Perjalanan usaha perikanan Syekh al-Akbar akhirnya sampai ke daerah ujung barat Pulau Jawa, yang bernama Sumur. Nama Sumur bukanlah nama tempat pengambilan air di belakang rumah, tapi sebuah kota kecil yang terletak di daerah Jawa Barat (Ujung Kulon). Menurut beberapa tokoh masyarakat di sana, dinamakan Sumur karena ketika dibangun sumber air mana pun di daerah tersebut, airnya tidak asin sehingga muncullah banyak sumur yang dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, bahkan untuk diminum. Padahal daerah Sumur itu terletak di pinggir laut. Kenyataan ini sangatlah berbeda dengan wilayah pantai manapun di Indonesia khususnya Pulau Jawa ini.
Ada juga berita (legenda) yang menyebutkan bahwa daerah Sumur merupakan salah satu 7 (tujuh) Sumur yang dikeramatkan oleh masyarakat Banten. Tapi, kabar ini (oleh beberapa pemuka agama di sana) ditolak karena akan menimbulkan budaya klenik, persugihan, dan khurafat lainnya di daerah Sumur.
Secara pribadi Syekh al-Akbar mengatakan bahwa dulu ketika Beliau masih menjadi supir bis wisata, pernah mengantarkan wisatawan ke daerah tersebut. Melihat keadaan daerah Sumur ketika itu berbeda sekali dengan saat ini. Karena berpuluh tahun yang lalu pepohonan pinggir pantai belum terkena abrasi air laut. Banyak pohon-pohon buat berteduh dahulu sudah tenggelam oleh air laut di pinggir pantai.
Ada cerita menarik setelah Syekh al-Akbar melakukan kunjungan survey beberapa kali ke daerah Sumur dan sekitarnya. Saat kesekian kalinya Beliau ke sana, kami ikut serta menyertainya ke daerah yang belum pernah kami singgahi selama ini. Dengan beberapa jama’ah dan pengurus kami menemani Beliau menengok perkembangan usaha Bagan yang sedang Beliau rintis.
Beberapa ratus meter dari lokasi kami mampir di sebuah rumah makan karena perut kami sudah memberikan sinyal lagu keroncong (lapar) setelah 6 jam perjalanan dari Jakarta. Di situlah, salah seorang dari kami menyatakan bahwa dulu ia pernah jalan-jalan ke tempat tersebut, dan ia punya kenalan baik dengan salah seorang tokoh masyarakat daerah Sumur. Setelah dikontak melalui HP berkali-kali, rupa-rupanya Allah belum memberikan jalan bagi kami untuk mendapatkan relasi tokoh masyarakat daerah Sumur.
Akhirnya setelah selesai makan, rombongan menuju lokasi peristirahatan. Tempat peristirahatan jama’ah memiliki 2 kamar ukuran 3 X 3 meter, cukup menampung 5 orang dalam sebuah kamar. Rumah yang kami kontrak itu letaknya persis di pinggir laut, sehingga suara riak ombak yang menghantam daratan terdengar terus tanpa henti. Beberapa hari sebelum kami datang sebenarnya badai angin telah mengakibatkan nelayan-nelayan tidak melaut selama berhari-hari. Alhamdulillaah, saat itu cuaca agak bersahabat dengan kami sehingga semilir angin berhembus menyejukkan kegerahan di gubuk.
Setelah meletakkan berbagai peralatan atau barang-barang bawaan, kami segera berangkat menengok bagan, mumpung cuaca sedang cerah. Kami memutuskan untuk melakukan sholat Jama’ Takhir. Rupa-rupanya bagan yang kami tengok sedang diperbaiki. Bagan adalah sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari kerangka kayu atau bambu di atas perairan, dan di tengahnya ada sebuah perahu atau gubuk kecil. Kalau nelayan ingin berangkat mencari nafkah ke laut, bagan tersebut ditarik oleh perahu bermotor hingga ke tengah laut di mana ikan-ikan biasanya banyak berkumpul. Setelah sampai ke tempat yang dimaksud, si nelayan melemparkan jangkar ke dasar laut agar menahan bagan dari hembusan angin atau tarikan gelombang laut. Perahu bermotor yang menariknya kembali ke pinggir pantai, dan kalau nelayan ingin kembali ke darat, perahu tadi datang kembali.
Sebenarnya bagan tersebut mengantarkan cahaya (lampu) ke tengah laut untuk merangsang ikan-ikan berkumpul. Ketika ikan-ikan berkumpul itulah muncul harapan nelayan untuk mengambilnya. Tapi, apabila datang bulan purnama ikan-ikan menyebar, tidak terpengaruh dengan adanya lampu yang ada di bagan. Oleh karenanya, pada waktu tengah bulan para nelayan tidak melaut, karena ikan-ikan sulit berkumpul. Kalau pun memaksakan diri ke laut, mereka rugi mengeluarkan bensin (solar) untuk perahu dan biaya akomodasi selama menginap.
Kebanyakan ikan yang diperoleh dari bagan adalah ikan yang kecil-kecil. Ukuran penjualan ikan di bagan di daerah Sumur adalah rombong. 1 rombong itu sekitar 5 kg. Saat ini 1 rombong dihargai sebesar 20 ribu rupiah.
Setelah kami menengok bagan, kami melaksanakan sholat Jama’ di sebuah musholla dekat lokasi penginapan kami. Musholla ini cukup besar menampung jama’ah. Sekitar 500 orang bisa melaksanakan sholat di sini. Sewaktu keluar dari musholla, salah seorang dari kami mampir ke sebuah rumah, persis di sebelah musholla tempat kami sholat. Menurutnya ia disuruh mampir oleh Pak Haji Rasyid, yang ternyata adalah mantan calon mertua (nggak jadi) seorang murid yang punya nostalgia di Sumur. Pak Rasyid inilah yang ia sebutkan di rumah makan, dan tidak bisa dicontact berulang-ulang.
Maka terjadilah percakapan yang hangat seperti saudara yang telah lama hilang ketemu lagi. Percakapan itu berlanjut dengan kunjungan si murid ke rumah mantan pacarnya yang puluhan tahun yang lalu menjadi teman mesranya sewaktu mesantren. Cuma, dulu (menurut pengakuannya) ia masih badung (bandel), botol minuman keras masih akrab dengannya. [Kami pun sempat menyindir bahwa kunjungan Syekh al-Akbar ke Sumur seperti ‘membela kepentingan’ muridnya yang sudah lama putus hubungan dengan pacar lamanya.] Melalui Pak Rasyid ini akhirnya banyaklah cerita seputar usaha Bagan atau keadaan daerah Sumur.
Pak H. Rasyid merupakan tokoh masyarakat di lingkungan Sumur. Ia dikenal sebagai tuan tanah di daerah tersebut. Selain keluarganya yang besar itu (menurutnya) para nelayan di daerah Sumur kebanyakan adalah kaum pendatang. Musholla yang berada di samping rumahnya merupakan tempat ibadah yang dibangun melalui jerih payahnya dan keluarganya.
Di musholla tersebut kami mencoba memperkenalkan metode berdzikir Idrisiyyah dengan suara keras sambil berdiri. Pro kontra banyak terungkap dari mulut ke mulut. Namun kami tidak mempedulikannya. Karena setiap orang akan berbeda pandang mengenai apa yang diyakininya, termasuk apa yang dijalankan atas agamanya. Terkadang setelah sholat Shubuh atau maghrib, kami bersama-sama melaksanakan dzikir di musholla atau di rumah kontrakan kami.
Suatu hari pada waktu kami berdzikir di waktu Shubuh, ada sebuah peristiwa ruhani yang membuat kami tertegun. Memang suasan majelis dzikir ketika itu amat berbeda. Banyak di antara jama’ah mengalami histeris karena khusyu’nya. Setelah dzikir, salah seorang jama’ah mengutarakan kepada Syekh al-Akbar bahwa tadi banyak penghuni alam ghaib di wilayah Sumur berdatangan silih berganti. Mereka semua adalah makhluk-makhluk ruhani yang berada di balik kenyataan kehidupan yang tampak oleh mata. Mereka menyatakan bahwa seluruh makhluk yang berada si daerah Sumur merasa senang dengan kedatangan Syekh al-Akbar ke daerah mereka. Karena selama ini daerah Sumur banyak dimanfaatkan untuk kegiatan maksiat dan kedurhakaan. Dari pepohonan, ikan-ikan di laut, batu-batuan, semuanya ingin mendukung perjuangan Syekh al-Akbar. Mereka menyatakan kesedihan yang mendalam ketika Syekh al-Akbar meninggalkan mereka. Mereka ingin sering dikunjungi.
Banyaknya ruhani yang datang ketika majelis dzikir dilangsungkan sehingga tidak terhitung banyaknya. Salah satunya adalah utusan kerajaan yang berada di bawah dasar laut. Di seberang penginapan kita (tempat berdzikir) ada sebuah Pulau wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Di situlah menurut utusan itu tempat kerajaan mereka berada. Ada sebuah sumur yang merupakan gerbang ke tempat kerajaannya di pulau tersebut. Sampai kini lubang sumur itu tertutup, sehingga tidak diketahui oleh khalayak ramai yang berwisata. Utusan kerajaan itu berkata bahwa sejak pertama datang ke daerah Sumur, mereka sudah memperhatikan gerak-gerik kegiatan yang dilakukan Syekh al-Akbar beserta jama’ahnya. Mereka bersimpati dengan perjuangan Syekh al-Akbar. Untuk itulah mereka ingin membantu dengan memberikan sebuah mutiara kepada Syekh al-Akbar. Banyak orang-orang yang meminta untuk dunianya di pulau tersebut hingga bertapa (bersemedi), tapi mereka tidak memberikannya. Mereka lebih berpihak dengan apa yang diperjuangkan Syekh al-Akbar saat ini.
Salah seorang jama’ah menyelam ke alam ruhani melalui wasilah ruhani Syekh al-Akbar, sehingga ia masuk ke dalam kerajaan yang dimaksud. Di kerajaan tersebut terdapat perkampungan penduduk sebagaimana di alam nyata. Kehidupan berjalan seperti layaknya yang kita jalani ini. Saat ia bertemu dengan orang-orang kerajaan ia disambut, dan diperhatikan oleh banyak mata seolah ia menjadi orang yang paling asing di tengah-tengah mereka. Orang kerajaan tersebut mengatakan bahwa mutiara yang ingin diberikan kepada Syekh al-Akbar beratnya sekian ton. Subhaanallaah!
Mereka menyatakan bahwa pada masa penjajahan, mereka ikut membantu perjuangan melawan para penjajah. Ia pun mengenal Idrisiyyah sejak masa Syekh al-Akbar Abdul Fattah. Mutiara tersebut menurutnya adalah mascot kerajaan tersebut. Apabila mascot itu diambil, maka akan mudahlah pintu kerajaan mereka terbuka bagi pengaruh luar.
Syekh al-Akbar menanggapi berita tersebut dengan senyuman, ‘Bapak (Syekh al-Akbar) tidak ingin meminta-minta kepada siapapun!’
Berita mengenai adanya mutiara di dasar laut ini sebenarnya telah disinggung oleh Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Qs. Waktu itu Beliau pernah mengungkapkan bahwa akan muncul sebuah mutiara besar yang akan menggemparkan dunia. Entah, siapa yang akan menemukannya. Wallaahu A’lam.