‘Tok, tok, tok’, suara tongkat terdengar dari dekat Kubah (makam Syekh al-Akbar Abdul Fattah & Syekh al-Akbar M. Dahlan). ‘Eh, Pak Kayum. Kenapa Bapak jalan-jalan? Kan Bapak sedang sakit!’ Ucap seorang murid keheranan. ‘Nggak apa-apa. Saya sengaja datang memaksakan diri untuk mengikuti acara Qini’ Jawab Pak Kayum ringan.
Pembicaraan di atas merupakan mimpi seorang murid pada saat menjelang dipanggilnya Pak Kayum ke Haribaan Allah SWT.
Tiba-tiba terdengar suara HP berdering, ‘Pak Kayum tunggu dulu sebentar saya mau buka HP saya dulu, ada yang manggil saya nih!’ Begitu ia mendengar suara dering HP, sambil meraba-raba kantongnya, ia terbangun dari tidurnya. Ketika ia terbangun, ia menyadari bahwa pertemuannya dengan Pak Kayum tadi cuma mimpi. Anehnya, ketika ia bangun ia juga mendengar suara Hp bordering di kantongnya, seolah mimpinya itu bersambung ke alam nyata.
Maka diangkatlah HP-nya, ‘Hallo, Assalamu’alaikum!’ ‘Hallo, siapa ini? Ada apa?’ tanya si murid.
‘Saya anak Pak Kayum Jam’un. Ingin memberitahu bahwa baru saja Bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir! Mohon do’anya dari para jama’ah Idrisiyyah’
‘Innaa lillaahi wa-innaa ilayhi rooji’uun! Insya Allah nanti akan kami sampaikan berita duka ini. Mohon maaf kami tidak bisa menghadiri pemakaman Beliau besok, karena malam hingga besok pagi kami masih menghadiri acara Qini di Tasikmalaya. Dan semoga ada wakil dari Idrisiyyah ke tempat Bapak!’
Setelah menjawab suara telpon tadi, si murid termenung. Ia tidak menyangka Pak Kayum meninggal secepat itu. Dan yang ia rasakan aneh adalah baru saja ia memimpikannya. Seakan-akan memberitahukan keinginan kuat Beliau untuk menghadiri Qini di Tasikmalaya meskipun fisiknya sudah melemah. Dan kami berniat akan menghadiri acara do’a dan tahlil di rumah almarhum nanti sepulang dari acara Qini.
Pada malam acara peringatan 7 hari wafatnya, seseorang diperlihatkan ruhani Pak Kayum hadir. Saat acara makan malam Syekh al-Akbar hanya membawa sebuah salak di samping piringnya. Ia ingin sekali membawakan buah-buahan yang banyak di dalam ke hadapan Syekh al-Akbar tapi ia tidak lagi mampu. ‘Mohon maaf Syekh al-Akbar, sekarang saya sudah tidak bisa lagi melayani Syekh al-Akbar! Padahal saya pengen sekali melayani Syekh al-Akbar di tempat saya ini dengan sebaik-baiknya!’
Setelah taushiyah selesai, datanglah anak-anak almarhum. Yang tertua datang menghadap Syekh al-Akbar menguraikan kesedihannya, ‘Saya sedih tapi ikhlas ditinggalkan Bapak. Saya tidak mengerti mengapa Bapak tidak memberitahukan saya bahwa Bapak mau pergi. Sedang orang lain diberitahu’. Si murid yang telah menyaksikan kedatangan ruhani Pak Kayum mengatakan, ‘Beliau berpesan kepada saya tolong sampaikan nanti kepada anak saya yang paling tua di hadapan Syekh al-Akbar, bahwa jangan khawatir dengan keadaan saya sekarang ini. Saya telah mendapatkan kenikamatan dan kebahagiaan saat ini. Namun ada satu yang mengganjal di hati saya, yakni harapan saya semoga di antara anak-anak saya ada yang meneruskan hubungan saya di dunia ini dengan Al-Idrisiyyah. Tapi saya pun memberikan kebebasan kepada anak-anak saya semua, silahkan. Saya tidak memaksa anak-anak saya untuk masuk menjadi jama’ah Tarekat Idrisiyyah’.
Sambil berurai air mata anak tertua almarhum mendengarkan apa yang telah diamanatkan Bapaknya kepadanya. ‘Ya, saya akan ikut mengaji di Idrisiyyah suatu saat nanti’. Lanjutnya, ‘Memang, di akhir-akhir kehidupan Bapak, sewaktu masih di rumah sakit dia selalu duduk sambil berdzikir. Dan suatu saat ia terlihat berkata-kata sendiri, seperti ada orang yang ia ajak bicara. Pernah kejadian itu ditegur oleh kami, Bapak sedang bicara dengan siapa? Lalu Bapak katakan bahwa ia sedang bicara dengan Gurunya (Syekh al-Akbar). Kalian tidak tahu ia hadir di sini bersama kita, begitu beliau menjelaskan’.
Pembicaraan itu kemudian terputus, dialihkan dengan rencana Syekh al-Akbar selanjutnya pergi ke daerah Muara Angke, karena di sana telah ditunggu oleh seseorang.
Semoga Pak Kayum dengan bekas-bekas khidmah perjuangannya di Idrisiyyah diberikan kebahagiaan yang paripurna di sisi Allah, Rasul dan Syekh al-Akbar. Amin Yaa Robbal ‘Alamin. Al-Fatihah:
Batu Tulis, 9 Agustus 2008
Selasa, 12 Agustus 2008
Arti Sebuah Mimpi
Pada saat menghadiri walimah seorang murid, Syekh al-Akbar bersama rombongan jama’ah memasuki gedung yang sudah dipadati oleh tamu (para undangan). Di atas panggung tampak kedua calon mempelai yang diapit oleh kedua orang tuanya masing-masing. Acara resepsi berlangsung hingga pukul 2 siang, dan rombongan Syekh al-Akbar datang lebih kurang 1 jam menjelang acara usai.
Melihat Syekh al-Akbar datang, dari atas panggung salah seorang Bapak mertua pengantin (murid) datang bergegas menghampiri Syekh al-Akbar. Ia meraih tangan Syekh al-Akbar, dan mengajaknya ke sebuah meja seolah ada sesuatu penting yang ia ingin katakan.
‘Pak Kiyai, saya ingin bertanya tentang suatu masalah! Boleh tidak?’ si Bapak bertanya.
‘Boleh saja!’ jawab Syekh al-Akbar santai.
‘Begini, saya pernah bermimpi. Mimpi ini sudah lama tapi masih saya ingat. Dalam mimpi tersebut saya seolah berada di padang pasir yang luas. Saat itu saya dalam keadaan sendiri, tidak ada yang menemani. Tiba-tiba ada sebuah suara entah dari mana, yang mengatakan ‘Kalau engkau ingin mencari jalan keselamatan dan mencapai kepada tujuan maka jalanlah lurus ke depan. Apabila ada yang mengajakmu saat engkau berjalan nanti janganlah engkau hiraukan, siapapun orang itu!’
‘Maka sayapun berjalan lurus di padang yang luas itu sesuai dengan apa yang diisyaratkan petunjuk suara tadi. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang wanita yang cantik, ia mengajak saya, ‘Jalan yang lurus (keselamatan) itu adalah ke sini (sambil tangannya mengarahkan kepada arah kanan)!’ ‘Tapi saya tidak menghiraukannya, dan saya terus berjalan mengikuti apa yang telah diamanatkan kepada saya!’
‘Setelah berjalan lama, kemudian saya menemukan seorang anak kecil di persimpangan jalan. Ia berkata kepada saya, ‘Jalan yang menyampaikan kepada tujuan adalah sebelah sini (sambil mengarahkan tangannya ke arah kiri jalan)!’. Tawaran ini pun saya tidak gubris, dan saya tetap berjalan terus’.
‘Setela sekian lama saya berjalan, tiba-tiba saya melihat sebuah masjid. Saya masuk ke dalamnya. Dan di dalam ada orang yang sedang shalat berjama’ah yang di depannya ada seorang imam. Saya maju ke depan dan sholat di belakangnya. Setelah selesai salam, saya menengok ke arah kanan dan kiri, ternyata semua jama’ah telah lenyap. Saya tinggal seorang diri. Saya melihat Imam tergeletak tidak sadarkan diri. Saya berfikir harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Kemudian saya berkata dalam hati, ‘Saya kuat memanggulnya!’ Lalu saya angkat sosok Imam tersebut. Saya berhasil mengangkat tubuhnya, tapi saya tidak diperlihatkan wajahnya. Tiba-tiba terdengarlah suara, ‘Dia adalah Rasulullah!
‘Begitulah cerita mimpi saya. Bagaimana ta’bir mimpi tersebut Kiyai?’ Sambil menatap Syekh al-Akbar dengan penuh perhatian.
‘Mimpi tersebut adalah pertanda keadaan zaman saat ini setelah ditinggalkan Nabi Muhammad Saw 15 abad yang lalu. Betapa banyak godaan yang akan dilewati manusia dalam mencapai tujuan Keridhaan Allah melalui jalan yang lurus. Banyak yang mengaku-ngaku mereka berada pada posisi yang benar. Mereka merasa benar, dan yang lain pun merasa benar. Wanita yang ditemui dalam mimpi tersebut adalah gambaran dunia yang menggoda Bapak. Sedangkan anak kecil yang menggoda adalah perumapamaan pemimpin majazi. Pemimpin majazi adalah pemimpin yang mengajak kepada kepentingan dunia semata. Karakternya adalah seperti kanak-kanak, yang menginginkan segala sesuatunya dengan cara yang instan.
‘Siapakah yang dimaksud dengan Imam yang Bapak angkat itu? Tiada lain adalah Khalifah Rasulullah saat ini yang meneruskan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Kebetulan yang diberikan mandat saat ini adalah saya (Syekh al-Akbar). Kalau di Idrisiyyah, banyak murid-murid yang dipertemukan dengan Rasulullah, tapi begitu diperlihatkan wajahnya, maka berubahlah wajahnya menjadi wajah Syekh al-Akbar. Oleh karena Bapak belum diinformasikan kepemimpinan Syekh al-Akbar dan dipertemukan sosoknya maka dalam mimpi tersebut tidak diperlihatkan wajahnya. Padahal apabila diperlihatkan, maka yang terlihat adalah peran ganti Rasulullah pada zaman ini’.
‘Wah, jawaban Pak Kiyai ini benar-benar membuat saya lega dan puas. Gamblang sekali penjelasan yang Pak Kiyai berikan. Sudah banyak Ulama atau Kiyai yang saya tanyakan tidak membuat saya lega dan puas sebagaimana uraian yang Pak Kiyai berikan. Terima kasih Pak Kiyai atas penjelasannya. Mari kita teruskan acara resepsinya!’
Batu Tulis, 11 Agustus 2008
Melihat Syekh al-Akbar datang, dari atas panggung salah seorang Bapak mertua pengantin (murid) datang bergegas menghampiri Syekh al-Akbar. Ia meraih tangan Syekh al-Akbar, dan mengajaknya ke sebuah meja seolah ada sesuatu penting yang ia ingin katakan.
‘Pak Kiyai, saya ingin bertanya tentang suatu masalah! Boleh tidak?’ si Bapak bertanya.
‘Boleh saja!’ jawab Syekh al-Akbar santai.
‘Begini, saya pernah bermimpi. Mimpi ini sudah lama tapi masih saya ingat. Dalam mimpi tersebut saya seolah berada di padang pasir yang luas. Saat itu saya dalam keadaan sendiri, tidak ada yang menemani. Tiba-tiba ada sebuah suara entah dari mana, yang mengatakan ‘Kalau engkau ingin mencari jalan keselamatan dan mencapai kepada tujuan maka jalanlah lurus ke depan. Apabila ada yang mengajakmu saat engkau berjalan nanti janganlah engkau hiraukan, siapapun orang itu!’
‘Maka sayapun berjalan lurus di padang yang luas itu sesuai dengan apa yang diisyaratkan petunjuk suara tadi. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang wanita yang cantik, ia mengajak saya, ‘Jalan yang lurus (keselamatan) itu adalah ke sini (sambil tangannya mengarahkan kepada arah kanan)!’ ‘Tapi saya tidak menghiraukannya, dan saya terus berjalan mengikuti apa yang telah diamanatkan kepada saya!’
‘Setelah berjalan lama, kemudian saya menemukan seorang anak kecil di persimpangan jalan. Ia berkata kepada saya, ‘Jalan yang menyampaikan kepada tujuan adalah sebelah sini (sambil mengarahkan tangannya ke arah kiri jalan)!’. Tawaran ini pun saya tidak gubris, dan saya tetap berjalan terus’.
‘Setela sekian lama saya berjalan, tiba-tiba saya melihat sebuah masjid. Saya masuk ke dalamnya. Dan di dalam ada orang yang sedang shalat berjama’ah yang di depannya ada seorang imam. Saya maju ke depan dan sholat di belakangnya. Setelah selesai salam, saya menengok ke arah kanan dan kiri, ternyata semua jama’ah telah lenyap. Saya tinggal seorang diri. Saya melihat Imam tergeletak tidak sadarkan diri. Saya berfikir harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Kemudian saya berkata dalam hati, ‘Saya kuat memanggulnya!’ Lalu saya angkat sosok Imam tersebut. Saya berhasil mengangkat tubuhnya, tapi saya tidak diperlihatkan wajahnya. Tiba-tiba terdengarlah suara, ‘Dia adalah Rasulullah!
‘Begitulah cerita mimpi saya. Bagaimana ta’bir mimpi tersebut Kiyai?’ Sambil menatap Syekh al-Akbar dengan penuh perhatian.
‘Mimpi tersebut adalah pertanda keadaan zaman saat ini setelah ditinggalkan Nabi Muhammad Saw 15 abad yang lalu. Betapa banyak godaan yang akan dilewati manusia dalam mencapai tujuan Keridhaan Allah melalui jalan yang lurus. Banyak yang mengaku-ngaku mereka berada pada posisi yang benar. Mereka merasa benar, dan yang lain pun merasa benar. Wanita yang ditemui dalam mimpi tersebut adalah gambaran dunia yang menggoda Bapak. Sedangkan anak kecil yang menggoda adalah perumapamaan pemimpin majazi. Pemimpin majazi adalah pemimpin yang mengajak kepada kepentingan dunia semata. Karakternya adalah seperti kanak-kanak, yang menginginkan segala sesuatunya dengan cara yang instan.
‘Siapakah yang dimaksud dengan Imam yang Bapak angkat itu? Tiada lain adalah Khalifah Rasulullah saat ini yang meneruskan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Kebetulan yang diberikan mandat saat ini adalah saya (Syekh al-Akbar). Kalau di Idrisiyyah, banyak murid-murid yang dipertemukan dengan Rasulullah, tapi begitu diperlihatkan wajahnya, maka berubahlah wajahnya menjadi wajah Syekh al-Akbar. Oleh karena Bapak belum diinformasikan kepemimpinan Syekh al-Akbar dan dipertemukan sosoknya maka dalam mimpi tersebut tidak diperlihatkan wajahnya. Padahal apabila diperlihatkan, maka yang terlihat adalah peran ganti Rasulullah pada zaman ini’.
‘Wah, jawaban Pak Kiyai ini benar-benar membuat saya lega dan puas. Gamblang sekali penjelasan yang Pak Kiyai berikan. Sudah banyak Ulama atau Kiyai yang saya tanyakan tidak membuat saya lega dan puas sebagaimana uraian yang Pak Kiyai berikan. Terima kasih Pak Kiyai atas penjelasannya. Mari kita teruskan acara resepsinya!’
Batu Tulis, 11 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)