Jumat, 10 Desember 2010

JADIKAN DUNIA MENJADI AKHIRAT

Puncak keberuntungan seorang hamba adalah diterimanya amal kebaikannya di sisi Allah. Amalnya tidak cacat, sebagaimana tidak diterimanya barang yang rusak untuk dijual oleh sebuah perusahaan.

Sebaliknya kesialan yang menimpa seorang hamba di hadapan Allah adalah ketika ia merasa yakin dengan amal yang ia lakukan tapi Allah tidak menerimanya. Ia pun menjadi rugi karena jerih payahnya sia-sia.

Amal yang diterima itu memiliki tanda sebagaimana kita mengajukan sebuah proposal, akan menerima tanda terima surat yang menandakan bahwa surat kita telah diterima meskipun belum tentu pengabulannya diterima, dan yang akan kita terima belum tentu sesuai dengan apa yang kita angan-angankan.

Tanda diterimanya amal, pertama, nikmatnya amal menimbulkan keinginan untuk tidak meninggalkannya. Jika tertinggal maka timbul rasa penyesalan dalam dirinya. Kedua mendapatkan buah amal tersebut (seperti shalat dapat mencegah pekerjaan keji dan munkar, berdzikir menimbulkan ketenangan hati). Ketiga mendapatkan pengetahuan (petunjuk) dari Allah sehingga bertambah amalnya secara kualitas maupun kuantitasnya.

Hadirin Yang Berbahagia,

Allah menawarkan kenikmatan akhirat dengan sesuatu yang belum pernah mata melihat, telinga mendengar. Artinya kenikmatan syurga itu teramat mahal, bukan hal yang murah. Sesuatu yang mahal itu seimbang dengan nilai yang ditawarkan. Adalah pantas syurga itu mahal karena orang yang mau beribadah, mau mengaji, mau menginfakkan masjid itu jumlahnya lebih sedikit. Orang yang betah di mall lebih banyak daripada di mesjid. Orang yang memegang remote tv di waktu maghrib lebih banyak daripada memegang mushaf Al-Quran.

Sabda Nabi Saw: Alaa inna sil’atallaahi ghooliyah. Ketahuilah, Perniagaan Allah itu mahal nilainya. Yaitu Syurga.

Rasulullah Saw menyatakan bahwa betapa banyak amal dunia menjadi amal akhirat lantaran baik niatnya, yakni amalnya diterima. Baiknya niat bisa diciptakan dan diinspirasikan dengan memahami ajaran-ajaran Islam lewat pengajian, mendengarkan ceramah, duduk dengan orang-orang yang dishalehkan, dan sebagainya. Betapa banyak amal akhirat hanya akan menjadi amal dunia lantaran buruknya niat, yakni menyebabkan cacat amalnya.

Hadirin Rahimakumullah,

Di awal tahun 1990an, email, komputer dan handphone hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kini, 20 tahun kemudian, di seluruh dunia, 1,4 milyar orang telah mempunyai e-mail, ada 1 miliar komputer, dan 3,3 miliar pengguna handphone–sekitar separuh dari jumlah penduduk dunia. Proses ini akan terus berkembang. 10 tahun mendatang perkembangannya akan lebih cepat dari 100 tahun kemarin.

Teknologi bisa menjadi dunia saja, tapi bisa menjadi amal akhirat. Begitu mudah dengan era kemajuan teknologi sekarang ibadah bisa kita wujudkan. Membaca atau mempelajari Al-Quran saat ini mudah sekali melalui komputer atau handpone. Pengetahuan agama dari bentuk word hingga digibok sudah banyak beredar di internet. Semuanya bukan saja bisa menjadi lahan ibadah tapi mempermudah sesuatu yang sulit dan mempersingkat ketertinggalan kita mengenai informasi agama.

Tapi teknologi ibarat 2 bilah mata pisau, bisa menjadi sahabat dan bisa menjadi musuh kita, disadari atau tidak. Kalau anak-anak mengunjungi warnet untuk main game saja, yang dewasa hanya untuk kesenangan duniawi semata, maka bukanlah teknologi itu menjadi nilai rahmat yang membawa manfaat akhirat, tapi mengurangi umur, mempercepat azab dan menambah catatan panjang bahan hisab kita di hadapan Allah SWT. Dengan banyak informasi yang kurang mendidiklah anak-anak tidak mau mendengar nasehat orang tuanya, susah diajak ibadah, tapi kalau diajak tempat wisata, tempat belanja, mall, barulah mereka mau. Inilah fenomena anak zaman sekarang.

Anak-anak mesti kita arahkan menuju hal-hal yang positif, jadikan kepintarannya untuk menegakkan syiar Islam, jadikan kecerdasannya untuk menelaah permasalahan umat di masa mendatang, jadikan kelebihannya untuk menegakkan Dien Allah dan Rasul-Nya. Jika semua membiarkan arus teknologi informasi yang begitu pesat tanpa dibarengi dengan pendidikan agama, maka bisa jadi generasi muda muslim malah menjadi musuh bagi agamanya sendiri. Na’udzubillah.

Hadirin yang berbahagia,

Syekh Ahmad bin Idris Al-Fasi mengungkapkan,

إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ السِّالِكُ فِى أَمْرٍ مِنْ أُمُوْرِهِ قَوْلاً اَوْفِعْلاً فَلْيَعْلَمْ اَنَّ اللهَ تَعَالَى لاَبُدَّ اَنْ يُوْقِفَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَيَسْئَلَهُ عَنْ ذلِكَ الْأَمْرِ فَلْيَعُدَّ الْجَوَابَ لِسُؤَالِ الْحَقِّ تَعَالَى.

Apabila seseorang Salik mau melakukan suatu tindakan baik perkataan maupun perbuatan, maka dia harus mengetahui bahwa sesungguhnya Allah senantiasa berdiri di depannya dan akan menanyakan tentang perbuatan tersebut. Maka persiapkanlah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Allah SWT Yang Haq.

Apabila jawaban tersebut benar dan akan diridhoi serta diterima oleh-Nya, laksanakanlah tindakan tersebut. Maka akibat tindakan tersebut terpuji di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya”.

Sebagaimana orang yang berpantang saat sedang sakit. Kalau sedang sakit diabetes, silahkan banyak makan nasi, banyak makan yang manis-manis jika ia tidak mengikuti nasehat dokter. Akibatnya, ia sendiri yang akan merasakannya nanti. Tapi jika ia sudah merasakan akibatnya maka ia akan menahan diri dari akibat yang akan dideritanya, yang tidak bisa dipindahkan kepada siapapun rasa sakitnya itu.

Ibadah terbagi menjadi 2 (dua). Ada yang disukai nafsu dan ada yang tidak. Harta pun demikian, ada yang bisa membawa kebaikan atau keburukan. Dampak negatif harta itu berdasarkan sabda Nabi Saw adalah:

1. Al-‘Ana’ fi jam’ihi, payah mengumpulkannya,

2. Wasy-Syughlu ‘an dzikrillahi ta’aalaa bi-ishlaahihii, lalai mengingat Allah karena sibuk mengatur harta,

3. Wal khouf min saalibihii, menimbulkan kecemasan dicuri hartanya,

4. Wahtimaala ismi al-bakhil linafsisi, disandangkan sifat bakhil atas dirinya karena tidak mau berderma,

5. Wa Mufaaroqotash shoolihiin min ajlihi, menjauhkan dirinya dari orang-orang saleh karena kesibukannya.

Bukanlah Islam itu anti harta, anti kemajuan, anti teknologi. Bahkan Islam harus lebih maju dari yang lain. Al-Islaam ya’luu walaa yu’laa ‘alaiih.

Bukanlah orang yang lebih baik di antara kalian (kata Nabi) meninggalkan dunia untuk akhiratnya, dan bukan pula meninggalkan akhirat untuk dunianya. Tapi orang yang lebih baik di antara kalian adalah orang yang mengambil keduanya (dunia dan akhirat). Selaras dengan do’a:

Robbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaaban naar.

Wahai Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan dunia dan akhirat, lindungilah kami dari siksa api neraka.

Yaa Allah luaskan rizki kami, jangan jadikan luasnya rizki sebagai penghalang bagi akhirat kami. Jadikanlah rizki di dalam genggaman tangan kami, dan jangan letakkan di dalam lubuk hati kami.

LQ, 10 Desember 2010

Selasa, 23 November 2010

Raden Batoro Katong

PEMBAWA ISLAM PERTAMA & LEGENDARIS PONOROGO
Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 aka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

Sumber: sunangesengkediri.blogspot.com

Rabu, 10 November 2010

Ibnul Qayyim al-Jauziyah

Dalam “Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawuf.”

11-11-'10