Kamis, 03 Januari 2008

Kisah Salman al Farisi

Berkata Salman, “Ketika aku sampai di Syiria aku bertanya, “Siapakah orang yang terkemuka dalam agama ini?” Jawab penduduk: “Seorang Uskup dalam gereja itu”. Aku datangi Uskup itu dan kukatakan kepadanya: “Aku senang agama ini dan aku ingin bersamamu, membantumu dalam gerejamu agar aku dapat belajar dari kau dan sholat bersamamu”. Uskup itu berkata: “Masuklah ke dalam gerejaku”.
Uskup itu ternyata adalah seorang jahat. Ia menyuruh orang untuk bersedekah. Setelah orang berusaha mengumpulkan harta kepadanya, harta itu disimpan untuk dirinya, tidak diberikan kepada fakir miskin. Harta itu dikumpulkannya sampai mencapai tujuh karung emas dan uang kertas.
Aku sangat benci sekali menyaksikan perbuatan Uskup itu. Ketika ia meninggal semua kaum Nasrani datang untuk menguburkannya. Aku beritahukan pada mereka, “Uskup ini adalah orang jahat, ia menyuruh kalian untuk bersedekah. Namun jika kalian sedekah padanya, ia menimbunnya untuk dirinya sendiri, tidak diberikan pada fakir miskin”. Tanya mereka: “Siapa yang memberitahukan hal itu kepadamu?” Aku jawab: “Aku bersedia menunjukkan tempat timbunannya”. Jawab mereka: “Baik, tunjukkan kami tempat timbunannya”. Setelah aku tunjukkan mereka tempat simpanannya, mereka keluarkan harta sedekah yang berupa emas dan uang kertas itu dari tujuh karung tempat simpanannya. Mereka marah dan berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya”. Kemudian mereka salib jenazah itu dan melemparinya dengan batu. Kemudian mereka mengangkat seorang Uskup baru untuk menggantikan kedudukan Uskup lama.
Kisah Salman selanjutnya, “Aku tidak pernah melihat seorang yang rajin mengerjakan ibadah-ibadah lebih dari padanya. Aku lihat Uskup ini lebih baik dari Uskup lama dan tidak pernah kulihat seorang yang Zuhud terhadap dunia dan senang terhadap akhirat dan tidak seorang yang baik budinya baik pada siang hari maupun malam hari lebih daripadanya. Aku sangat suka padanya dan aku bersamanya beberapa waktu sampai tiba saat kematiannya. Waktu dekat kematiannya aku berkata kepadanya, “Hai fulan, aku lama bersamamu dan aku sangat menyenangimu, tidak ada seorang yang kusenangi lebih daripadamu, kini ajalmu hampir tiba, karena itu aku mohon kepada siapakah aku ini kau pesankan dan apa yang hendak kamu suruhkan padaku?” Jawab Uskup itu: “Hai anakku, demi Allah tidak seorangpun kini yang kulihat yang tetap lurus seperti aku. Orang baik telah banyak yang meninggal dan agama banyak diubah dan ditinggalkan orang kecuali ada seorang yang aku tahu ia masih seperti aku. Orang itu berada di Moushil. Aku berharap engkau pergi kepadanya”.
Setelah Uskup itu wafat aku pergi ke Moushil. Sesampaiku di sana aku berkata pada Uskup di Moushil itu, “Hai fulan, aku dipesankan oleh Uskup fulan waktu dekat ajalnya untuk pergi kepadamu, dan ia mengabarkan padaku bahwa kamu masih sepertinya”. Jawab Uskup Moushil itu, “Tinggallah kamu bersamaku”. Maka tinggallah aku bersamanya. Selama itu kukenal ia sangat baik sekali dan masih lurus seperti Uskup yang lalu.
Waktu ajalnya tiba aku berkata, “Hai fulan, Uskup fulan menyuruhku untuk pergi kepadamu dan aku telah datang padamu, kini seperti yang kami ketahui ajalmu hampir tiba. Karena itu sebelum ajalmu tiba kuharap pesanmu, kepada siapakah aku harus pergi dan pesan apakah yang hendak kamu berikan padaku?” Jawab Uskup itu, “Hai anakku, tidak seorangpun yang kulihat masih lurus di masa ini kecuali hanya seorang yang berada di Nasibain. Aku harap kamu datang pada orang itu”. Setelah Uskup Moushil itu mati aku pergi menemui Uskup Nasibain dan kusampaikan padanya pesan Uskup Moushil. Jawab Uskup Nasibain itu, “Tinggallah bersamaku”. Selama aku tinggal bersamanya aku dapatkan Uskup ini sangat baik dan lurus. Namun tak lama Uskup itu meninggal dunia. Sewaktu mendekati ajalnya aku katakan padanya, “Hai fulan, Uskup fulan memesankan padaku untuk datang kepadamu sebelum ia meninggal dan aku telah melaksanakan perintahnya. Kini seperti yang kamu ketahui ajalmu akan tiba. Karena itu aku harap kepada siapakah aku kamu pesankan dan pesan apakah yang kamu tinggalkan untukku?” Jawab Uskup Nasibain, “Hai anakku, tidak ada seorang pun yang lurus di masa ini lebih dari seorang yang berada di Amuriah. Karena itu aku harap kamu pergi padanya”.
Setelah Uskup Nasibain itu meninggal aku pergi ke Amuriah dan menemui Uskup Nasibain padanya. Uskup Amuriah itu menyuruhku tinggal bersamanya. Selama itu aku dapatkan Uskup itu sangat baik dan lurus sekali. Dan aku pun juga bekerja sampai aku punya beberapa ekor sapi dan kambing. Waktu ajal Uskup itu hampir tiba kukatakan padanya, “Hai fulan, aku telah dipesankan oleh Uskup fulan untuk berada di sampingmu. Pesan itu telah kulaksanakan. Kini seperti yang kamu ketahui bahwa ajalmu hampir tiba. Karena itu kepada siapakah kamu pesankan aku dan pesan apakah yang kamu tinggalkan untuku?” Jawab Uskup itu, “Hai anakku, tidak seorangpun yang lurus yang patut kamu datangi. Hanya saja kini telah tiba saat diutusnya seorang Nabi. Ia datang dengan membawa agama Ibrahim. Ia diutus di tanah Arab dan akan berhijrah ke suatu tempat yang dikelilingi dua gunung batu yang penuh dengan kebun kurma. Ia mempunyai tanda yang terang, ia mau makan sesuatu yang dihadiahkan dan ia menolak sedekah. Di antara dua bahunya terdapat Khatimun Nubuwwah. Karena itu jika kamu dapat pergi ke negeri itu kerjakanlah”. Dan seterusnya.
(Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Ibnu Abbas yang berasal dari Salman. Juga diriwayatkan oleh al Hakim dalam Mustadraknya. Dengan sanad yang kuat dan perawi-perawinya yang tidak diragukan kejujurannya. Maka kisah di atas merupakan kisah yang paling kuat sekali untuk dijadikan bukti tentang keadaan zaman jahiliyyah dan keadaan perkembangan agama. Lihat pula kisah ini dalam Hayatu Muhammad, Husein Muh. Haikal.)

Tidak ada komentar: