Sabtu, 08 Desember 2007

Adab dengan Syekh

Menuntut Karamah dari Syekh
Di antara adab murid kepada Syekh adalah selalu memelihara adab kepada Syekhnya dan tidak menuntut karamah darinya, kejadian-kejadian luar biasa, penyingkapan, dan sebagainya. Barang siapa manuntut karamah dari Syekhnya hingga ia menurutinya, maka sekarang ia tidak lagi mempercayai Gurunya sebagai bagian dari orang-orang yang mengetahui jalan Ahlullah.
Syekh Abul Abbas al-Mursi Ra. berkata, ‘Berhati-hatilah, wahai muridku, agar engkau jangan meminta karamah dari Syekhmu hingga engkau mengikutinya dalam perintahnya dalam kebaikan dan larangannya dari kemungkaran. Meminta karamah darinya adalah adab yang buruk dan hal itu merupakan bukti keraguanmu dalam Islam, karena sesuatu yang diserukan Syekhmu kepadanya bukanlah yang ia syariatkan. Akan tetapi Rasulullah Saw mensyariatkannya, dan ia hanya pengikut, bukan yang diikuti. Sekiranya rahmat Allah tidak mendahului kermukaan-Nya, tentulah semua orang yang menentang perintah penyeru pada kebaikan akan binasa seketika itu juga’.
Berkeinginan dekat dan beradab dengannya
Pada suatu hari Syekh Abul Hasan asy-Syadzili Ra. berkata kepada muridnya Abul Abbas al-Mursy,
‘Wahai Abul Abbas, aku tidak menyertaimu kecuali engkau menjadi aku dan aku menjadi engkau’.
‘Engkau harus menahan diri dari mengunjing Syekhmu, sekalipun ia mengusirmu. Teruslah mendekatinya, karena para Syekh yang tidak menyukai seorang Muslim bukanlah disebabkan oleh dorongan naafsunya. Hal itu dilakukan karena untuk memberikan pembelajaran’.
‘Kalau seorang murid mengetahui rahasia-rahasia yang dimiliki Syekhnya, maka ia akan patuh kepadanya dan tidak dapat menjauh sekejap matapun, serta ia rela menempuh jalan yang panjang karena tekad dan keinginannya yang kuat’.
Syekh Abul Abbas Ra. berkata, ‘Aku pernah tinggal di Babul Bahr di Mesir. Setiap hari, aku pergi ke Iskandariyah dan di siang hari aku kembali. Aku membacakan kitab Khatm al-Awliya, karya Hakim at-Turmudzi kepada Syekh Abul Hasan’.
‘Jika seorang murid mendengar sesuatu dari Gurunya dan takut lupa, maka sebaiknya ia menitipkannya kepada Allah, karena titipan yang ada di sisi-Nya tidak akan hilang. Orang yang berilmu sebaiknya melakukan hal tersebut bila takut lupa pada hukum-hukum syariat agar orang-orang dapat memanfaatkannya’.
‘Murid yang tidak mampu memahami ucapan Syekh-nya hanyalah disebabkan kebodohannya dan tebal hijab (penghalang pada dirinya). Oleh karena itu ia wajib mengilapkan cermin hatinya dan tidak mengatakan kepada Gurunya, ‘Jelaskanlah jawabannya padaku!’ Ini tidak berguna dalam Tarkat kaum Shufi. Sebab, mereka tidak merasa puas dengan ilmu. Mereka mencari dzauq (rasa) dengan batin untuk menyelaraskan lidah dan hatinya serta keluar dari sifat kemunafikan’.
‘Kalian harus memelihara adab kepada Guru kalian, walaupun ia menyenangi kalian, karena hati para Wali bagaikan hati para Raja yang dapat berubah dari santun menjadi marah dalam waktu singkat. Jika perasaan Wali menjadi sempit, maka orang yang menyakitinya binasa pada waktu itu juga. Jika sedang lapang, maka ia mampu memikul penderitaan yang ditimpakan golongan jin dan manusia’.
Kutipan Kitab Lawaqihul Anwar al-Qudsiyyah, Syekh abul Mawahib Asy-Sya’rani Qs.

Tidak ada komentar: