Firman Allah SWT: ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda’ (Q.S. Al-Hijr: 75)
Al-Mutawassimin (orang yang memperhatikan tanda-tanda) di sini adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Nabi Saw bersabda: ‘Takutlah kalian dengan firasatnya orang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah!’ (HR. Tirmidzi)
Kepada siapakah ungkapan ini ditujukan? Karena tidak semua orang memiliki firasat yang dapat dipakai sebagai petunjuk. Hadits ini tidak diungkapkan, ‘Gunakanlah firasat kalian masing-masing!’ Ungkapan ini teralami jelas oleh seorang murid ketika beradab kepada Syekh yang terpilih.
Atas dasar inilah mengapa seorang murid bersikap Sami’na wa Atho’na di hadapan Syekh yang kamil keimanannya kepada Allah. Karena mereka mengamalkan hadits tersebut. Para murid khawatir dengan tajamnya firasat Syekhnya yang senantiasa berhubungan hatinya kepada Allah.
Maka tidak akan sampai kepada orang-orang yang membelenggu dirinya atas pemahaman Masyayikh Shufi, sehingga pengagungan seorang murid kepada sikap seorang Syekh dianggap sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan sunnah.
Mereka yang senantiasa mencela perilaku murid yang sedang berkhidmah kepada Syekhnya tidak akan mencapai pengetahuan firasat yang Allah berikan kepada kaum yang dibentuk oleh tradisi pengajaran Kenabian. Seorang Syekh yang bermartabat Waratsatul Anbiya menduduki posisi ini akan diperlakukan sebagaimana sahabat berhadapan dengan Nabi mereka.
Abul Hasan al-Alawi al Hamdani menceritakan pengalamannya bahwa suatu ketika ia membeli seekor bebek yang kemudian dimasaknya. Saat ia meninggalkan makanannya itu di atas kompor di rumahnya, ia pergi menemui Gurunya Syekh Ja’far al-Khuldi. Kemudian Syekh-nya tersebut menyuruhnya untuk menginap di rumahnya. Namun Abul Hasan al-Alawi menolaknya. Begitu ia kembali ke dalam rumahnya, ia kehilangan bebeknya karena ada anjing yan masuk ke dalam rumahnya. Keesokan harinya ia mendatangi Gurunya itu, lalu Gurunya berkata, ‘Barang siapa yang Tidak mentaati perintah para Syekh, maka ia dikuasai oleh anjing sehingga ia menemui hal-hal yang tidak diinginkannya’.
Seorang murid (dalam Tarekat) bukan melebih-lebihkan Gurunya karena tanpa alasan. Firasat Gurunya melampaui apa yang akan ia perbuat. Mereka menyerahkan dirinya untuk dibentuk lahir dan batinnya, hal ini karena dirinya ia serahkan kepada firasat yang Allah berikan kepada Syekhnya. Gurunya hanya seorang makhluk yang kedudukannya sama sebagai hamba-Nya, tapi makhluk yang diberi kedekatan si Pemilik kehidupan berbeda maqam kedudukannya. Sebagaimana batu mulia di antara batu-batu lainnya.
Jakarta, 19 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar