permulaan wahyu bukanlah sekedar baca secara lisan. Pada kesempatan ini tidak cukup untuk membahas semuanya. Kita dahulukan maknanya pada level ucapan. Karena ada ucapan suatu dzikir (dalam suatu hadits) yang timbangannya di sisi Allah melebihi 7 lapis langit dan bumi.
Mengapa berdzikir? Sabda Nabi Saw: Matsalul ladzii yadzkkuru robbahuu wamatsalul ladzii laa yadzkuru robbahuu kamatsalil hayyi wal mayyit.
“Perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak mengingatnya adalah seperti perbandingan orang yang hidup dengan yang mati”. (HR. Bukhari & Muslim)
Bagaimana memulai dzikir yang sempurna bagi mubtadi? Adalah mesti ada pemandunya, yakni mengikuti bimbingan seorang Guru. Janganlah kita mengamalkan suatu amalan dzikir tanpa menggunakan pemandu. Bacaan dzikir mesti ada dasar dan asal muasalnya. Berdzikir juga ada adab dan tata caranya sebagaimana kita membaca Al-Quran. Terkadang seorang mubtadi (pemula) mesti mengeraskan suaranya dalam berdzikir agar pendengaran hatinya fokus kepada dzikir yang dilafalkannya. Orang yang keras hatinya, yakni tidak membekas ayat-ayat Allah masuk ke dalam hatinya, pantas melakukan dzikir seperti ini.
Firman Allah SWT: Fa-idza qodhoytum manaasikakum fadzkurullaaha kadzikrikum aabaa-akum aw asyadda dzikroo. [Q.S. Al-Baqarah: 200] Firman Allah tadi membuktikan bahwa kita mesti berdzikir dengan kekuatan yang melebihi kita mengagungkan budaya, mengagungkan nilai-nilai tradisi nenek moyang kita.
Allah menyebutkan istilah dzikron katsiro. Artinya kita mesti banyak-banyak menyebut-Nya. Maka kita tidak heran mengapa kita mesti mengulang-ulang bacaan dzikir itu sebagaimana kita berulang-ulang melaksanakan sholat 5 kali sehari, bekerja setiap hari, dsb. Sedikit kita menyebut-nyebut kebaikan majikan, akan sedikit pula perhatian ia kepada kita. Begitu pula, jika kita sedikit berdzikir kepada Allah, maka sedikit pula rasa dekat kita kepada Allah.
Hadirin Rahimakumullah,
Dzikir pada tahap istiqamah adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para malaikat. Dalam berbagai riwayat, mungkin kita pernah mendengar bahwa ada di antara para malaikat Allah yang terus-menerus sujud, atau ruku, atau berdiri. Ada yang terus menerus bertasbih, ada yang terus menerus memberikan rahmat, ada yang terus menerus mencabut nyawa, dsb. Makhluk yang disucikan Allah tidak akan merasa jemu dengan kelanggengan aktivitas ibadah dan dzikirnya itu.
Jika dzikir sudah menjadi suatu kebutuhan, maka ia tidak akan merasa jemu berdzikir selamanya sebagaimana tidak jemu-jemunya ia memakan nasi setiap hari.
Hadirin Rahimakumullah,
Di zaman sekarang banyak orang yang berdzikir, tapi tidak mengerti apa yang diucapkannya atau mengerti maknanya tapi tidak bisa menempatkannya. Sebagai contoh: Kita memahami Allah itu Besar (Allahu Akbar). Tapi banyak orang mengucapkannya tidak mendapatkan bekas dari apa yang diucapkannya itu. Semestinya ketika seseorang mengucapkan Takbir, Allaahu Akbar, ia merasakan betapa Besar dan Agungnya Allah, dan ia (sebagai makhluk) merasa dirinya kecil di hadapan-Nya. Tapi yang kita lihat orang yang mengucapkan Takbir itu tidak demikian. Mereka ada yang bertakbir, tapi bertambah kesombongannya. Ia meluapkan emosinya, seolah-olah ia adalah Tuhan yang mendengungkan Nama Besar, sehingga orang-orang mesti takluk kepadanya. Bukanlah tujuan takbir itu untuk menakut-nakuti orang. Oleh karenanya bisa kita saksikan putra-putri kita, saudara-saudari kita, berjejal mengumandangkan Takbir di malam yang Agung, tapi mereka tidak mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Mereka mengumbar nafsu dalam bertakbir, tapi tidak menambah kerendahan hatinya ketika ia melafalkannya. Sehingga yang tampak di malam mulia bukan sebuah irama kesyahduan, tapi gemuruh pesta tanpa makna.
Seharusnya kita mesti mengingat kedudukan Takbir itu ketika sholat. Kita merendahkan diri, karena ketika bertakbir kita merasa makhluk yang hina, tak berdaya di hadapan Allah, Allahu Akbar, Allah saja yang Besar. Oleh sebab itu kita merelakan kepala yang berisi ribuan gagasan dan pemikiran jatuh ke bumi, menandakan kita rendah di hadapan-Nya. Bahkan dijelaskan bahwasanya sedekat-dekatnya seorang hamba di hadapan Allah adalah ketika ia bersujud, Al-Hadits.
Hadirin Rahimakumullah,
Saat kita mengucapkan Maasyaa Allaah, Allah saja yang berkehendak atas apa yang kita lihat. Tapi kebanyakan saat mengucapkan itu kita lupa dengan sikap kita. Kita tidak menyerahkan apa yang kita alami kepada Allah Yang Berkehendak.
Kalau kita menyaksikan acara keajaiban flora dan fauna di televisi, pemandu acara biasanya mengungkapkan ‘Lihat, betapa indahnya pemandangan alam ini, lihat tingkah hewan-hewan lucu itu, begitu hebat kekuatan hewan itu mempertahankan hidupnya, alam memang mempunyai keistimewaan tiada tara, dan segudang ucapan takjub lainnya.’ Tapi mereka tidak menyinggung sedikit pun ‘Betapa indahnya Yang menciptakan!’ Subhaanallaah! Pada saat kita merasakan keindahan, kita mengucapkan hal itu. Namun sering kita terlena, takjub kepada yang kita lihat tapi lupa kepada Allah yang menciptakannya.
Alhamdulillah. Segala Puji milik Allah, bukan bagi Allah. Karena tidak pantas kita berbagi dalam pujian. Banyak yang lupa kepada Allah saat ia mengucapkannya. Ia terus menerus ingat nikmat bukan Pemberi nikmat. Kita selalu ingin bersyukur karena ingin bertambah nikmat. Tapi kita hanya mengerti nikmat itu sebatas nikmat dunia, bukan nikmat yang abadi atau kenikmatan bersua dengan Yang Memberi nikmat!
Sering kita tahlil, Laa Ilaaha Illallaah, Tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah. Tapi kita selalu bertumpu hati dan pikiran kita kepada selain Allah. Senandung dzikir tidak membuat kita bergantung kepada Yang kita sebut. Kita menafikan (menolak) keberadaan selain Allah, tapi usaha itu sia-sia karena kita tidak mengupayakan keberadaanNya dalam hati kita.
Hadirin Rahimakumullah,
Di akhir zaman yang semakin gemerlap ini. Kita rindu kepada realita firman-firman Allah berikut ini:
• Innamal mu’minuunalladziina idzaa dzukirollaahu wajilat quluubuhum, wa-idzaa tuliyat ‘alayhim aayaatuhuu zaadathum iimaanaa. [Sesungguhnya orang yang beriman itu apabila disebut Nama Allah bergetar, bergejolak hatinya. Dan apabila mereka dibacakan ayat-ayatNya maka bertambahlah keimanannya] (Q.S. Al-Anfal: 2)
• Wa-idzaa sami’uu maa unzila ilar rosuuli taroo a’yunuhum tafiidhu minad dam’i mimmaa ‘arofuu minal haqq yaquuluuna robbunaa aamannaafaktubnaa ma’asy-syaahidiin. (Q.S. Al-Maidah: 83)
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul , kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui; seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi .
Saat ini sulit mencari orang-orang yang apabila diperdengarkan ayat Allah mereka bergetar (padahal ia bukan yang berdzikir). Coba kita tengok sejarah masa lalu, di mana Rasulullah Saw beberapa kali menyuruh sahabatnya melantunkan ayat suci Al-Quran, lalu Beliau, ‘Cukup, cukup’. Maka tampaklah air mata meleleh dari kedua mata Beliau Saw.
Dzikir melahirkan kepekaan batin, sehingga berinteraksi dengan Ayat-ayat Allah membuat seseorang bertambah keyakinan dan keimanannya.
Maka bagaimana kita bisa meniru Rasulullah Saw sebagai Uswatun Hasanah, di berbagai forum kita mendengar ayat-ayat Allah dikumandangkan, tapi malah menjadi bahan perdebatan, mencari akal untuk membenarkan pernyataannya, ‘Maknanya bukan begitu! Berbeda pendapat adalah rahmat! Tafsirnya bukan hanya itu!’ Dengan berucap demikian menandakan hati kita kurang peka, pikiran dan jiwa kita belum sadar, kita belum bersikap benar, dan beradab ketika berinteraksi dengan Ayat-ayat Allah.
Semoga kita semua diberikan petunjuk untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kembali menggunakan Al-Quran dan Al-Hadits sebagai tuntutan menuju akhirat bukan tuntutan modal hidup di dunia semata.
Waghrfir warham wa Anta khoyrur Rohimiin. [Ampunilah dan kasihilah (kami), (karena) Engkau sebaik-baik Yang Mengasihi (kami)].
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar