Selasa, 13 Mei 2008

Prasangka yang meremehkan

Imam Qusyairi Rhm. berkata, ‘Tidak satupun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang Syeikh dari para tokoh Shufi ini, yang mempunyai ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan umat dari kalangan para ulama pada waktu itu benar-benar telah berpasrah diri kepada Syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap barakah darinya. Kalau saja tiada keistimewaan dan citra khususiyyah-nya niscaya akan terjadilah persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy Syafi’i Ra. datanglah Syaiban ar Ra’yi’.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Wahai Abu Abdullah , aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan”. Maka asy Syafi’i berkata, “Jangan anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya. Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu bila ada orang lupa akan shalatnya dari shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang lupa kepada Allah SWT. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga ia tidak lupa Tuannya”. Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, as-Syafi’i berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang yang buta huruf (ummy) seperti dia dari kalangan mereka (kaum Shufi)) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”
Hasan al-Bashry masuk sebuah masjid untuk shalat Maghrib. Ternyata imam masjid tersebut adalah orang ’Ajam (non Arab). Al-Bashry tidak mau shalat bermakmum di belakangnya, karena khawatir logat Ajam imam itu tidak fasih. Ketika tidur al-Bashry bermimpi bertemu dengan seseorang yang bertanya, “Kenapa Anda tidak shalat di belakangnya? Sungguh, jika engkau shalat di belakangnya, dosamu yang telah lalu akan diampuni semua”.
Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya yang berjudul Zubdatul Asrar menulis, Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.
Rasulullah Saw yang ma’shum saja pernah bersabda:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ فَأَيُّمَا امْرِئٍ سَبَّبْتُهُ أَوْ لَعْنَتُهُ فَاجْعَلْ ذٰلِكَ كَفَّارَةً لَّهُ
“Yaa Allah, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa marah sebagaimana orang lain marah. Maka jika ada orang yang aku lecehkan atau aku laknat, maka jadikanlah itu sebagai kaffarat (tebusan) dosanya”. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, & Ahmad)
Jika Beliau Saw sebagai teladan umat mengungkapkan kekurangannya dari sisi manusiawinya, apalagi seorang Waratsatul Anbiya’ (pewarisnya). Meskipun begitu kita tidak menampakkan ketidakpercayaan kepada Beliau Saw. Beliau bahkan dianggap sebagai sosok manusia yang utama di antara manusia lainnya. Apakah kita tidak menaruh kepercayaan pula kepada petugasnya yang juga memiliki kekurangan dari sisi manusiawi? Orang yang bersahabat dengan rasa cinta tidak akan menemui kekurangan apalagi bersahabat dengan Kekasih Allah.
Dikisahkan bahwa ada seorang yang bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah berkata, ‘Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku’. Ibrahim menjawab, ‘Aku tidak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata Mahabbah, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan qalbuku. Tanyakan saja selain diriku tentang cacatmu’.
Rasulullah Saw menyatakan: “Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya kalian (mau) mendengar dan taat, meskipun budak hitam legam yang memerintahmu (menjadi pemimpinmu)” [H.R. Thabrani].
Ketakwaan diwujudkan dengan ketundukan kepada orang yang memimpin kita, walau (menurut kacamata) kita ia banyak kekurangan. Bahkan Rasulullah Saw mengisyaratkan kriteria pemimpin itu dalam keadaan yang di bawah standar keinginan kita.

Tidak ada komentar: