Seorang Ulama yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Salim bin Ahmad Baktsir al-Kindi mengadakan perjalanan ke Hadramaut sekitar tahun 1314 H. Kitab itu berisi banyak Biografi tokoh-tokoh Ulama besar dari negeri Hadramaut Yaman. Melalui rangkaian perjumpaan dengan berbagai tokoh Ulama itulah itulah Beliau berhasil menghimpun berbagai cerita, di antaranya sisi-sisi kehidupan (kebiasaan) yang dilakukan para Ulama Hadramaut yang Beliau kunjungi.
Banyak Ulama Hadramaut yang memiliki akhlaq yang luhur, kebiasaan ibadah yang teratur dan istiqamah dalam melakukan berbagai ibadah, di antaranya adalah dalam berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Masyayikh Alawiyyin banyak memiliki kebiasaan memberikan ijazah atas awrad yang mereka terima dari guru-guru mereka sebelumnya ke hadapan orang banyak yang berada satu majelis dengannya. Oleh karenanya banyak sekali awrad dzikir, shalawat, ratib, dsb yang diterima pengarang. Dalam kitab ini dibentangkan beberapa dzikir yang diterimanya dari hasil pengembaraannya di negeri Hadhramaut.
Di antara Ulama Hadhramaut yang memberikan ijazah awrad kepada Beliau ada yang berasal dari shighat asli dari perjumpaan dengan Rasulullah Saw secara ruhaniah tanpa perantara, di antaranya adalah Syekh al-’Alim al-’Amil Salim bin Sa’id Bawazir. Beliau memberikan Ijazah shighat shalawat Ash-Sholaatu was Salaamu ’alayka Yaa Sayyidii Yaa Rosuulallaah qollat Hiilatii adriknii. Shighat ini didapat langsung dari Rasulullah Saw tanpa perantara. Di samping itu pengarang juga diijazahkan Surat Alam Nasyrah yang dibaca setiap selesai sholat fardhu sambil meletakkan tangan kanan di dada sebelah kiri.
Syekh Salim bertanya kepada pengarang yang bermarga ‘Baktsir’. ‘Apakah engkau mengetahui mengapa kakek (leluhur) kamu dinamakan ‘Abi Katsir’ (Baktsir)?’ Tanya Syekh Salim. ‘Tidak’ kata pengarang. ‘Pengertiannya adalah Beliau (kakek pengarang) memiliki banyak anak dan semuanya menjadi Wali Allah. Maka dinamakanlah dengan ‘Abi Katsir’ (Baktsir)’ jelas Syekh Salim.
Usia Syekh Salim bin Sa’id Bawazir saat dijumpai sudah mencapai 114 tahun. Guru-guru Beliau dari Hadramaut di antaranya adalah ‘Allamah Sayid al-Hasan bin Sholeh al-Bahr, ‘Allamah Sayid Abdullah bin Husain bin Thohir, Allamah Sayid Abdullah bin Umar bin Abu Bakar bin Yahya, ‘Allamah Sayid Muhsin bin Alawi bin Saqaf as-Saqaf. Selama hidupnya Beliau sempat berkunjung ke berbagai negeri, di antaranya Mesir, Suriah, Palestina, dan hijrah ke Hijaz lalu berdiam di Mekah selama 14 tahun.
Pengarang tidak hanya berkunjung dengan Ulama yang masih hidup tapi juga berziarah ke maqam-maqam para Sayid Hadramaut, yang ditemani oleh keturunannya yang masih hidup. Sewaktu pengarang berziarah ke maqam Sayid Quthub al-Ghauts al-‘Arif billah al-Bahr al-Hasan al-Bahr al-Jufri, anaknya yang bernama Abdul Lahi membacakan beberapa karangan ayahnya, dan menuliskan beberapa faedah kepada pengarang. Yaitu sebuah hadits yang tertulis dalam al-Jami’ush Shaghir (As-Suyuthi), ‘Barang siapa mengusap wajahnya setelah makan, kemudian membaca, ‘Allaahumma innii as-alukaz ziinata wal mahabbata wal jannata, wa na’uudzubika minas sayyi-aati was sabaabi wal ghiibati wal fitnati. [Yaa Allah aku memohon kepada-Mu keindahan, kecintaan, dan syurga-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan, celaan, ghibah (menggunjing) dan fitnah] niscaya makanannya tidak membahayakan dirinya.
Pengarang juga diijazahkan do’a berikut, ‘Astaghfirullaahal ladzii laa ilaaha illaa huwar rohmaanur rohiimul hayyul qoyyuum, alladzii laa yamuutu wa atuubu ilayhi robbighfirlii. [Aku memohon ampun dari Zat Yang tiada sembahan sesungguhnya melainkan Allah, Yang Pengasih,Yang Penyayang, Yang Menghidupkan, Yang Mandiri, yang tiada mengalami kematian, dan aku bertaubat kepada-Nya. Wahai Tuhan, ampunilah aku!] yang dibaca sebanyak 25 kali setiap ba’da Shubuh dan ‘Ashar. Faedahnya sebagaimana yang disebutkan Nabi Saw bahwa barangsiapa membaca shighat istighfar tadi sebanyak 25 kali setelah ba’da Sholat Shubuh dan ‘Ashar maka ia tidak akan melihat sesuatu yang tidak disukainya baik pada dirinya, keluarganya, kampungnya, kotanya, atau negerinya.
Banyak nama-nama disebut dalam kitab ini, yang dirinci melalui footnote. Tarjamah (biografi)nya selalu menguraikan nasab-nasabnya terlebih dahulu hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Setelah itu disebut nama-nama guru-gurunya, sehingga terlihat keterkaitan tokoh yang satu dengan lainnya.
Satu catatan yang menggelitik adalah dalam kitab ini tidak dikenal istilah Habib atau Habaib, melainkan Sayid atau Syekh atau ‘Allamah. Mungkin istilah Habib itu lahir baru belakangan. Seperti As-Sayid Abdullah bin Alawi al-Haddad, As-Sayid Umar bin Abdurrahman al-'Athas, As-Sayid Ali bin Muhammad al-Habsyi, As-Sayid Ahmad bin Zein al-Habsyi, Asy-Syekh Salim bin Muhammad Bawazir, dst. Yang jelas, pengembaraan Syekh Abdullah Baktsir al-Kindi ini melahirkan sejarah otentik yang dihasilkannya. Karena Beliau langsung bersua dengan tokoh Ulama Hadhramaut pada masa itu.
Pengarang kitab ini dikenal sebagai seorang Ulama Shufi yang memiliki keistiqmahan, zuhud, dan sering mengadakan perjalanan untuk mencari pengetahuan tentang jalan kehidupan para Alawiyyin (Ulama Hadhramaut). Syekh Abdullah al-Baktsir dilahirkan di Madinah pada tahun 1274. ‘Allamah Sayid Umar bin Ahmad bin Abu Bakar Sumaith berpendapat bahwa kehidupan agama pengarang menonjol sekali ibadahnya, dikenal wara’, banyak dzikirnya, istiqamah wiridnya, dan keyakinannya tentang Awliya dan Shalihin serta kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw, khususnya para leluhur Alawiyyin di Hadhramaut. Beliau wafat pada malam Selasa 14 Sya’ban tahun 1343 H., dimakamkan di Zanjibar.
Senin, 23 Feb 2010